Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 76 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pramudjo Abdulgani
"ABSTRAK
Dalam upaya meningkatkan sensitifitas dan spesifisitas hasil uji Iatih jantung dengan beban (ULJB ), beberapa peneliti menghitung kemiringan ST/laju jantung (LJ) maksimal ('maximal ST/HR slope'), yaitu nilai B dari persamaan Y = B (X - Xo). Y : depresi segmen ST, X = laju jantung dan Xo : laju jantung saat mulai akan
timbul depresi segmen ST. Tujuan penelitian ini yaitu meneliti peranan kemiringan ST/LJ maksimal (SLOPE) Serta meneliti adakah peranan Xo dalafn memprediksi berat penyakit jantung koroner(PJK). Penelitian bersifat prospektif pads 23 sukarelawan, yang diIakukan angiografi koroner dan ULJB di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, antara 1 Desembar 1988 sampai dengan 28 Februari
1989. Sebagian penderita dilakukan ULJB dengan metode Bruce (n=7), sedang sisanya dengan modifikasi Bruce (n=16). Semua penderita adalah laki-laki, berumur 38-55 (rata-rata 52, 1_+6,4) tahun. Dua pulun penderita dengan riwayat infark, 2 dengan angina pektoris dan 1 asimtomatis. Bila penderita minum obat (antagonis
kalsium, penghambat reseptor beta) pada saat ULJB, obat tidak dihentikan. Penghitungan SLOPE dilakukan menurut Cara Kligfield. Derajat iskemi miokard diukur menurut skor dari Green Land Hospital (GLH). Tiga penderita tidak dapat dihitung nilai SLOPEnya (13%). Ditemukan korelasi positif antara nilai SLOPE dengan skar GLH(r=0,83 : p<0,00001),yang dapat dinyatakan dengan persamaan :
skor GLH = 2,28 + 0,8 SLOPE. Rata-rata nilai SLOPE pada ke empat kelompok penderita (?normal', 1, 2, 3 penyakit pembuluh darah), berturut-turut adalah 1,04 _+ 0,63 uV/denyut/menit; 2,84 _+ 1,27
UV/denyut/menit; 5, 46 _+ 3,76 uV/denyut/menit; dan 10,62 _+ 2,60 UV/denyut/menit. Secara statistik perbedaan rata-rata dari ke 4 kelompok ini bermakna (p < 0,0005). Sedangkan nilai Xo tidak mempunyai korelasi dengan skor GLH.
Dari penelitian ini kami menyimpulkan bahwa nilai SLOPE
mempunyai nilai prediksi terhadap berat ringan PJK, sedangkan nilai Xo tidak."
1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hashfi Fauzan Raz
"Latar Belakang: Pasien dengan fraksi ejeksi (FE) rendah memiliki risiko apabila dilakukan BPAK dengan mesin PJP. Pengunaan mesin PJP memiliki risiko cedera miokard yang diakibatkan dari periode iskemia, reperfusi, dan inflamasi yang dapat mengakibatkan aritmia pascaoperasi. Aritmia pascaoperasi BPAK terjadi pada 5-40% dan meningkatkan mortalitas serta morbiditas. Glutamin merupakan asam amino yang memiliki efek anti inflamasi dengan menurunkan mediator inflamasi dan kerusakan oksidatif akibat radikal bebas sehingga menurunkan efek cedera miokard dan dihipotesiskan menurunkan kejadian aritmia pascaoperasi BPAK.
Metodologi: Penelitian ini kohort retrospektif pada pasien penyakit jantung koroner dengan FE rendah yang menjalani BPAK menggunakan mesin PJP. Subjek dibagi menjadi kelompok yang mendapat dan tidak mendapat glutamin intravena praoperasi. Luaran yang dinilai adalah kejadian aritmia pascaoperasi secara keseluruhan, arimita ventrikel dan supraventrikel pascaoperasi BPAK.
