Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nurul Aliyah
"Latar Belakang: Infeksi tuberkulosis (TB) memiliki insidensi TB yang terus meningkat dengan angka kematian yang tinggi. Infeksi TB merupakan hasil interaksi antara faktor kuman, imunitas pejamu, dan lingkungan. Imunitas pejamu dipengaruhi oleh komponen nutrisi, antara lain: vitamin D. Vitamin D dapat meningkatkan respon terapi antituberkulosis pada makrofag. Vitamin D yang rendah berhubungan dengan polimorfisme VDR pada penderita TB. Belum terdapat data terkait gambaran kadar vitamin D pada penderita tuberkulosis kasus baru.
Tujuan: Mengetahui gambaran konversi sputum BTA dan kadar Vitamin D pada penderita tuberkulosis kasus baru.
Metode: Penelitian ini bersifat multisenter. Subjek penelitian adalah penderita TB paru kasus baru yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Follow-up dilakukan selama 2 bulan. Dalam periode 7 bulan (Oktober 2014- April 2015) dari 109 subjek: 88 subjek dapat diikuti hingga akhir penelitian, 20 orang subjek putus obat, dan 1 orang meninggal dunia.
Hasil: Pada penelitian ini dari 88 subyek, subyek yang mengalami konversi sputum sebanyak 55 orang (62,5%), yang tidak mengalami konversi sputum sebanyak 33 orang (37,5%). Hasil pengukuran kadar vitamin D pada subyek didapatkan 15 orang (17%) normal, 29 orang (33%) insufisensi, dan 44 orang (50%) defisensi. Dari masing-masing kelompok yang mengalami konversi sputum, 9 orang (16,4%) pada kelompok vitamin D normal, 16 orang (29,1%) kelompok insufisiensi, dan 30 orang (54,5%) dari kelompok defisiensi. Dengan kata lain masing-masing kelompok yang tidak mengalami konversi adalah: kelompok normal 6 orang (18,2%), kelompok insufisiensi 13 orang (39,4%) dan kelompok defisiensi 14 orang (42,4%).
Kesimpulan: Populasi defisiensi vitamin D memiliki jumlah subyek terbanyak baik yang mengalami konversi sputum atau yang tidak mengalami konversi sputum. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat faktor lain yang berperan dalam infeksi TB, diantaranya polimorfisme VDR. Interaksi ini terutama akan terjdi pada pasien dengan kadar vitamin D yang rendah. Penelitian lebih lanjut mengenai polimorfisme VDR berkaitan dengan penyakit TB perlu untuk dilakukan. "
Jakarta: Departement of Internal Medicine. Faculty of Medicine Universitas Indonesia, 2016
616 UI-JCHEST 3:1 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Rahmawati Pebriani
"Saat ini bakteri Mycobacterium tuberculosis telah menginfeksi sekitar seperempat populasi dunia yang menyebar melalui udara dan Indonesia merupakan salah satu negara dengan beban tuberkulosis yang tinggi. 4 dari 6 provinsi di Pulau Jawa masuk dalam 10 provinsi dengan prevalensi TB paru tertinggi, yaitu Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Jawa Tengah dengan prevalensi TB paru di atas 0,4 yang merupakan rata-rata Indonesia. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan karakteristik individu dan kondisi lingkungan dengan kejadian tuberkulosis paru pada penduduk usia ≥ 15 tahun di Pulau Jawa tahun 2018. Desain studi yang digunakan adalah cross-sectional dengan menggunakan data Riskesdas 2018. Jumlah sampel yang digunakan adalah 216.098 responden. Analisis data menggunakan univariat dan bivariat dengan uji chi-square. Hasil analisis bivariat menunjukkan variabel yang memiliki hubungan signifikan secara statistik dengan kejadian tuberkulosis paru yaitu jenis kelamin, status gizi, tingkat Pendidikan, merokok, jumlah anggota keluarga, pencahayaan kamar utama, pencahayaan dapur, pencahayaan ruang keluarga, keberadaan jendela kamar utama, keberadaan jendela dapur, ventilasi kamar utama, dan ventilasi dapur. Penting untuk dilakukan peningkatan pengetahuan masyarakat terkait dengan penularan dan pencegahan tuberkulosis paru, termasuk pemberian edukasi tentang kriteria rumah sehat, serta meningkatkan surveilans penemuan kasus melalui peningkatan pemberdayaan kader kesehatan.
