Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 336 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wagimin Wirawijaya
Abstrak :
Penelitian mengenai Perlakuan Terhadap Tersangka Pelaku Pencurian dengan Kekerasan Selama Proses Pemeriksaan di Pokes Metro Jakarta Selatan, bertujuan menunjukkan tentang perlakuan para penyidik terhadap para tersangka khususnya pelaku pencurian dengan kekerasan selama dalam proses pemeriksaan. Adapun perrnasalahan yang diteliti adalah (1) apakah selama tersangka menjalani proses pemeriksaan terjadi pelanggaran hak tersangka, berupa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh para penyidik/penyidik pembantu terhadap tersangka, (2) apabila terjadi pelanggaran hak tersangka, yang berupa kekerasan, (3) apa bentuk atau pola-pola kekerasan yang dilakukan dan (4) mengapa tindakan kekerasan tersebut dilakukan, serta (5) faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya tindakan kekerasan tersebut. Untuk membuktikan ada atau tidaknya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh para penyidik/penyidik pembantu dalam proses perneriksaan tersangka pelaku curas, maka saya telah melakukan penelitian di Polres Metro Jakarta Selatan, pada Unit Kejahatan Kekerasan, selama tiga bulan, dengan obyek penelitian para penyidik/penyidik pembantu yang menangani empat kasus pencurian dengan kekerasan, dengan menggunakan metode kualitatif. Pemeriksaan tersangka merupakan bagian dari penyidikan suatu tindak pidana, yang terkait dengan hak asasi manusia, oleh karenanya pemeriksaan tersangka harus dilakukan sesuai ketentuan hukum yang berlaku, yaitu hukum acara pidana (KUHAP) yang menjadi dasar atau pedoman bagi aparat penegak hukum. Sebagai penjabaran KUHAP, khususnya mengenai proses pemeriksaan, Kapolri telah mengeluarkan Petunjuk Tehnis tentang Pemeriksaan Tersangka dan Saksi (Juknis/07/11/1982), yang berisi syarat-syarat dan prosedur pemeriksaan, meliputi persiapan, pelaksanaan dan evaluasi hasil pemeriksaan. Meskipun telah ada undang-undang dan petunjuk tehnis yang mengatur tatacara pemeriksaan tersangka dan Saksi, ternyata masih sering terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya, sebagaimana terungkap dari berbagai pemberitaan media masa, baik melalui media cetak maupun media elektronik, sebagai kekurangmampuan Polri dalam melaksanakan profesinya. Berbagai faktor dapat mempengaruhi individu dalam proses pemeriksaan tersangka, yaitu motif dan tujuan, status dan peranan masing-masing serta budaya atau sistem nilai yang dianut maupun norma yang berlaku. Proses interaksi dalam pemeriksaan tersangka, tidak selalu sesuai dengan harapan masing-masing pihak, yaitu pemeriksa mengharapkan tersangka akan berterus terang dalam menjawab setiap pertanyaan pemeriksa, sedangkan tersangka ingin diperlakukan secara wajar sesuai hak-haknya yang diatur dalam ketentuan hukum acara pidana dan berusaha menutupi kesalahanya agar Jobs dari jeratan hukum, sehingga dalam proses interaksi tersebut terjadi pertentangan keinginan. Apabila pemeriksa tidak mampu menunjukkan bukti-bukti tentang keterlibatan tersangka dalam suatu peristiwa pidana yang dipersangkakan, karena kurangnya bukti yang mendukung, sedangkan pemeriksa berdasarkan persepsi, intuisi, pengetahuan dan pengalamannya, berkeyakinan bahwa tersangka adalah pelakunya, maka dapat menimbulkan ketegangan pada diri pemeriksa. Sebagai pelampiasannya adalah menunjukkan sikap-sikap, perilaku dan tindakan yang cenderung melakukan kekerasan terhadap tersangka, baik berupa penyiiksaan fisiik, penyiiksaan psiikologis maupun penyiksaan hukum. Pola-pola perilaku dan tindakan kekerasan terhadap tersangka tersebut cenderung sering dilakukan karena pemeriksa menganggap sangat efektif digunakan dalam mengungkap kasus pidana. Disamping itu para pemeriksa menganggap hal tersebut diperbolehkan dan dibenarkan, sehingga cenderung membentuk pola-pola perilaku tertentu yang secara langsung atau tidak langsung disepakti sebagai pola perilaku yang diterima dan dianggap biasa, meskipun sebenarnya menyimpang dari ketentan hukum yang berlaku serta merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Berdasarkan pengetahuan dan pengalamanya penyidik/penyidik pembantu selama bertugas melakukan pemeriksaan tersangka harus menghadapi tersangka yang berasal dari berbagai latar belakang ekonomi, status sosial dan budaya yang berbeda, maka pemeriksa berusaha mengolong-golongkan berdasarkan latar belakangnya itu. Penggolongan yang berisikan sangkaan-sangkaan buruk terhadap tersangka, merupakan prasangka yang dapat menimbulkan diskriminasi serta dijadikan acuan bertindak dalam melakukan pemeriksaan tersangka. Dalam tesis ini telah ditunjukkan bahwa penyidik/penyidik pembantu yang ditunjuk sebagai pemeriksa tersangka pelaku curas di Polres Metro Jakarta Selatan mempedomani aturan formal yaitu KUHAP dan Petunjuk Tennis Pemeriksaan Tersangka dan Saksi, aturan-aturan tidak tertulis yang ditetapkan oleh Kapolres maupun berdasarkan pengetahuan dan pengalaman serta keyakinan mereka dalam menggolong-golongkan tersangka, terungkap adanya berbagai pola tindakan penyidik/penyidik pembantu dalam mencapai tujuan pemeriksaan, yang berimplikasi terjadinya penyalahgunaan wewenang berupa penyimpangan berbentuk penyiksaan fisik, penyiksaan psikologis maupun penyiksaan hukum, sehingga terbukti telah melanggar hak asasi tersangka dalam proses pemeriksaan.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T9852
