Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Achmad Fachri
"ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan: Modalitas radiografi toraks merupakan pemeriksaan
rutin dan tersedia di hampir setiap rumah sakit. Pengukuran secara kuantitatif
berupa vascular pedicle width (VPW), cardiothoracic ratio (CTR) maupun
vascular pedicle-thoracic ratio (VPTR) melalui radiografi toraks dapat membantu
dalam membedakan jenis edema paru dengan mengetahui titik potong rerata
VPTR berdasarkan kombinasi VPW dan CTR.
Metode: Penelitian dilakukan retrospektif dengan descriptive cross sectional pada
100 pasien dengan klinis edema paru yang telah melakukan radiografi toraks di
ICU Rumah Sakit CiptoMangunkusumo (RSCM) dalam rentang waktu Januari
2013 ? Desember 2015. Subjek dibagi menjadi edema kardiogenik dan non
kardiogenik berdasarkan kombinasi pengukuran VPW dan CTR. Kemudian
dilakukan pengukuran VPTR dan ditentukan titik potong rerata VPTR, sensitivitas
dan spesifisitas berdasarkan kombinasi VPW dan CTR dalam membedakan edema
paru.
Hasil: Dari total 100 subjek penelitian di ICU RSCM dengan metode Receiver
Operating Curve (ROC) didapatkan titik potong VPTR sebesar 25,1% dengan
sentivitas 90,5% dan spesifisitas 86,1% dalam membedakan edema paru
kardiogenik dan non kardiogenik. Selain itu diperoleh juga proporsi edema paru
kardiogenik sebesar 21%, sedangkan edema paru non kardiogenik sebesar 79%.
Kesimpulan: Titik potong VPTR berdasarkan kombinasi VPW dan CTR memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang cukup tinggi dalam membedakan edema paru
kardiogenik dan non kardiogenik.

ABSTRACT
Background and purpose: Pulmonary edema in critically ill patient were
challenging in intensive care unit (ICU). Radiography of thorax is routine
examination and widely available in almost every hospital. Measurement
quantitatively of vascular pedicle width (VPW), cardiothoracic ratio (CTR) and
vascular pedicle-thoracic ratio in thorax radiography can help in differentiating
the type of pulmonary edema through the cut off of VPTR based on combination
VPW and CTR.
Methods: Descriptive cross sectional restrospective in 100 patients with clinically
pulmonary edema which have examined by thorax radiography at ICU RSCM in
January 2013 to Desember 2015. Subject divided to cardiogenic and non
cardiogenic pulmonary edema based on combination VPW and CTR. Then,
VPTR were measured and the cut off of VPTR determined based on combination
VPW and CTR in differentiaiting pulmonary edema.
Results: From total 100 subject study at ICU RSCM using Receiver Operating
Curve (ROC) metode, the cut off of VPTR is 25,1% with sensitivity 90,5% and
specificity 86,1% in differentiating cardiogenic and non cardiogenic pulmonary
edema. Beside that, the prevalence of cardiogenik pulmonary edema is 21% and
non cardiogenic pulmonary edema is 79%.
Conclusion : The cut off of VPTR based on combination VPW and CTR have
significant sensitivity and specificity in differentiating cardiogenic and non
cardiogenic pulmonary edema."
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rizal Adi Saputra
"Macular edema is a kind of human sight disease as a result of advanced stage of diabetic retinopathy. It affects the central vision of patients and in severe cases lead to blindness. However, it is still difficult to diagnose the grade of macular edema quickly and accurately even by the medical doctor's skill. This paper proposes a new method to classify fundus images of diabetics by combining Self-Organizing Maps (SOM) and Generalized Vector Quantization (GLVQ) that will produce optimal weight in grading macular edema disease class. The proposed method consists of two learning phases. In the first phase, SOM is used to obtain the optimal weight based on dataset and random weight input. The second phase, GLVQ is used as main method to train data based on optimal weight gained from SOM. Final weights from GLVQ are used in fundus image classification. Experimental result shows that the proposed method is good for classification, with accuracy, sensitivity, and specificity at 80%, 100%, and 60%, respectively."
