Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 71 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arnawilis
"Biaya belanja obat pada tahun 2000 di Rumah Sakit "IBNU S1NA" Pekanbaru sebesar Rp 2.784.442.315,00 atau 31,29% dari seluruh biaya operasional rumah sakit (Rp 8.894.418.879,00). Meskipun biaya yang dikeluarkan untuk pembelanjaan obat tersebut sudah cukup besar tetapi masih ditemukan masalah berupa belanja obat ke apotek luar sebesar Rp 325.687.400,00 atau 11,69%, dari biaya belanja obat. .Obat yang dibeli secara kontrak menumpuk sebesar Rp 249.059.000,00 atau 49,18% dari nilai obat yang dibeli secara kontrak yaitu sebesar Rp 600.000.000,00. Sejumlah obat deadstock sebesar Rp. 22.603.827,00 atau 0,8% dari biaya belanja obat. Penulis berasumsi masalah tersebut terjadi karena belum memadainya perencanaan obat di Rumah Sakit "IBNU S1NA" Pekanbaru. Berdasarkan hal tersebut penulis ingin mendapatkan gambaran perencanaan obat di Rumah Sakit "IBNU SINA" Pekanbaru pada Januari 2000 sampai dengan Desember 2000.
Penelitian ini merupakan studi kasus dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Data diperoleh melalui wawancara mendalam yang mencakup informasi dari informan yang terkait, observasi dengan menelusuri data yang terdokumentasi. Penelitian ini dilaksanakan dari awal Mei sampai akhir Juni 2001.
Hasil wawancara mendalam dari observasi yang dilakukan terhadap variabel-variabel terkait dengan perencanaan obat di Rumah Sakit "IBNU SINA" Pekanbaru tahun 2000, didapatkan hal-hal yang sudah dipertimbangkan, yaitu pemakaian obat periode sebelumnya, stok akhir, masa tenggang (lead time), kapasitas gudang, stok pengaman, usulan dokter, usulan kepala kamar operasi, dan anggaran. Dengan catatan belum adanya data yang mendukung perhitungan terhadap hal-hal yang dipertimbangkan tersebut. Didapatkan juga hal-hal yang seharusnya sudah dipertimbangkan, tetapi pada kenyataannya belum dipertimbangkan, yaitu usulan komite medik, usulan panitia farmasi dan terapi, usulan kepala IGD, usulan kepala ruangan perhitungan analisis ABC pemakaian, perhitungan analisis ABC investasi, perhitungan indeks kritis ABC, perhitungan Economic Order Quantity (EOQ), pertimbangan Length of Slay, pola penyakit, formularium, dan standar terapi.
Hasil penelitian menggambarkan bahwa perencanaan obat di Rumah Sakit "IBNU SINA" Pekanbaru tahun 2000 belum efektif, mengingat hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam perencanaan obat belum sepenuhnya dipertimbangkan, dan pihak-pihak yang seharusnya terlibat belum dilibatkan.
Agar perencanaan obat lebih efektif dan efisien, maka penulis menyarankan kepada pihak manajemen dalam membuat perencanaan kebutuhan obat sebaiknya mempertimbangkan hal-hal yang semestinya dipertimbangkan dengan melibatkan pihak-pihak terkait. Selain itu, perlu dibuat prosedur tetap dan kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan perencanaan obat.

The Process of Planning for Medical Supplies at IBNU SINA Moslem Hospital, Yarsi Riau - Pekanbaru, 2000.The medicine expenditure in the year 2000 at IBNU SINA Hospital, Pekanbaru was Rp 2,784,442,315.00 or 31.29% from the whole operational costs (Rp 8,894,418,879.00). Although the medicine expenditure is quite large, there still are prescriptions filled to other pharmacies amounting to Rp 325,687,4000.00 or 11.69% from the total medicine expenditure. Unused medication bought through contracts reached Rp 249,059,000.00 or 49.18% from the Rp 600,000,000.00 spent on medicine. The amount of dead stock medicine was Rp 22,603,827.00 or 0.8% from the total medicine expenditure. The author assumes that inadequate medical planning at IBNU SINA Hospital, Pekanbaru, caused it. Based on those facts, the author aims to achieve an illustration of the medical planning at IBNU SINA Hospital, Pekanbaru in January 2000 to December 2000.
This study was a case study that applies a qualitative approach. The data obtained through in-depth interviews that comprised of the information from related informants, observation by tracing documenting data, and Discussion Group Focus (FGD). This study began in early May to the end of June 2001.