Hasil: Kejadian aritmia pascaoperasi lebh rendah secara bermakna pada kelompok yang mendapatkan glutamin intravena praoperasi, yaitu 16,7%dibandingkan 40% (p=0,045). Kejadian aritmia atrium pascaoperasi juga lebih rendah secara bermakna pada kelompok yang mendapat glutamin intravena praoperasi, yaitu 26,7% dibandingkan 73,3% (p=0,026), namun pada kejadian aritmia ventrikel pascaoperasi tidak ada perbedaan bermakna (p=0,74).
Kesimpulan: Pada pasien dengan fraksi ejeksi rendah yang menjalani BPAK menggunakan mesin PJP, pemberian glutamin intravena praoperasi dapat menurunkan angka kejadian aritmia pascaoperasi.

Background: Low ejection fraction (EF) increases the risk of morbidity and mortality in patients undergoing CABG. CABG with CPB induces myocardial injury caused from ischemia, reperfusion and inflammation, causing postoperative arrhythmias. Arrhyhtmias occur in 5-40% patients after CABG and increase postoperative mortality and morbidity. Glutamine is an amino acid that has antiinflammatory effect, decerasing inflammatory mediators and oxidative stress from free radicals. In turn, glutamin lower the effect of myocardial injury and hypothesized to lower postoperative arrhythmias after CABG.
Methods: This is a cohort retrospective study in patients with coronary artery disease with low EF undergoing CABG with CPB. The subjects were divided into two groups based on given or not given intravenous glutamin preoperative.The outcomes of the study is incidence of arrhythmias after CABG and the incidence of ventricular and supraventricular arrhythmias after CABG.
Results: The subjects in the intravenous glutamin group have lower incidence of postoperative arrhythmias compared to control (16.7% vs 40% respectively, p=0.045). Supraventricular arrhythmia incidence in intravenous glutamin group is also lower compard to control (26.7% vs 73.3% respectively, p=0,026). There are no significant differences of postoperative ventricular arrhythmias between two groups (p=0.74).
Conclussion: In patients with low EF undergoing CABG with CPB, intravenous glutamin administration can lower the incidence of postoperative arrhythmias.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Furqon
"Latar Belakang : Peningkatan kadar homosistein merupakan faktor risiko terjadinya aterosklerosis dan trombogenesis. Baik faktor genetik maupun lingkungan mempunyai pengaruh terhadap kadar plasma homosistein. Pada penelitian ini, kami meneliti gambaran dari homosistein pada populasi PJK di Jakarta dan Malang serta hubungannya dengan enzim MTHFR, Vit. B6, Vil. B12, dan asam folat.
Metode dan Hasil : Penelitian deskriptif ini melibatkan 30 pasien PJK di Jakarta dan 12 pasien di Malang. Subyek yang direkrut di Malang lebih muda, tetapi tidak ada perbedaan dalam jenis kelamin, 1MT, diabetes, dan merokok. Tidak ada perbedaan pada profil lipid diantara dua populasi. Subyek di Malang mempunyai kadar homosistein lebih tinggi (median 18 mmol/dL vs 9,1 mmol/dL; p < 0,001), kadar MTHFR yang lebih rendah (median 0,105 IU vs 0,157 IU; p = 0,019) kadar asam folat yang lebih rendah (median 7,1 vs 11,2 ng/mL; p = 0,005), kadar vit. B12 yang lebih rendah (median 273 ng/mL vs 429,5 ng/mL; p = 0,032). Tidak ada perbedaan pada kadar vit B6. Analisis dari hubungan menunjukkan hubungan yang terbalik antara homosistein dan pit. B12 (r = - 0,43, p = 0,004) dan asam folat (r = -0,39,p = 0,01).
Kesimpulan : Tidak ada perbedaan kadar homosistein, MTHFR, asam folat, dan vitamin B12 pada populasi PJK (Jakarta dan Malang). Terdapat hubungan yang terbalik antara homosistein dan vit. B12 serta asam folat.

Background : Increased homocysleine level is a risk factor for atherosclerosis and thrombogenesis_ Both genetic and environmental factors influence plasma level of homocysteine. In this study, we examine the distribution of homocysteine in population of CAD in Malang and Jakarta and the association between homocysteine, enzyme MTHFR, Vit. B6, Vii. B12, and folic acid.
