Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Frans J. Rengka
"ABSTRAK
Lembaga Bantuan Hukum yang dikenal sekarang di Indonesia merupakan hal baru. Karena dalam sistem hukum tradisional lembaga seperti itu tidak dikenal. Dia baru dikenal semenjak Indonesia memberlakukan sistem hukum Barat yang bermula pada tahun 1848, ketika di negeri Belanda terjadi perubahan besar dalam sejarah hukumnya.
Berdasarkan asas konkordansi, maka dengan Firman Raja tanggal 16 Mei 1848 No. 1 perundang-undangan baru di Negeri Belanda tersebut juga diberlakukan untuk Indonesia, antara lain peraturan tentang susunan kehakiman dan kebijaksanaan peradilan (Reglement op de Rechterlijke Organisatie et het Beleid der Justitie) yang lazim disingkat dengan R.O.
Karena dalam peraturan baru itu diatur untuk pertama kali lembaga advokat, maka dapat diperkirakan bahwa pada saat itu untuk pertama kali Lembaga Bantuan Hukum dalam arti formal mulai dikenal di Indonesia. Tetapi nampaknya peranan Lembaga Bantuan Hukum pada masa itu, kurang begitu dirasakan oleh karena jumlah para advokat yang bergerak di bidang bantuan hukum masih terbilang sedikit.
Begitu pula pada masa pendudukan Jepang, belum ada tanda tanda kemajuan. Meskipun R.O. peninggalan Belanda masih diberlakukan, namun kondisi dan situasi pada saat itu sangat tidak memungkinkan untuk pengembangan program bantuan hukum secara baik. Karena pusat perhatian kita pada waktu itu adalah menitikberatkan pada usaha-usaha mempertahankan kemerdekaan baik secara fisik maupun secara politis.
Setelah tahun 1950 hingga pertengahan tahun 1959 yaitu saat Soekarno mengambil oper kekuasaan.dengan menggantikan konstitusi, pluralisme hukum di bidang peradilan dihapuskan sehingga hanya ada satu sistem peradilan untuk seluruh penduduk (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung). Demikian pula hanya berlaku satu hukum acara bagi seluruh penduduk, akan tetapi peradilan yang dipilih bukan Raad van Justitie melainkan Landraad hukum acaranya bukan Rechtsvorderjng, melainkan HIR.
Hal ini membawa konsekuensi bahwa banyak ketentuan-ketentuan hukum yang menjamin bantuan hukum yang berlaku bagi orang Eropa tidak ikut diwarisi ke dalam perundang-undangan yang berlaku setelah kemerdekaan. Dengan lain perkataan yang berlaku sejak tahun 1950 hingga saat ini adalah sistem peradilan dan peraturan hukum acara dari zaman kolonial khusus bagi bangsa Indonesia yang justru sangat miskin menjamin ketentuan-ketentuan mengenai bantuan hukum.
Selain itu, pada masa ini campur tangan eksekutif begitu besar di bidang peradilan, sehingga banyak hakim berorientasi kepada pemerintah karena tekanan yang dalam praktik dimanifestasikan dalam bentuk setiap putusan dimusyawarahkan dulu dengan kejaksaan. Akibatnya, tidak ada lagi kebebasan bagi para hakim untuk memutuskan sesuatu perkara secara tidak memihak. Lebih jauh lagi wibawa pengadilan jatuh dan harapan serta kepercayaan pada bantuan hukum hilang. Pada masa inilah bantuan hukum yang diemban oleh profesi advokat Indonesia mengalami kemerosotan yang luar biasa jika tidak dikatakan hancur sama sekali. Pada saat ini pula banyak advokat meninggalkan profesinya, karena merasa mereka tak berperanan lagi, karena kebanyakan orang yang berperkara lebih suka meminta pertolongan kepada jaksa, hakim untuk menyelesaikan perkaranya.
Campur tangan kekuasaan eksekutif kepada pengadilan mencapai puncaknya dengan diundangkannya Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, yaitu UU No. 19 Tahun 1964. Dalam Undang-Undang tersebut dimuat ketentuan-ketentuan yang bertentangan secara diametral dengan asas-asas dalam negara hukum atau "rule of law". Sejak itu boleh dikatakan peranan advokat menjadi lumpuh dan bantuan hukum menjadi tidak ada artinya sama sekali meskipun hukum acara tidak mengalami perubahan apa-apa. Periode ini oleh Buyung dikatakan periode paling pahit bagi sejarah bantuan hukum Indonesia."
1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heriyanto Citra Buana
"Penelitian tesis ini difokuskan pada penilaian penyalahgunaan kewenangan serta penerapan Doktrin Corporate Law dalam menganalisis kasus Badan Usaha Milik Negara. Bentuk peneliitian yang digunakan adalah yuridis-normatif dan menggunakan tipologi penelitian eksplanatoris. Hasil penelitiannya adalah dalam menjalankan Perusahaan Direktur Badan Usaha Milik Negara telah terikat dalam berbagai aturan melalui Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas juga diatur dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara. Direksi dalam menjalankan pengurusan di Perseroan wajib melaksanakan dengan penuh itikad baik dan tanggung jawab sesuai tujuan Perseroan. Doktrin-Doktrin Corporate Law telah memberikan pengaturan yang menjadi kewajiban dan larangan atas kepengurusan Perseroan. Penyimpangan terhadap penerapan Doktrin Corporate Law dalam Perseoan BUMN menjadi parameter dalam menentukan kesalahan Direksi yang bisa diukur dari, Doktrin Fiduciary duty, Doktrin businnes judgment rule, Doktrin ultra vires dan Doktrin Piercing the Corporate Veil. Disamping itu juga bahwa perlu diperjelas kedudukan dan status kekayaan BUMN itu terpisah dari kekayaan Negara dalam UU yang terkait satu dengan yang lain, kemudian penilaian atas kerugian harus dilakukan seproposional mungkin guna menghindari disorder of law dan memastika keadilan bisa tercapai sesuai dengan yang semestinya serta penting kedepanya doktrin-doktrin tersebut harus diperkuat dan diadopsi dalam setiap sendi-sendi aturan hukum Negara untuk dijadikan dasar paradigmatik untuk menyelesaikan persoalan dalam pengelolaan perusahaan
......This thesis research is focused on the assessment of abuse of authority and the application of Corporate Law Doctrine in analyzing the case of State-Owned Enterprises. The form of research used is juridical-normative and uses an explanatory research typology. The result of the research is that in running the Company the Director of State-Owned Enterprises has been bound by various rules through Law no. 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies is also regulated in Law no. 19 of 2003 concerning State-Owned Enterprises. The Board of Directors in carrying out management in the Company is required to carry out in full good faith and responsibility in accordance with the objectives of the Company. The doctrines of Corporate Law have provided regulations that are obligations and prohibitions on the management of the Company. Deviations from the application of the Corporate Law Doctrine in SOEs are a parameter in determining the errors of the Board of Directors which can be measured from the Fiduciary dutyDoctrine, the Business Judgment Rule Doctrine, Ultra Vires Doctrine and the Piercing the Corporate Veil Doctrine. Besides that, it is also necessary to clarify the position and status of BUMN assets separately from state assets in laws that are related to one another, then an assessment of losses must be carried out as proportionally as possible in order to avoid disorder of law and ensure justice can be achieved in accordance with what should be and is important in the future. these doctrines must be strengthened and adopted in every joint of the rule of state law to be used as a paradigmatic basis for solving problems in company management"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kolvenbach, Walter
Deventer: Kluwer, 1979
346.06 KOL c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library