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tika Suhertika
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif, yang pengumpulan datanya dilakukan melalui studi kepustakaan dan wawancara dengan beberapa narasumber yang berkompetensi. Mengingat bahwa rumusan Pasal 244 KUHAP, terhadap putusan bebas tidak dapat diajukan upaya hukum kasasi, artinya Upaya hukum kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan bebas adalah sebagai terobosan hukum dalam upaya memperoleh keadilan dan kebenaran. Demi keadilan dan kepastian hukum, putusan hakim harus dapat dikoreksi untuk diperbaiki atau dibatalkan apabila dalam putusannya terdapat kekeliruan atau kekhilafan hakim. Hukum menyediakan sarana untuk mengoreksi suatu putusan hakim apabila ada kekhilafan atau kekeliruan melalui upaya hukumnya. KUHAP telah menetapkan larangan berkaitan dengan kewenangan untuk mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas. Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum terhadap putusan bebas, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (TPP KUHAP), dalam butir ke-19 lampiran keputusan tersebut pada pokoknya dinyatakan bahwa “terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding, tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi”. Hal ini akan didasarkan pada yurisprudensi. Dalam praktek peradilan pidana, dikenal adanya Putusan Bebas Murni dan Putusan Bebas Tidak Murni. Dalam hal kasasi terhadap putusan bebas, dalam memori kasasinya, Penuntut Umum harus dapat membuktikan bahwa putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri merupakan putusan bebas tidak murni dengan menjelaskan alasan-alasan yang dijadikan dasar pertimbangan dimana letak sifat tidak murni dari suatu putusan bebas tersebut yang mengacu pada ketentuan Pasal 253 ayat (1) KUHAP yaitu apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya, apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-undang dan apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya. Terdapat korelasi antara pembuktian bebas tidak murni Penuntut Umum terhadap putusan bebas dengan pertimbangan hukum Hakim kasasi yang menerima kasasi Penuntut Umum, karena yang berwenang menilai putusan bebas murni atau bebas tidak murni adalah Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi (judex juris).
ABSTRACT
This Study uses normative legal research, which collecting of data is by library research and interview with several competent resource persons. Considering that draft Article 244 of Criminal Code Procedures (KUHAP), the Acquittal is unable to be filed for legal effort of cassation, this means Legal Effort of Cassation By Public Prosecutor Towards Acquittal is as legal penetration in the effort to have a justice and truth. In the name of justice and legal certainty, the decision of judge shall be able to correct for improvement or cancellation in case in its decision contains error or mistake of the judge. The law provides facility to correct a decision of the judge in case it has error or mistake through its legal effort. KUHAP has stipulated a prohibition related to the authority to submit the Legal Effort of Cassation By Public Prosecutor Towards Free Verdict. Public Prosecutor submits the legal effort towards free verdict, based on the Decree of the Minister of Justice of RI Number: M.14-PW.07.03 Tahun 1983 dated the 10th of December 1983 regarding Supplement to Implementing Guidance of KUHAP (TPP KUHAP), in point 19 of the attachment of its decree that principally states that “toward Acquittal is unable to request an appeal, but based on the situation and condition, in the name of law, justice and truth, the acquittal can be requested for cassation”. This matter will be based on the jurisprudence. In the criminal judicature practices, it is known Absolute Acquittal and Non-absolute Free Verdict. N the case of cassation towards free verdict, in memory of its cassation, the Public Prosecutor shall be able to prove that the decision punished by the District Court is non-absolute acquittal by mentioning the reasons as the consideration basis, in which the nature of non-absolute of a acquittal referring to the provision in Article 253 paragraph (1) KUHAP namely is it correct the law and regulation is not applied or improperly applied, is it correct the way to trial is not carried out in accordance with the provision of the Law and is it correct the court has over authority limit. There is correlation between proof of non-absolute free by Public Prosecutor towards acquittal by legal consideration of Cassation Judge who receive the cassation of Public Prosecutor, because the competent authority to decide the absolute acquittal or non-absolute acquittal in the Supreme Court as the highest court (judex juris).