Methods and Results : This is a descriptive study including 30 CAD patients in Jakarta and 12 in Malang. Subjects recruited in Malang is younger, but no difference in gender, BMI, smoking and diabetes. No difference in lipid profile between both populations. Subjects in Malang have higher level of homocysteine (median 18 mmol/dL vs 9.1 mmol/dL; p <0.001), lower level of MTHFR (median 0.105 IU vs 0.157 IU; p = 0.019), lower level of Folic acid (median 7.1 vs 11.2 ng/mL; p = 0.005), lower level of Vit. B12 (median 273 ng/mL vs 429.5 ng/mL; p = 0.032). There is no difference in level of Vit. B6. Analysis of association showed inverse relationship between homocysteine and vit B12(r - -0.43, p = 0.004) and folic acid (r = -0.39,p =0.01).
Conclusion : There is difference in level of homocysteine, MTHFR, folic acid and vii. B12 between populations coronary artery disease ( Jakarta and Malang). There is inverse relationship between homocysteine and vit B12 and folic acid."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T21433
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Made Indra Prasetya
"Latar belakang dan tujuan: Morbiditas dan mortalitas pascaCABG salah satunya dipengaruhi respon inflamasi oleh penggunaan mesin CPB. Di beberapa pusat, sering dilakukan pemberian kortikosteroid untuk menurunkan respon inflamasi. Terdapat berbagai uji klinis yang memberikan hasil yang masih kontroversial. Deksametason dipilih karena memiliki potensi efek glukokortikoid yang tinggi, tanpa efek mineralokortikoid, masa kerja yang panjang, relatif aman bagi pasien, serta mudah untuk didapat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah penggunaan deksametason lebih efektif untuk memperbaiki keluaran klinis dan mengendalikan penanda inflamasi jika dibandingkan plasebo pada pasien yang menjalani operasi CABG on pump.
Metode: Randomisasi 60 sampel menjadi grup deksametason (n=30) dan grup plasebo (n=30). Variabel dengan sebaran normal dilakukan analisis statistik independent t-test, sedangkan data dengan sebaran tidak normal dilakukan analisis statistik nonparametrik yaitu Mann-Whitney test. Analisis univariat antara dua kelompok studi akan dilakukan menggunakan uji fisher exact test.
Hasil: Uji statistik kejadian MACE dengan grup deksametason dibandingkan grup plasebo, didapatkan nilai RR 1,389 dengan CI 0,995-1,938 (p =0,045). Deksametason memiliki keunggulan yang dapat dilihat dari parameter durasi ventilasi mekanik (deksametason 7 (5-14) vs plasebo 10 (5-19), p <0,0001), lama rawat ICU (deksametason 16 (11-22) vs plasebo 18 (12-72), p =0,017), lama rawat rumah sakit (deksametason 5 (5-7) vs plasebo 6 (5-15), p = 0,005), penanda inflamasi IL-6 (deksametason 114 (32-310) vs plasebo 398 (72-1717), p <0,0001) dan PCT (deksametason 1,08 (0,31-3,8) vs plasebo 3,7 (1,06-11,4), p <0,0001).
Simpulan: Pemberian deksametason efektif memperbaiki keluaran klinis, dan mengendalikan penanda inflamasi pascaoperasi dibandingkan plasebo.

Background and purpose: Mortality and morbidity post CABG are affected by inflammatory response which are caused by usage of CPB machine. In some centre, corticosteroid are often used to reduce inflammatory response. There are various clinical trials that provide controversial results. Dexamethasone was chosen because it has a high potential for glucocorticoid effects, without mineralocorticoid effects, long working period, relatively safe for patients, and easy to obtain. This study aims to determine whether the use of dexamethasone is more effective in improving clinical outcomes and controlling inflammatory markers when compared to placebo in patients undergoing on pump CABG.
Methods: 60 sample are randomized into dexamethasone group (n=30) and placebo group (n=30). Variables with normal distribution were carried out independent t-test statistical analysis, whereas data with abnormal distribution were analyzed using nonparametric statistics, namely Mann-Whitney test. Univariate analysis between the two study groups will be conducted using the fisher exact test.
