Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 120 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Novida Siti Jubaedah
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini bertujuan untuk menganalisis integrasi pasar komoditas Cabe merah antar 23 pasar di lokasi produksi sayuran di Indonesia dan integrasi pasar antara Pasar Induk di Jakarta dengan 23 pasar produsen Cabe merah di Indonesia. Data yang digunakan adalah data tahunan mulai dari Januari 2000 hingga Desember 2011 untuk data harga Cabe merah di tingkat produsen dan data tahunan mulai Januari 2005 hingga Desember 2011 untuk harga Cabe merah di tingkat Pasar Induk Kramat Jati di Jakarta. Selain harga Cabe merah, variabel lain juga digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh pada hubungan antar pasar komoditas Cabe merah antara lain data produksi, populasi, jarak antar pasar, infrastruktur dan jumlah pasar. Engle dan Granger kointegrasi tes dan ECM digunakan untuk menganalisa transmisi harga, integrasi pasar dan dinamika hubungan jangka panjang dan pendek pada pasar komoditas Cabe merah di Indonesia. Selanjutnya dilakukan analisa deskripsi untuk mengetahui faktorfaktor yang berpengaruh pada integrasi pasar tersebut. Hasil analisis pada model 1 menyimpulkan bahwa pada umumnya pasar produsen tidak terintegrasi dengan Pasar Induk Kramat Jati di Jakarta. Hubungan antar pasar ini cenderung mengarah pada hubungan jangka pendek saja. Sedangkan, hasil pada Model 2 mengindikasikan bahwa pasar komoditas Cabe merah antar 23 pasar produsen di Indonesia memiliki hubungan jangka panjang. Selain itu, perubahan harga jangka pendek yang terjadi di pasar komoditas Cabe merah cenderung langsung berdampak pada harga komoditas Cabe merah di pasar produsen yang lain. Studi ini juga membuktikan bahwa integrasi pasar komoditas Cabe merah di Indonesia dipengaruhi oleh kualitas infrastruktur yang baik, lokasi dan jarak antar pasar, serta peluang pasar yang diindikasikan melalui besarnya jumlah pasar dan jumlah konsumen atau populasi di wilayah tersebut.
ABSTRACT
Many researchers have been examined price transmission and market integration of staple food in Indonesia, while relatively few studies are there on market integration of vegetable commodities markets. Mostly previous study assessed the information to what extents and to which markets prices are transmitted across spatially different markets. However, there is scarce literature that determines the factors influence market integration or lack of integration in Indonesia. Thus, the analysis of market integration remains weak without further analysis on factors that explain such of market integration or segmentation. Hence, it becomes a gap to be occupied by this research. The author believes that the study on commodity markets integration might be more useful if it is complemented with further discussion on factor that could explain the process of market integration or lack of integration in Indonesia. Therefore, by using prices dataset from 23 producer markets and wholesale market in Jakarta that covering the years from January 2000 to December 2011 and from January 2005 to December 2011 this paper aims to investigate two types of spatial market integration with focus on red chilli commodity markets. A series of techniques, such as the Engle-Granger cointegration test and ECM were used to test red chilli market integration. With this approaches, then it is possible to analyze price transmission, identify market integration or segmentation that occurs in red chilli commodity markets in Indonesia, and specify the long-run and short-run dynamic. Moreover, some variables such as the number of production, population, distance between markets, the quality of infrastructure, and the numbers of markets have been obtained to discuss on factor that might drives interconnectedness between red chilli markets. The result of model 1 indicates that generally producer markets are not cointegrate with PIKJ as central market. However, these markets tend to have short-run relationship. On the other hand, the results of spatial market integration model 2, which test cointegration across 23 producer markets, imply that red chilli markets across producer provinces tend to integrate in thelong-run. In addition, in the short-run changes in the red chilli’s price in one producer market also seem to have immediate impact on red chilli’s price in other producer markets. Finally, the research has shown evidences that red chilli commodity markets integration in Indonesia are influenced by the good quality of infrastructure, location or distance between market, and trade opportunity that can be indicated by the large consumer area such as the number of populations and the number of markets.