Surabaya: Faculty of Information and Technology, Department of Informatics Institut Teknologi Sepuluh Nopember, 2014
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Vega Casalita
"Latar Belakang: Terapi bevacizumab tunggal kurang efektif dalam mengobati edema makula diabetik (DME) derajat sedang-berat, sehingga berpotensi meningkatkan jumlah reinjeksi dan risiko kehilangan penglihatan permanen akibat edema makula berkepanjangan. Pada kasus tersebut diperlukan terapi adjuvan. Selain vascular endothelial growth factor (VEGF), mediator inflamasi juga berperan penting pada patogenesis DME.
Tujuan: Mengetahui perbedaan nilai ketebalan makula sentral (CMT) dan tajam penglihatan terbaik dengan koreksi (BCVA) sebelum dan sesudah pemberian injeksi intravitreal kombinasi bevacizumab dan deksametason sodium fosfat (DSP) pada DME sedang-berat.
Metodologi: Pada studi eksperimental one group lengan tunggal ini, dilakukan injeksi kombinasi bevacizumab 1,25 mg dan DSP 0,5 mg intravitreal pada 18 mata DME dengan CMT >400 μm. Dilakukan evaluasi BCVA dan CMT pada 1 bulan pasca injeksi, serta peningkatan tekanan intraokular (TIO) dan efek samping.
Hasil: Pada 1 bulan didapatkan penurunan CMT yang signifikan dari 572,8±119,3 μm menjadi 376,3±132,3 μm. Terdapat perbaikan BCVA yang signifikan dari 0,76(0,26-1,80) logMAR menjadi 0.56 (0.12-1.02) logMAR (p<0.001). Tidak terdapat peningkatan TIO dan derajat katarak yang bermakna pada semua subjek.
Kesimpulan: Terapi kombinasi bevacizumab dan DSP pada pasien DME derajat sedang-berat berpotensi meningkatkan efektivitas anatomis pada follow up 1 bulan. Terapi kombinasi bermanfaat dalam menurunkan edema segera serta meningkatkan dan stabilisasi tajam penglihatan.

Backgrounds: Bevacizumab monotherapy is less effective in treating moderate to severe diabetic macular edema (DME), thus potentially increasing the amount of reinjection and risk of permanent visual loss due to prolonged macular edema. In such cases adjuvant therapy is needed. In addition to vascular endothelial growth factor (VEGF), inflammatory mediators also play an important role in the pathogenesis of DME.
Objectives: To identify the response of intravitreal bevacizumab combined with dexamethasone sodium phosphate (DSP) in treating moderate to severe DME.
Methods: In this non comparative experimental study, 18 eyes with DME having CMT >400 μm received intravitreal bevacizumab (1.25 mg) combined with DSP (0.5 mg). Best corrected visual acuity (BCVA) and central macular thickness (CMT) were evaluated at 1 week and 1 month, as well as increased IOP and other side effects.
Results: Comparing across follow up periods (pre, one week, one month post injection) there were statistically significant differences of CMT (572.8±119.3 vs 432,44±103,45 vs 376.3±133.3 μm, p<0.001) and BCVA ( 0.76 (0.26-1.80) vs 0,55(0,14-1,80) vs 0.56 (0.12-1.02), p<0.001) LogMAR. No significant increase in IOP and degree of cataract were observed in all subjects.
