Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abd. Rahman
"Disertasi ini membahas mengenai Penataan Maluku Utara pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda yang berdampak pada berakhirnya Kerajaan Loloda di Pesisir Pantai Barat Laut Halmahera. Lingkup temporal kajian disertasi ini dimulai dari 1817 sampai pada berakhirnya masa pemerintahan Kerajaan Loloda di Halmahera Utara pada 1915. Pada 1817 Belanda kembali mengambil alih kekuasaan atas seluruh Kawasan Laut dan Kepulauan Maluku dari kekuasaan Pemerintahan Kolonial Inggeris. Segera setelah itu, Pemerintah Kolonial Belanda, langsung membuat tiga kontrak pertama dengan para raja dan sultan serta penguasa-penguasa pribumi lainnya di Maluku Utara, terutama dengan Ternate, Tidore, dan Bacan. Tiga kontrak pertama itu adalah Kontrak 1817, 1822, dan 1824 yang melibatkan raja dan penguasa Loloda di dalamnya. Ketiga kontrak pertama itu dijadikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda sebagai dasar pembuatan kontrak-kontrak politik selanjutnya untuk menata Maluku Utara. Setelah dikaji secara mendalam, nampak terlihat bahwa substansi setiap kontrak tersebut hampir semuanya hanya menguntungkan pihak Pemerintah Kolonial Belanda.
Terdapat empat aspek utama yang ditata oleh Belanda dalam setiap kontrak yang disepakatinya dengan para raja dan Sultan di Maluku Utara itu, yakni: 1) wilayah; 2) politik pemerintahan; 3) ekonomi dan perdagngan; dan 4) sosial budaya dan keagamaan. Selama dalam masa kekuasaannya di Maluku Utara Pemerintah Kolonial Belanda telah melakukan sebanyak tiga kali penataan wilayah pemerintahan termasuk daerah-daerah di sepanjang Pesisir Pantai Barat Halmahera yang dikuasai Kerajaan Loloda. Periodisasi penataan pemerintahan atas Maluku Utara yang dimaksud adalah: pertama, periode 1817—1865; kedua, periode 1866—1897; dan yang ketiga, periode 1898—1908. Dalam penataan kedua dan ketiga, Pemerintah Kolonial Belanda melakukan pengambilalihan dominasi Raja Loloda, Sultan Ternate, dan penguasa pribumi Maluku Utara lainnya atas hak kepemilikan dan pengelolaan potensi ekonomi sumber daya alam khususnya lahan hutan, pertanian, dan perkebunan yang menghasilkan komoditi perdagangan menguntungkan bagi para Pengusaha Kolonial Belanda. Dampak yang ditimbulkan oleh Penataan Maluku Utara oleh Pemerintah Kolonial Belanda dalam bidang politik dan ekonomi menimbulkan penentangan penduduk Loloda dengan tindakan perlawanan pimpinan Kapitan Sikuru pada 9 Februari 1909. Perlawanan itu timbul karena faktor pemungutan pajak, pengerahan tenaga kerja, dan persoalan konversi agama sebagai konsekuensi dari penataan Maluku Utara. Setelah Pemerintah Kolonial Belanda berhasil menumpas perlawanan itu, Kerajaan Loloda kemudian dibubarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda seiring dengan meninggalnya Raja Loloda terakhir, Kolano Syamsuddin Syah (1906—1909) pada 1915. Peristiwa pembubaran itu menyebabkan Kerajaan Loloda mengalami kemerosotan entitas politik dan degradasi kedaulatan, yang berujung pada berakhirnya kerajaan tersebut di pesisir pantai barat laut Halmahera.

This dissertation discusses the structuring of North Maluku during the Dutch Colonial Government which had an impact on the end of the Loloda Kingdom on the West Coast of Halmahera. The temporal scope of this dissertation study began from 1817 until the end of the reign of the Kingdom of Loloda in North Halmahera in 1915. In 1817 the Dutch again took power over the entire Sea Zone and the Maluku Islands from the British Colonial Government. Soon after, the Dutch Colonial Government immediately made the first three contracts with kings and sultans and other indigenous rulers in North Maluku, especially with Ternate, Tidore, and Bacan. The first three contracts were Contracts 1817, 1822 and 1824 involving the king and the ruler of Loloda in them. The three contracts were made by the Dutch Government as the basis for making further contracts to organize North Maluku. After being studied in-depth, it seems that the substance of each contract is almost all of which only benefits the Dutch East Indies Colonial Government.