The in-depth interviews, Discussion Group Focus, and observations on related variables against medical planning at IBNU SINA Hospital, Pekanbaru, in the year 2000, these aspects were already being considered: the use of medical supplies during the previous period, final stocks, lead time, warehouse capacity, safety stock, doctor recommendations, recommendations from the head of the surgery room, and budget. However, there is no data that supports the calculations on the aspects above. There were also several items that should be considered, but were not, such as the recommendations from the medical committee, pharmacy and therapy committee, the head of the IGD, the head of the room, calculations analysis of the ABC use, calculations analysis of the ABC investing, calculations on the ABC critical index, the Economic Order Quantity (ECQ), the Length of stay, disease pattern, Hospital drug standard, and therapy standard.
The study indicated that the medical supplies planning at IBNU SINA Hospital, Pekanbaru, in the year 2000, was ineffective, since the aspects that should be considered had not been considered, and the parties that should be involved were not involved.
To make the planning more effective and efficient, the author suggests the management to take into consideration the aspects above and involve the related parties. In addition to that, create a standard procedure and policies that is related to the planning.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T592
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mustofa
"Toko obat berijin sebagai bagian dari sistem distribusi obat dalam upaya pemerataan ketersediaan obat sehingga obat mudah diperoleh pada saat yang diperlukan dan terjangkau oleh masyarakat sesuai dengan salah satu kebijakan nasional dibidang obat.
Kepatuhan pemilik toko obat berijin dalam menyalurkan obat-obatan berguna dalam mencegah terjadinya penyalahgunaan dan kesalahgunaan obat, tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pemilik toko obat dalam melaksanakan ketentuan pokok operasional toko obat berijin yaitu Keputusan Menteri Kesehatan nomor 167 tahun 1972.
Penelitian dilakukan dengan rancangan cross-sectional , pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner dan pengamatan langsung di lapangan, penentuan patuh dan tidak patuh berdasarkan ditemukan atau tidaknya obat keras, obat palsu atau diduga palsu di toko obat yang dijadikan sampel. Responden adalah 70 pemilik toko obat berijin yang tersebar di sembilan Kabupaten/Kota dalam provinsi Jambi dan faktor-faktor yang dilihat hubungannya dengan kepatuhan adalah faktor pendidikan, pengetahuan, sikap, persepsi, motivasi, penerapan sangsi, supervisi, tingkat kehadiran asisten apoteker penaggung jawab serta faktor lingkungan.
Hasil penelitian menunjukan 44 responden (62,8%) patuh, sedangkan sisanya 26 responden (37,8%) kurang patuh. Dart sembilan faktor yang diteliti ternyata empat diantaranya mempunyai hubungan dengan kepatuhan pemilik toko obat berijin yaitu faktor motivasi, supervisi, kehadiran asisten apoteker dan lingkungan. Pemilik toko obat berijin yang memiliki motivasi tinggi 5,6 kali lebih patuh dari yang memiliki motivasi rendah; yang menyatakan supervisi bermanfaat 3,4 kali lebih patuh dari yang menyatakan supervisi kurang bermanfaat; toko obat yang sering dikunjungi oleh asisten apoteker penangung jawab, lebih patuh 7,6 kali dari yang jarang dikunjungi oleh asisten apotekernya dan pemilik toko obat yang berada dalam lingkungan kondusif 23 kali lebih patuh dari pemilik toko obat yang berada dalam lingkungan kurang kondisif. Faktor lingkungan diketahui merupakan faktor paling dominan yang mempengaruhi kepatuhan pemilik toko obat berijin.
Untuk menekan persentase pelanggaran di toko obat diharapkan Balai POM di Jambi lebih menekankan pada perbaikan lingkungan berupa penyebaran informasi kepada masyarakat tentang efek samping obat dan cara pemakaian obat yang benar serta rasional; Pemerintah daerah (Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota) mampu memberikan arahan baik kepada asisten penanggung jawab maupun kepada pemilik toko obat tentang tugas dan tanggung jawab selaku pengelola toko obat berijin sebelum ijin dikeluarkan dan kepada Badan POM diharapkan dapat menambah frekuensi supervisilpengawasan di lapangan secara lebih proporsional sesuai dengan luas wilayah kerja dan jumlah sarana yang harus diawasi oleh Balai POM."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T4606
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Supriyanto Utomo
"Obat merupakan salah satu sumber daya penting yang diperlukan dalam upaya pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas. Pengadaan obat oleh pemerintah jumlahnya terbatas, oleh karena itu perlu dilakukan langkah-langkah perencanaan, pengelolaan obat yang baik dan yang lebih penting adalah penggunaannya harus rasional.