......Currently, Mycobacterium tuberculosis bacteria have infected about a quarter of the world's population that spreads through the air and Indonesia is one of the countries with a high burden of tuberculosis. 4 out of 6 provinces in Java are included in the 10 provinces with the highest prevalence of pulmonary TB, namely Banten, West Java, DKI Jakarta, and Central Java with the prevalence of pulmonary TB above 0.4 which is the Indonesian average. The purpose of this study was to determine the relationship between individual characteristics and environmental conditions with the incidence of pulmonary tuberculosis in the population aged 15 years in Java Island in 2018. The study design used was cross-sectional using Riskesdas 2018 data. used are 216,098 respondents. Data analysis used univariate and bivariate with chi-square test. The results of the bivariate analysis showed that the variables that had a statistically significant relationship with the incidence of pulmonary tuberculosis were gender, nutritional status, education level, smoking, number of family members, main room lighting, kitchen lighting, living room lighting, presence of main bedroom window, presence of kitchen windows, main bedroom ventilation, and kitchen. It is important to increase public knowledge related to the transmission and prevention of pulmonary tuberculosis, including providing education about the criteria for healthy homes, as well as increasing case finding surveillance by increasing the empowerment of health cadres."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jerry Nasarudin
"Pasien HIV berisiko 20-37 kali lipat terinfeksi TB dan TB merupakan penyebab kematian tertinggi pada HIV. Resistensi OAT menjadi masalah utama pengobatan TB pada pasien HIV yang menyebabkan peningkatan mortalitas dan biaya. Rifampisin merupakan OAT utama sehingga perlu diketahui prevalensi resistensi rifampisin dan faktor-faktor yang mempengaruhinya pada pasien TB-HIV.
Tujuan: Mengetahui prevalensi resistensi rifampisin pada pasien TB-HIV dan faktor-faktor yang mempengaruhi.
Metode: Studi potong lintang terhadap 196 pasien TB-HIV yang menjalani pemeriksaan Xpert MTB-RIF di poli pelayanan terpadu HIV RSUPN-CM selama tahun 2012-2015. Analisa bivariat untuk mengetahui hubungan faktor-faktor terkait dengan kejadian resistensi rifampisin. Analisa multivariat menggunakan uji regresi logistik.
Hasil: Didapatkan prevalensi resistensi rifampisin sebesar 13,8%. Usia, jenis kelamin, riwayat penggunaan ARV, dan TB ekstraparu tidak berhubungan dengan kejadian resistensi rifampisin pada pasien TB-HIV. Jumlah CD4<100 memiliki hubungan dengan kejadian resistensi rifampisin (OR 2,57; 95% IK 0,99-6,69), namun secara statistik tidak bermakna. Riwayat pengobatan TB memiliki hubungan signifikan dengan kejadian resistensi rifampisin (OR 3,98; 95% IK 1,68-9,44).
Simpulan: Prevalensi resistensi rifampisin TB-HIV di RSUPN-CM sebesar 13,8%. Riwayat TB memiliki hubungan signifikan dengan kejadian resistensi rifampisin pada pasien TB-HIV."
Jakarta: Departement of Internal Medicine. Faculty of Medicine Universitas Indonesia, 2016
616 UI-JCHEST 3:1 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rina La Distia Nora
"Latar belakang: Penegakan diagnosis tuberkulosis (TB) okular sulit dilakukan karena mikroorganisme tidak mudah diisolasi langsung dari mata, namun di sisi lain pemberian anti tuberkulosis berperan penting. Penelitian ini berusaha untuk mengidentifikasi tanda-tanda klinis di mata yang berhubungan dengan TB okular dan menilai keberhasilan terapi serta hubungannya dengan status HIV.