Result: The incidence of MACE with the dexamethasone group compared to the placebo group was obtained RR 1,389 with CI 0,995-1,938 (p =0,045). Dexamethasone has advantages that can be seen from the parameters of duration of mechanical ventilation (dexamethasone 7 (5-14) vs placebo 10 (5-19), p <0,0001). ICU stay (dexamethasone 16 (11-22) vs placebo 18 (12-72), p =0,017), hospital stay (dexamethasone 5 (5-7) vs placebo 6 (5-15), p = 0,005), IL-6 (dexamethasone 114 (32-310) vs placebo 398 (72-1717), p <0,0001) and PCT (dexamethasone 1,08 (0,31-3,8) vs placebo 3,7 (1,06-11,4), p <0,0001).
Conclusion: The administration of dexamethasone improves clinical output, and managed to controls post operative inflammatory marker more effectively compared to placebo.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hafiz Aini
"Latar Belakang: Derajat kompleksitas lesi koroner yang berat merupakan prediktor mortalitas dan Major Adverse Cardiovascular Event (MACE) serta penentuan revaskularisasi pada penyakit jantung koroner (PJK). Fragmented QRS (fQRS) dinilai sebagai penanda iskemia atau cedera miokardium PJK. Hubungan fQRS dan derajat kompleksitas lesi koroner perlu diteliti lebih lanjut pada pasien PJK di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui hubungan fQRS dan derajat kompleksitas lesi koroner pada pasien penyakit jantung koroner.
Metode: Penelitian potong lintang di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, mengambil data sekunder pada 172 pasien jantung koroner yang menjalani percutaneous coronary intervention (PCI) di Cath Lab pada bulan Januari-Juni 2018 secara total sampling. Pasien dibagi berdasarkan adanya tidaknya fQRS. Data demografi, klinis, dan deajat kompleksitas (skor Gensini) diteliti. Hubungan antara adanya fQRS dan derajat kompleksitas lesi koroner dianalisis dengan uji kesesuaian.
Hasil: Sembilan puluh empat (54,6%) subjek terdapat gambaran fQRS. Pada analisis didapatkan hubungan antara fQRS dengan kategori skor Gensini ringan-sedang dan ringan-berat dengan kesesuaian baik (kappa 0,721 dan 0,820; p <0,001). Hubungan dengan kesesuaian yang baik juga didapatkan antara fQRS dan PJK signifikan (kappa 0,670; p <0,001) serta fQRS dan PJK multivessel (kappa 0,787; p <0,001).
Simpulan: Terdapat hubungan fragmented QRS complexes dan derajat kompleksitas lesi koroner pada pasien penyakit jantung koroner.

Background. The severity of coronary artery lesion is used as a predictor of mortality, major adverse cardiovascular event, and revascularization in coronary artery disease (CAD). Fragmented QRS complex (fQRS) as a novel marker of myocardial ischemia/scar in patients with coronary artery disease. The relationship between the two in Indonesia should be studied further.
Purpose. To determine the relationship between fQRS and the severity of coronary lesion in coronary artery disease.
Methods. A cross sectional study was conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital. Secondary data were taken from 172 patients with CAD who underwent percutaneous coronary intervention (PCI) from January-June 2018 with total sampling. Patients were divided based on the existence of fQRS. Demographic, clinical, and severity of coronary artery lesion (Gensini score) characteristics were studied. Data were analysed using Cohens kappa agreement test.
Results. fQRS was present in 94 subjects (54.6%). Bivariate analysis showed a significant difference between fQRS with mild-moderate Gensini score as well as mild-severe Gensini score (kappa 0,721 and 0,820; p<0,001), fQRS with significant CAD (kappa 0.670; p<0,001), and fQRS with multivessel CAD (kappa 0.787; p<0,001).
Conclusion. There is a significant relationship between fQRS and the degree of severity of coronary lesion in coronary artery disease patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
I Made Indra Prasetya
"Latar belakang dan tujuan: Morbiditas dan mortalitas pascaCABG salah satunya dipengaruhi respon inflamasi oleh penggunaan mesin CPB. Di beberapa pusat, sering dilakukan pemberian kortikosteroid untuk menurunkan respon inflamasi. Terdapat berbagai uji klinis yang memberikan hasil yang masih kontroversial. Deksametason dipilih karena memiliki potensi efek glukokortikoid yang tinggi, tanpa efek mineralokortikoid, masa kerja yang panjang, relatif aman bagi pasien, serta mudah untuk didapat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah penggunaan deksametason lebih efektif untuk memperbaiki keluaran klinis dan mengendalikan penanda inflamasi jika dibandingkan plasebo pada pasien yang menjalani operasi CABG on pump.