There are four main aspects arranged by the Dutch in each contract that he agreed with the Sultan of North Maluku, namely: 1) territory, 2) government politics, 3) economy and trade, and 4) social culture, and religion. During his reign in North Maluku, the Dutch East Indies Colonial Government had conducted three times the arrangement of government areas including areas along the Western Coast of Halmahera which were controlled by the Kingdom of Loloda. The period of governance arrangement in North Maluku is: first, the period 1817-1865; second, the period 1866-1897; and the third, the period 1898-1908. In the second and third arrangements, the Dutch Colonial Government seized the domination of King Loloda, Sultan of Ternate, and other indigenous rulers of North Maluku over ownership rights and management of the economic potential of natural resources, especially forest land, agriculture, and plantations which produced profitable trading commodities for the Dutch Businessman. The impact caused by the North Maluku Colonial Arrangement by the Dutch Colonial Government in the political and economic fields caused opposition to the population of Loloda with the Kapitan Sikuru leadership on 9 February 1909. The resistance arose because of tax collection, labor mobilization, and the problem of religious conversion as a consequence of the arrangement of North Maluku. After the Dutch Colonial Government succeeded in quelling the resistance, the Loloda Kingdom was later dissolved by the Dutch Colonial Government along with the death of the last King Loloda, Kolano Syamsuddin Syah (1906-1909) in 1915. The dissolution incident caused the Loloda Kingdom to experience a decline in political entities and the degradation of sovereignty, which led to the end of the kingdom on the Northwest Coast of Halmahera."
2019
D2775
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taufik
"Bandit sebagai kategori sosial cenderung dikonotasikan negatif karena identik dengan penjahat, perampok atau orang-orang yang melakukan kekerasan fisik. Namun dalam sejarah sosial bandit tidak dapat dilihat secara sederhana berdasarkan opini publik. Baik dalam konteks lampau maupun kekinian, fenomena bandit tidak dapat dilepaskan dari perkembangan ekonomi dan politik. Dengan mengambil kasus sejarah sosial bandit di Polombangkeng, penelitian ini menganalisis praktik perbanditan dalam kaitannya dengan perubahan kebijakan kolonial Belanda dari periode 1905 sampai berakhirnya intervensi politik Belanda di Sulawesi Selatan pada 1950. Dengan menggunakan metodologi sejarah yang menekankan pada proses dan waktu, hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik-praktik perbanditan yang diperankan oleh toloq dalam sejarah Polombangkeng merupakan bentuk protes atas ketidakadilan sosial, politik dan ekonomi. Kebijakan negara kolonial yang mereduksi otoritas tradisional mendorong munculnya resistensi dari bangsawanyang posisinya marginal atau terpinggirkan dari hierarki pemerintahan kolonial. Marginalisasi ini kemudian tidak hanya menjadi masalah ekonomi dan politik semata, tetapi juga merembes ke masalah identitas dan siri’ (harga diri) yang terusik. Perbanditan bertali temali dengan ekonomi, politik dan budaya. Bangsawan yang termarginalkan mempertontonkan kuasanya dengan melindungi kasus-kasus perampokan yang diperankan oleh toloq. Akibatnya muncul jaringan perbanditan sebagai bentuk extra-legal yang dipelihara oleh otoritas tradisional yang melampaui otoritas negara kolonial Belanda. Pada abad ke dua puluh, arah kebijakan kolonial Belanda yang semakin hegemonik mendorong semakin menguatkan pula koalisi toloq dengan karaeng yang kemudian disahkan secara terbuka melalui upacara ritual. Aksi perbanditan berkembang menjadi gerakan pemberontakan. Realitas politik dan koalisi toloq dengan karaengsemakin dinamis pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia. Organisasi toloq yang selama ini berkoalisi dengan karaeng memosisikan dirinya sebagai bagian dari perjuangan melawan kehadiran NICA di Sulawesi Selatan. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa trajektori peran dan tindakan toloq sebagai aktor penting dalam perbanditan mengalami perubahan dalam konteks transisi politik lokal dan kolonial. Perubahan pola dan strategi perbanditan merupakan respons atas perubahan-perubahan kebijakan pemerintah kolonial Belanda.
