Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 36 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Syukriman Bustami
Abstrak :
Sindrom Down merupakan suatu kelainan genetik dengan angka kejadian relatif tinggi, relatif mudah dikenal sejak rnasa bayi, dan didapati secara universal pada semua ras atau tingkat social ekonomi.

Di Indonesia, sebagaimana negara sedang berkembang lainnya, kelainan ini belum mendapat cukup perhatian. Pemerintah sedang berjuang mengatasi penyakit infeksi dan masalah defisiensi gizi. Dengan membaiknya kondisi ekonomi, diharapkarn 20 tahun mendatang masalah infeksi dan defisiensi gizi tidak lagi merupakan masalah besar. Seba1iknya kelainan bawaan atau kelainan genetik akan muncul menjadi masalah kesehatan masyarakat (Wahidiyat, dkk., 1987).

Angka kejadian sindrom Down di Indonesia hingga saat ini belum diketahui. Di RSCM, Jakarta, pada periode 1975-1979, dari sejumlah 19.382 kelahirarn hidup dilaparkan 21 kasus {1,08 perseribu) bayi sindrom Down, (Kadri, dkk., 1982). Angka ini sesuai dengan angka kejadian rata-rata sebesar 1 perseribu, sebagaimana dilaporkan oleh banyak penelitian. Seandainya angka ini diberlakukan umum di Jakarta dengan penduduk 8.498.709 jiwa dan kelahiran hidup 231. 165 jiwa atau 2,72% pertahun (BPS Pusat, 1988), akan ditemukan sekitar 231 kasus baru sindrom Down setiap tahun.

Lebih luas lagi, di Indonesia dengan sekitar 5 juta kelahiran hidup (BPS Pusat, 1988), akan dijumpai sekitar 5000 kasus baru sindrom Down setiap tahunnya. Keadaan ini dapat merupakan masalah besar baik dalam bidang kesehatan, pendidikan, lapangan kerja maupun dana yang dibutuhkan untuk menanggulangi masalah tersebut.

Lebih dari 50 gejala klinis dilaporkan dapat menyertai sindrom ini. Sebagian besar diantaranya, seperti kelainan pada mata, rigi kulit atau tangan, tidak menimbulkan masalah kesehatan. Gejala-gejala ini bervariasi dari sedikit atau tanpa defek sampai abnormalitas berat, dan selama proses tumbuh kembang dapat berubah menjadi lebih atau kurang derajat abnormalitasnya (Dreg, 1975; National Information, Center for Handicapped Children and Youth, 1983; Cunningham, 1988).

Hipotoni merupakan salah satu gejala utama yang biasanya berkurang derajatnya dengan bertambahnya umur. Pada bayi yang menderita sindrom Down, 45-80% kasus disertai gejala ini, sedangkan pada anak berkisar antara 60-85%. Persentase Hipotoni menurut golongan umur dalam tahun belum ada yang melaporkan (Levinson, dkk., 1955; Lee dan Jackson, 1972; Breg, 1975; Nara, 1976; Henderson, 1987; Cunningham, 1988).