Conclusions: Adding intravitreal DSP as an adjuvant to bevacizumab for the treatment of moderate to severe DME potentially enhance anatomical effectiveness, especially in the first week after injection. Combination therapy is useful in reducing edema immediately and improvement and stabilization of visual acuity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ruth
"Hidrogel adalah salah satu jenis polimer yang dapat menyerap dan menyimpan air di dalam tubuhnya dalam jumlah besar. Salah satu parameter kinerja hidrogel adalah swelling ratio. Swelling ratio dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti morfologi hidrogel dan sifat bahan penyusun dari hidrogel. Pada penelitian ini diuji 2 sumber selulosa yaitu nata de coco dan eceng gondok. Selulosa keduanya diisolasi dan dijadikan bubuk. Selulosa dari kedua sumber diturunkan menjadi selulosa karboksimetil. Selulosa karboksimetil dijadikan hidrogel dengan menggunakan agen pengikat silang berupa asam sitrat dengan konsentrasi yang divariasikan yaitu 10, 15, dan 20 w/w CMC. Setiap hidrogel yang terbentuk akan diuji rasio pembengkakkan pada jam ke-1, 2, 3 dan 24. Hasil uji FTIR menunjukan bahwa baik selulosa, CMC maupun hidrogel sudah tebentuk dengan baik. Hasil uji swelling menunjukkan bahwa pada konsentrasi 10 dan 15 hidrogel yang terbentuk tidak stabil atau memiliki fraksi gel yang rendah, namun rasio pembengkakkan yang tinggi. Sedangkan untuk konsentrasi asam sitrat 20, hidrogel stabil dan hidrogel nata de coco memiliki swelling ratio yang tertinggi mencapai 2291. Untuk hybrid CMC nata de coco dan CMC eceng gondok 50:50 pada konsentrasi 20 terbentuk hidrogel dengan fraksi gel yang tinggi dengan swelling ratio dibawah hidrogel dari CMC yang bukan campuran yaitu sebesar 1171.

Hydrogel is one type of polimers that is able to absorp and retain water in huge amount in its body. A parameter of performance of hydrogel is swelling ratio In this research we use water hyacinth and nata de coco. Cellulose that contains in both material is being isolated until powdered cellulose is being achieved. Both type of cellulose is then being converted into CMC. Carboxymethylcellulose was converted into hydrogel using citric acid as crosslinker in aqueous solution. Concentration of citric acid has been variated into 3 variations, 10, 15, 20 w w CMC. For each hydrogel formed, it has been assesed in term of performance, existence of functional group and morphology. Swelling ratio assessment was conducted per hour, which is swelling ratio at 1st, 2nd, 3rd and twenty 24th hour. The result of FTIR showed that cellulose, CMC and hydrogel was succeeded to be formed. Swelling ratio assessment showed that at concentration of 10 and 15 the hydrogel gives huge swelling ratio but very poor in term gel fraction and stability. At concentration of 20 hydrogel found stable and had selling ratio of 2291 for nata de coco and 1862 for waterhyacinth. Finally for hybrid hydrogel at concentration of 20 citric acid and ratio of mixing between CMC nata de coco and CMC water hyacinth of 50 50, hydrogel formed shows good gel fraction but with decreasing swelling ratio which was 1171. "
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wita Sukmara
"Pendahuluan. Kebocoran anastomosis merupakan komplikasi yang berat berhubungan dengan peningkatan morbiditas, dan mempengaruhi lama rawat di rumah sakit. Banyak peneliti yang telah meneliti faktor resiko terjadinya kebocoran usus, diantaranya sepsis, malnutrisi, ketegangan garis anastomosis, gangguan perfusi jaringan, obstruksi distal, dll. Usus adalah organ yang rentan terhadap cedera, cedera pada usus dapat menyebabkan edema, ileus, dan kegagalan mekanisme pertahanan usus. Kondisi ini dapat ditemukan pada gastroshizis, invaginasi, strangulasi, penyakit radang usus dan sirosis. Pemberian cairan berlebih dapat menyebabkan edema, peningkatan tekanan intra abdomen, menurunkan aliran darah mesenterik, berpengaruh terhadap penyembuhan dan meningkatkan kebocoran anastomosis. Studi ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh edema terhadap anastomosis usus. Metode. Studi eksperimental pada tikus Sprague–Dawley untuk mengetahui pengaruh edema dan pemberian cairan yang berlebihan terhadap anastomosis usus. Hasil. Tidak terdapat perbedaan antara edema usus dan pemberian cairan berlebihan dengan peningkatan kebocoran anastomosis (p=0,178)  Kesimpulan. Edema usus tidak ada hubungan dengan kebocoran anastomosis.