Penggunaan obat yang tidak rasional akan berdampak buruk pada sisi ekononni (pemborosan sumber daya), pada sisi medik (efek samping, resistensi dan penyakit iatrogenik), dan pada sisi psikososial di masyarakat yaitu ketergantungan masyarakat pada obat tertentu (injeksi).
Berbagai upaya untuk mengurangi penggunaan obat tidak rasional telah dilakukan oleh pemerintah melalui Proyek Kesehatan IV yang disponsori oleh Bank Dunia di 5 Provinsi termasuk Provinsi Kalimantan Barat yang dimulai pada tahun anggaran 1995/1996 sampai dengan tahun anggaran 1999/2000, diantaranya adalah Pelatihan Penggunaan Obat Rasional pada dokter dan paramedis di Puskesmas.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat penggunaan obat tidak rasional di Puskesmas se Kabupaten Sambas Kalimantan Barat tahun 1999 menggunakan 3 indikator peresepan obat yaitu; 1)% peresepan antibiotik, 2)% peresepan injeksi dan 3)polifarmasi. Faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan penggunaan obat tidak rasional juga dilihat.
Total sampel dalam penelitian ini adalah 423 resep yang berasal dari semua Puskesmas di Kabupaten Sambas yang berjumlah 29 buah yang diambil dengan menggunakan stratified proportional random sampling method dari resep yang ditulis oleh 30 tenaga kesehatan yang melakukan pelayanan pengobatan. Penefitian ini menggunakan disain penelitian potong lintang dan dilaksanakan selama 1 bulan (Desember 1999),
Sebagai variabel terikat adalah penggunaan obat tidak rasional dengan 3 indikator peresepan tersebut di atas; sebagai variabel babas adalah Karakteristik individu tenaga kesehatan (jenis tenaga, masa kerja, penetapan diagnosis, -sikap terhadap Pedoman Pengobatan, sikap terhadap penggunaan obat rasional dan sikap terhadap manajemen obat), dan Karakteristik lingkungan (Karakteristik pasien/pengantarnya meliputi umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pekerjaan, tingkat pengetahuan pada antibiotik dan injeksi, serta tingkat motivasi untuk suntik), tingkat kecukupan obat, manajemen obat dan jumlah kunjungan poliklinik Puskesmas per hari.
Hasil penelitian menunjukkan proporsi penggunaan obat tidak rasional adalah 46,6%. Pelayanan pengobatan 65,7% dilakukan oleh perawat/bidan.
Dari analisis bivariat diketahui beberapa variabel yang secara bermakna (p<0,05) berhubungan dengan penggunaan obat tidak rasional di Puskesmas yaitu; 1)jenis tenaga kesehatan (p-0,000), 2)masa kerja (p-0,000), 3)sikap terhadap Pedoman Pengobatan (p =0,007), 4)sikap terhadap penggunaan obat rasional (p=0,001), 5)umur c 44 tahun (p-0,401), 6)motivasi untuk suntik (p-O,021), 7)tingkat kecukupan obat (p=0,007) dan 8)jumlah kunjungan poliklinik per hall (p=0,023),
Pada analisis multivariat dihasilkan 5 variabel dominan dan 3 variabel interaksi yang bermakna (Likelihood Ratio Test p-X2=0,0000 di-8) secara bersama-sama berhubungan dengan penggunaan obat tidak rasional yaitu; 1)jenis tenaga kesehatan (perawat/bidan), 2)jumlah kunjungan poliklinik per hail (sedikit), 3)Tingkat kecukupan obat (cukup), 4)umur (5 44 tahun), 5)sikap terhadap Pedomam Pengobatan (negatif), .6)interaksi jenis tenaga kesehatan (perawat/bidan)*jumlah kunjungan poliklinik per hari (sedikit), 7)interaksi jumlah kunjungan poliklinik per hari (sedikit)*tingkat kecukupan obat (cukup) dan 8)interaksi-interaksi jumlah kunjungan poliklinik per hari (sedikit)*umur (S 44 tahun).