2013
T39378
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hassya Aulianisa Hanafatiha Singadimedja
Abstrak :
Pada November 2022, negara anggota ASEAN-5 menandatangani Memorandum of Understanding Advancing Regional Payment Connectivity yang menandakan terjadinya inisiatif pembentukan sistem pembayaran antar wilayah yang terintegrasi, salah satunya berbentuk sistem pembayaran berbasis QR-Code. Kesepakatan dan inisiatif ini menimbulkan pertanyaan mengenai legalitas integrasi sistem pembayaran dan bagaimana keberadaan kedaulatan negara, sehingga terdapat dua masalah yang akan dianalisis yaitu bagaimana inisiatif Regional Payment Connectivity ASEAN-5 menurut perspektif hukum perdagangan internasional dan bagaimana konsep penggunaan teknologi QRIS dalam integrasi pembayaran regional ASEAN. Kedua permasalahan tersebut akan dianalisis menggunakan metode penelitian notmatif karena objek yang diteliti merupakan norma hukum mengenai pengaturan regional payment connectivity dengan mengacu pada hukum perdagangan internasional. Adapun jenis pendekatan yang digunakan untuk menganalisis permasalah diatas adalah pendekatan yuridis normatif. Hasil penelitian dan analisis yang dilakukan menujukkan bahwa Memorandum of Understanding Advanced Regional Payment Connectivity merupakan upaya mencapai integrasi ASEAN yang sebagaimana tertuang dalam ASEAN Leaders’ Declaration on Advancing Regional Payment Connectivity and Promoting Local Currency Transaction pada dan Joint Statement of the 10th ASEAN Finance Minsters’ and Central Bank Governors’ Meeting (AFMGM) dengan ketentuan yang diatur dalam AFIF dan ATiSA untuk meningkatkan integrasi dan efisiensi sistem pembayaran, mempercepat pelaksanaan pasar tunggal ASEAN, dan meningkatkan kekuatan ekonomi regional di mata dunia. Perwujudan kedaulatan dalam sistem pembayaran berstandar QRIS terdapat pada pada konversi mata uang yang dapat langsung ditransaksikan tanpa perlunya mata uang ketiga sehingga biaya yang dibutuhkan untuk pemrosesan transaksi menjadi rendah dan negara dapat menguasai sepenuhnya sistem pembayarannya sehingga dapat mendorong penguatan juga kedaulatan mata uang negara. Selain itu pengelolaan sepenuhnya terhadap skema transaksi, biaya transaksi, perizinan atas lembaga keuangan, hingga fungsi pengelolaan National Merchant Repository. Pengelolaan National Merchant Repository di dalam negeri mencerminkan kedaulatan negara atas keamanan transaksi dan teknologi QRIS karena penatausahaan dan pengolahan data dilakukan didalam negeri. ......In November 2022, ASEAN-5 member countries signed a Memorandum of Understanding Advancing Regional Payment Connectivity which indicates an initiative to form an integrated inter-regional payment system, one of which is in the form of a QR-Code-based payment system. These agreements and initiatives raise questions regarding the legality of payment system integration and how the existence of state sovereignty, there are two issues that will be analyzed, namely how the ASEAN-5 Regional Payment Connectivity initiative is from the perspective of international trade law and how is the concept of using QRIS technology in ASEAN regional payment integration. Both of these problems will be analyzed using a normative research method because the object under study is a legal norm concerning regional payment connectivity arrangements regarding international trade law. The type of approach used to analyze the problems above is a normative juridical approach. The results of the research and analysis show that the Memorandum of Understanding Advanced Regional Payment Connectivity is an effort to achieve ASEAN integration as stated in the ASEAN Leaders' Declaration on Advancing Regional Payment Connectivity and Promoting Local Currency Transaction and the Joint Statement of the 10th ASEAN Finance Ministers and Central Bank Governors' Meeting (AFMGM) with the provisions stipulated in AFIF and ATiSA to increase payment system integration and efficiency, accelerate the implementation of the ASEAN single market, and increase regional economic strength in the eyes of the world. The embodiment of sovereignty in the QRIS standard payment system is in currency conversion which can be directly transacted without the need for a third currency so that the costs required for processing transactions are low and the state can fully control the payment system so that it can also encourage the strengthening of the sovereignty of the state's currency. Apart from that, full management of transaction schemes, transaction fees, licensing of financial institutions, as well as the management function of the National Merchant Repository. Domestic management of the National Merchant Repository reflects state sovereignty over transaction security and QRIS technology because data administration and processing are carried out within the country.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Romavitanto Hermudani Utoro
Abstrak :
Pada tahun 2002 China dan ASEAN menandatangani kerangka perjanjian kerjasama ekonomi komprehensif antara China dan ASEAN yang menjadi dasar dari China ASEAN Free Trade Area. Permasalahan pada penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan bagaimanakah dampak-dampak perekonomian yang terjadi antara China dan Asean setelah implementasi perjanjian Free Trade Area, setelah melakukan integrasi ekonomi dan juga "Early Harvest" program didalamnya, apakah akan ada trade surplus ataupun ada trade defisit. Metode penelitian yang digunakan adalah metode analisis deskriptif dan juga melalui metode dokumentasi yang berdasarkan dokumen dokumen yang dikeluarkan oleh instansi terkait. Pada akhirnya penelitian ini terlihat bahwa kerjasama antara China dan ASEAN membawa dampak positif bagi neraca perdagangan diantara kedua negara tersebut, dan program Early Harvest cukup berhasil di beberapa sektor.