Introduction. Anastomotic leak is a severe complication associated with increased morbidity, and affects hospital stay. Many researchers have examined risk factors for intestinal leakage, including sepsis, malnutrition, anastomotic line tension, impaired tissue perfusion, distal obstruction, etc. The intestine is an organ that is prone to injury, injury to the intestine can cause edema, ileus, and failure of the intestinal defense mechanism. This condition can be found in gastroshizis, invagination, strangulation, inflammatory bowel disease and cirrhosis. Excessive fluid can cause edema, increase intra-abdominal pressure, decrease mesenteric blood flow, affect healing and increase anastomotic leakage. This study is to investigate intestinal edema on anastomosis. Method. This is an experimental study using Sprague-Dawley to determine the effect of edema and excessive fluid administration on intestinal anastomosis Results. There was no difference between intestinal edema and excessive fluid administration with increased anastomotic leak (p = 0.178). Conclusion. Intestinal edema is not associated with anastomotic leakage."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anindita Wicitra
"ABSTRAK
Latar Belakang: terapi injeksi intravitreal bevacizumab monoterapi pasien edema makula diabetik dengan ketebalan makula sentral lebih dari 400 µm dinilai kurang efektif. Kortikosteroid dinilai dapat membantu mencegah progresifitas edema makula diabetik terkait proses inflamasi.
Tujuan: Mengetahui hasil terapi injeksi intravitreal kombinasi bevacizumab dan deksametason dibandingkan dengan injeksi intravitreal bevacizumab monoterapi pada pasien dengan edema makula diabetik derajat sedang hingga berat
Metodologi: penelitian eksperimental randomisasi acak terkontrol dua kelompok yaitu: kelompok dengan terapi intravitreal bevacizumab 1,25mg (kelompok A) dan terapi injeksi intravitreal bevacizumab 1,25mg dan deksametason 0,5mg (kelompok B). Luaran sensitifitas retina, ketebalan makula sentral serta tajam penglihatan dievaluasi pada minggu pertama dan keempat.
Hasil: sebanyak masing-masing 22 orang diteliti di kelompok A dan kelompok B. Median usia pada kelompok A adalah 53,1 + 8,4 dan kelompok B adalah 55,1 + 8. Terdapat perbaikan sensitifitas retina sebanyak 2,1 dB di kelompok A dan 2,03 dB di kelompok B (p=0,673). Perbaikan ketebalan makula sentral didapatkan sebanyak 217µ m pada kelompok A dan 249 µm pada kelompok B (p=0,992). Perbaikan tajam penglihatan dengan koreksi pada kelompok A sebanyak 8,5 huruf dan 7,5 huruf pada kelompok B (p=0,61). Analisis intragroup menunjukkan perbaikan yang signifikan di masing-masing luaran penelitian pada kedua kelompok.
Kesimpulan: Terapi kombinasi bevacizumab dan deksametason menjunjukkan perbaikan secara klinis pada luaran sensitivitas retina, ketebalan makula sentral serta tajam penglihatan dengan koreksi. Perbandingan antara kedua grup tidak signifikan secara statistik. Tren positif tampak kategori adanya kista pada Spectrum Domain Optical Coherence Tomography (SD-OCT) dan pasien dengan Non-Proliferative Diabetic Retinopathy (NPDR).

ABSTRACT
Background: Bevacizumab intravitreal injection therapy in patients with diabetic macular edema (DME) especially with a central macular thickness more than 400 μm is considered ineffective. Corticosteroid addition to the standard therapy can help prevent the inflammation that happens in the progression of diabetic macular edema
Objective: to compare the result of combination of bevacizumab and dexamethasone intravitreal injection with bevacizumab monotherapy in patient with moderate to severe diabetic macular edema.
