Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Annisa Oktaviani
"Viktimisasi Sekunder merupakan suatu proses dimana korban mengalami kembali proses menjadi korban ketika bersentuhan dengan sistem peradilan pidana (formal) dan masyarakat (informal). Penulisan ini bertujuan untuk melihat pengalaman viktimisasi sekunder perempuan korban perkosaan, dampaknya terhadap korban, dan bagaimana viktimisasi sekunder tersebut bisa terjadi, yang direpresentasikan dalam serial Netflix Unbelievable. Penulisan ini menggunakan teori feminis radikal dan metode analisis isi kualitatif dalam menganalisis serial tersebut yang terdiri dari 8 episode. Hasil analisis menunjukkan bahwa perempuan korban perkosaan telah mengalami pengalaman buruk seperti dieksklusikan dari hukum, diragukan dan dipertanyakan kredibilitasnya, tidak dipercaya, direndahkan, diintimidasi, diancam, dan dipaksa mengakui bahwa ia berbohong. Pengalaman tersebut merupakan bentuk dari viktimisasi sekunder yang kemudian membuat korban mengalami berbagai dampak negatif dalam hal psikologis, relasional, dan finansial. Viktimisasi sekunder yang dialami korban terjadi karena adanya penerimaan rape myth yang menganggap perempuan berbohong terkait perkosaan yang dialaminya (she lied). Hasil analisis juga menunjukkan bahwa serial ini telah mematahkan rape myth lainnya yang meliputi perempuan ingin diperkosa dan menikmatinya (she enjoy rape); dan perempuan memprovokasi perkosaan melalui pakaian dan perilaku mereka (she asked to be raped). Pada akhirnya, analisis juga menunjukkan bahwa akar dari segala penderitaan perempuan korban perkosaan adalah patriarki yang sudah melembaga dalam setiap aspek kehidupan.

Secondary Victimization is a process where victims experience the process of being victims again when they come into contact with the criminal justice system (formal) and society (informal). This writing aims to look at the experience of secondary victimization of rape victims, their impact on victims, and how this secondary victimization can occur, which is represented in the Netflix series Unbelievable. This writing uses radical feminist theory and qualitative content analysis methods in analyzing the series which consists of 8 episodes. The results of the analysis show that women victims of rape have experienced bad experiences such as being excluded from the law, doubting and having their credibility questioned, distrusted, humiliated, intimidated, threatened, and forced to admit that they lied. This experience is a form of secondary victimization which then makes the victim experience various negative impacts in terms of psychological, relational, and financial. The secondary victimization experienced by the victim occurs because of the acceptance of the rape myth which assumes that women lied about the rape they experienced. The results of the analysis also show that this series has broken other rape myths which include women enjoying rape; and women asked to be raped. In the end, the analysis also shows that the root of all the suffering of women victims of rape is patriarchy which has been institutionalized in every aspect of life."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yosefin Mulyaningtyas
"ABSTRAK
Kekerasan dalam ranah personal, khususnya kekerasan seksual dalam rumah tangga menunjukkan angka yang sangat tinggi di Indonesia. Guna menjawab pertanyaan mengenai perlindungan hukum bagi korban viktimisasi berganda pada kasus kekerasan seksual dalam rumah tangga serta bagaimana menanggulangi kendala penegakan hukum kasus tersebut, penelitian normatif ini dilakukan dengan cara menganalisis putusan pengadilan, kemudian dilengkapi dengan wawancara dengan pihak LBH Apik dan Komnas Perempuan yang mendampingi korban, lalu dilengkapi dengan perbandingan hukum di Thailand dan Filipina. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari semua jenis kekerasan, kekerasan seksual dalam rumah tangga yang memberikan penderitaan paling banyak bagi korban, yaitu penderitaan fisik dan psikis. Terlebih lagi, korban biasanya mengalami kekerasan seksual disertai atau tidak disertai dengan jenis kekerasan lainnya dalam rumah tangga lebih dari satu kali hingga ada yang bertahun-tahun. Ironisnya, korban yang mengalami viktimisasi berganda ini pada kenyataannya kurang mendapat perlindungan dan penegakan hukum. Anggota keluarga lainnya maupun masyarakat seringkali malah menutupi tindak pidana tersebut, serta hukum pidana yang ada kurang memihak korban. Kondisi demikian dapat dijumpai dalam praktik pengadilan di Indonesia, dan kondisi serupa juga ternyata terjadi di Thailand dan Filipina. Sehingga oleh karena kondisi yang sangat memprihatinkan tersebut, perlu dilakukan perubahan stigma korban dan masyarakat menjadi lebih baik, serta memperbaiki penegakan hukum yang kurang berpihak pada korban.

