Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 81 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pramudjo Abdulgani
"ABSTRAK
Dalam upaya meningkatkan sensitifitas dan spesifisitas hasil uji Iatih jantung dengan beban (ULJB ), beberapa peneliti menghitung kemiringan ST/laju jantung (LJ) maksimal ('maximal ST/HR slope'), yaitu nilai B dari persamaan Y = B (X - Xo). Y : depresi segmen ST, X = laju jantung dan Xo : laju jantung saat mulai akan
timbul depresi segmen ST. Tujuan penelitian ini yaitu meneliti peranan kemiringan ST/LJ maksimal (SLOPE) Serta meneliti adakah peranan Xo dalafn memprediksi berat penyakit jantung koroner(PJK). Penelitian bersifat prospektif pads 23 sukarelawan, yang diIakukan angiografi koroner dan ULJB di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, antara 1 Desembar 1988 sampai dengan 28 Februari
1989. Sebagian penderita dilakukan ULJB dengan metode Bruce (n=7), sedang sisanya dengan modifikasi Bruce (n=16). Semua penderita adalah laki-laki, berumur 38-55 (rata-rata 52, 1_+6,4) tahun. Dua pulun penderita dengan riwayat infark, 2 dengan angina pektoris dan 1 asimtomatis. Bila penderita minum obat (antagonis
kalsium, penghambat reseptor beta) pada saat ULJB, obat tidak dihentikan. Penghitungan SLOPE dilakukan menurut Cara Kligfield. Derajat iskemi miokard diukur menurut skor dari Green Land Hospital (GLH). Tiga penderita tidak dapat dihitung nilai SLOPEnya (13%). Ditemukan korelasi positif antara nilai SLOPE dengan skar GLH(r=0,83 : p<0,00001),yang dapat dinyatakan dengan persamaan :
skor GLH = 2,28 + 0,8 SLOPE. Rata-rata nilai SLOPE pada ke empat kelompok penderita (?normal', 1, 2, 3 penyakit pembuluh darah), berturut-turut adalah 1,04 _+ 0,63 uV/denyut/menit; 2,84 _+ 1,27
UV/denyut/menit; 5, 46 _+ 3,76 uV/denyut/menit; dan 10,62 _+ 2,60 UV/denyut/menit. Secara statistik perbedaan rata-rata dari ke 4 kelompok ini bermakna (p < 0,0005). Sedangkan nilai Xo tidak mempunyai korelasi dengan skor GLH.
Dari penelitian ini kami menyimpulkan bahwa nilai SLOPE
mempunyai nilai prediksi terhadap berat ringan PJK, sedangkan nilai Xo tidak."
1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hashfi Fauzan Raz
"Latar Belakang: Pasien dengan fraksi ejeksi (FE) rendah memiliki risiko apabila dilakukan BPAK dengan mesin PJP. Pengunaan mesin PJP memiliki risiko cedera miokard yang diakibatkan dari periode iskemia, reperfusi, dan inflamasi yang dapat mengakibatkan aritmia pascaoperasi. Aritmia pascaoperasi BPAK terjadi pada 5-40% dan meningkatkan mortalitas serta morbiditas. Glutamin merupakan asam amino yang memiliki efek anti inflamasi dengan menurunkan mediator inflamasi dan kerusakan oksidatif akibat radikal bebas sehingga menurunkan efek cedera miokard dan dihipotesiskan menurunkan kejadian aritmia pascaoperasi BPAK.
Metodologi: Penelitian ini kohort retrospektif pada pasien penyakit jantung koroner dengan FE rendah yang menjalani BPAK menggunakan mesin PJP. Subjek dibagi menjadi kelompok yang mendapat dan tidak mendapat glutamin intravena praoperasi. Luaran yang dinilai adalah kejadian aritmia pascaoperasi secara keseluruhan, arimita ventrikel dan supraventrikel pascaoperasi BPAK.
Hasil: Kejadian aritmia pascaoperasi lebh rendah secara bermakna pada kelompok yang mendapatkan glutamin intravena praoperasi, yaitu 16,7%dibandingkan 40% (p=0,045). Kejadian aritmia atrium pascaoperasi juga lebih rendah secara bermakna pada kelompok yang mendapat glutamin intravena praoperasi, yaitu 26,7% dibandingkan 73,3% (p=0,026), namun pada kejadian aritmia ventrikel pascaoperasi tidak ada perbedaan bermakna (p=0,74).
Kesimpulan: Pada pasien dengan fraksi ejeksi rendah yang menjalani BPAK menggunakan mesin PJP, pemberian glutamin intravena praoperasi dapat menurunkan angka kejadian aritmia pascaoperasi.

Background: Low ejection fraction (EF) increases the risk of morbidity and mortality in patients undergoing CABG. CABG with CPB induces myocardial injury caused from ischemia, reperfusion and inflammation, causing postoperative arrhythmias. Arrhyhtmias occur in 5-40% patients after CABG and increase postoperative mortality and morbidity. Glutamine is an amino acid that has antiinflammatory effect, decerasing inflammatory mediators and oxidative stress from free radicals. In turn, glutamin lower the effect of myocardial injury and hypothesized to lower postoperative arrhythmias after CABG.