Metode: Randomisasi 60 sampel menjadi grup deksametason (n=30) dan grup plasebo (n=30). Variabel dengan sebaran normal dilakukan analisis statistik independent t-test, sedangkan data dengan sebaran tidak normal dilakukan analisis statistik nonparametrik yaitu Mann-Whitney test. Analisis univariat antara dua kelompok studi akan dilakukan menggunakan uji fisher exact test.
Hasil: Uji statistik kejadian MACE dengan grup deksametason dibandingkan grup plasebo, didapatkan nilai RR 1,389 dengan CI 0,995-1,938 (p =0,045). Deksametason memiliki keunggulan yang dapat dilihat dari parameter durasi ventilasi mekanik (deksametason 7 (5-14) vs plasebo 10 (5-19), p <0,0001), lama rawat ICU (deksametason 16 (11-22) vs plasebo 18 (12-72), p =0,017), lama rawat rumah sakit (deksametason 5 (5-7) vs plasebo 6 (5-15), p = 0,005), penanda inflamasi IL-6 (deksametason 114 (32-310) vs plasebo 398 (72-1717), p <0,0001) dan PCT (deksametason 1,08 (0,31-3,8) vs plasebo 3,7 (1,06-11,4), p <0,0001).
Simpulan: Pemberian deksametason efektif memperbaiki keluaran klinis, dan mengendalikan penanda inflamasi pascaoperasi dibandingkan plasebo.

Background and purpose: Mortality and morbidity post CABG are affected by inflammatory response which are caused by usage of CPB machine. In some centre, corticosteroid are often used to reduce inflammatory response. There are various clinical trials that provide controversial results. Dexamethasone was chosen because it has a high potential for glucocorticoid effects, without mineralocorticoid effects, long working period, relatively safe for patients, and easy to obtain. This study aims to determine whether the use of dexamethasone is more effective in improving clinical outcomes and controlling inflammatory markers when compared to placebo in patients undergoing on pump CABG.
Methods: 60 sample are randomized into dexamethasone group (n=30) and placebo group (n=30). Variables with normal distribution were carried out independent t-test statistical analysis, whereas data with abnormal distribution were analyzed using nonparametric statistics, namely Mann-Whitney test. Univariate analysis between the two study groups will be conducted using the fisher exact test.
Result: The incidence of MACE with the dexamethasone group compared to the placebo group was obtained RR 1,389 with CI 0,995-1,938 (p =0,045). Dexamethasone has advantages that can be seen from the parameters of duration of mechanical ventilation (dexamethasone 7 (5-14) vs placebo 10 (5-19), p <0,0001). ICU stay (dexamethasone 16 (11-22) vs placebo 18 (12-72), p =0,017), hospital stay (dexamethasone 5 (5-7) vs placebo 6 (5-15), p = 0,005), IL-6 (dexamethasone 114 (32-310) vs placebo 398 (72-1717), p <0,0001) and PCT (dexamethasone 1,08 (0,31-3,8) vs placebo 3,7 (1,06-11,4), p <0,0001).