2013
T35419
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theodora
Abstrak :
ABSTRAK
Tindakan Mahkamah Agung untuk memenuhi keadilan di masyarakat terhadap perkara tindak ringan membuat Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 tanggal 27 Februari 2012. Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA ini dikarenakan batasan nilai untuk tindak pidana ringan yang ada di dalam KUHP selama ini masih senilai Rp.250,- (dua ratus lima puluh) sudah tidak sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini. Hal ini menyebabkan pasal-pasal yang mengatur tindak pidana ringan yang ada di dalam KUHP saat ini seperti mati suri. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 yang merubah batasan nilai dan jumlah denda perkara tindak pidana ringan di dalam KUHP tersebut menimbulkan beberapa permasalahan jika dilihat dari hierarki peraturan perundang-undangan, PERMA memang diakui sebagai peraturan perundang-undangan lainnya tetapi kedudukannya masih di bawah Undang-Undang. Permasalahan yang lainnya adalah keberadaan PERMA tersebut menyebabkan berubahnya proses acara pemeriksaan yang semula dengan Acara Pemeriksaan Biasa menjadi Acara Pemeriksaan Cepat sehingga mempengaruhi Sistem Peradilan Pidana dalam menyelesaikan permasalahan perkara tindak pidana ringan tersebut. Dianutnya asas legalitas dalam KUHP mengakibatkan Hakim terikat terhadap isi dari ketentuan Undang-Undang dalam menyelesaikan perkara pidana termasuk perkara Tindak Pidana Ringan. Dalam penelitian ini, penulis menyajikan putusan Hakim dalam menyelesaikan perkara Tindak Pidana Ringan yang terkait dengan PERMA No.02 Tahun 2012, dimana terdapat ketidak seragaman dikalangan para Hakim sendiri dalam menyelesaikan perkara Tindak Pidana Ringan yaitu dengan mendasarkan kepada PERMA No.02 Tahun 2012 atau tetap berpegang kepada KUHP.
ABSTRACT
Supreme court action to fulfill justice in the society for the misdemeanor cases makes Supreme Court issued Supreme Court Regulation No.2 Year 2012 on 27 February 2012. Supreme Court issued this regulation is because the misdemeanor in the criminal code is still worth two hundred and fifty rupiahs. It unsuitable with the condition society today. This causes the articles of regulating the criminal acts in the misdemeanor of the current criminal code as a dead faint. Supreme Court Regulation No.02 Year 2012 changing limits the value and amount of fines misdemeanor cases in the criminal code, raises a number of problems if viewed from the hierarchy of legislation. This regulation was recognized as the other legislation but it’s still under the legislation. The other problem is the existence of the Supreme Court Regulation No.2 Year 2012 led to change examination procedures, which was originally with the Ordinary Examination Procedures to be the Express Examination Procedures. Thus affects The Criminal Justice System in resolve problems of the misdemeanor cases. The principle of legality in the Criminal Code are bound to lead to judge the content of the provisions of the Act in resolving criminal cases including misdemeanor cases. In this study, the authors present the Judge's decision to settle the misdemeanor cases associated with Supreme Court Regulation No.2 Year 2012, where there is a lack of uniformity among the Justices themselves to resolve the matter misdemeanor by basing the Supreme Court Regulation No.2 Year 2012 or remain adhering to the Criminal Code.
Universitas Indonesia, 2013
T35455
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Donny Ardyanto
Abstrak :
Tembak di tempat terhadap tersangka pelaku kejahatan sudah menjadi fenomena yang biasa bagi masyarakat. Masyarakat mendukung praktek tembak tersebut sebagai instrumen pencegahan kejahatan. Namun pengetahuan masyarakat mengenai tembak di tempat hanya diperoleh dari media massa. Penerimaan masyarakat terhadap praktek tembak di tempat yang jelas melanggar hukum dan hak asasi manusia tersebut, dibangun oleh media. Media massa dalam pemberitaannya mengenai tembak di tempat ternyata sepenuhnya membawa wacana negara. Dalam pemberitaannya, polisi diposisikan sebagai aparat yang sah melakukan penghukuman dan bahkan pembunuhan/sementara penjahat sebagai korban penembakan semakin dipinggirkan dan dianggap layak untuk dihukum dengan hukuman mati tanpa pengadilan sekalipun, Dengan menggunakan metode framing analysis, pemberitaan mengenai kasus tembak di tempat di dua media massa, yaitu Kompas dan Pos Kota, dibongkar dalam tulisan ini. Terlihat bagaimana media massa mengusung kepentingan negara dalam tulisan-tulisannya mengenai tembak di tempat dan membangun konstruksi sosial yang menyesatkan mengenai penjahat dan praktek tembak di tempat. Hal tersebut tidak lepas dari posisi subordinat media massa terhadap negara dan juga dominasi negara terhadap masyarakat sipil.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Hamzah
Jakarta: Sinar Grafika, 2008
345.05 AND h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bemmelen, Jacob Maarten van, 1898-
Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1957
BLD 345.05 BEM s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bemmelen, Jacob Maarten van, 1898-
`s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1953
BLD 345.05 BEM s (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Israel, Gerold H.
America: St. Paul Minn, 2000
345.05 laf c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Slobogin, Christopher
New York: Foundation press, 2000
345.05 Whi c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bandung: Angkasa, 1990
345.05 HUK
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>