Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Syamsudin
"RINGKASAN EKSEKUTIF
Sejak peluncuran paket Juni 1993 dan Mei 1995 mengenai
deregulasi otomotif, harga otomotif yang semula diharapkan turun
ternyata tidak terjadi seperti yang diharapkan. Memang setelah
paket Mei 1995 terjadi penurunan harga pada banyak merk mobil,
akan tetapi penurunan yang terjadi tidak begitu berarti.
Pasar industri kendaraan bermotor, khususnya mobil di
Indonesi a terrnasuk suatu fenomena yang unik. Situasi
perekonomian bukan merupakan satu-satunya faktor yang rnutlak
yang menentukan pola pembelian mobil. Banyak faktor yang turut
mempengaruhi. Sering terjadi permintaan mobil meningkat di kala
trend perekonomian menurun. Pasaran industri otomotif tampaknya
akan semakin semarak dengan keluarnya Inpres No. 02/1 996 tanggal
19 Pebruari 1996 yang antara lain melahirkan hak pembuatan mobil
nasional kepada PT Timor Putra Nasional. Pernbuatan mobil
nasional ini diperkirakan akan rnenurunkan harga mobil, terutama
untuk sedan kelas 1600 cc ( dirnana sedan Timor berada). Dengan
adanya penurunan harga ini maka dapat diproyeksikan bahwa
permintaan akan mobil, terutarna untuk jenis sedan akan rneningkat
pada masa-rnasa mendatang. Dengan k ondisi ini, maka peluang
dalam bisnis otomotif tetap menjanjikan tingkat keuntungan yang
baik. Untuk lebih meningkatkan keuntungan, pengusaha otomotif di
Indonesia umumnya menguasai usaha dari hulu (pabrik komponen dan
perakitannya), hingga kegiatan distribusinya.
Tingginya permintaan akan kendaraan bermotor diatas,
mendorong salah satu perusahaan karoseri di Jawa Tengah, yaitu
PT Mekar Armada Jaya, untuk mendirikan sebuah perusahaan yang
bergerak di bidang pembiayaan kredit kendaraan bermotor (KKB).
Selain alasan tersebut, maka rencana pendirian mi merupakan
kelanjutan dan kegiatan Divisi Kredit perusahaan yang selama
ini dalam skala kecil telah melayani pembelian kendaraan dengan kredit dari dealer-dealer perusahaan di daerah Magelang dan sekitarnya, yang mana kegiatan tersebut menunjukkan peningkatan.
Lonjakan kegiatan dari Divisi Kredit tersebut, mendorong
perusahaan untuk mendirikan secara terpisah suatu perusahaan
pembiayaan konsumen dengan badan hukum sendiri, yaitu PT Armada Finance. Mengingat cukup tingginya investasi yang diperlukan, maka PT Armada Finance mengadakan kerjasama pembiayaan dengan bank untuk mendanai sebagian kebutuhan dananya. Prinsip kerjasama yang akan dijalankan oleh PT Armada Finance dan bank adalah dengan joint financing, dimana total pembiayaan kendaraan setelah dikurangi dengan pembayaran uang muka konsumen akan dibagi dalam prosentase tertentu antara PT Armada Finance dan bank. Bank utarna yang direncanakan untuk kerjasama tersebut adalah salah satu bank pemerintah.
Selain permasalahan pendanaan proyek, maka hal lain yang
harus diperhatikan oleh perusahaan adalah ketatnya peraturan
pemerintah dalam mengawasi kegiatan industri pembiayaan. Hal ini dikarenakan industri pembiayaan ikut mempengaruhi stabilitas moneter. Pada tahun 1995 telah keluar kebijakan yang antara lain menghentikan izin baru bagi perusahaan yang akan bergerak dilembaga pembiayaan. Ketentuan lain yang penting adalah mengenai permodalan, dimana jumlah modal yang disetor atau simpanan pokok dan simpanan wajib Perusahaan Pembiayaan adalah sebesar
a. Perusahaan Swasta Nasional sekurang-kurangnya sebesar Rp
10.000.000.000 (sepuluh milyar rupiah);
b. Perusahaan patungan sekurang-kurangnya sebesar Rp
25.000.000.000 (dua puluh lima milyar rupiah);
c. Koperasi sekurang-kurangnya Rp 5.000.000.000 (lima rnilyar
rupiah);
yang harus dipenuhi dalam waktu 3 tahun sejak berlakunya putusan tersebut atau sejak mendapatkan izin.