Conclusion: The administration of dexamethasone improves clinical output, and managed to controls post operative inflammatory marker more effectively compared to placebo.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Komang Adhi Parama Harta
"Latar belakang: Berdasarkan pilot study di divisi Bedah Jantung Dewasa Rumah Sakit Pusat Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, SIRS lebih sering terjadi pada OPCAB dibandingkan dengan on-pump CABG, 67% vs 33% (30 sampel, 2017). Berangkat dari hal tersebut, peneliti melakukan uji klinis memberikan deksametason pada pasien yang menjalani operasi OPCAB. Metode: Pengumpulan sampel dilakukan secara konsekutif di divisi Bedah Jantung Dewasa Rumah Sakit Pusat Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita antara Agustus 2018 - Januari 2019. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dirandomisasi menjadi grup deksametason (n=30) dan grup plasebo (n=30). Intervensi deksametason intravena dosis 1 mg/KgBB (maksimal 100 mg) atau plasebo menggunakan normal salin (NaCl 0,9%). Analisis statistik digunakan independent t-test, Mann-Whitney test, fisher exact test dan AUC. Hasil: Insiden MACE pada grup deksametason dibandingkan grup plasebo (RR 0,385, CI 95%: 0,157-0,945, p = 0,024). Keluaran klinis lebih baik ditemukan pada grup deksametason dibandingkan grup plasebo untuk durasi ventilasi mekanik (6 (5-16) jam vs 8 (5-72) jam, p = 0,029), lama rawat ICU (17,5 (12-32) jam vs 19 (13-168) jam, p = 0,028), lama rawat rumah sakit (5 (5-8) hari vs 6,5 (5-30) hari, p = 0,04) dan VIS (0 (0-15) vs 5 (0-100), p = 0,045). Hasil penanda inflamasi, terdapat perbedaan rata-rata yang bermakna antara grup deksametason dibandingkan grup plasebo pada IL-6 (217,4 pg/mL, CI 95%: 107,9-326,8, p = 0,0001), PCT (3,41 µg/L, CI 95%: 2,1-4,71, p = 0,0001) dan CRP (52,3 mg/L, CI 95%: 28.8-75,8, p = 0,0001). Pada analisis AUC terdapat hubungan signifikan antara penanda inflamasi dengan insiden MACE pada IL-6 (AUC 0,728, CI 95%: 0,585-0,871, p = 0,005) dan PCT (AUC 0,723, CI 95%: 0,578-0,868, p = 0,007). Kesimpulan: Pemberian deksametason praoperasi OPCAB, efektif memperbaiki keluaran klinis dan mengendalikan reaksi inflamasi pascaoperasi dibandingkan plasebo.

Background: Based on a pilot study in the Adult Heart Surgery division of Harapan Kita Heart and Vascular Center Hospital, SIRS is more common in OPCAB compared to on-pump CABG, 67% vs 33% (30 samples, 2017). Based from this result, this research conducted a clinical trial to provide dexamethasone in patients undergoing OPCAB surgery. Methods: Samples were collected consecutively in the Adult Heart Surgery division of Harapan Kita Heart and Vascular Center Hospital between August 2018 - January 2019. Samples that fulfill inclusion and exclusion criteria were randomized to dexamethasone group (n=30) and placebo group (n=30). Intervention using intravenous dexamethasone dose of 1 mg/KgBB (maximum 100 mg) or placebo using normal saline (0.9% NaCl). Statistical analysis were used independent t-test, Mann-Whitney test, fisher exact test and AUC. Results: MACE incidence in dexamethasone group compared to placebo group (RR 0.385, 95% CI: 0.157-0.945, p = 0.024). Clinical output of dexamethasone group was better than placebo group in duration of mechanical ventilation (6 (5-16) hours vs 8 (5-72 ) hours, p = 0.029), ICU length of stay (17.5 (12-32) hours vs 19 (13-168) hours, p = 0.028), hospital length of stay (5 (5-8) days vs 6.5 (5-30) days, p = 0.04) and VIS (0 (0-15) vs 5 (0-100), p = 0.045). As a result of the inflammatory markers, there was a significant average difference between dexamethasone group compared to the placebo group in IL-6 (217.4 pg/mL, 95% CI: 107.9-326.8, p = 0,0001), PCT ( 3.41 µg/L, 95% CI: 2.1-4.71, p = 0.0001) and CRP (52.3 mg/L, 95% CI: 28.8-75.8, p = 0.0001 ) In the AUC analysis there was a significant association between inflammatory markers with the incidence of MACE in IL-6 (AUC 0.728, 95% CI: 0.585-0.871, p = 0.005) and PCT (AUC 0.723, 95% CI: 0.578-0.868, p = 0.007). Conclusion: Preoperative dexamethasone OPCAB is effective to improving clinical output and controlling postoperative inflammatory reactions compared to placebo."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ignatius Yansen Ng