Rekomendasi dari penelitian ini adalah legislasi tenaga paramedis dalam melakukan upaya pengobatan dasar di Puskesmas, peningkatan pengetahuan dan ketrampilan paramedis di bidang upaya pengobatan melalui pelatihan yang terprogram dan berkesinambungan, penyusunan Pedoman Pengobatan yang bersifat lokal yang melibatkan seluruh dokter Puskesmas dengan melakukan penyesuaian (adjusting) Pedoman Pengobatan dari Depatemen Kesehatan, meningkatkan peran dokter dalam supervisi dan sebagai pelatih di bidang upaya pengobatan terhadap paramedis, pendidikan kesehatan masyarakat untuk mengurangi penggunaan injeksi dan memperbaiki perencanaan kebutuhan obat dengan menggunakan metode epidemiologi di samping metode konsumsi yang selama ini dipakai dengan peningkatan kemampuan perencana di Kabupaten melalui pelatihan di bidang perencanaan, penelitian lanjutan dengan melihat indikator penggunaan obat tidak rasional lain yang belum diteliti, dan yang lebih penting adalah komitmen yang tinggi dari Kepala Dinas Kesehatan Dati II Sambas untuk meningkatkan penggunaan obat rasional dengan cara memperbaiki pola peresepan obat di Puskesmas."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simbolon, Johnson
"Sistem distribusi obat adalah suatu sistem yang diterapkan oleh farmasi rumah sakit X sejak dari Perencanaan, Pengadaan, Penyimpanan dan Pengaturan Obat dan Alat Kesehatan. Ada dua macam sistem yang dijalankan di rumah sakit X yaitu sistem distribusi Tradisional dan sistem distribusi Dosis Unit. Sejak tahun 1986 bulan Agustus pada ruang rawat nginap kelas III (Ruang Melati) telah dijalankan sistem distribusi Dosis Unit sebagai pilot proyek (uji coba).
Dari penelitian-penelitian yang pernah dilakukan di luar negeri dikatakan bahwa sistem ini menguntungkan bagi rumah sakit dan pasien. Keuntungan yang diperoleh adalah dari ketepatan waktu pembelian obat, biaya pembelian maupun keamanan didalam pemakaian obat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana sistem distribusi obat mempengaruhi lamanya penderita dirawat di rumah sakit. Selain faktor distribusi juga ingin diketahui apakah faktor-faktor lain seperti dokter, alamat, diagnosa penyakit dan pembayar biaya juga mempengaruhi LHR di rumah sakit X ini. Dengan diketahuinya pengaruh sistem distribusi obat dan faktor-faktor lain terhadap LHR yang merupakan salah satu tolak ukur performance rumah sakit, ini dapat sebagai dasar untuk menerapkan sistem ini di rumah sakit secara menyeluruh. Pengaruh sistem dan faktor-faktor lain ini terhadap LHR juga dapat sebagai dasar pemikiran kepada pimpinan rumah sakit untuk menentukan garis-garis kebijakan selanjutnya.
Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen dengan meneliti data sekunder tahun 1987.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh sistem distribusi, dokter yang merawat, diagnosa penyakit dan pembayar biaya terhadap LHR. LHR penderita yang dirawat oleh dokter organik, yang diagnosanya infeksi akut, yang distribusi obatnya dosis unit dan pembayar biayanya pribadi adalah lebih pendek.
Dengan bantuan analisis statistik yaitu: Uji T dan Uji Regresi Ganda membuktikan adanya hubungan antara sistem distribusi, dokter, diagnose, pembayar biaya dengan LHR. Penelitian ini menyimpulkan bahwa apabila kita ingin mengembangkan sistem distribusi dosis unit di rumah sakit dengan dasar pengaruh terhadap LHR adalah tidak relevan. Sedangkan untuk faktor-faktor dokter organik, diagnosa infeksi akut, pembayar biaya pribadi dan distribusi dosis unit LHRnya lebih pendek.
Disarankan agar dilakukan penelitian lebih lanjut untuk sistem distribusi obat di rumah sakit yang menyangkut faktor biaya dan manajemen."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1988
T6719
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Duwi Basuki
"Angka kematian dan kecacatan semakin meningkat akibat kesalahan dalam pemberian obat, dapat dicegah dengan supervisi secara optimal. Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan persepsi perawat pelaksana tentang supervisi pimpinan ruang dengan pelaksanaan SOP pemberian obat. Desain penelitian menggunakan rancangan cross sectional. Jumlah sampel penelitian 73 perawat pelaksana dan 12 pimpinan ruang. Hasil observasi pelaksanaan kegiatan supervisi pimpinan ruang (58,33%) tidak baik dan pelaksanaan sop pemberian obat (39,7%) tidak baik.