Methods: This is a cohort retrospective study in patients with coronary artery disease with low EF undergoing CABG with CPB. The subjects were divided into two groups based on given or not given intravenous glutamin preoperative.The outcomes of the study is incidence of arrhythmias after CABG and the incidence of ventricular and supraventricular arrhythmias after CABG.
Results: The subjects in the intravenous glutamin group have lower incidence of postoperative arrhythmias compared to control (16.7% vs 40% respectively, p=0.045). Supraventricular arrhythmia incidence in intravenous glutamin group is also lower compard to control (26.7% vs 73.3% respectively, p=0,026). There are no significant differences of postoperative ventricular arrhythmias between two groups (p=0.74).
Conclussion: In patients with low EF undergoing CABG with CPB, intravenous glutamin administration can lower the incidence of postoperative arrhythmias.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Prasetya
"Tindakan Coronary Artery Bypass Graft (CABG) dilakukan terhadap pasien Coronary Artery Disease (CAD) dengan berbagai variasi letak sumbatan di pembuluh darah koroner sesuai kondisi klinis pasien. Sebagian besar studi menunjukan prevalensi masa kembali bekerja dalam 1 tahun pasca tindakan CABG berkisar antara 67,5% hingga 84,2%. Diabetes melitus (DM) dijumpai pada 13% hingga 30% pasien yang menjalani CABG. Kondisi DM tersebut bersama faktor-faktor lainnya memiliki pengaruh negatif terhadap kemampuan pasien untuk kembali bekerja yang menjalani tindakan CABG. Pasien DM dapat mengalami masa pemulihan yang berkepanjangan sehingga tidak dapat melakukan pekerjaannya hingga melampaui batas 12 bulan dan berpotensi terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK). Evidence-Based Case Report (EBCR) ini bertujuan mendapatkan bukti ilmiah dalam memperkirakan masa kembali bekerja pasien DM pasca tindakan CABG dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhinya. Metode EBCR yang diterapkan berupa pencarian literatur dilakukan melalui PubMed, Scopus, dan Embase menggunakan kata kunci sesuai pertanyaan klinis terkait DM, CABG, dan kembali bekerja. Selanjutnya dilakukan skrining berdasarkan judul dan abstrak, kriteria inklusi dan eksklusi. Studi yang terjaring selanjutnya dilakukan telaah kritis menggunakan pedoman Oxford Centre for Evidence-Based Medicine (Oxford CEBM) untuk menilai validitas, relevansi, dan aplikabilitasnya dalam menjawab pertanyaan klinis pada kasus yang disajikan. Studi Davoodi dkk dengan level of evidence (LOE) tingkat 4 menunjukkan pengaruh signifikan DM terhadap kembali bekerja (p=0,034 dan hazard ratio 2,041 (Confidence Interval/CI 1,056-3,946) dimana pasien DM memiliki risiko dua kali lipat lebih tinggi untuk tidak kembali bekerja dibandingkan pasien tanpa DM namun memiliki presisi studi yang kurang baik. Pada studi Butt dkk, dengan LOE tingkat 3 menunjukkan pasien DM memiliki kemungkinan 16% lebih rendah untuk kembali bekerja dibandingkan pasien tanpa DM (OR=0,84 (CI 0,70-1,01). Sedangkan pada studi Hallberg dkk dengan LOE tingkat 3, menunjukan kondisi tanpa DM bersama usia muda, status masih bekerja pra-operasi dan kerusakan miokardium peri-operatif menjadi prediktor penting yang mempengaruhi kembali bekerja setelah CABG (likelihood ratio/LR pasien tanpa DM sebesar 1,08, T1DM sebesar 0,50, dan T2DM sebesar 0,31). Kesimpulannya pengaruh DM dapat dikaitkan dengan meningkatkan risiko penundaan masa kembali bekerja dalam 1 tahun pasca tindakan CABG. Namun demikian, tidak ditemukan bukti kuat yang konsisten dalam menunjukan pengaruh langsung DM dalam 3 studi yang dilakukan telaah kritis. Masa kembali bekerja pasca tindakan CABG turut dipengaruhi faktor-faktor lain seperti usia, jenis kelamin pria, penghasilan, tingkat pendidikan, kondisi komorbid lain seperti gagal jantung, strok, atrial fibrilasi, dll, maupun adanya komplikasi perioperatif.