Mekanisme pasti bagaimana kelainan kromosom menyebabkan gejala hipotoni belum diketahui, begitu juga kaitan dengan gejala atau variabel lain (Jebsen, dkk., 1961; Rabe, 1964; Currni)gham, 1988). Meskipun kelainan ini disebabkan faktor genetik, tetapi masih dapat dipengaruhi oleh lingkungannya.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T58489
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Yanti Rahayuningsih
Abstrak :
Latar Belakang: Pasien sindrom Down (Down?s syndrome/DS) berbeda dari anak normal karena memiliki banyak kelainan selain defek jantung yang dapat memengaruhi luaran pasca-operasi jantung. Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai luaran pasca-operasi penyakit jantung bawaan (PJB) pada DS di pusat-pusat pelayanan jantung di Indonesia. Tujuan: Untuk mengetahui luaran jangka pendek dan mortalitas pada pasien DS yang dilakukan operasi jantung di RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Metode: Studi kohort retrospektif dan prospektif pada subjek anak dengan DS yang menjalani operasi koreksi PJB. Kontrol adalah anak tanpa DS yang masuk kriteria inklusi dan eksklusi, dengan matching rentang usia dan jenis penyakit jantung yang sama dengan pasien DS. Hasil: Sebanyak 57 pasien DS dan 43 non-DS yang telah menjalani operasi koreksi PJB diikutkan dalam penelitian. Karakteristik dasar antar kelompok tidak berbeda bermakna. Jenis PJB terbanyak pada DS adalah defek septum atrioventrikular (AVSD) dan defek septum ventrikel (VSD) masing-masing sebesar 31,6%, tetralogi Fallot (TF) 21%, defek septum atrium (ASD) 7%, duktus arteriosus persisten (PDA) 7% dan transposisi arteri besar (TGA)-VSD 1,8%. Lama rawat ruang rawat intensif (ICU) pada DS 1,9 (0,6-34) hari dibanding non-DS 1 (0,3-43), p=0,373. Lama penggunaan ventilator pada DS 19,9 (3-540) jam, non-DS 18 (3-600), p=0,308. Krisis hipertensi pulmoner (PH) tidak terjadi pada kedua kelompok, proporsi komplikasi paru pada DS 24,6% dibanding non-DS 14%, dan sepsis pada DS 28,1% dibanding non-DS 14% tidak berbeda bermakna. Proporsi blok atrioventrikular (AV) komplit pada DS 10,5% dan non-DS tidak ada, dengan p=0,036. Kematian di rumah sakit (RS) pada DS 8,8%, non-DS tidak ada, dengan p=0,068. Simpulan: Morbiditas dan mortalitas pasca-operasi jantung pada DS tidak terbukti lebih sering terjadi dibandingkan dengan non-DS. ......Background: Down syndrome patients different from normal child because many other genetic related aspects that can affect outcome after congenital heart surgery. Until now there has been no research on the outcome after congenital heart surgery on paediatric Down syndrome patients in Indonesia. Objective: To determine the short term outcomes and mortality in DS patients who underwent heart surgery at Cipto Mangunkusumo hospital, Jakarta. Methods: A prospective and retrospective cohort study was conducted to subject with DS who underwent heart surgery from July 2007- April 2015. Control group was patients without DS who underwent heart surgery with matching on age and type of heart defects. Results: A total of 57 DS patients and 43 non-DS patients were recruited during study period. Basic characteristics between groups were not significantly different. Most type of CHD in patients with DS were AVSD and VSD respectively in 18 (31,6%), tetralogi of Fallot 12 (21%), ASD 4 (7%), PDA 4 (7%) and TGA-VSD 1 (1,8%) patients. Duration of ICU stay in patients with DS was 1,9 (0,6-34) days compared to non-DS patients 1 (0,3-43) days, p=0,373. Duration of mechanical ventilation in patients with DS was 19,9 (3-540) hours, compared to non-DS patients 18 (3-600) hours, p=0,308. Pulmonary hypertension crisis was not occurred in both groups. Pulmonary complication in patients with DS was 14 (24,6%) compared to non-DS 6 (14%) patients, and sepsis in patients with DS was 16 (28,1%) compared to non-DS 6 (14%) patients, there was no difference. Complete AV block in patients with DS was 6 (10,5%) compared none in patients with non-DS, p=0,036. In-hospital mortality in patients with DS was 5 (8,8%), compared none in patients with non-DS, significantly different with p=0,068. Conclusion: Morbidity and mortality after cardiac surgery in DS is not proven to be more frequent compared to non-DS.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58754
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vinchia
Abstrak :