Methods: randomized controlled trial in two parallel group. Group A received bevacizumab intravitreal 1.25mg in 0.05cc, group B received bevacizumab 1.25mg and dexamethasone 0.5mg. Retinal sensitivity, central macular thickness (CMT) and visual acuity (VA) are evaluated in first and fourth week after injection.
Result: 22 patients from each group were evaluated. Median of age was 53,1+ 8,4 in group A and 55,1 + 8 in group B. Improvement of retinal sensitivity was 2.1dB and 2.03dB in group A and B respectively (p=0,673). There was reduction in CMT about 217µm in group A and 249 µm in group B (p=0,992). Visual acuity (VA) outcomes showed little difference between groups; +8.5 letter and +7.5 letter in group A and group B respectively. Intragroup analysis shows significant differentiation in each outcome in both groups.
Conclusion: combination of intravitreal bevacizumab and dexamethasone clinically improved retinal sensitivity, CMT and VA in patient with DME. There was no statistical difference between in retinal sensitivity, CMT and VA after therapy in both groups. Positive trend was showed especially in patient with cyst appearance in Spectrum Domain Optical Coherence Tomography (OCT) and Non-proliferative Diabetic Retinopathy (NPDR) patient. "
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rafika Sari Fadli
"Edema makula diabetik atau Diabetic Macular Edema (DME) merupakan penyebab utama kehilangan penglihatan pada pasien diabetes. Patofisiologi DME bersifat multifaktorial dan kompleks. Rusaknya sawar darah retina mengakibatkan penumpukan carian abnormal dan penebalan makula retina yang diinduksi oleh berbagai faktor seperti iskemia, peningkatan Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), radikal bebas, disfungsi perisit dan endotel, serta inflamasi. Penelitian ini menilai efektivitas injeksi loading dose bevacizumab dengan kombinasi inisial deksametason dibandingkan loading dose bevacizumab. Pada studi ini dilakukan uji klinis acak terkontrol dengan randomisasi pada dua kelompok yaitu: kelompok dengan terapi loading dose bevacizumab 1,25mg dengan kombinasi inisial deksametason 0,5mg (studi) dan injeksi loading dose bevacizumab 1,25mg (kontrol). Luaran sensitifitas retina, tajam penglihatan serta CMT dievaluasi pada minggu pertama, keempat, kedelapan dan keduabelas. Sebanyak 22 orang diteliti di kelompok studi dan 21 orang kelompok kontrol. Median usia kelompok studi 53,3 + 10,9 dan kontrol 54,1 + 7,3. Dilakukan analisa terhadap sensitifitas retina, tajam penglihatan serta CMT pada kelompok studi (10 orang) dan kontrol (13 orang). Terdapat perbaikan ketebalan makula sentral 205,5μm (studi) dan 87 μm (kontrol) dengan p=0,010. Perbaikan tajam penglihatan dengan koreksi pada studi 13,5 huruf dan 3 huruf pada kelompok kontrol (p=0,23). Terdapat perbaikan sensitifitas retina 1.02 dB di kelompok studi dan 0,68 dB pada kontrol (p=0,832). Analisis intragroup menunjukkan perbaikan signifikan pada pemeriksaan CMT kedua kelompok dan pada pemeriksaan tajam penglihatan pada kelompok studi. Berdasarkan analisa pendahuluan ini dapat memberikan bukti adanya potensi untuk dilakukan penyelesaian seluruh jumlah sampel hingga akhir dimana terdapat kecendrungan perbaikan secara klinis pada setiap luaran.