Coronary artery bypass grafting (CABG) is performed on patients with coronary artery disease (CAD) with varying degrees and locations of coronary artery blockages, depending on the patient’s clinical condition. Most studies report that the prevalence of returning to work within one year post-CABG ranges from 67.5% to 84.2%. Diabetes mellitus (DM) is found in 13% to 30% of patients undergoing CABG. DM, along with other factors, negatively impacts the ability of patients to return to work post-CABG. Diabetic patients may experience prolonged recovery periods, preventing them from resuming work within 12 months, which could lead to job termination. This Evidence- Based Case Report (EBCR) aims to provide scientific evidence for estimating the return- to-work period for diabetic patients post-CABG and identifying influencing factors. The EBCR methodology involved a systematic literature search through PubMed, Scopus, and Embase using keywords related to DM, CABG, and return-to-work outcomes. Articles were screened based on titles, abstracts, inclusion and exclusion criteria, followed by critical appraisal using the Oxford Centre for Evidence-Based Medicine (OCEBM) guidelines to assess validity, relevance, and applicability. The study by Davoodi et al. with Level of Evidence (LOE) 4 demonstrated a significant impact of DM on delayed return-to-work (p=0.034; Hazard Ratio [HR]=2.041; Confidence Interval [CI] 1.056–3.946), indicating that diabetic patients have twice the risk of not returning to work compared to non-diabetic patients, though precision was limited due to a wide CI. Butt et al.'s study with LOE 3 showed that diabetic patients were 16% less likely to return to work compared to non-diabetic patients (Odds Ratio [OR]=0.84; CI 0.70–1.01), but this result was not statistically significant as the CI included 1. Hallberg et al.'s study with LOE 3, highlighted that non-diabetic status, younger age, preoperative employment status, and perioperative myocardial damage were significant predictors of returning to work post-CABG (Likelihood Ratio [LR]: no DM=1.08; Type 1 DM=0.50; Type 2 DM=0.31). In conclusion, DM is associated with an increased risk of delayed return-to- work within one year post-CABG. However, consistent and strong evidence directly linking DM with delayed return-to-work is lacking across the three critically appraised studies. Other factors such as age, male gender, income level, education level, comorbidities (e.g., heart failure, stroke, atrial fibrillation), and perioperative complications also influence return-to-work outcomes."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Prasetya
"Tindakan Coronary Artery Bypass Graft (CABG) dilakukan terhadap pasien Coronary Artery Disease (CAD) dengan berbagai variasi letak sumbatan di pembuluh darah koroner sesuai kondisi klinis pasien. Sebagian besar studi menunjukan prevalensi masa kembali bekerja dalam 1 tahun pasca tindakan CABG berkisar antara 67,5% hingga 84,2%. Diabetes melitus (DM) dijumpai pada 13% hingga 30% pasien yang menjalani CABG. Kondisi DM tersebut bersama faktor-faktor lainnya memiliki pengaruh negatif terhadap kemampuan pasien untuk kembali bekerja yang menjalani tindakan CABG. Pasien DM dapat mengalami masa pemulihan yang berkepanjangan sehingga tidak dapat melakukan pekerjaannya hingga melampaui batas 12 bulan dan berpotensi terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK). Evidence-Based Case Report (EBCR) ini bertujuan mendapatkan bukti ilmiah dalam memperkirakan masa kembali bekerja pasien DM pasca tindakan CABG dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhinya. Metode EBCR yang diterapkan berupa pencarian literatur dilakukan melalui PubMed, Scopus, dan Embase menggunakan kata kunci sesuai pertanyaan klinis terkait DM, CABG, dan kembali bekerja. Selanjutnya dilakukan skrining berdasarkan judul dan abstrak, kriteria inklusi dan eksklusi. Studi yang terjaring selanjutnya dilakukan telaah kritis menggunakan pedoman Oxford Centre for Evidence-Based Medicine (Oxford CEBM) untuk menilai validitas, relevansi, dan aplikabilitasnya dalam menjawab pertanyaan klinis pada kasus yang disajikan. Studi Davoodi dkk dengan level of evidence (LOE) tingkat 4 menunjukkan pengaruh signifikan DM terhadap kembali bekerja (p=0,034 dan hazard ratio 2,041 (Confidence Interval/CI 1,056-3,946) dimana pasien DM memiliki risiko dua kali lipat lebih tinggi untuk tidak kembali bekerja dibandingkan pasien tanpa DM namun memiliki presisi studi yang kurang baik. Pada studi Butt dkk, dengan LOE tingkat 3 menunjukkan pasien DM memiliki kemungkinan 16% lebih rendah untuk kembali bekerja dibandingkan pasien tanpa DM (OR=0,84 (CI 0,70-1,01). Sedangkan pada studi Hallberg dkk dengan LOE tingkat 3, menunjukan kondisi tanpa DM bersama usia muda, status masih bekerja pra-operasi dan kerusakan miokardium peri-operatif menjadi prediktor penting yang mempengaruhi kembali bekerja setelah CABG (likelihood ratio/LR pasien tanpa DM sebesar 1,08, T1DM sebesar 0,50, dan T2DM sebesar 0,31). Kesimpulannya pengaruh DM dapat dikaitkan dengan meningkatkan risiko penundaan masa kembali bekerja dalam 1 tahun pasca tindakan CABG. Namun demikian, tidak ditemukan bukti kuat yang konsisten dalam menunjukan pengaruh langsung DM dalam 3 studi yang dilakukan telaah kritis. Masa kembali bekerja pasca tindakan CABG turut dipengaruhi faktor-faktor lain seperti usia, jenis kelamin pria, penghasilan, tingkat pendidikan, kondisi komorbid lain seperti gagal jantung, strok, atrial fibrilasi, dll, maupun adanya komplikasi perioperatif.