The China-ASEAN Free Trade Agreement has been hailed as a landmark pact in pushing for freer trade between China and the ASEAN countries.With the establishment of the free trade zone, trade and investment between the Chinese and ASEAN economies are expected to increase significantly. In November 2002, China and ASEAN signed the framework agreement on comprehensive economic co-operation between China and Association of South East Asian Nations, which determined the basic structure of China ASEAN Free Trade. The purpose of this research is to try to answer how the economy effects will affect after the implementation of framework of agreement on free trade area in that region, after the economic integration and how will the early harvest program effecting the balance sheet of each respectful country, will there be a trade surplus or trade deficit. This research uses the document research as the study method as well as the descriptive analytic methods based on the documents from related institution. At the end of the research, this research suggests that the China and ASEAN economic cooperation brought positive effect to balance of payments on both countries and the early harvest program is quite successful in certain area.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
T27995
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Rudiatin
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini merupakan studi tentang kegiatan ekonomi masyarakat perbatasan di desa Aji Kuning di kecamatan Sebatik kabupaten Nunukan Kalimantan Timur, yang terintegrasi dengan pasar Tawau, wilayah Sabah Malaysia. Dalam penelitian ini, saya menyebutnya integrasi ekonomi. Penelitian difokuskan pada pasar sebagai arena transaksi. Pasar menjadi entry point untuk melakukan pengamatan. Kondisi paradoks desa Aji Kuning, satu sisi sebagai desa terpencil dan miskin bagi Indonesia, disisi lain strategis sebab dekat dengan Malaysia yang memiliki kondisi sosial-ekonomi lebih baik, membuka peluang-peluang masyarakat desa mengaktifkan potensi sumber daya sosial budaya untuk membangun kepentingan-kepentingan ekonomi bagi kesejahteraannya. Masyarakat Aji Kuning di perbatasan membangun jaringan ekonomi sebagai bentuk solidaritas sosial bagi kepentingan penguasaan sumber-sumber ekonomi untuk kesejahteraan hidupnya. Negara dalam hal ini institusi politik lokal membuka peluang masyarakat membangun pasar yang sangat fleksibel dalam pengaturan perdagangan lintas batas. Pasar adalah entitas yang tidak sekadar menopang keberlangsungan ekonomi dengan mempertemukan penjual dan pembeli. Pasar memiliki tanggung jawab dan fungsi yang jauh lebih kompleks. Sebagai sebuah sistem kebudayaan, ia menjaga dan menyangga dinamika sosio-budaya masyarakat di perbatasan. Masyarakat Aji Kuning membangun jaringan-jaringan perdagangan yang berkaitkelindan dengan sosial, politik, budaya, kekerabatan dan etnik. Mereka mengaktifkan simpul kekerabatan dan etnisitas untuk membangun jaringan. Identitas etnik bersifat kontekstual bergantung pada kepentingan dan motif ekonominya. Jaringan perdagangan meliputi berbagai unsur, mulai dari pembeli, penjual, pemodal dan broker, dengan keragaman etnik dan kebangsaan serta pembagian kerja. Jaringan berfungsi banyak, sebagai jaringan komunikasi dan informasi harga dan permodalan serta berbagi keuntungan dan resiko dengan variasi pertemanan, kekerabatan dan patron-klien. Demikian pula meliputi berbagai institusi, pemerintah, kelompok etnik dan aparat perbatasan Indonesia dan Malaysia. Kesemuanya terintegrasi dalam suatu kegiatan ekonomi lokal di perbatasan. Jaringan etnisitas menjadi basis integrasi ekonomi. Pengamatan terhadap identitas etnik dan pemanfaatannya dalam jaringan ekonomi, ditekankan pada interaksi kelompok-kelompok etnik dalam kegiatan ekonomi di semua jaringan berdasarkan komoditas yang diperdagangkan. Pengamatan terhadap jaringan-jaringan menyimpulkan bahwa integrasi ekonomi sarat dengan berbagai interaksi social, sebagai arena aktivitas budaya dan ekspresi politik, jaringan arus informasi, serta pusat interaksi masyarakat dengan keragaman sosial, ekonomi, etnis dan agama, sekaligus gabungan kelompok2 budaya, yang berbenturan, bekerja sama, berkolusi, bersaing, dan mengalami konflik. Strategi-strategi melintas batas menjadi pilihan rasional, dan bahwa masyarakat perbatasan kerap menggunakan etnisitas dan dwikewarganegaraannya untuk melanggengkan perdagangan melintas batas. Politik menjadi sarana membangun ekonomi, sebaliknya tanpa kekuatan ekonomi kekuasaan politik tidak akan bertahan lama.