Diabetic Macular Edema is a major cause of vision loss in diabetic patients. The pathophysiology is multifactorial and complex. The damage of the retinal blood barrier results in a buildup of fluid and thickening of the macula that induced by ischemia, Vascular Endothelial Growth Factor, free radicals, pericyte, endothelial dysfunction, and inflammation. This study assessed the effectiveness of bevacizumab loading dose with initial combination versus a bevacizumab monotherapy. In this study, a randomized controlled trial was carried out in two groups, a 1.25 mg bevacizumab loading dose with a combination of the initial 0.5 mg dexamethasone (study) and a 1.25 mg bevacizumab loading dose (control). Retinal sensitivity, visual acuity and CMT were evaluated at the first, fourth, eighth and twelfth weeks. A total of 22 people (study) and 21 people (control). The median age of was 53.3 + 10.9 (study) and 54.1 + 7.3 (control). Retinal sensitivity, visual acuity and CMT were analyzed in study group (10 people) and (13 people) control group. There was an improvement in CMT 205.5μm (study) and 87μm (control) with p = 0.010. Visual acuity improvement 13.5 letters (study) and 3 letters (control) with p = 0.23 and retinal sensitivity 1.02 dB (study) 0.68 dB (control) with p = 0.832. Intragroup analysis showed significant improvements of the CMT examination in both groups and in the visual acuity examination in study group. Based on this preliminary analysis, it can provide the potential for completion of the entire sample size until the end where there is a tendency for clinical improvement in each outcome."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Marsha Rayfa Pintary
"Perkembangan terapi edema makula diabetik hingga saat ini terus dieksplorasi, dengan terapi anti-VEGF sebagai lini pertama. Yellow Subthreshold Micropulse Laser (SMPL) merupakan inovasi laser fotokoagulasi konvensional yang menargetkan epitel pigmen retina (RPE) telah dianggap aman terhadap populasi kaukasian. Laser tersebut diajukan sebagai alternatif terapi edema makula ringan dengan ketebalan retina di bawah 400 μm. Data prospektif perubahan struktural dan elektrofisiologis SMPL sebagai monoterapi pada non proliferative diabetic retinopathy (NPDR) dengan DME ringan masih terbatas, khususnya di Asia yang memiliki perbedaan ketebalan densitas RPE. Studi eksperimental pre-post tanpa pembanding ini bertujuan untuk mengetahui perubahan Average Macular Thickness (AMT), amplitudo dan waktu implisit gelombang P1 dan N1 mfERG, dan DR score pada DME ringan pasca SMPL. Subyek yang masuk kriteria inklusi dilakukan laser SMPL dengan follow-up untuk menilai AMT dengan Optical Coherence Tomography (OCT) pada 4 dan 8 minggu, serta mfERG, dan DR score menggunakan RETeval Handheld ERG pada 8 minggu pasca laser. Terdapat 15 subyek (17 mata) yang diikutkan pada studi ini. Hasil menunjukkan perbaikan AMT signifikan pada minggu ke-8 pasca laser (p=0.001). Amplitudo dan waktu implisit gelombang P1 dan N1 tidak menunjukkan adanya perubahan bermakna pada setiap ring (p>0.05). Pemeriksaan DR score seluruh pasien DME menunjukkan hasil abnormal sesuai cut-off studi sebelumnya, serta tidak menunjukkan perubahan bermakna antara sebelum dan setelah terapi (p>0.05). Penelitian ini menunjukkan adanya perbaikan anatomis makula dan stabilisasi kondisi sel fotoreseptor dan Muler dilihat dari nilai elektrofisiologis dalam followup 8 minggu. Terapi SMPL dapat dipertimbangkan sebagai alternatif terapi yang aman dan bermanfaat untuk kasus NPDR dengan DME ringan.

