Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sutan Takdir Alisjahbana
Jakarta: Dian Rakyat, 1988
959.8 SUT r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Graciela Thalia
"Film Under the Hawthorn Tree karya Zhang Yimou berlatar waktu Revolusi Kebudayaan dan mengisahkan tentang kehidupan Jingqiu, seorang pemuda terpelajar yang memiliki ayah berhaluan kanan dan ibu seorang kapitalis, sehingga harus berjuang keras agar tidak bernasib sama seperti orang tuanya. Prosesnya dalam membangun karier jauh lebih rumit dan berliku-liku dibanding tokoh-tokoh pemuda lain seusianya. Penelitian-penelitian terdahulu tentang film ini sebagian menitikberatkan pada aspek percintaan, hubungan keluarga, hubungan pertemanan, dan perasaan. Penelitian ini akan lebih berfokus pada latar belakang sejumlah tokoh dalam film Under the Hawthorn Tree, yang terbagi menjadi kategori merah dan kategori hitam, beserta dampak-dampak yang mereka terima pada masa Revolusi Kebudayaan. Hasil dari penelitian ini adalah dampak yang diterima antara tokoh-tokoh berlatar belakang kategori merah dengan tokoh-tokoh kategori hitam ternyata sangat berbeda. Perbedaan dampak antara kedua kategori ini pula yang menjadi alasan mengapa tokoh-tokoh berlatar belakang kedua kategori ini sulit untuk menjalani hidup berdampingan secara nyaman.
......Zhang Yimou's Under the Hawthorn Tree is set during the Cultural Revolution and tells the story of Jingqiu, an educated youth who had a rightist father and capitalist mother, and had to fight hard to avoid the same fate as her parents. The process of building her career is far more complicated and tortuous than other youths of her age. Previous studies on this movie focused on aspects of romance, family relationships, friendships, and feelings that exist between the characters. This research will focus more on the character’s background in the Under the Hawthorn Tree movie, who are divided into red categories and black categories, along with the impacts they received as people from the red categories or black categories during the Cultural Revolution. The result of this study is the impacts received between characters with a red category background and those with black categories are very different. The big difference in terms of impact between the two categories is also the reason why it is difficult for the characters from these two categories to coexist comfortably."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Lie, Tektjeng
Djakarta: Lembaga Research Kebudayaan Nasional, 1971
323.1 LIE s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yu, Hua, 1960-
"A soaring literary achievement from internationally acclaimed writer Yu Hua, whose novels are now appearing in English for the first time, Chronicle of a Blood Merchant provides an unflinching portrait of China under Chairman Mao, as a factory worker must sell his blood to overcome every crisis. Xu Sanguan is a Chinese everyman-a cart-pusher in a silk mill struggling under the cruelty and hardships of Mao's leadership. His meager salary is not enough to sustain his family, so he pays regular visits to the local blood chief, followed by stops at the Victory Restaurant, where he pounds on the table and demands his ritual meal: "A plate of fried pork livers and two shots of yellow rice wine. And warm the wine up for me." But fried pork livers and yellow rice wine are not enough to restore Xu Sanguan. With the country in the throes of the Cultural Revolution, his visits to the blood chief become lethally frequent and his obligations to his family press against him mercilessly. At the height of famine, the Xu family lies motionless in bed, rising twice a day to consume increasingly watery rations of corn gruel. Xu Sanguan's wife is forced to stand on a stool in the center of town wearing a sandwich board that reads "prostitute". Yile, his wife's bastard son, forever haunts Xu Sanguan's sense of honor. And when Xu Sanguan sells his blood so he can take his family out to a proper meal, he does not invite Yile, who paces the town, famished and in tears, offering himself as a son to any man who will buy him a bowl of noodles. In a series of heartbreaking reversals, Xu Sanguan decides to risk his own life to save Yile and comes to understand that in a society ravaged by suspicion, hostility, and poverty, blood money not only pays debts, but forgives them as well. With rare emotional intensity, grippingly raw descriptions of place and time, and clear-eyed compassion, Yu Hua gives us a stunning tapestry of human life in the grave particulars of one man's days."