Pasien trisomi21 memiliki peningkatan resiko leukemia terutama tipe Leukemia Mielositik Akut(LMA). Proses leukemogenesis terjadi dalam 3 hit. Hit pertama adalah trisomi 21, hit kedua adalah varian gen GATA1 dan hit ketiga adalah mutasi somatik lainnya. Hit pertama dan kedua cukup untuk menyebabkan Transient Abnormal Myelopoiesis (TAM). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pola varian gen GATA1 dalam memengaruhi TAM. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Pasien dianamnesa dan dilakukan pengambilan darah untuk pemeriksaan patologi klinik dan ekstraksi DNA. DNA akan dilakukan PCR, elektroforesis dan Sanger Sequencing. Data akan dilakukan analisis bioinformatik. Subyek terbanyak berusia 0-1 bulan(45,75%), dilahirkan oleh ibu <35 tahun(78,1%) dan lebih banyak dijumpai pada kehamilan multipara(71,8%). Kelainan laboratorium yang paling sering adalah anemia, dan lebih banyak dijumpai pada pasien 0-1 bulan, kelahiran aterm dari ibu primipara. Dari hasil analisis bioinformatik ditemukan 79 varian dan pada 32 pasien, di antaranya 10 silent, 67 missense dan 2 nonsense. Pada pengujian patogenisitas, nonsense mutation dapat diklasifikasikan sebagai pathogenic. Pada pasien TAM lebih banyak dijumpai hanya gejala laboratorium(62.5%) daripada pasien dengan gejala klinis dan laboratorium(37.5%). Keseluruhan varian nonsense menunjukkan gejala klinis dan laboratorium, pada varian missense didapatkan 47,7% sampel hanya dengan gejala laboratorium, sedangkan pada silent variant didapatkan 30% sampel dengan gejala laboratorium. ......Trisomy21 have increased risk of Acute Myelocytic Leukemia(AML). Leukemogenesis occurs in 3 hits. The first hit was trisomy21, the second hit was GATA1 gene variant and third hit was somatic mutation. The first and second hit were enough to cause Transient Abnormal Myelopoiesis(TAM). The purpose of this study was to determine the variant of GATA1 gene in influencing TAM. This research is descriptive cross-sectional research. Anamnesis dan physical examination will be done. Blood samples will be taken. DNA will be further processed through PCR, electrophoresis and Sanger Sequencing. The data will be analyzed bioinformatically. Most subjects were aged 0-1month(45.75%), borned to mothers <35years (78.1%) and were more common in multiparous pregnancies(71.8%). The most frequent laboratory abnormalities are anemia, these are more common in patients aged 0-1month, born aterm from primiparous mothers. From the results of bioinformatic analysis, 79 variants were found in 32patients, of which 10were silent, 67were missense and 2were nonsense. In pathogenicity testing, we found this nonsense variant is pathogenic. TAM patients were frequently found with laboratory symptoms only(62.5%). All of the nonsense variants show clinical and laboratory symptoms. In missense variant, 47.7% of the samples only show laboratory symptoms, while 30%silent variant shows laboratory symptoms only.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pariury, Dea Shanta
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan bentuk-bentuk tanggapan anak penyandang down syndrome terhadap pertanyaan, Berita faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya tanggapan-tanggapan tersebut. Tujuan penelitian ini bertolak dari anggapan bahwa anak down syndrome memiliki berbagai keterbatasan, khususnya dalam bidang Bahasa, walau demikian mereka tetap dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain. Penelitian ini merupakan studi kasus seorang anak perempuan berusia 6 tahun penyandang kelainan down .syndrome berbahasa Indonesia yang tergolong ringan. Berdasarkan data, ditemukan bahwa ada senibilan bentuk tanggapan ketika informan menanggapi berbagai pertanyaan, yaitu tanggapan yang sesuai dan berhubungan dengan pertanyaan, tanggapan berupa perintah, tanggapan berupa dramatisasi, tanggapan berupa tindakan nonverbal, tanggapan tidak sesuai, tanggapan tidak berbubungan, tanggapan berupa pengaIihan perhatian, tanggapan berupa ketidakacuhan, dan tanggapan berbentuk sikap diam. Tanggapan-tanggapan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu perkembangan kognitif, pengetahuan dan kosakata, perhatian terhadap objek pembicaraan, dan partisipan yang diajak bicara. Aspek-aspek lain kemudian muncul dalam penelitian ini dan memerlukan penelitian lanjutan. Penelitian yang perlu dilakukan lebih lanjut adalah penelitian mengenai: 1) Pengaruh jenis pertanyaan terhadap bentuk tanggapan yang diujarkan oleh penyandang kelainan keterbelakangan mental; 2) Perbandingan kemampuan percakapan anak penyandang DS dengan anak normal yang memiliki urnur mental yang lama; dan 3) Pemahaman konsep yang berhubungan dengan asosiasi semantis pada anak penyandang DS