PT Armada Finance memperoleh izin usaha pada akhir tahun
1994. Dengan modal disetor awal sebesar Rp 2.000,0 juta, maka
perusahaan merencanakan pada tahun I operasionalnya dapat
merealisjr sekitar 913 perjanjian kredit, dengan total
pembiayaan sebesar Rp 21.500,0 juta. Dari jumlah mi sebesar
20,0% atau Rp 4.300,0 juta akan dibiayai dengan uang muka dan
konsumen, 70,0% atau Rp 15.050,0 juta akan dibiayai dari kredit modal kerja bank, dan sisanya sebesar 10,0% atau Rp 2.150,0 juta dibiayai dari modal sendini perusahaan.
Dari proyeksi keuangan, maka tenlihat bahwa pada tahun I
operasional perusahaan bisa mendapatkan laba sebelum pajak
sebesar Rp 102,6 juta, tahun II sebesar Rp 1.274,3 juta, tahun
III sebesar Rp 2.077,4 juta, tahun IV sebesar Rp 2.409,5 juta
dan tahun V sebesar Rp 2.565,2 juta. Dari internal fund
generated tersebut dan ditambah dengan setoran modal yang
dilakukan oleh perusahaan, maka pada akhir tahun ketiga
operasional perusahaan sudah bisa mengakumulasikan modal
sejumlah Rp 10.403,6 juta. Dari analisa keuangan dan didukung
oleh analisa SWOT, maka diperkirakan perusahaan akan mampu masuk dalam posisi 20 besar perusahaan pembiayaan swasta nasional di Indonesia yang membiayai KKB.
Lingkungan yang sangat besar pengaruhnya terhadap
industri pembiayaan yang dimasuki perusahaan adalah lingkungan
remote dan operasional. Dukungan penuh dari group perusahaan
yang sudah lama bergerak dalam bidang industri karoseni,
diharapkan akan dapat membantu kelancaran operasional
perusahaan, baik dalam mengantisipasi persaingan maupun
kebijakan pemenintah yang begitu ketat mengatur industni mi.
Selain arialisa keuangan diatas, maka hasil analisa
lingkungan usaha dengan mempertirnbangkan kekuatan dan kelemahan internal serta peluang dan ancaman eksternal, menunjukkan bahwa rencana investasi proyek mi layak untuk dibiayai. Pendirian perusahaan ini juga mempunyai dampak sosial yaitu berupa penciptaan lapangan kerja dan memberikan tambahan pendapatan bagi negara berupa pajak.
Untuk pengembangan perusahaan, maka hendaknya pengurus
perusahaan mengkonsentrasikan secara penuh dalam pengelolaan
bisnisnya tanpa harus menjalankan perusahaan-perusahan lain dan group perusahaan. Hal mi untuk mejnbangun suatu company image yang kuat. Mengingat usaha KKE merupakan usaha jasa, maka hendaknya perusahaan menanamkan suatu service excellent dalam diri setiap pegawai perusahaan. Selain itu kegiatan pemasaran sangat perlu digalakkan. Untuk tahap pertama, mungkin perusahaan harus banyak melakukan pendekatan langsung kepada sebanyak mungkin dealer kendaraan bermotor.
Dalam pengembangan perusahaan, maka strategi yang dapat
digunakan oleh perusahaan adalah strategi integrasi. Untuk itu
maka akumulasi dana yang dihasilkan sebaiknya digunakan untuk
memperbanyak dealer perusahaan. Dalam rangka bersaing, maka
strategi yang bisa digunakan adalah strategi cost leadership.
Strategi mi ditempuh dengan mencari sumber dana yang semurahmurahnya, sehingga perusahaan bisa mengambil spread yang tinggi dari konsumen atau membebankan tingkat bunga yang lebih rendah dari saingan. Untuk itu perlu dijaga hubungan baik dengan kreditur dalam rangka mendapatkan credit line.
"
1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adella Riska Putri
"Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang ditetapkan oleh pemerintah mengubah beberapa ketentuan perpajakan, salah satu pokok materi perubahan pada UU HPP adalah disesuaikan kembalinya beberapa kebijakan PPN, diantaranya meliputi perluasan basis PPN melalui refocusing atau pengaturan kembali barang dan jasa yang dikecualikan. Salah satu jenis barang dan jasa yang mengalami pengaturan kembali ialah jasa keuangan yang didalam UU HPP dikeluarkan dari jasa yang dikecualikan PPN, jasa keuangan ini meliputi beberapa jasa salah satunya jasa pembiayaan, sehingga atas jasa tersebut menjadi objek PPN atau Jasa Kena Pajak (JKP). Hal ini menuai banyak komentar karena dianggap menambah pekerjaan administrasi bagi para pelaku jasa keuangan yang termasuk didalamnya jasa pembiayaan, padahal perlakuan PPN baik sebelum diberikan fasilitas dibebaskan maupun sesudah diberikan fasilitas dibebaskan sama saja yaitu tidak dipungut PPN. Untuk itu penelitian ini berusaha untuk mengetahui apakah kebijakan PPN atas jasa keuangan sudah memenuhi salah satu asas pemungutan pajak yaitu ease of administration. Metode penelitian yang digunakan adalah menggunakan pendekatan post positivist dengan jenis penelitian berdasarkan tujuannya sebagai penelitian deskriptif. Jenis data yang digunakan adalah data primer dan sekunder dengan teknik pengumpulan data yaitu studi kepustakaan dan studi lapangan dengan wawancara mendalam. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa atasĀ  kebijakan PPN atas jasa keuangan yang termasuk didalamnya jasa pembiayaan ini belum memenuhi asas efficiency dan simplicity hal ini merupakan bentuk konsekuensi dari munculnya kewajiban pemenuhan administrasi akibat perubahan status dari non JKP menjadi JKP yang dibebaskan, sehingga memunculkan pertambahan baik dari segi biaya maupun waktu dan menambah pekerjaan rumah baru bagi wajib pajak.