ABSTRACT
Violence in the personal space especially sexual violence in the household shows a very high incidence rate in Indonesia. In order to answer the question of legal protection for victims of multiple victimization in cases of sexual domestic violence and how to overcoming obstacles of law enforcement, this normative juridical research was conducted by analyzing the court decision, and interview with LBH Apik and Komnas Perempuan who help the victim directly, then complemented by a comparison of the laws of Thailand and the Philippines. The results show that of all types of violence, domestic violence is the one that gives the most suffering to the victims, namely physical and psychological suffering. Moreover, victims are usually subjected to sexual violence accompanied or not accompanied by other types of violence in households more than once until there are many years. Ironically, the victim who suffered from multiple victimization is in fact under the protection and law enforcement. Other family members and the community often even cover up the crime, and the criminal law that is inadequate to the victim. Such conditions can be found in Indonesian courts, and similar circumstances also occur in Thailand and the Philippines. Therefore, due to the very poor condition, it is necessary to change the stigma of victims and society better, and to improve law enforcement that is less favorable to the victims."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yashinta Fara Kaniaratri
"Non-consensual Distribution of Intimate Images (NCDII) adalah jenis kasus kekerasan berbasis gender siber yang paling banyak terjadi, namun hanya sedikit sekali perempuan penyintas yang melaporkan viktimisasinya kepada polisi. Bahkan, melaporkan viktimisasinya kepada polisi menjadi pilihan terakhir bagi perempuan penyintas. Tulisan ini bertujuan untuk melihat reaksi non-formal dari perempuan korban/penyintas, maupun perempuan yang bukan merupakan korban/penyintas, terhadap viktimisasi sekunder yang dialami oleh perempuan saat melaporkan viktimisasinya kepada polisi. Tulisan ini berada di bawah naungan teori feminis radikal, dan menggunakan metode analisis isi kualitatif untuk mengkaji berita dan cuitan yang berisi opini perempuan terkait penanganan kasus NCDII oleh polisi. Hasil analisis menunjukkan bahwa kepolisian adalah institusi yang tidak ideal bagi perempuan penyintas karena kepolisian adalah salah satu agen yang bertugas untuk melanggengkan patriarki. Perempuan yang mendapat perlakuan buruk dari polisi akan menceritakan pengalamannya melalui media online dan narasi ini kemudian mendorong terbentuknya digital feminist activism di kalangan perempuan untuk menentang perilaku polisi.

Non-consensual Distribution of Intimate Images (NCDII) is the most common type of cyber gender-based violence, yet only a few numbers of women survivors report their victimization to the police. In fact, reporting their victimization to the police is the last option for women survivors. This paper aims to examine the non-formal reaction of women victims/survivors, as well as women who are not victims/survivors, to the secondary victimization that experienced by women who reported their victimization to the police. This paper is written under the radical feminist theory framework, and uses qualitative content analysis method to examine news and tweets that contains women's opinions regarding the handling of NCDII cases by the police. The results of the analysis show that the police is not an ideal institution for female survivors because the police is one of the agents that’s in charge of perpetuating patriarchal ideology. Women who have been mistreated by the police will share their stories through online media and this narrative then encourage the formation of digital feminist activism among women to oppose police behavior."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Zimring, Franklin E.
St. Paul: Thomson/West, 2007
345 ZIM c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library