...... Bandits as a social category generally tend to have a negative connotation because they are identical to criminals, robbers, or people who often carry out physically violent acts. However, the social history of bandits cannot be labeled as simple criminals by public opinion. Both in the past and current context, bandits are inseparable from economic and political developments. Through the social history of bandits in Polombangkeng, this study analyzes the acts of banditry in relation to the changes in the Dutch colonial policies from 1905 to the end of the Dutch political intervention in South Sulawesi in 1950. By using a historical methodology that emphasizes the processes and time, the results show that Bandit acts performed by “toloq” in the history of Polombangkeng are a form of protest against social, political, and economic injustice. The colonial state's policy that reducing traditional authority led to resistance from “karaeng,” whose positions were marginal or marginalized from the colonial government hierarchy. Furthermore, the marginalization was becoming an economic and political problem and seeped into the disturbed identity and “siri'” (dignity). Bandits are closely related to economics, politics, and culture. Marginalized “karaeng” exhibited their power by protecting the robbery performed by “toloq”. As a result, a network of bandits emerged as an extra-legal form maintained by traditional authorities that surpassed the authority of the Dutch colonial state. In the twentieth century, the increasingly hegemonic policy of the Dutch colonial encouraged the strengthening of the alliance of “toloq” and “karaeng”, which was then openly legitimated through ritual ceremonies. The banditry developed into a rebellion movement. The political reality and the coalition of toloq and karaeng became more dynamic during the Indonesian independence revolution. The “toloq” organization, which has been in coalition with “karaeng”, has positioned itself as part of the struggle against the presence of NICA in South Sulawesi. This study concludes that the trajectory of the role and actions of “toloq” as an important actor in banditry has changed in the context of local and colonial political transitions. Changes in the pattern and strategy of banditry were a response to changes in the policies of the Dutch colonial government."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Kristiani
"Artikel ini mengkaji tentang usaha-usaha Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dalam memberantas wabah malaria di Batavia pada tahun 1928-1938. Batavia merupakan salah satu daerah endemi malaria di Pulau Jawa. Hal ini dikarenakan kondisi geografis kota Batavia yang lembab sehingga menjadi potensi berkembangnya nyamuk dan parasit yang menjadi penyebab penyakit malaria tersebut. Penelitian-penelitian dilakukan pada awal abad ke-20 yang menyebutkan bahwa pembangunan tambak di Batavia ternyata menjadi pemicu munculnya wabah malaria sebagai tempat bersarangnya nyamuk Anopheles. Kajian ini berbeda dengan kajian sebelumnya yang membahas secara rinci perkembangan penyakit malaria sejak masa VOC sampai kehancurannya di Batavia, kajian ini berfokus pada usaha pemerintah kolonial dalam memberantas penyakit malaria, kendala yg dihadapi dan dampaknya. Kajian ini menggunakan metode sejarah, yang terdiri dari heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Sumber yang digunakan adalah sumber primer dan sumber sekunder yang meliputi arsip, buku-buku, jurnal kesehatan dan koran sezaman. Kajian ini membuktikan bahwa pemerintah kolonial melakukan upaya pengobatan maupun pencegahan untuk mengatasi wabah malaria yang berdampak pada menurunnya angka malaria di Batavia.