ABSTRACT
This research is the study of economic activities in the border villages Aji Kuning in the Sebatik Island, in the district Nunukan of East Kalimantan, which is more integrated with the market Tawau, Sabah area of Malaysia. In this study, I call it economic integration. It focused on the market as an transactions arena. Market as an entry point for making observations. Aji Kuning village is a paradoxical condition, one side of a remote and poor villages of Indonesia, on the other hand is close to Malaysia, which has socio-economic conditions better. This can open up opportunities for rural communities to enable the potential socio-cultural resources to build the economic interests for their welfare. In the Aji Kuning market community was found that the borderlanders build the economic network as a social solidarity formation for economic resources benefit. The related countries especially the local politic institutions provide more opportunity to the borderlander developing a flexible market for borderland trade regulation. The market is not just an entity that sustains the economic sustainability by bringing together sellers and buyers. The market has a responsibility and a much more complex functions. As a cultural system, he is maintaining and supporting the socio-cultural dynamics in the border communities. Aji Kuning community build complexity networks. It?s not merely influence the economic dimension but also related to other dimensions especially social, political, cultural, and ethnic kinship. They enable the knot of kinship and ethnicity to build the network. Ethnic identity as a culture identity is contextual and it depends on economic interest and benefit. Trade networks includes a variety ofelements, among others buyers, sellers, investors and brokers, with ethnic and national diversity and the division of labor. The networks have many functions, as communication networks and information and price of capital and share profits and risks with a variety of friendship, kinship and patron-client relationships. Similarly, covering a variety of institutions, governments, ethnic groups and forces the border of Indonesia and Malaysia. All are integrated into a local economic activity at the border. Network of ethnicity is the base of the integration economy. Observations on ethnic identity and its utilization in the network economy, emphasis on the interaction of ethnic groups in economic activity in all networks based on the commodities are traded. Observation of the networks concluded that the borderline market is loaded with social interactions. There are arena of cultural activity and political expression, the network information flow. It is also the center of community interaction with the social diversity, economic, ethnic and religious, as well as the combined culture group which are clash, collaborate, collude, compete and conflict. Strategies across borderlinders becomes a rational choice, and that people often use their ethnicity and dual nationality to sustain the trade across borders. In this case, politics became the economic development facility. On the other hand, without economic power, the politic authority will not be long-lasting.