Coronary artery bypass grafting (CABG) is performed on patients with coronary artery disease (CAD) with varying degrees and locations of coronary artery blockages, depending on the patient’s clinical condition. Most studies report that the prevalence of returning to work within one year post-CABG ranges from 67.5% to 84.2%. Diabetes mellitus (DM) is found in 13% to 30% of patients undergoing CABG. DM, along with other factors, negatively impacts the ability of patients to return to work post-CABG. Diabetic patients may experience prolonged recovery periods, preventing them from resuming work within 12 months, which could lead to job termination. This Evidence- Based Case Report (EBCR) aims to provide scientific evidence for estimating the return- to-work period for diabetic patients post-CABG and identifying influencing factors. The EBCR methodology involved a systematic literature search through PubMed, Scopus, and Embase using keywords related to DM, CABG, and return-to-work outcomes. Articles were screened based on titles, abstracts, inclusion and exclusion criteria, followed by critical appraisal using the Oxford Centre for Evidence-Based Medicine (OCEBM) guidelines to assess validity, relevance, and applicability. The study by Davoodi et al. with Level of Evidence (LOE) 4 demonstrated a significant impact of DM on delayed return-to-work (p=0.034; Hazard Ratio [HR]=2.041; Confidence Interval [CI] 1.056–3.946), indicating that diabetic patients have twice the risk of not returning to work compared to non-diabetic patients, though precision was limited due to a wide CI. Butt et al.'s study with LOE 3 showed that diabetic patients were 16% less likely to return to work compared to non-diabetic patients (Odds Ratio [OR]=0.84; CI 0.70–1.01), but this result was not statistically significant as the CI included 1. Hallberg et al.'s study with LOE 3, highlighted that non-diabetic status, younger age, preoperative employment status, and perioperative myocardial damage were significant predictors of returning to work post-CABG (Likelihood Ratio [LR]: no DM=1.08; Type 1 DM=0.50; Type 2 DM=0.31). In conclusion, DM is associated with an increased risk of delayed return-to- work within one year post-CABG. However, consistent and strong evidence directly linking DM with delayed return-to-work is lacking across the three critically appraised studies. Other factors such as age, male gender, income level, education level, comorbidities (e.g., heart failure, stroke, atrial fibrillation), and perioperative complications also influence return-to-work outcomes."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Furqon
"Latar Belakang : Peningkatan kadar homosistein merupakan faktor risiko terjadinya aterosklerosis dan trombogenesis. Baik faktor genetik maupun lingkungan mempunyai pengaruh terhadap kadar plasma homosistein. Pada penelitian ini, kami meneliti gambaran dari homosistein pada populasi PJK di Jakarta dan Malang serta hubungannya dengan enzim MTHFR, Vit. B6, Vil. B12, dan asam folat.
Metode dan Hasil : Penelitian deskriptif ini melibatkan 30 pasien PJK di Jakarta dan 12 pasien di Malang. Subyek yang direkrut di Malang lebih muda, tetapi tidak ada perbedaan dalam jenis kelamin, 1MT, diabetes, dan merokok. Tidak ada perbedaan pada profil lipid diantara dua populasi. Subyek di Malang mempunyai kadar homosistein lebih tinggi (median 18 mmol/dL vs 9,1 mmol/dL; p < 0,001), kadar MTHFR yang lebih rendah (median 0,105 IU vs 0,157 IU; p = 0,019) kadar asam folat yang lebih rendah (median 7,1 vs 11,2 ng/mL; p = 0,005), kadar vit. B12 yang lebih rendah (median 273 ng/mL vs 429,5 ng/mL; p = 0,032). Tidak ada perbedaan pada kadar vit B6. Analisis dari hubungan menunjukkan hubungan yang terbalik antara homosistein dan pit. B12 (r = - 0,43, p = 0,004) dan asam folat (r = -0,39,p = 0,01).
Kesimpulan : Tidak ada perbedaan kadar homosistein, MTHFR, asam folat, dan vitamin B12 pada populasi PJK (Jakarta dan Malang). Terdapat hubungan yang terbalik antara homosistein dan vit. B12 serta asam folat.

Background : Increased homocysleine level is a risk factor for atherosclerosis and thrombogenesis_ Both genetic and environmental factors influence plasma level of homocysteine. In this study, we examine the distribution of homocysteine in population of CAD in Malang and Jakarta and the association between homocysteine, enzyme MTHFR, Vit. B6, Vii. B12, and folic acid.