Hasil penelitian didapatkan tidak ada hubungan bermakna supervisi pimpinan ruang terhadap pelaksanaan SOP pemberian obat ( p= 0,566). Upaya untuk meningkatkan pelaksanaan SOP pemberian obat dengan meningkatkan supervisi pimpinan ruang secara terencana dan terjadwal, penambahan fasilitas alat dan pendidikan non formal melalui pelatihan berkesinambungan.

Mortality and disability is increasing due to errors in drug administration can prevent with optimum supervision. The purpose of this study was to relationship between nurses staff? perceptions toward head nurses? supervision and the implementation of standard operating procedure for drug administration. This was a cross sectional study involving 73 nurse staff and 12 head nurses. It was observed that lack of an appropriate supervision led not good (58,33%) and to the implementation of drug delivery was also not good (39,7%).
It was found that there was no significant effect of head nurses? supervision and the implementation of standard operating procedures for drug administration (p = 0.566). Efforts to improve the implementation of standard operating procedures for drug administration could be done by a planned and scheduled head nurse?s supervision as well, to facilitates for drug administration and non formal education through continuous training.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2012
T30588
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rizqi Ramadhan Afif
"Obat ini sangat penting bagi kehidupan manusia. Hal ini dapat membantu mengurangi rasa sakit dan menyembuhkan penyakit. Namun konsumsi obat harus mengikuti peraturan yang ada. Pelepasan obat dapat dimanipulasi melalui model obat Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan model yang valid obat terdiri dari parasetamol dan kitosan matriks. Sebuah model yang valid dapat dicapai jika hasil dari percobaan dan simulasi menunjukkan nilai perbedaan sedikit Juga konsentrasi profil parasetamol dalam bentuk padat cair dan parasetamol dalam air akan mengamati dan menganalisa secara benar Hasil dari penelitian ini adalah profil pelepasan parasetamol selama 25 menit. Dan itu menunjukkan pelepasan persen parasetamol selama 25 menit Matriks membutuhkan sekitar 7 jam untuk melepaskan parasetamol dalam matriks dengan parameter adalah koefisien pembubaran obat adalah 1x10 9 ml2 mol2 h dan koefisien difusi paraetamol dalam cairan adalah 5 x 10 8 m2 s Dari percobaan parasetamol loading 2,66%, 5,65% and 7,45%.. The pelepasan obat akan terjadi dalam larutan penyangga yaitu air dengan pH 7, 4. Diasumsikan bahwa parasetamol hanya dilepaskan ke air chitosan diasumsikan tidak melepaskan ke air sehingga air harus memiliki pH 7,4 Setelah 25 menit dari rilis persen sampel adalah 14 6 untuk sampel B adalah 13,6 % dan untuk sampel C adalah 21,7%.

Drug is very important for human being. It can help reduce pain and cure diseases. However consumption of drug must follow its existing regulations. The release of a drug can be manipulated through a model of the drug. The main objective of this research is to obtain a valid model of a drug consist of paracetamol and chitosan matrix. A valid model can be achieve if the result from experiment and simulation show a slightly difference values. Also, the profile concentration of paracetamol in solid, paracetamol in liquid and water will be observe and analyze correctly. The result of the research is profile release of paracetamol for 25 minutes. And it shows the percent release of paracetamol for 25 minutes. The matrix needs approximately 7 hours to release paracetamol inside the matrix, with parameters are: the coefficient of drug dissolution is 1x10-9 ml2/mol2 h and diffusion coefficient of paraetamol in liquid is 5 x 10-8 m2/s. From the experiment, paracetamol loading are 2,66%, 5,65% and 7,45%. The drug release will occurred in buffer solution, which is water with pH 7,4. It was assumed that only paracetamol is released to the water, chitosan is assumed not release to the water, therefore the water must have pH 7,4. After 25 minutes percent release of sample A is 14,6 %, for sample B is 13,6 % and for sample C is 21,7 %."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
S44361
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mahdi Jufri
"The clinical use of the poorly water-soluble drug substance become inefficient by means of low level penetration of such kind drug in the body. Microemulsion is a dispersion system like an emulsion which could help to increase the solubility of poorly water-soluble drug. In this research, poorly water-soluble drug is made in a dosage form of microemulsion with Gamexan as a model. An experiment has been conduct by using benzyl benzoate as an oil phase, Tween 20 with variety concentration (35%;40%;45%) and sodium lauryl ether sulphate as surfactant components. The evaluation are consist of determining the amount of Gamexan in the microemulsion and stability test both physic and chemically. The result shows that all three of the microemulsion formula dosage form indicate good stability during two months of storing."