Depok: 2012
D1347
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Raja Sawery Gading Dzetaj Notonegoro
Abstrak :
Sejak pertengahan 1990-an, semakin banyak negara berkembang yang menempuh Integrasi Ekonomi Regional (REI) dengan negara maju melalui Perjanjian Perdagangan Regional (RTA). Negara anggota perjanjian tersebut memberikan perlakuan yang lebih menguntungkan terhadap satu sama lain daripada terhadap mitra dagang lainnya yang bukan negara anggota. Perlakuan diskriminatif ini jelas tidak konsisten dengan kewajiban perlakuan Most Favoured Nation (MFN) WTO. Meskipun kewajiban perlakuan MFN merupakan prinsip dasar, namun WTO memperkenankan anggotanya untuk mengesampingkan prinsip tersebut dan menempuh REI berdasarkan Pasal XXIV GATT 1994 untuk RTA, Pasal V GATS untuk Perjanjian Integrasi Ekonomi (EIA) dan Klausul Enabling. Penelitian ini menganalisa mengapa WTO memberikan pengecualian tersebut. Selain itu, penelitian ini mengeksplorasi kecenderungan di kalangan negara berkembang menempuh REI dengan negara maju serta meneliti bagaimana negara berkembang dapat mengambil keuntungan tanpa mengucilkan sistem perdagangan multilateral WTO. Berdasarkan analisis hukum, REI sangat bermanfaat bagi negara berkembang WTO. Penelitian ini mendesak KTT APEC ke-21 dan Konferensi Tingkat Menteri ke-9 WTO di Bali untuk digunakan sebagai kesempatan untuk menunjukkan peran aktif dari masing-masing negara berkembang terutama tuan rumah, Indonesia, dalam mempromosikan liberalisasi perdagangan dan investasi secara regional dan global. Penelitian ini menyimpulkan bahwa REI diperlukan untuk mengambil langkah lebih lanjut dalam mewujudkan tujuan WTO untuk menciptakan perdagangan yang bebas dan adil. Selain itu, negara berkembang disarankan untuk menggunakan REI sebagai pilihan kebijakan terbaik kedua dan terus menempatkan prioritas tertinggi pada WTO dengan berkomitmen terhadap modus operandi WTO. ......Since mid-1990s, developing countries are increasingly pursuing Regional Economic Integration (REI) with developed countries through Regional Trade Agreements (RTA). In this case, the parties to such agreements offer each other more favourable treatment than they offer to other trading partners that are nonparties. Clearly, such discriminatory treatment is inconsistent with the Most Favoured Nation (MFN) treatment obligation of the WTO. Although MFN treatment obligation is a fundamental principle, the WTO does allow WTO members to set aside the principle and pursue REI under Article XXIV of the GATT 1994 for RTA, Article V of the GATS for Economic Integration Agreement (EIA) and the Enabling Clause. With that being said, this research analyses why does the WTO provides such exception. In addition, it explores the tendency among developing countries to pursue REI with developed countries and and examines how can those developing countries benefit from their pursuit without undermining the multilateral trading system of the WTO. Based on a legal analysis, this research argues that REI will be highly beneficial for developing countries of the WTO. Furthermore, the research urges the 21st APEC Summit and the 9th Ministerial Conference of the WTO in Bali to be used as an opportunity to demonstrate an active role of each developing economy especially the host, Indonesia, in promoting regional and global trade and investment liberalisation. This research concludes that REI is necessary to take further steps towards realising the goal of the WTO to have a fair and freer trade. Moreover, developing countries are recommended to consider REI as the second best policy option and continue to place the highest priority on the WTO by committing to modus operandi of the WTO.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46843
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Monica Agnes Sylvia
Abstrak :
Pasca proses perluasan keanggotaan di akhir dekade 1990-an, diversitas ASEAN telah semakin meningkat baik secara politik maupun ekonomi. Kondisi ini telah memunculkan kondisi two-tiered ASEAN dimana terdapat kesenjangan pembangunan yang besar antara ASEAN-6 dan CLMV. Hal ini menghambat upaya negara-negara anggota ASEAN dalam mencapai Komunitas Ekonomi ASEAN 2015. Berkaitan dengan hal ini, IAI dirancang sebagai sebuah instrumen kerjasama pembangunan regional dalam mempersempit kesenjangan pembangunan di antara negara-negara anggota ASEAN maupun di dalam negara-negara tersebut serta untuk mempercepat integrasi ekonomi negara-negara yang baru bergabung dengan ASEAN (Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam). Semenjak implementasinya pada tahun 2002 hingga sekarang, masih terdapat kesenjangan pembangunan yang signifikan, khususnya antara ASEAN-6 dan CLMV. Berkaitan dengan hal ini, penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan menganalisis faktor-faktor yang menghambat IAI dalam mempersempit kesenjangan pembangunan di ASEAN. ...... Following the enlargement process in the late 1990 decade, ASEAN has become increasingly diverse, politically and economically. This condition has generated two-tier ASEAN where the wide development gap exists between ASEAN-6 and CLMV. It obstructs the effort of ASEAN member states in achieving ASEAN Economic Community in 2015. In this regard, IAI is designed as an instrument of regional development cooperation in narrowing development gap among and within ASEAN member states as well as accelerating the economic integration of the newer member states. Notwithstanding, since the implementation in 2002 until now, the development gap, especially between ASEAN-6 and CLMV, remains significant. In this regard, this research aims to explore and examine some factors that inhibit IAI in narrowing the development gap in ASEAN.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S55537