Jakarta: Gramedia Pustaka utama, 2017
895.1 YUH k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yen, Chia-Chi
Teipei: Institute of Current China Studies, 1988
951.056 YEN ct
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Pan, Stephen
New York: Twin Circle Pub. Co., 1968
951.056 PAN p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Butterfield, Fox
Toronto: Bantam Books, 1983
951.056 BUT c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dutt, Gargi
New York : Asia Pub. House, 1970
320.951 DUL c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Armand Eugene Richir
"ABSTRAK
Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk nenggambarkan secara jelas peristiwa Revolusi Kebudayaan (1965-1969), yang menitik beratkan pada pertentangan antara Mao Zedong dan Liu Shaogi. Revolusi Kebudayaan adalah suatu revolusi untuk mentransformasikan pera_daban bangsa dan untuk merubah sikap manusia agar tercipta seorang manusia kolektif yang sepenuhnya mencurahkan perhatian kepada perjuangan kelas, garismassa, dan pendekatan Maois menuju transformasi sosialis.Dalam perkembangan selanjutnya Revolusi Kebudayaan yang dilancarkan oleh - Mao lebih merupakan suatu kekuatan untuk menghancurkan bangunan atas atau penguasa Partai yang mengambi] jalan kapitalis..Periode tahun 1965 merupakan periode pengkonsolidasian kediktatoran proletar.'Periode tahun 1966-1969 merupakan periode persaingan atau perebutan ke_kuasaan (power struggle) antara elit politik dan penguasa di Cina. Pada perio_de ini Mao mencari dukungan di luar Partai seperti Pengatral Merah, yaitu para pemuda-pemudi yang diorganisir menjadi kelompok yang bersifat militer dan mili_tan. Selain itu, Mao juga mengandalkan kekuatan Tentara Pembebasan Rekyat/TPR yang ditandai dengan pembentukan Komite Revolusioner. Kekuatan-kekuatan Pengawal Merah dan TPR digunakan Mao untuk membangun kembali supremasi otoritasnya dan memastikan keabadian ideologi serta pemikiran Mao yang mulai memudar pada awal Revolusi Kebudayaan. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa Revolusi Kebudayaan sesungguhnya dirancang oleh Mao untuk memurnikan gagasan ideologi dan menciptakan masyarakat sosialis berdasarkan pikiran-pikiran Mao. Namun, jalan yang ditempuh untuk men_capai tujuan itu secara tak terelakkan harus melalui perebutan kekuasaan...

"
1986
S12831
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
N. Ika M. Sukarno
"Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk menggambarkan secara jelas mengenai Lin Biao, menitikberatkan pada peranan Lin Biao dalam Revolusi Kebudayaan dan sepak terjangnya sesudah revolusi berakhir hingga ia meninggal dunia. Lin Biao adalah seorang panglima perang yang tangguh, di mana ia dikenal ahli dalam strategi peperangan. Titik awal karir Lin Biao dimulai setelah ia lulus dari Akademi Militer Whampoa tahun 1926. Selama Revolusi Kebudayaan berlangsung, Lin Biao selalu berada di belakang Mao. Pidato-pidato dan perkataan-perkataan Mao selalu ia dengungkan dalam setiap pertemuan massa. Dengan cara ini, ia menarik massa untuk turut serta dalam Revolusi Kebudayaan. Lin Biao juga merupakan orang yang menggerakkan Pengawal Merah. Setelah keadaan negara menjadi sangat kacau, Lin Biao menggunakan Tentara Pembebasan Rakyat yang berada di bawah pengaruhnya untuk mengamankan situasi. Hasilnya adalah kepercayaan Mao padanya bertambah dan Lin Biao diangkat secara resmi menjadi ahli waris dan penerus Mao. Setelah pengangkatan itu, Mao merasa pengaruh Lin Biao terlalu besar, sehingga ia merasa perlu menantangnya dengan maksud agar pengaruhnya berkurang. Di lain pihak, Lin Biao merasakan kekuatannya cukup kuat untuk dapat menggeser Mao. la dan kelompoknya menyusun rencana dan membangun kekuatan untuk menggulingkan Mao. Rencana ini rupanya tercium oleh Mao, sehingga sebelum Lin Biao melaksanakan impiannya, Mao sudah terlebih dahulu memusnahkan Lin Biao pada tanggal 12 September 1971"
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>