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2003
S10816
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fina Devy Aryanti
Abstrak :
Sindrom Down merupakan kelainan genetik yang dikarakteristikkan dengan keterlambatan perkembangan yang dapat mempengaruhi kemandirian anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kemandirian dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari pada anak dengan sindrom Down usia sekolah dan remaja dengan menggunakan metode deskriptif kuantitatif non-eksperimen. Responden penelitian berjumlah 43 orang tua/ pengasuh anak dengan sindrom Down di Kota Depok. Hasil penelitian menunjukkan mayoritas anak berada dalam kategori mandiri sebagian: 31 anak (72,1%); selebihnya mandiri total: 7 anak (16,3%) dan ketergantungan total: 5 anak (11,6%). Untuk itu, diperlukan pendidikan kesehatan dan dukungan emosional bagi keluarga, untuk mencapai kemandirian yang optimal pada anak dengan sindrom Down.
Down syndrome is a genetic disorder which characterized by lack of developmental that may affect the child's independence. This study aims to determine the level of independence of child with Down syndrome in school age and adolescents. This study used descriptive quantitative non-experimental approach with 43 parents or caregivers of child with Down syndrome in Depok. The result showed that the majority of respondents belongs to modified independence: 31 children (72,1%), while respondents who belongs to total independence: 7 children (16,3%) and total dependence: 5 children (16,3%). For the reason, health education and emotional support for families is needed to achieve optimum independence in children with Down syndrome.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
S52891
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frascilly Grasia
Abstrak :
Down syndrome merupakan suatu kondisi yang berkaitan dengan keterbatasan perkembangan. Adanya keterbatasan ini membuat anak down syndrome membutuhkan caregiver untuk membantu mereka melaksanakan aktivitas seharihari. Caregiver dapat mengalami dampak negatif akibat merawat anggota keluarga yang memiliki kebutuhan khusus. Salah satu dampak negatifnya adalah caregiver strain. Caregiver strain dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah dukungan sosial. Caregiver strain dapat berkurang jika caregiver mendapatkan dukungan sosial, khususnya perceived social support. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara caregiver strain dan perceived social support. Metode pengambilan data yang dilakukan adalah pengisian kuesioner dan melakukan probing terhadap item dalam kuesioner caregiver strain (Modification of Caregiver Strain Index). Kemudian partisipan diminta untuk mengisi kuesioner perceived social support (Multidimensional Scale of Perceived Social Support). Hasil penelitian menunjukkan hubungan yang negatif antara caregiver strain dan perceived social support dengan r=-.174, namun tidak signifikan dengan p>0,05. Pada penelitian ini, partisipan ditemukan memiliki caregiver strain yang relatif rendah dan perceived social support yang relatif tinggi. ......Down syndrome is condition related with developmental impairment. These impairments make the child with Down syndrome needs caregiver to help them carry out their daily activities. Caregiver may be negatively impacted due to caring for family members with special needs. One of the negative impacts is caregiver strain. Caregiver strain is influenced by several factors. One factor that influence caregiver strain is social support. Caregiver strain can be reduced if the caregiver get social support, especially perceived social support. This study aimed to examine the correlation between caregiver strain and perceived social support. Method of data collection was questionnaires and do some probing to the items in the questionnaire caregiver strain (Modification of Caregiver Strain Index). Then participants were asked to complete a questionnaire perceived social support (Multidimensional Scale of Perceived Social Support). The results showed a negative relationship between caregiver strain and perceived social support with r = - .174, but not significant with p> 0.05. In this study, participants were found to have relatively low caregiver strain and perceived social support were relatively high.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S45758