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
New York: Frederick A. Praeger, 1966
338.98 LAT
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Omar Farizi Wonggo
Abstrak :
ABSTRAK
Kawasan Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan penting dalam mengkaji perdebatan dan perkembangan konsep regionalisme. Pada kawasan Asia Tenggara, isu yang paling sering dibahas ialah mengenai regionalisme ekonomi. Negara-negara anggota kawasan Asia Tenggara berusaha melakukan integrasi ekonomi guna meningkatkan kondisi pertumbuhan ekonomi masing-masing negara. Namun demikian, berdasarkan kajian empiris terdapat ragam pandangan dalam menelaah dinamika perkembangan regionalisme ekonomi di Asia Tenggara. Oleh karena itu, tinjauan pustaka ini akan memetakan persebaran pandangan dari dinamika perkembangan regionalisme ekonomi di Asia Tenggara dengan menggunakan tiga pandangan utama Ilmu Hubungan Internasional. Pandangan pesimis muncul dari pendekatan realisme bahwa terdapat hambatan-hambatan berupa pengaruh negara ekstra-kawasan, kebijakan proteksionisme dan kebijakan bilateralisme. Sedangkan pandangan optimis berasal dari pendekatan liberalisme, yakni pengaruh kelompok pro-liberalisasi, karakteristik dari open regionalism, pandangan ekonomi neoklasik, dan penguatan elemen institusi. Kemudian, perspektif strukturalisme ekonomi melihat bahwa model neoliberalisme yang berjalan perlu diganti dengan model ekonomi lainnya. Selain itu, tinjauan pustaka ini menemukan enam kesenjangan literatur dalam kajian regionalisme ekonomi Asia Tenggara, yakni kesenjangan literatur dari perspektif realisme, liberalisme, dan strukturalisme ekonomi, tren pembahasan literatur per periode, ketiadaan kajian konstruktivisme, dan rendahnya pembahasan kajian ASEAN Post 2015. Berdasarkan hasil tinjauan pustaka ini, terbuka kajian penelitian lanjutan yang dapat dikaji dari aspek praktis, politik-ekonomi, ataupun akademis, beragam penelitian baru seperti penggunaan pendekatan konstruktivisme.
ABSTRACT
Southeast Asia is one of the regions that worth to consider as a subject to analyzethe debate of development of regionalism concept. In Southeast Asia, theprominence issue is the economic regionalism. All member countries in the regionhave tried to build economic integration to increase their economic growth.However, based on empirical studies, there are many perspectives have been usedto analyze the dynamics of economic regionalism. Therefore, this literature reviewis focused to mapping the perspectives on the dynamics of development ofeconomic regionalism in Southeast Asia using three main perspectives ofInternational Relations. Literature from realism perspective has seen the skepticalpoint with themes like the influence of extra region countries, protectionismpolicy, and bilateralism policy. Meanwhile liberalism perspective has seen thateconomic regionalism in Southeast Asia has the positive point of views such aspro liberalization group, characteristic of open regionalism Southeast Asia,neoclassical economic perspective, and enhancement of institution. Whereas,economic structuralism argued economic regionalism in Southeast Asia need toshift from using neoliberalism to another model of economic development.Besides that, this literature review found six literature gap of economicregionalism in Southeast Asia, i.e. literature gap from three main perspectives,realism, liberalism and economic structuralism the debate of economicregionalism based on periods the absence of constructivism analyses and theshortage study about ASEAN Post 2015. The result of the literature review isshown that there are many studies still need to be done, in a practical aspect ofpolitical economy or academic aspect, new research that using constructivismperspective as tool of analyses.
2017
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rodolfo C. Severino
Abstrak :
Not just another book on ASEAN, this volume reappraises the organization from the inside, through controversial or perplexing issues such as the "ASEAN Way", the accession of the new members, including Myanmar, the principle of "non-interference", regional security, regional economic integration, the haze and SARS, and ASEAN's future.Written by a key player, the former ASEAN Secretary-General, this book will illuminate the inner workings of the key Southeast Asian regional institution. It is a must-read for journalists, policy-makers, political scientists and others who need an insiders' view on how ASEAN has evolved, how it operates and whether it will remain relevant in the evolving Asia Pacific and global order.
Pasir Panjang: ISEAS–Yusof Ishak Institute, 2006
e20528308
eBooks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>