Methods and Results : This is a descriptive study including 30 CAD patients in Jakarta and 12 in Malang. Subjects recruited in Malang is younger, but no difference in gender, BMI, smoking and diabetes. No difference in lipid profile between both populations. Subjects in Malang have higher level of homocysteine (median 18 mmol/dL vs 9.1 mmol/dL; p <0.001), lower level of MTHFR (median 0.105 IU vs 0.157 IU; p = 0.019), lower level of Folic acid (median 7.1 vs 11.2 ng/mL; p = 0.005), lower level of Vit. B12 (median 273 ng/mL vs 429.5 ng/mL; p = 0.032). There is no difference in level of Vit. B6. Analysis of association showed inverse relationship between homocysteine and vit B12(r - -0.43, p = 0.004) and folic acid (r = -0.39,p =0.01).
Conclusion : There is difference in level of homocysteine, MTHFR, folic acid and vii. B12 between populations coronary artery disease ( Jakarta and Malang). There is inverse relationship between homocysteine and vit B12 and folic acid."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T21433
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Made Indra Prasetya
"Latar belakang dan tujuan: Morbiditas dan mortalitas pascaCABG salah satunya dipengaruhi respon inflamasi oleh penggunaan mesin CPB. Di beberapa pusat, sering dilakukan pemberian kortikosteroid untuk menurunkan respon inflamasi. Terdapat berbagai uji klinis yang memberikan hasil yang masih kontroversial. Deksametason dipilih karena memiliki potensi efek glukokortikoid yang tinggi, tanpa efek mineralokortikoid, masa kerja yang panjang, relatif aman bagi pasien, serta mudah untuk didapat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah penggunaan deksametason lebih efektif untuk memperbaiki keluaran klinis dan mengendalikan penanda inflamasi jika dibandingkan plasebo pada pasien yang menjalani operasi CABG on pump.
Metode: Randomisasi 60 sampel menjadi grup deksametason (n=30) dan grup plasebo (n=30). Variabel dengan sebaran normal dilakukan analisis statistik independent t-test, sedangkan data dengan sebaran tidak normal dilakukan analisis statistik nonparametrik yaitu Mann-Whitney test. Analisis univariat antara dua kelompok studi akan dilakukan menggunakan uji fisher exact test.
Hasil: Uji statistik kejadian MACE dengan grup deksametason dibandingkan grup plasebo, didapatkan nilai RR 1,389 dengan CI 0,995-1,938 (p =0,045). Deksametason memiliki keunggulan yang dapat dilihat dari parameter durasi ventilasi mekanik (deksametason 7 (5-14) vs plasebo 10 (5-19), p <0,0001), lama rawat ICU (deksametason 16 (11-22) vs plasebo 18 (12-72), p =0,017), lama rawat rumah sakit (deksametason 5 (5-7) vs plasebo 6 (5-15), p = 0,005), penanda inflamasi IL-6 (deksametason 114 (32-310) vs plasebo 398 (72-1717), p <0,0001) dan PCT (deksametason 1,08 (0,31-3,8) vs plasebo 3,7 (1,06-11,4), p <0,0001).
Simpulan: Pemberian deksametason efektif memperbaiki keluaran klinis, dan mengendalikan penanda inflamasi pascaoperasi dibandingkan plasebo.

Background and purpose: Mortality and morbidity post CABG are affected by inflammatory response which are caused by usage of CPB machine. In some centre, corticosteroid are often used to reduce inflammatory response. There are various clinical trials that provide controversial results. Dexamethasone was chosen because it has a high potential for glucocorticoid effects, without mineralocorticoid effects, long working period, relatively safe for patients, and easy to obtain. This study aims to determine whether the use of dexamethasone is more effective in improving clinical outcomes and controlling inflammatory markers when compared to placebo in patients undergoing on pump CABG.
Methods: 60 sample are randomized into dexamethasone group (n=30) and placebo group (n=30). Variables with normal distribution were carried out independent t-test statistical analysis, whereas data with abnormal distribution were analyzed using nonparametric statistics, namely Mann-Whitney test. Univariate analysis between the two study groups will be conducted using the fisher exact test.
Result: The incidence of MACE with the dexamethasone group compared to the placebo group was obtained RR 1,389 with CI 0,995-1,938 (p =0,045). Dexamethasone has advantages that can be seen from the parameters of duration of mechanical ventilation (dexamethasone 7 (5-14) vs placebo 10 (5-19), p <0,0001). ICU stay (dexamethasone 16 (11-22) vs placebo 18 (12-72), p =0,017), hospital stay (dexamethasone 5 (5-7) vs placebo 6 (5-15), p = 0,005), IL-6 (dexamethasone 114 (32-310) vs placebo 398 (72-1717), p <0,0001) and PCT (dexamethasone 1,08 (0,31-3,8) vs placebo 3,7 (1,06-11,4), p <0,0001).
Conclusion: The administration of dexamethasone improves clinical output, and managed to controls post operative inflammatory marker more effectively compared to placebo.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hafiz Aini
"Latar Belakang: Derajat kompleksitas lesi koroner yang berat merupakan prediktor mortalitas dan Major Adverse Cardiovascular Event (MACE) serta penentuan revaskularisasi pada penyakit jantung koroner (PJK). Fragmented QRS (fQRS) dinilai sebagai penanda iskemia atau cedera miokardium PJK. Hubungan fQRS dan derajat kompleksitas lesi koroner perlu diteliti lebih lanjut pada pasien PJK di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui hubungan fQRS dan derajat kompleksitas lesi koroner pada pasien penyakit jantung koroner.