"Latar Belakang. Fibrilasi atrium (AF) adalah komplikasi aritmia yang paling sering ditemukan pada pasien yang menjalani operasi bedah pintas arteri koroner (BPAK) dengan insidens yang bervariasi antara 20-50%. Walaupun diketahui sebagai gangguan yang bersifat sementara, namun AF pasca operasi dapat mengancam jiwa serta dikaitkan juga dengan peningkatan angka kesakitan dan kematian yang bermakna, sehingga perlu diketahui faktor-faktor yang dapat menjadi prediktor terhadap kejadian AF pasca BPAK. Penelitian ini menilai interval elektromekanikal atrium yang diukur dengan menggunakan ekokardiografi Doppler jaringan dan dispersi interval elektromekanikal sebagai prediktor kejadian AF pasca BPAK. Metode. Seratus delapan pasien diambil secara konsekutif untuk studi potong lintang ini, mulai bulan Mei hingga September 2012 dari pasien penyakit jantung koroner yang menjalani operasi BPAK di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta. Pasien menjalani pemeriksaan ekokardiografi sebelum operasi BPAK. Dilakukan penilaian terhadap interval elektromekanikal dengan Doppler jaringan pada lateral atrium kiri serta dispersi interval interatrial. Pasien dimonitor selama perawatan terhadap kejadian AF.
Hasil. Dalam studi kami, 27 dari 108 (25%) pasien mengalami AF pasca operasi BPAK. Dari analisa terlihat perbedaan interval elektromekanikal di atrium kiri sebesar 18.04 ms dan terdapat perbedaan dispersi interval interatrial 10.25 ms antara kelompok pasien yang mengalami AF pasca BPAK dan yang tidak mengalami AF. Dari hasil analisa didapatkan nilai titik potong interval elektromekanikal di lateral atrium kiri sebesar 77,75 ms dan dispersi interval elektromekanikal sebesar 38,95 ms sebagai prediktor terhadap kejadian AF pasca BPAK.
Kesimpulan. Interval elektromekanikal pada lateral atrium kiri dan dispersi interval interatrial dengan menggunakan Doppler jaringan merupakan potensial prediktor terhadap kejadian AF pasca BPAK.

Background. Atrial fibrillation (AF) is the most common arrhythmia complication in patient undergone coronary artery bypass grafting (CABG) with the incidence of 20- 50% according to different studies. Although this complication is temporary but can be life threathening, and increased the number of mortality and morbidity. Thus, it is very important to identified factors that can predict the occurance of AF post CABG. This study use atrial electromechanical interval and interval dispertion measured by tissue Doppler echocardiography as predictor of AF post CABG.
Methods. One hundred and eight patients were included in this cross sectional study. Samples were taken consecutively from May to September 2012 among patients with coronary artery disease undergoing CABG at the National Cardiovascular Center Harapan Kita Jakarta. The patients underwent a preoperative transthoracic echocardiography with tissue Doppler evaluation. We measured the atrial electromechanical interval in the lateral of left atrium and interatrial interval dispertion. Patients was monitored thorugh out hospitalization for the occurance of AF.
Result. In our study, 27 out of 108 (25%) patients developed AF post CABG. There are 18.04 ms electromechanical interval difference in the lateral of left atrium and 10.25 ms interatrial dispersion difference between patients who suffer from post operative AF and non AF. From this study we have 77,75 ms as the cutoff point for interval electromechanical in the left atrium and 38.95 ms as the cutoff point for dispersion of interatrial interval as the predictor for AF post CABG.