......This article examines the efforts of the Dutch East Indies Colonial Government in eradicating the malaria outbreak in Batavia in 1928-1938. Batavia is one of the malaria endemic areas on the island of Java. This is because the geographical conditions of the city of Batavia are humid so that it becomes a potential for the development of mosquitoes and parasites that cause malaria. Research conducted at the beginning of the 20th century stated that the construction of ponds in Batavia turned out to be the trigger for the emergence of malaria outbreaks as a nesting place for Anopheles mosquitoes. This study is different from previous studies, which discussed in detail the development of malaria from the time of the VOC until its demise in Batavia. This study focuses on the efforts of the colonial government to eradicate malaria, the obstacles it faced and its impact. This study uses historical methods, which consist of heuristics, verification, interpretation, and historiography. The sources used are primary and secondary sources which include archives, books, contemporary medical journals and newspapers. This study proves that the colonial government carried out treatment and prevention efforts to overcome malaria outbreaks which had an impact on reducing the number of malaria in Batavia."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Putri Hardianti
"Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan kebijakan Paku Alam VII selama memimpin Praja Pakualaman dan dampak yang dirasakan oleh masyarakat Pakualaman. Metode dan sumber yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah, yaitu: melalui tahap heuristik, kritik sumber, tahap interpretasi data, dan tahap terakhir adalah historiografi. Sumber yang digunakan dalam penelitian ini berupa sumber arsip, koran dan majalah sejaman, jurnal ilmiah, serta buku sebagai sumber pendukung.
Permasalah yang muncul akibat dari pengaruh kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda serta proses modernisasi pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 di wilayah vorstenlanden, telah mendorong para pemimpin swapraja untuk melakukan berbagai upaya guna mengatasinya. Meskipun disatu sisi mereka tunduk kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda, tetapi di lain sisi mereka juga berupaya untuk mengadaptasi kebijakan tersebut agar sejalan dengan kepentingan rakyat. Sebagai pemimpin Praja Pakualaman, Paku Alam VII berupaya membangun Praja Pakualaman melalui berbagai kebijakan selama masa pemerintahannya (1906-1937), meliputi tatanan birokrasi, pendidikan, agraria, dan pembangunan berbagai infrastruktur.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dampak dari kebijakan Paku Alam telah dirasakan oleh masyarakat, seperti halnya penurunan angka buta huruf, pemberian hak kepemilikan tanah kepada rakyat yang berakibat pada penghapusan beban kerja wajib, dan modernisasi pendidikan yang mendorong lahirnya kaum pergerakan dari keluarga Pakualaman. Meskipun Praja Pakualaman hanya sebuah praja kecil, tetapi keberadaannya cukup diperhitungkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Hal tersebut terbukti dari eksistensi yang telah dibangun oleh para trah Pakualaman dengan turut menjadi pelopor bagi perjuangan pergerakan ketika bangsa Indonesia berusaha mencapai kemerdekaan.
......
The purpose of this research is to review the policies issued by Paku Alam VII over Praja Pakualaman and the impact to its people. The methods and sources used in this research is the historical approach, namely: through the stages of heuristic, criticism of sources to obtain historical facts are really close to the reality of events written. Furthermore, the data interpretation stage, and the last stage is historiography. Sources used by the author in this study are archival sources, newspapers and magazines contemporary, scientific journals, and books as a supportive source.
Problems occurred as the result of the Dutch East Indies Colonial government policy as well as the processes of modernization in the late 19th and early 20th century in the vorstenlanden region, has encouraged the leaders of the swapraja to make efforts to overcome them. Although, in one hand they were subject to the Dutch East Indies Colonial Government, but they were also trying to transform the policy into line with the interest of its people. As the leader of Praja Pakualaman, Paku Alam VII tried to build Praja Pakualaman through various policies issued during his reign (1906-1937), including bureaucracy, education, agriculture, and infrastructure development.
The result indicate that the impact of Paku Alam‟s policies had been precieved by the public, for examples, drecrease illiteracy, the granting land ownership rights to the people that resulted to the abolition of compulsory work load, and the modernization of education that led to the birth of movements of Pakualaman‟s family. Eventhough Pakualaman is only a small Praja, but its existence was considered by the Dutch East Indies Colonial Government. It was proven from the existence of which has been built by trah Pakualaman to also become one of the pioneers in the struggle movement when Indonesia people was trying to achieve independence."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2016
S65951
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library