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maisya Putri Nibenia
Abstrak :
Anak down syndrome dengan keterbatasanya mendapatkan perhatian yang lebih banyak dari orang tua dibandingkan sibling. Perbedaan perlakuan antar anak oleh orang tua dapat mempengaruhi hubungan antar saudara dan pola asuh yang dilakukan orang tua juga dapat mempengaruhi dimensi hubungan yang berkaitan dengan kualitas sibling relationships. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara pola asuh orang tua dengan sibling relationship pada anak down syndrome. Penelitian menggunakan pendekatan cross-sectional pada 60 responden orang tua yang dipilih melalui teknik cluster sampling menggunakan instrumen Parenting Style and Dimensions Questionnaire (PSDQ) dan Sibling Relationship Questionnaire (SRQ). Hasil penelitian menunjukan 73.9% responden menerapkan pola asuh autoritatif dan 61.67% terbentuk sibling relationship positif antara anak down syndrome dan sibling. Hasil analisis bivariat uji fisher exact memperoleh hasil p value <0.001 (<0.05). Hasil ini menunjukan adanya hubungan pola asuh orang tua dengan sibling relationship pada anak down syndrome. Peneliti merekomendasikan mengikutsertakan sibling dalam penelitian selanjutnya untuk melengkapi data dari sisi sibling. ......Children with Down syndrome with their limitations get more attention from their parents than their siblings. Differences in treatment between children by parents can affect the relationship between siblings and parenting style by parents can also affect the dimensions of the relationship related to the quality of sibling relationships. This study aims to identify the relationship between parenting style and sibling relationship in children with Down syndrome. The study used a cross-sectional approach to 60 parent respondents who were selected through a cluster sampling technique using the Parenting Style and Dimensions Questionnaire (PSDQ) and Sibling Relationship Questionnaire (SRQ) instruments. The results showed that 73.9% of respondents adopted authoritative parenting and 61.67% formed a positive sibling relationship between children with Down syndrome and siblings. The results of the bivariate analysis of the Fisher's exact test obtained a p value <0.001 (<0.05). These results indicate that there is a relationship between parenting style and sibling relationship in children with Down syndrome. Researchers recommend including sibling in future research to complete data from sibling side.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Sari Tuani R.
Abstrak :
Sindroma Down merupakan keadaan luar biasa yang disebabkan oleh kelainan genetik kromosom (Payne & Patton, 1981). Kelainan kromosom inilah yang menyebabkan anak-anak Sindroma Down memiliki keterbatasan-keterbatasan pada kemampuan intelektual dan fisiologisnya, serta memiliki sejumlah masalah dalam kesehatan dan perilakunya. Untuk itu diperlukan berbagai upaya untuk menumbuhkembangkan potensi dan kemampuan yang ada dalam diri anak-anak Sindroma Down ini. Salah satu layanan yang bertujuan menumbuhkembangkan potensi dan kemampuan secara maksimal anak-anak Sindroma Down ini adalah layanan pendidikan luar biasa. Salah satu kunci keberhasilan menumbuhkembangkan kemampuan dan potensi yang ada dalam diri anak-anak Sindroma Down dalam layanan pendidikan luar biasa adalah melalui pembinaan hubungan yang kolaboratif antara orangtua dan guru. Hubungan yang kolaboratif ini merupakan hubungan rekan kerja yang sejajar antara orangtua dan guru yang sifatnya saling melengkapi dengan saling berkomunikasi dan bekerjasama (Porter & McKenzie, 2000). Dengan hubungan yang kolaboratif ini maka terjadi komunikasi dua arah antara orangtua dan guru. Di satu sisi guru menjadi kolaborator dengan para orangtua sebagai pemberi informasi dan pemecahan masalah (Turnbull, Turbiville, & Turnbull, 2000). Di sisi lain orangtua dapat diberdayakan menjadi fasilitatorlpenghubung pendidikan anak antara lingkungan sekolah dan lingkungan rumah (Porter, 2002), karena orangtua pada dasarnya adalah pengasuh bagi anaknya, yang berperan menjadi guru, pelatih, dan juga sekaligus sebagai pengarah kemampuan sosial anaknya (Hanson, 2003). Oleh karena itu, peneliti merasa perlu melakukan penelitian ini untuk melihat gambaran hubungan antara orangtua dan guru dalam layanan pendidikan Iuar biasa khususnya bagi anak-anak Sindroma Down. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi panting bagi para orangtua dan pihak sekolah, betapa pentingnya peran serta orangtua dalam penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Hasil penelitian ini berupa data demografis subjek penelitian, gambaran kemampuan komunikasi dan sikap guru, gambaran hubungan rekan kerja yang sejajar antara orangtua dan guru, gambaran dukungan sosial yang diberikan guru, dan gambaran keterlibatan orangtua dalam program pendidikan anak. Data-data ini diperoleh dengan menggunakan desain non-experimental dengan metode kualitatif secara in-depth interview terhadap 3 orang subjek orangtua yang memiliki anak Sindroma Down yang sedang menjalani pendidikan luar biasa selama kurang dari 6 tahun, dimana ketiga orangtua tersebut memiliki tingkat pendidikan terakhir setara dengan sarjana dan terlibat langsung dalam penanganan anak-anaknya dalam menjalani kegiatan-kegiatan sekolah anaknya. Hasil menunjukkan bahwa hubungan orangtua - guru khusus dalam layanan pendidikan Iuar biasa bagi anak-anak Sindroma Down pada umumnya sudah baik dalam berkomunikasi dan dalam pembinaan hubungan rekan kerja yang sejajar namun belum menunjukkan hubungan yang kolaboratif karena orangtua merasa belum diberdayakan sebagai penghubunglfasilitator pendidikan anak mereka antara lingkungan sekolah dan lingkungan rumah, sehingga para guru masih berperan sebagai pengajar dan pelaksana isi kurikulum, serta sebagai pemberi laporanlevaluasi atas basil proses pembelajaran anak didiknya kepada pihak orangtua. Penelitian ini juga menunjukkan tidak diikusertakannya para orangtua dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan program pendidikan individual anak. Faktor utama tidak diikusertakannya para orangtua dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan program pendidikan individual anak disebabkan karena adanya sistem pendidikan luar biasa di Indonesia yang secara khusus tidak mengadakan program pendidikan anak secara individual balk dalam pelaksanaannya maupun dalam perencanaannya. Oleh karena itu program pendidikan bagi anak-anak sudah ditentukan dalam suatu kurikulum pendidikan luar biasa yang telah ditetapkan oleh Depdiknas, sehingga para guru ini hanya berperan sebagai pengajar dan pelaksana isi kurikulum tersebut.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T18112
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diar Luthfi Khairina
Abstrak :
ABSTRAK
Gangguan berbicara merupakan gangguan yang paling dominan dan terlihat pada penderita sindrom Down. Beberapa hal yang menyebabkan gangguan berbicara pada penderita sindrom Down adalah gangguan kognitif, gangguan pendengaran, dan input linguistik yang mereka terima sehari-hari. Namun, penyebab yang paling utama dan tampak adalah ciri fisiologis pada alat ucap mereka. Hal tersebut menyebabkan produksi ujaran pada penyandang sindrom Down mengalami penyimpangan, seperti penghilangan bunyi, pengubahan bunyi, penambahan bunyi, reposisi bunyi, dan gabungan antarpenyimpangan tersebut. Dengan mengetahui pola penyimpangan yang dilakukan mereka, mitra tutur akan dengan mudah memahami ujaran penyandang sindrom Down. Oleh karena itu, penulis meneliti ketepatan bunyi dalam bunyi ujaran yang diproduksi oleh anak sindrom Down saat mengulang kata. Hal tersebut dapat memperoleh gambaran bunyi-bunyi dalam bahasa Indonesia apa saja yang seringkali salah diucapkan oleh anak-anak dengan sindrom Down hingga membentuk pola ujaran. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Subjek penelitian ini adalah 3 orang penderita Sindrom Down rata-rata berusia 16 tahun dengan rata-rata usia mental 4 tahun dan nilai IQ yang berada pada kategori severe mental retardation. Teori yang dipakai dalam penelitian ini, antara lain teori fonetik yang digagas oleh Lapoliwa (1988) dan teori bunyi bahasa yang digagas oleh Rahyono (2007). Dari penelitian ini ditemukan pola yang serupa dari penyimpangan yang dilakukan oleh ketiga subjek penelitian. Selain itu, diketahui pula bahwa alat ucap bukan merupakan satu-satunya penyebab penyandang sindrom Down tidak dapat mengujarkan sebuah bunyi, melainkan mereka tidak memiliki kesadaran fonologis.