Conclusion. The interval of Electromechanical in the lateral left atrium and interatrial interval dispersion using tissue dopper echocardiography are potensial predictor the occurrence of AF post CABG.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rondonuwu, Rolly Harvie Stevan
"Penerapan asuhan keperawatan pada pasien dengan post operasi CABG, penulis menggunakan pendekatan teori keperawatan Model Sistem Neuman. Neuman memandang manusia atau klien secara keseluruhan (holistic) yang terdiri dari faktor fisiologis, psikologis, sosial budaya, faktor perkembangan, dan faktor spiritual. Sebagai perawat spesialis KMB harus menjalankan peran sebagai pemberi asuhan keperawatan, pendidik, peneliti, dan sebagai innovator. Teori MSN diterapkan pada 30 kasus resume yaitu kasus STEMI, NSTEMI ,ACS, CHF, Post CABG. Peran perawat spesialis sebagai pemberi asuhan keperawatan dilaksanankan pada pasien post CABG. Peran sebagai peneliti dilakukan dengan melaksanakan penilaian status fungsional pasien gagal jantung dengan menggunakan Bathel Index.Sebagai inovator penulis berperan melakukan inovasi pembuatan format bedside handover di GP2 lantai 3 RSPJNHK Jakarta. Dalam praktik pelayanan keperawatan, penggunaan model teori keperawatan ini akan membantu perawat dalam mendefinisikan area penilaian stressor dari pasien dan memberikan pedoman untuk menentukan standar pencapaian hasil yang sesuai. Model dapat digunakan dalam pendidikan keperawatan, riset, administrasi dan secara langsung dapat digunakan dipelayanan keperawatan. Penulis selama menerapkan teori MSN dalam asuhan keperawatan menerapkan prinsip legal, etik, dan humanistic.

Application of nursing care in patients with post-CABG surgery, the authors use a theoretical approach to nursing Neuman Systems Model. Neuman saw man or a client as a whole (holistic) which consists of physiological factors, psychological, sociocultural, developmental, and spiritual factors. As a specialist nurse KMB should run nursing role as caregiver, educator, researcher, and as an innovator. MSN theory applied to 30 cases a resume that is the case STEMI, NSTEMI, ACS, CHF, Post CABG. Nurse specialist role as provider of nursing care for patients post-CABG dilaksanankan. Role as a researcher was to carry out the assessment of functional status in heart failure patients using Barthel Index author innovator role innovation formatting bedside handover on the 3rd floor GP2 RSPJNHK Jakarta. In practice nursing services, the use of this model of nursing theory will assist nurses in the area defining stressor assessment of patients and provides guidelines to determine the appropriate standard of achievement results. Models can be used in nursing education, research, administration and can be used directly nursing. Authors for applying the theory of MSN in nursing to apply the principle of legal, ethical, and humanistic.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
TA5993
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan Maulana
"Karya Ilmiah Akhir ini merupakan analisis dari rangkaian kegiatan praktik residensi Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah, dengan penerapan model Konservasi Myra E. Levine pada proses keperawatan pasien gangguan sistem kardiovaskular, penerapan praktik keperawatan berdasarkan pembuktian, dan melakukan inovasi keperawatan. Pengkajian pasien pada model konservasi Levine berfokus kepada keseimbangan sumber dan energi, integritas struktural, integritas personal, integritas sosial serta lingkungan internal dan lingkungan eksternal yang mempengaruhi kondisi pasien. Trophicognosis yang paling sering dialami pasien adalah penurunan curah jantung, nyeri, pola nafas tidak efektif dan ansietas. Intervensi keperawatan diberikan untuk meningkatkan adaptasi dan mempertahankan wholeness agar tercapai konservasi. Pelaksanaan praktik keperawatan berdasarkan pembuktian, dilakukan untuk memanajemen nyeri pada pasien post CABG. Intervensi dilakukan dengan memberikan terapi massage selama 20 menit. Pelaksanaan inovasi keperawatan berupa penyusunan formulir penilaian dan intervensi risiko jatuh.

The final paper is an analysis of medical surgical nursing practice specialist with the application Myra E. Levine’s Concervation Model on nursing process with cardiovascular disorder, the implementation of nursing practice based on evidence, and the implementation of nursing innovation. Patient assessment based on Levine's Concervation Model focused on energy and resources balance, structural integrity, personal integrity, social integrity, internal and external environment. While the trophicognosis that mostly found was decreased cardiac output, pain, ineffective breathing pattern and anxiety. The nursing intervention was intended to promote adaptation and maintain wholeness to achieve conservation. The implementation of evidence based nursing practice was pain management after bypass surgery. The nursing innovation was create of fall risk assessment and intervention.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
TA6002
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8   >>