The management of DME is still under investigating and research, with currently intra vitreal anti-VEGF as the mainstay therapy. Yellow Subthreshold Micropulse Laser (SMPL) is a conventional photocoagulation laser innovation that targets retinal pigment epithelium (RPE) and has been reported its safety on Caucasian population. This laser method is considered as an alternative treatment for mild DME with retinal thickness below 400 μm. Prospective data on structural and electrophysiological changes of SMPL as monotherapy in non-proliferative diabetic retinopathy (NPDR) with mild DME are still limited, especially in Asia that has RPE density thickness differences. This pre-post study without comparison aims to determine changes in average macular thickness, amplitude and implicit time of P1 and N1 mfERG, and DR score in mild DME post SMPL. Subjects who met the inclusion criteria underwent SMPL laser was examined using Optical Coherence Tomography for average macular thickness parameter at 4- and 8-week post-laser, as well as mfERG and DR score using RETeval handheld ERG at 8-week post-laser. Fifteen subjects (17 eyes) were included in the study. Remarkable AMT improvement at 8-week post-laser was noted in this study (p=0.001). The amplitudes and implicit times of P1 and N1 waves showed no significant changes in each ring (p>0.05). All DME eyes showed abnormal DR score results at baseline according to the cut-off value of previous studies. There was no significant changes of DR score after therapy (p>0.05). This study showed an anatomical improvement of the macula and stabilization of photoreceptor and Muller cells as seen from electrophysiological values at 8-week follow-up. SMPL can be considered as a safe and beneficial alternative therapy in NPDR cases with mild DME."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hendi Utomo Suhandi
"Gigi impaksi merupakan kondisi patologis dimana gigi mengalami kegagalan untuk erupsi secara sempurna pada rongga mulut sesuai posisi fungsionalnya. Tatalaksana untuk gigi molar 3 impaksi adalah odontektomi, dapat dilakukan dalam anestesi lokal maupun anestesi umum atau narkose (general anesthesia). Edema merupakan salah satu komplikasi yang dapat terjadi akibat adanya akumulasi cairan pada jaringan yang disebabkan karena pelepasan mediator inflamasi, vasodilatasi, dan peningkatan permeabilitas kapiler pembuluh darah pasca odontektomi gigi molar 3. Edema pasca odontektomi biasanya memuncak pada 48 jam pasca tindakan odontektomi, dan akan menurun pada hari ke 7 hingga hari ke 10 pasca odontektomi. 3D Scanner ekstra oral ini mampu menghasilkan pengukuran linear dan pengukuran volumetrik yang akurat karena mampu menampilkan pengukuran baik dari bidang aksial, sagital, dan koronal. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI) dengan rentang waktu penelitian Januari 2024-Maret 2024. Berdasarkan analisa sampel pada penelitian ini memiliki responden terbanyak dengan interval usia 18 hingga 40 tahun. Scan pasien dilakukan pada hari pertama dilakukannya odontektomi (H0), hari ke-2 (H2) dan hari ke-7 (H7) sejak tindakan odontektomi dengan narkose dilaksanakan. Scan subjek dianalisis menggunakan software Simplify3D® 4.0 dan 3D Builder. 1. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat perbedaan yang sangat signifikan (p<0.001) evaluasi edema pada wajah pasca odontektomi gigi molar tiga impaksi dengan narkose yang dinilai dengan 3D Scanner ekstra oral. Terjadi kenaikan pada hari ke-2 dibandingkan dengan hari ke-0, serta penurunan kembali di hari ke-7 bila dibandingkan dengan hari ke-2 hingga mendekati pengukuran awal di hari ke-0. Penelitian ini menjadi pilot study pengukuran dengan reliabilitas dan keakuratan tinggi menggunakan scanner 3D ekstraoral.