ABSTRACT
Speech disorder is the most dominant disorder that can be observed in people with Down syndrome. The main and visible causes of the speech disorder are physiological features in their speech organs. It causes deviations in their utterance production, such as sound omission, sound substitution, sound augmentation, sound reposition, and the combination of all the deviations. By knowing the patterns of deviations that they do, the speech of people with Down syndrome will be easily understood. Therefore, this research wants to examine the accuracy of sounds in the speech produced by people with Down syndrome when repeating words. Sounds which are often pronounced wrongly by people with Down syndrome are expected to be found. The method used in this research is qualitative method. The subjects of this study were 3 people with Down syndrome on average aged 16 years with an average mental age of 4 years and IQ scores are in severe mental retardation category. This research uses the phonetic theory which is stated by Lapoliwa (1988) and the sounds of language theory stated by Rahyono (2007). A similar pattern of deviations made by the three subjects of the study are observed. In addition, it is also known that speech organs are not the only cause of people with Down syndrome produce the utterances correctly, but they do not have phonological awareness.
2018
T51264
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Uji Arum Ismartini
Abstrak :
ABSTRAK
Anak merupakan harta yang paling beiiiarga bagi orangtua. Khususnya bagi ibu, anak yang lahir dengan sehat dan tidak berkelainan memilild simbol bahwa ibu mampu memberikan ketuninan yang baik. Berbedajika anak yang dilahirkan memilild kelainan Down Syndrome. Hal ini dapat membuat ibu mengalami shock dan kekecewaan yang hebat (Ashman & Eikins, 1994), karena kelainan Down Syndrome dapat terlihat dengan jelas, sehingga dapat menimbulkan reaksi lingkungan yang d£Q}at berpengaruh teriiadap penerimaan ibu. Selain itu hadin^ra anak Down Syndrome akan berpengaruh pada pengaturan waktu luang dan ekonomi keluarga Harapan ibu juga akan menurun setelah mengetahui keterbatasan-keterbatasan yang dimilild anak Untuk dapat menerima kondisi anaknya, ibu membutuhkan waktu yang relatif cukup panjang. Diawali dengan perasaan shock, sedih dan kecewa (primary phase). Kemudian dalam diri ibu akan timbul rasa marah, bersalah, ambivalensi dan maiu (secondary phase). Kondisi ini akan terns berlangsung hingga ibu menyadari bahwa anaknya membutidikan intervensi yang tepat (tertiary phase) (Kubler-Ross dalam Gargiulo, 1985). Pada saat ini dapat dikatakan bahwa ibu sudah dapat menerima kondisi anaki^a, walaupun penerimaaniQra tidak akan pemah sempuma karena perasaan sedih dan depresi akan selalu muncul (Gargiulo, 1985). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses penerimaan ibu antara lain adalah sikap lingkungan dan kerabat dekat (significant others), reaksi abnormal anak, kesenjangan yang timbul antara harapan dan kenyataan, serta tingkat ekonomi dan orientasi pendidikan. Kesemuanya itu saling berinteraksi dengan proses yang ibu alami d^am menerima kondisi anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses penerimaan ibu anak Down Syndrome yang berusia kurang dari lima tahun. Penerimaan ibu merupakan hal yang penting bagi anak Down Syndrome, karena semakin