Metode: Penelitian potong lintang di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, mengambil data sekunder pada 172 pasien jantung koroner yang menjalani percutaneous coronary intervention (PCI) di Cath Lab pada bulan Januari-Juni 2018 secara total sampling. Pasien dibagi berdasarkan adanya tidaknya fQRS. Data demografi, klinis, dan deajat kompleksitas (skor Gensini) diteliti. Hubungan antara adanya fQRS dan derajat kompleksitas lesi koroner dianalisis dengan uji kesesuaian.
Hasil: Sembilan puluh empat (54,6%) subjek terdapat gambaran fQRS. Pada analisis didapatkan hubungan antara fQRS dengan kategori skor Gensini ringan-sedang dan ringan-berat dengan kesesuaian baik (kappa 0,721 dan 0,820; p <0,001). Hubungan dengan kesesuaian yang baik juga didapatkan antara fQRS dan PJK signifikan (kappa 0,670; p <0,001) serta fQRS dan PJK multivessel (kappa 0,787; p <0,001).
Simpulan: Terdapat hubungan fragmented QRS complexes dan derajat kompleksitas lesi koroner pada pasien penyakit jantung koroner.

Background. The severity of coronary artery lesion is used as a predictor of mortality, major adverse cardiovascular event, and revascularization in coronary artery disease (CAD). Fragmented QRS complex (fQRS) as a novel marker of myocardial ischemia/scar in patients with coronary artery disease. The relationship between the two in Indonesia should be studied further.
Purpose. To determine the relationship between fQRS and the severity of coronary lesion in coronary artery disease.
Methods. A cross sectional study was conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital. Secondary data were taken from 172 patients with CAD who underwent percutaneous coronary intervention (PCI) from January-June 2018 with total sampling. Patients were divided based on the existence of fQRS. Demographic, clinical, and severity of coronary artery lesion (Gensini score) characteristics were studied. Data were analysed using Cohens kappa agreement test.
Results. fQRS was present in 94 subjects (54.6%). Bivariate analysis showed a significant difference between fQRS with mild-moderate Gensini score as well as mild-severe Gensini score (kappa 0,721 and 0,820; p<0,001), fQRS with significant CAD (kappa 0.670; p<0,001), and fQRS with multivessel CAD (kappa 0.787; p<0,001).
Conclusion. There is a significant relationship between fQRS and the degree of severity of coronary lesion in coronary artery disease patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
I Made Indra Prasetya
"Latar belakang dan tujuan: Morbiditas dan mortalitas pascaCABG salah satunya dipengaruhi respon inflamasi oleh penggunaan mesin CPB. Di beberapa pusat, sering dilakukan pemberian kortikosteroid untuk menurunkan respon inflamasi. Terdapat berbagai uji klinis yang memberikan hasil yang masih kontroversial. Deksametason dipilih karena memiliki potensi efek glukokortikoid yang tinggi, tanpa efek mineralokortikoid, masa kerja yang panjang, relatif aman bagi pasien, serta mudah untuk didapat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah penggunaan deksametason lebih efektif untuk memperbaiki keluaran klinis dan mengendalikan penanda inflamasi jika dibandingkan plasebo pada pasien yang menjalani operasi CABG on pump.
Metode: Randomisasi 60 sampel menjadi grup deksametason (n=30) dan grup plasebo (n=30). Variabel dengan sebaran normal dilakukan analisis statistik independent t-test, sedangkan data dengan sebaran tidak normal dilakukan analisis statistik nonparametrik yaitu Mann-Whitney test. Analisis univariat antara dua kelompok studi akan dilakukan menggunakan uji fisher exact test.
Hasil: Uji statistik kejadian MACE dengan grup deksametason dibandingkan grup plasebo, didapatkan nilai RR 1,389 dengan CI 0,995-1,938 (p =0,045). Deksametason memiliki keunggulan yang dapat dilihat dari parameter durasi ventilasi mekanik (deksametason 7 (5-14) vs plasebo 10 (5-19), p <0,0001), lama rawat ICU (deksametason 16 (11-22) vs plasebo 18 (12-72), p =0,017), lama rawat rumah sakit (deksametason 5 (5-7) vs plasebo 6 (5-15), p = 0,005), penanda inflamasi IL-6 (deksametason 114 (32-310) vs plasebo 398 (72-1717), p <0,0001) dan PCT (deksametason 1,08 (0,31-3,8) vs plasebo 3,7 (1,06-11,4), p <0,0001).
Simpulan: Pemberian deksametason efektif memperbaiki keluaran klinis, dan mengendalikan penanda inflamasi pascaoperasi dibandingkan plasebo.