Impacted teeth are a pathological condition where teeth fail to erupt properly in the oral cavity in their functional position. The management for impacted third molars involves a procedure called odontectomy, which can be performed under local anesthesia or general anesthesia. Edema is one of the complications that may occur due to the accumulation of fluid in tissues caused by the release of inflammatory mediators, vasodilation, and increased capillary permeability post-odontectomy of third molar teeth. Edema post-odontectomy typically peaks at 48 hours after the procedure and decreases by days 7 to 10 post-odontectomy. Extraoral 3D scanner is capable of producing accurate linear and volumetric measurements because it can display measurements from axial, sagittal, and coronal planes. This study was conducted at the University of Indonesia Hospital (RSUI) within the timeframe of January 2024 to March 2024. Based on sample analysis in this study, the majority of respondents fell within the age range of 18 to 40 years old. Patient scans were performed on the day of odontectomy (H0), on day 2 (H2), and on day 7 (H7) following odontectomy with anesthesia. Subject scans were analyzed using Simplify3D® 4.0 and 3D Builder software. 1. According to the research findings, there was a very significant difference (p<0.001) in the evaluation of edema on the face post-odontectomy of impacted third molar teeth with general anesthesia as assessed by the extraoral 3D scanner. There was an increase on day 2 compared to day 0, followed by a decrease on day 7 compared to day 2, approaching the initial measurement on day 0. This study serves as a pilot study for measurements with high reliability and accuracy using an extraoral 3D scanner."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Herdiana
"Pendahuluan: Coronary Artery Disease (CAD) merupakan salah satu penyakit kardiovaskular yang menjadi penyebab utama kematian di dunia. Tindakan kateterisasi dengan menggunakan teknik transradial arteri (TRA) telah mampu menurunkan angka morbiditas dan angka mortalitas dari CAD, tetapi prosedur ini juga berkontribusi untuk terjadinya komplikasi yang cukup besar. Tujuan: dari penelitian ini untuk mengidentifikasi pengaruh handgrip exercise dynamometer terhadap nyeri, edema dan hematoma pada pasien CAD post transradial cardiac catheterization. Metode: Desain penelitian ini menggunakan quasi experiment design dengan bentuk pre test and post test nonequivalent control group. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah non probability sampling yaitu Convinience sampling. Nyeri dan edema merupakan hasil utama dari penelitian ini yang dipantau dan diukur 2 jam setelah intervensi sedangkan hematoma dipantau dan diukur 24 jam setelah intervensi. Hasil: Terdapat penurunan skala nyeri dan edema yang signifikan sesudah dilakukan handgrip exercise pada kelompok intervensi dengan p value = 0,000. Tidak ada penurunan skala nyeri dan edema sesudah pada tindakan yang diberikan sesuai SOP Rumah sakit secara signifikan dengan p value > 0,05. Terdapat perbedaan yang signifikan median penurunan skala nyeri dan edema sesudah dilakukan handgrip exercise pada kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol (p value < 0,05). Terdapat perbedaan yang signifikan pada kejadian hematoma sesudah dilakukan handgrip exercise pada kelompok intervensi yaitu 5,8% dibandingkan dengan kelompok kontrol 80,8% (p value < 0,05). Kesimpulan: handgrip exercise dynamometer dapat menurunkan nyeri, edema dan hematoma pada pasien CAD posttransradial cardiac catetherization.

Introduction: Coronary Artery Disease (CAD) is leading cause of mortality worldwide. Catheterization using the transradial arterial (TRA) technique has been able to reduce morbidity and mortality rates from CAD, but this procedure also contributes to the occurrence of complications. Aim: this study to identify the effect of the handgrip exercise dynamometer on pain, edema and hematoma in CAD patients post transradial cardiac catheterization. Method: This research design uses a quasi experimental design with the form of a pre test and post test nonequivalent control group. The sampling technique used in this research is non-probability sampling, namely convenience sampling. Pain and edema were the main outcomes of this study which were monitored and measured 2 hours after the intervention while hematoma was monitored and measured 24 hours after the intervention. Results: There was a significant reduction in pain and edema before and after handgrip exercise in the intervention group with p value = 0.000. There was no significant reduction in the pain and edema scale before and after the intervention given according to the hospital SOP with a p value < 0.05. There was a significant difference in the median reduction in pain and edema after handgrip exercise in the intervention group compared to the control group (p value < 0.05). There was a significant difference in the incidence of hematoma after handgrip exercise in the intervention group, namely 5.8% compared to the control group, 80.8% (p value < 0.05). Conclusion: handgrip exercise dynamometer can reduce pain, edema and hematoma in CAD posttransradial cardiac catetherization patients."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>