cepat ibu dapat menerima kondisi anak, semakin cepat ibu dapat mengambil tindakan selanjutnya untuk meningkatkan kemampuan anak. Lima tahun pertama merupakan masa yang relatif berat bagi ibu, dimana ibu memperoleh diagnosa yang akurat, kemudian mengalami berbagai emosi yang berfluktuasi, hingga akhimya dapat menerima kondisi anak (Tumbull, dkk. dalam Heward, 1996). Taliun-tahun selanjutnya ibu sudah mulai dapat mengorganisasi kehidupan seharihari, dan kekhawatiran pada anak sudah mulai berkurang. Untiik dapat mengetahui proses penerimaan teisebut, digunakan pendekatan kualitatif dengan metode single case study. Sampel diperoleh melalui prosedur typical purposeful sampling. Data penelitian diperoleh melalui wawancara dan observasi terhadap tiga orang ibu yang memiliki anak Down Syndrome benisia kurang dari lima tahun dan tinggal bersama anak teisebut. Untuk memenuhi etika penelitian, maka identitas asli dari subjek disamarkan sedemikian rupa sehingga tidak tersebar luas. Penelitian ini divalidasi dengan menggunakan metode member checks. Data yang diperoleh dianalisa dengan cara koding. Hasil dari penelitian mi menunjukkan bahwa pada ketiga ibu muncul reaksi-reaksi primary, secondary, dan tertiary phase. Hanya saja, tidak semua ibu mengalaminya. Misdnya saja sebagian ibu merasa shock dengan hadimya anak Dawn Syndrome, namun ada ibu yang tidak merasa shock. Kemudian, sebagian ibu tidak malu dengan kondisi anaknya, tetapi ada pula ibu yang malu dan risi dengan kondisi anakya. Dari ketiga subjek juga diketahui bahwa reaksi ^ef and depression teijadi sejak anak Dawn Syndrome lahir dan masih berlanjut faingga saat ini. Sedangkan adaptasi teihadap anak yang merupakan bagian dari tertiary phase tennyata muncul sejak awal, beberapa saat setelah anak didiagnosa mengalami Dawn Syruirome. Ketiga subjek juga menunjukkan bahwa reaksireaksi yang mereka ^ami tidak berurutan, seperti ibu yang tidak mengalami reaksi tertentu, kemudian "lompat" pada reaksi selanjutnya. Selain itu juga diketahui reaksi-reaksi yang merupakan bagian dari secondary phase temyata muncul pada saat ibu sedang berada pada primary phase. Begitu juga dengan tertiary phase yang muncul saat ibu sedang berada pada secondary phase, sehingga dapat dikatakan bahwa proses penerimaan yang dilewati ibu anak Dawn Syndrome mengalami tumpang tindih. Hal ini sebenamya merupakan fenomena yang wtgar, karena tergantung sepenuhnya pada keunikan individu masing-masing (Gargiulo, 1985). Dari hasil penelitian juga dapat disimpulkan bahwa pada akhimya ketiga subjek dapat menerima kondisi anak mereka, tenitama karena adanya dukungan dari orang terdekat dan lingkungan. Berdasarkan hasil penelitian maka disarankan pada ibu yang memiliki anak Down Syndrome untuk mengjkuti program parent support group, sehingga dapat berbagi cerita dengan ibu-ibu lain yang juga memiliki anak Down Syndrome. Selain itu bagi konselor yang terlibat dalam parent support group, (hsarankan untuk memfokuskan pada tahap penerimaan yang dialami ibu, sehingga dapat memberikan penanganan yang lebih tepat. Kemudian bagi yang berminat untuk melakukan penelitian lebih lanjut, dapat digunakan metode lain dalam kerangkan kualitatii^ kemudian menggunakan sumber data yang lebih bervariasi. Dengan demikian hasil yang diperoleh dapat lebih kaya.
2001
S2804
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>