Background and purpose: Mortality and morbidity post CABG are affected by inflammatory response which are caused by usage of CPB machine. In some centre, corticosteroid are often used to reduce inflammatory response. There are various clinical trials that provide controversial results. Dexamethasone was chosen because it has a high potential for glucocorticoid effects, without mineralocorticoid effects, long working period, relatively safe for patients, and easy to obtain. This study aims to determine whether the use of dexamethasone is more effective in improving clinical outcomes and controlling inflammatory markers when compared to placebo in patients undergoing on pump CABG.
Methods: 60 sample are randomized into dexamethasone group (n=30) and placebo group (n=30). Variables with normal distribution were carried out independent t-test statistical analysis, whereas data with abnormal distribution were analyzed using nonparametric statistics, namely Mann-Whitney test. Univariate analysis between the two study groups will be conducted using the fisher exact test.
Result: The incidence of MACE with the dexamethasone group compared to the placebo group was obtained RR 1,389 with CI 0,995-1,938 (p =0,045). Dexamethasone has advantages that can be seen from the parameters of duration of mechanical ventilation (dexamethasone 7 (5-14) vs placebo 10 (5-19), p <0,0001). ICU stay (dexamethasone 16 (11-22) vs placebo 18 (12-72), p =0,017), hospital stay (dexamethasone 5 (5-7) vs placebo 6 (5-15), p = 0,005), IL-6 (dexamethasone 114 (32-310) vs placebo 398 (72-1717), p <0,0001) and PCT (dexamethasone 1,08 (0,31-3,8) vs placebo 3,7 (1,06-11,4), p <0,0001).
Conclusion: The administration of dexamethasone improves clinical output, and managed to controls post operative inflammatory marker more effectively compared to placebo.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Komang Adhi Parama Harta
"Latar belakang: Berdasarkan pilot study di divisi Bedah Jantung Dewasa Rumah Sakit Pusat Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, SIRS lebih sering terjadi pada OPCAB dibandingkan dengan on-pump CABG, 67% vs 33% (30 sampel, 2017). Berangkat dari hal tersebut, peneliti melakukan uji klinis memberikan deksametason pada pasien yang menjalani operasi OPCAB. Metode: Pengumpulan sampel dilakukan secara konsekutif di divisi Bedah Jantung Dewasa Rumah Sakit Pusat Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita antara Agustus 2018 - Januari 2019. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dirandomisasi menjadi grup deksametason (n=30) dan grup plasebo (n=30). Intervensi deksametason intravena dosis 1 mg/KgBB (maksimal 100 mg) atau plasebo menggunakan normal salin (NaCl 0,9%). Analisis statistik digunakan independent t-test, Mann-Whitney test, fisher exact test dan AUC. Hasil: Insiden MACE pada grup deksametason dibandingkan grup plasebo (RR 0,385, CI 95%: 0,157-0,945, p = 0,024). Keluaran klinis lebih baik ditemukan pada grup deksametason dibandingkan grup plasebo untuk durasi ventilasi mekanik (6 (5-16) jam vs 8 (5-72) jam, p = 0,029), lama rawat ICU (17,5 (12-32) jam vs 19 (13-168) jam, p = 0,028), lama rawat rumah sakit (5 (5-8) hari vs 6,5 (5-30) hari, p = 0,04) dan VIS (0 (0-15) vs 5 (0-100), p = 0,045). Hasil penanda inflamasi, terdapat perbedaan rata-rata yang bermakna antara grup deksametason dibandingkan grup plasebo pada IL-6 (217,4 pg/mL, CI 95%: 107,9-326,8, p = 0,0001), PCT (3,41 µg/L, CI 95%: 2,1-4,71, p = 0,0001) dan CRP (52,3 mg/L, CI 95%: 28.8-75,8, p = 0,0001). Pada analisis AUC terdapat hubungan signifikan antara penanda inflamasi dengan insiden MACE pada IL-6 (AUC 0,728, CI 95%: 0,585-0,871, p = 0,005) dan PCT (AUC 0,723, CI 95%: 0,578-0,868, p = 0,007). Kesimpulan: Pemberian deksametason praoperasi OPCAB, efektif memperbaiki keluaran klinis dan mengendalikan reaksi inflamasi pascaoperasi dibandingkan plasebo.