Depok: [Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, Universitas Indonesia], 2004
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Since the dicovery of liposome or lipid vesicles derived from self limiting enclosed lipid bilayer upon hydration, liposome drug delivery systems have played a significant role in formulation of potent drugs to improve therapeutics. Currenlty most of these liposome formulation are designed to reduced toxicity and to some
extent increase accumulation at the target site(s) in a the number of clinical application. The current pharmaceutical preparations of liposome based therapeutics stem from our understanding of lipid drug interactions and the liposome disposition mechanism including the inhibition of rapid clearance of liposome by controlling size ,
charge and surface hydration."
[Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, Universitas Indonesia], 2004
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Sediaan mengapung dirancang untuk meningkatkan bioavailabilitas
obat melalui perpanjangan waktu tinggal sediaan di lambung (dekat dengan
loka absorpsi) dan memperpanjang pelepasan obat dengan mengendalikan
laju pelepasannya. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh formula
tablet mengapung dengan menggunakan kombinasi pragelatinisasi pati
singkong propionat (PPSP) dan hidroksipropil metilselulosa (HPMC) sebagai
matriks. Penelitian ini menerapkan granulasi basah sebagai metode
pembuatan tablet dengan teofilin sebagai model obat. Semua formula, yang
dibuat dengan memvariasikan komposisi polimer penyusun matriks,
menunjukkan periode mengapung diatas 8 jam pada asam klorida 0,1N 370C.
Uji keterapungan, daya mengembang, dan kinetika pelepasan obat
merupakan parameter penting tablet mengapung. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa formula dengan matriks PPSP:HPMC=1:1 merupakan
formula terbaik yang paling mendekati formula pembanding dengan matriks
HPMC 100% dengan kinetika pelepasan mengikuti persamaan Higuchi dan
mekanisme difusi non-Fickian."
Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maya Ruslina Yanita Dewi
"Sistem pengantaran obat merupakan hal yang harus terus dikembangkan dalam upaya mengatasi penyakit kanker dan untuk membuat obat yang lebih aman untuk tubuh. Asetogenin merupakan salah satu senyawa bioaktif yang terbukti dapat mengobati penyakit kanker. Kitosan merupakan salah satu polimer alam yang memiliki sifat biodegradabel dan biokompatibilitas yang baik serta dapat membentuk polikation sehingga dapat digunakan sebagai mikrosfer penyalut obat. Sedangkan etil selulosa merupakan polimer alami yang memiliki sifat biokompatibilitas yang baik dan tahan terhadap pH asam lambung sehingga dapat melindungi obat dan mikrosfer agar lepas pada sasarannya. Preparasi mikrosfer dilakukan dengan metode emulsi taut silang dengan menggunakan emulsifier span 80 dan agen penaut silang tripolifosfat (TPP) dengan variasi perbandingan kitosan dan etil selulosa. Dari hasil pengamatan profil pelepasan obat diketahui bahwa etil selulosa dapat menghambat laju pelepasan asetogenin dan preparasi dengan menggunakan rasio kitosan dengan etil selulosa sebanyak 2:5 lebih efektif dan stabil dalam pelepasan obat maupun emulsinya.

Drug delivery system is developed in order to overcome cancer and also to make drugs safer for the body. Acetogenin is one of the bioactive compounds that is proven to treat cancer. Chitosan is a natural polymer that has biodegradability and biocompatibility properties and can make polycation that can be used as drug coating microspheres. While ethyl cellulose is a natural polymer which has good biocompatibility and resistant to pH of gastric acid so that can protect the drug and microsphere to release in its target. Preparation of microsphere is made by emulsion crosslinking method using span 80 as emulsifier and tripolifosfat (TPP) as crosslinking agent with ratio of chitosan and ethyl cellulose variation. From the observation of release profile is known that erhyl cellulose can retard release rate of acetogenin and preparation using ratio of chitosan and ethyl cellulose of 2:5 is a more effective and stable in the release and emulsion."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
S47234
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8   >>