Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abstrak :
Masyarakat Sasak di Kabupaten Lombok Utara memiliki ekologi budaya masyarakat hutan, karena sebagian besar wilayah budaya mereka berada di kaki Gunung Rinjani. Sejak ratusan tahun lalu mereka memiliki kebudayaan yang berasal dari strategi adaptasi mereka terhadap lingkungannya. Salah satu kearifan lokal tersebut adalah Sawineh yaitu kearifan lokal hubungan resiprositas antara petani dengan pemangku adat di bidang pertanian. Saat ini kearifan lokal tersebut coba diadopsi oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) bersama dengan pemerintah baik pusat maupun daerah untuk dihidupkan kembali dalam bentuk sebuah gerakan filantropi, yang mereka beri nama Gerakan Sawineh Sadu. Gerakan yang berumur belum terlalu lama ini mempunyai manfaat yang besar dalam pelestarian hutan dan juga peningkatan kesejahteraan para keluarga yang tinggal di sekitar hutan Rinjani. Melalui gerakan ini, masyarakat Sasak, khususnya di Kabupatcn Lombok Utara diingatkan kembali bahwa kearifan lokal yang dahulu pernah dimiliki mereka, sejatinya masih relevan dipakai dalam kehidupan dewasa ini. Nilai-nilai kerjasama dan gotong royong yang menjadi “roh” dari gerakan ini terbukti dapat menjadi altematif pemecahan berbagai permasalahan aktual.
JPSNT 20:2 (2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sitti Syahar Inayah
Abstrak :
Masyarakat Adat memiliki kearifan Iokal dalam berinteraksi dengan Iingkungannya. Salah satu masyarakat adat yang ada di Indonesia yang mempunyai kearifan Iokal tersebut adalah masyarakat suku Ammatoa yang bermukim di Desa Tanah Towa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Masyarakat Ammatoa mempunyai pandangan tersendiri terhadap Iingkungan hidup utamanya hutan.
Untuk mengungkap makna hutan bagi masyarakat Ammatoa digunakan Teori lnteraksionisme Simbolik sebagai alat analisis. Tujuannya untuk melihat bagaimana Teori Interaksi Simbolik menjelaskan makna hutan sebagai objek sosial Adapun alat analisis strategi ketua adat menjaga makna digunakan strategi komunikasi yaitu pola kontrol lingkungan.
Penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif model interaksi simbolik. Etnografi menjadi pilihan metode penelltian. Data diperoleh dari wawancara mendalam dan observasi berperanserta. Adapun unit analisisnya adalah tindakan individu-individu yang berinteraksi sosial. lnforman berjumlah 16 orang dipilih dengan menggunakan teknik purposive atau snowball sampling Puto Palasa dipilih menjadi informan karena jabatannya sebagai ketua adat. Puto Beceng dipilih sebagai informan disebabkan kedudukannya sebagai Galle Puto, salah satu unsur adat yang bertugas menjaga hutan. lnforman lainnya adalah Puto Nungga, salah seorang tokoh masyarakat bertugas membakar kemeyang dalam setiap upacara adat.
Masyarakat Ammatoa lebih melihat hutan dari segi manfaat dan fungsinya. Karena itu pulalah hutan mempunyai makna sesuai dengan manfaat dan kegunaannya sebagai penyedia air dan tempat melakukan upacara yang sakral. Makna tersebut dibawa dari, atau muncul dari interaksi sosial dengan sesamanya. Hutan keramat tidak berubah fungsi dari generasi ke generasi karena memang dijaga. Sementara hutan batas bisa berubah, ketika dilakukan upacara pernbuka hutan batas, maka hutan itu tidak sakral Iagi dan boleh diambil hasilnya secara terbatas. Hutan di luar kawasan Ammatoa berfungsi ekonomis. Pemahaman tentang hutan didapatkan dari pasang ri kajang (pesan-pesan dari kajang). lnteraksi mereka dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol penting diantaranya bahasa, warna pakaian, rumah dan pohon dande.
Ammatoa sebagai ketua adat mendapat tugas utama dari Tuhan menjaga hutan. Ammatoa dibantu oleh pemangku adat yaitu Galla Puto yang tugas utamanya menjaga hutan. Masyarakat diminta menjaga hutan dengan menekankan imbalan yang akan didapatkan. Adapun dalam penegakan aturan, Ammatoa cenderung menggunakan strategi kontrol Iingkungan dengan level pengendalian.
Dalam Teori Interaksi Simbolik, makna sebagaimana benda tersebut di bawa dari, atau muncul dari interaksi sosial dengan sesamanya. Hal ini sejalan makna hutan bagi masyarakat Ammatoa muncul dari interaksi dalam masyarakat tersebut. Mereka bertindak terhadap hutan sesuai dengan makna tersebut. Makna dipelihara, dan dimodifikasi melalui, proses interpretasi yang digunakan orang dalam berhubungan dengan benda yang dihadapi. Premis ini ditemukan pula dalam makna hutan bagi masyarakat Ammatoa. Ada hutan yang maknanya tidak berubah karena makna tersebut memang sengaja dipelihara Ada pula hutan yang berubah maknanya sesuai konteksnya yaitu hutan batas.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T22620
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library