Background: Based on a pilot study in the Adult Heart Surgery division of Harapan Kita Heart and Vascular Center Hospital, SIRS is more common in OPCAB compared to on-pump CABG, 67% vs 33% (30 samples, 2017). Based from this result, this research conducted a clinical trial to provide dexamethasone in patients undergoing OPCAB surgery. Methods: Samples were collected consecutively in the Adult Heart Surgery division of Harapan Kita Heart and Vascular Center Hospital between August 2018 - January 2019. Samples that fulfill inclusion and exclusion criteria were randomized to dexamethasone group (n=30) and placebo group (n=30). Intervention using intravenous dexamethasone dose of 1 mg/KgBB (maximum 100 mg) or placebo using normal saline (0.9% NaCl). Statistical analysis were used independent t-test, Mann-Whitney test, fisher exact test and AUC. Results: MACE incidence in dexamethasone group compared to placebo group (RR 0.385, 95% CI: 0.157-0.945, p = 0.024). Clinical output of dexamethasone group was better than placebo group in duration of mechanical ventilation (6 (5-16) hours vs 8 (5-72 ) hours, p = 0.029), ICU length of stay (17.5 (12-32) hours vs 19 (13-168) hours, p = 0.028), hospital length of stay (5 (5-8) days vs 6.5 (5-30) days, p = 0.04) and VIS (0 (0-15) vs 5 (0-100), p = 0.045). As a result of the inflammatory markers, there was a significant average difference between dexamethasone group compared to the placebo group in IL-6 (217.4 pg/mL, 95% CI: 107.9-326.8, p = 0,0001), PCT ( 3.41 µg/L, 95% CI: 2.1-4.71, p = 0.0001) and CRP (52.3 mg/L, 95% CI: 28.8-75.8, p = 0.0001 ) In the AUC analysis there was a significant association between inflammatory markers with the incidence of MACE in IL-6 (AUC 0.728, 95% CI: 0.585-0.871, p = 0.005) and PCT (AUC 0.723, 95% CI: 0.578-0.868, p = 0.007). Conclusion: Preoperative dexamethasone OPCAB is effective to improving clinical output and controlling postoperative inflammatory reactions compared to placebo."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ignatius Yansen Ng
"Latar Belakang. Fibrilasi atrium (AF) adalah komplikasi aritmia yang paling sering ditemukan pada pasien yang menjalani operasi bedah pintas arteri koroner (BPAK) dengan insidens yang bervariasi antara 20-50%. Walaupun diketahui sebagai gangguan yang bersifat sementara, namun AF pasca operasi dapat mengancam jiwa serta dikaitkan juga dengan peningkatan angka kesakitan dan kematian yang bermakna, sehingga perlu diketahui faktor-faktor yang dapat menjadi prediktor terhadap kejadian AF pasca BPAK. Penelitian ini menilai interval elektromekanikal atrium yang diukur dengan menggunakan ekokardiografi Doppler jaringan dan dispersi interval elektromekanikal sebagai prediktor kejadian AF pasca BPAK. Metode. Seratus delapan pasien diambil secara konsekutif untuk studi potong lintang ini, mulai bulan Mei hingga September 2012 dari pasien penyakit jantung koroner yang menjalani operasi BPAK di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta. Pasien menjalani pemeriksaan ekokardiografi sebelum operasi BPAK. Dilakukan penilaian terhadap interval elektromekanikal dengan Doppler jaringan pada lateral atrium kiri serta dispersi interval interatrial. Pasien dimonitor selama perawatan terhadap kejadian AF.
Hasil. Dalam studi kami, 27 dari 108 (25%) pasien mengalami AF pasca operasi BPAK. Dari analisa terlihat perbedaan interval elektromekanikal di atrium kiri sebesar 18.04 ms dan terdapat perbedaan dispersi interval interatrial 10.25 ms antara kelompok pasien yang mengalami AF pasca BPAK dan yang tidak mengalami AF. Dari hasil analisa didapatkan nilai titik potong interval elektromekanikal di lateral atrium kiri sebesar 77,75 ms dan dispersi interval elektromekanikal sebesar 38,95 ms sebagai prediktor terhadap kejadian AF pasca BPAK.
Kesimpulan. Interval elektromekanikal pada lateral atrium kiri dan dispersi interval interatrial dengan menggunakan Doppler jaringan merupakan potensial prediktor terhadap kejadian AF pasca BPAK.

Background. Atrial fibrillation (AF) is the most common arrhythmia complication in patient undergone coronary artery bypass grafting (CABG) with the incidence of 20- 50% according to different studies. Although this complication is temporary but can be life threathening, and increased the number of mortality and morbidity. Thus, it is very important to identified factors that can predict the occurance of AF post CABG. This study use atrial electromechanical interval and interval dispertion measured by tissue Doppler echocardiography as predictor of AF post CABG.
Methods. One hundred and eight patients were included in this cross sectional study. Samples were taken consecutively from May to September 2012 among patients with coronary artery disease undergoing CABG at the National Cardiovascular Center Harapan Kita Jakarta. The patients underwent a preoperative transthoracic echocardiography with tissue Doppler evaluation. We measured the atrial electromechanical interval in the lateral of left atrium and interatrial interval dispertion. Patients was monitored thorugh out hospitalization for the occurance of AF.
Result. In our study, 27 out of 108 (25%) patients developed AF post CABG. There are 18.04 ms electromechanical interval difference in the lateral of left atrium and 10.25 ms interatrial dispersion difference between patients who suffer from post operative AF and non AF. From this study we have 77,75 ms as the cutoff point for interval electromechanical in the left atrium and 38.95 ms as the cutoff point for dispersion of interatrial interval as the predictor for AF post CABG.
Conclusion. The interval of Electromechanical in the lateral left atrium and interatrial interval dispersion using tissue dopper echocardiography are potensial predictor the occurrence of AF post CABG.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9   >>