Metode: Data retrospektif diambil dari 56 rekam medis pasien dengan diagnosis presumed ocular TB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo antara Januari 2006 sampai Desember 2011. Data demografi dan karakteristik klinis serta status HIV dicatat selama pengobatan berlangsung.
Hasil: Terdapat 39 pasien yang masuk kriteria inklusi dengan usia rerata 35,38 ± 13,1 tahun dan rasio laki-laki terhadap perempuan 2:1. Kelainan mata unilateral didapatkan pada 26 (66,7%) pasien. Dari seluruh pasien; 4 (10,3%) uveitis anterior, 14 (35,9%) uveitis posterior, 21 (66,7%) panuveitis dan tidak ada yang menderita uveitis intermediet. Sebagian besar pasien (32/82,1%) memiliki tuberkulosis di organ tubuh lain. Lima dari 8 (62,5%) pasien dengan HIV positif memiliki tipe inflamasi granulomatosa dan 3 (37,5%) tipe non-granulomatosa serta seluruh pasien dengan HIV positif memiliki tuberkulosis di organ lain. Tujuh pasien non-HIV, enam (85,7%) diantaranya memiliki tipe inflamasi non-granulomatosa. Terapi dengan anti tuberculosis (ATT), kombinasi ATT dan steroid atau steroid saja bisa meningkatkan tajam penglihatan. Namun terapi steroid saja memiliki angka rekurensi yang sedikit lebih tinggi (1,4 ± 0,89 episode inflamasi).
Kesimpulan: TB ocular pada penelitian ini memiliki manifestasi klinis yang sangat bervariasi. Tipe inflamasi non-granulomatosa lebih banyak pada pasien HIV negatif dan tipe inflamasi granulomatosa pada pasien HIV positif. Pasien HIV positif selalu disertai manifestasi TB di organ lain. Terapi dengan steroid saja dapat meningkatkan tajam penglihatan tapi diikuti dengan angka rekurensi yang sedikit lebih tinggi.

Abstract
Background: Ocular tuberculosis (TB) emerges as an important cause of intraocular inflammation, partly due to the increasing number of HIV/AIDS patients. This study attempts to identify ocular signs that are associated with ocular TB and assess the efficacy of the treatment and their relation to HIV status.
Methods: Medical records of all 56 patients diagnosed with presumed ocular TB in Cipto Mangunkusumo Hospital between January 2006 and December 2011 were reviewed. Demographic and clinical characteristics and HIV status were recorded as well as efficacy of treatments given.
Results: There were 39 patients included with mean age 35.38 ± 13.1 and male to female ratio was 2:1. Unilateral involvement was in 26 (66.7%) patients. From all, four (10.3%) had anterior uveitis, 14 (35.9%) posterior uveitis, 21 (53.8%) panuveitis, and none had intermediate uveitis. Most of them (32/82.1%) have concurrent other organ TB. Five out of 8 (62.5%) HIV positive patients had granulomatous inflammation and 3 (37.5%) had non-granulomatous inflammation and all eight of them had concurrent other organ TB. The other 7 known non-HIV patients, six (85.7%) have non-granulomatous inflammation. Treatment with anti-tubercular therapy (ATT), combination ATT and steroid or steroid alone increased visual acuity. However steroid alone was slightly have more frequent recurrences (1.4 ± 0.89 episodes of inflammation).
Conclusion: Ocular TB in our study had variable clinical manifestations and ocular inflammation was predominantly non-granulomatous in HIV negative patients and granulomatous in HIV infected patients. All HIV positive patients the ocular TB was always accompanied by manifestations in other organs. The treatment with steroids solely resulted in improved vision but was characterized by frequent recurrences."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library