The Harmonization Tax Regulations (UU HPP) stipulated by the government changed several tax provisions, one of the main material changes in the HPP Law was the adjustment of several VAT policies, including expanding the VAT base through refocusing or rearranging exempt goods and services. One type of goods and services that has been re-arranged is financial services which in the HPP Law are excluded from VAT-exempt services, these financial services include several services, one of which is financing services, so that these services become objects of VAT or Taxable Services (JKP). This has attracted many comments because it is considered to add to administrative work for financial service actors which includes financing services, even though the treatment of VAT both before being granted exemption facilities and after being granted exemption facilities is the same, namely not collecting VAT. For this reason, this study seeks to determine whether the VAT policy on financial services has fulfilled one of the principles of tax collection, namely ease of administration. The research method used is a post positivist approach with this type of research based on its purpose as descriptive research. The types of data used are primary and secondary data with data collection techniques, namely library research and field studies with in-depth interviews. The results of this study conclude that the VAT policy on financial services, which includes financing services, has not met the principles of efficiency and simplicity, this is a consequence of the emergence of administrative compliance obligations due to the change in status from non-JKP to JKP which is exempted, resulting in a good increase in terms of cost and time and add new homework for taxpayers."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Farazenia
"ABSTRAK
Perusahaan Pembiayaan Konsumen menggunakan perjanjian baku dalam kegiatan perusahaannya. Pada perjanjian baku perusahaan pembiayaan tersebut pada pasal yang mengatur mengenai penyelesaian sengketa menentukan bahwa penyelesaian sengketa akan dilakukan melalui pengadilan negeri. Hal ini menghilangkan hak konsumen dalam memilih forum penyelesaian sengketa konsumen karena pada dasarnya hukum sudah mengembangkan pilihan forum penyelesaian sengketa agar kasus sengketa tidak menumpuk di pengadilan negeri. Penulis melakukan peninjauan perjanjian baku tersebut dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan serta dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang dapat ditinjau melalui keadaan pengadilan maupun lembaga penyelesaian sengketa saat ini. Kemudian setelah melakukan peninjauan tersebut, dapat dipahami bahwa pembakuan pilihan penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri tidak dilarang ataupun dibatasi secara jelas dalam Peraturan Perundang-Undangan namun hal tersebut tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang menyebutkan bahwa Konsumen dapat menggunakan dua cara penyelesaian sengketa yaitu melalui pengadilan negeri dan di luar pengadilan negeri. Maka dari itu seharusnya para pelaku usaha dalam hal ini Perusahaan Pembiayaan Konsumen tidak membakukan pilihan penyelesaian sengketa melainkan membuat ketentuan bahwa penyelesaian sengketa akan dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak dan sesuai kondisi kedua belah pihak.

ABSTRAK
The Consumer Finance Company nowadays has been using a standardized contract in their financing business. The standardized contract in the clause which declare that a dispute resolution can only through the court, has been eliminating the consumer rsquo s rights for choosing the dispute resolution forum that the law can offer and eliminating the chance to decentralize law cases for piling up in the court. The writer will review the standardized contract by reviewing Indonesia rsquo s consumer protection act and other review that delineate the court rsquo s and the alternative dispute resolution rsquo s circumstances. After reviewing the standardized contract, shows that the constitution has not yet forbidding or limiting explicitly for standardizing a dispute resolution options. However, standardizing a dispute resolution options is not in accordance with the consumer protection act which declare that consumer has two options in resolving a dispute and those are dispute resolution through the court or the alternative dispute resolution. Therefore, The Consumer Finance Company should not standardize a dispute resolution option, instead they rather stating a clause that leave the choice wide open for both the consumer and The Consumer Finance Company themselves to choose the best dispute resolution based on both of their condition."
2017
S68656
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library