Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Zulfa Habsari Yusma
"Pemilihan umum legislatif merupakan ajang lima tahun sekali yang menjadi hajat besar bagi rakyat Indonesia. Sebagai Daerah Tingkat II, kedudukan kabupaten/kota menjadi sangat penting karena kedudukannya dekat sekali dengan rakyat. Karena itu, pemilihan legislatif di tingkat kabupaten/kota tidak dapat diabaikan begitu saja. Salah satu yang menyelenggarakan pemilihan umum legislatif adalah Kabupaten Purworejo. Di Kabupaten Purworejo terdapat enam dapil, satu di antaranya adalah dapil 4. Penelitian berupaya menggambarkan faktor-faktor modal sosial apa saja yang menyebabkan kemenangan yang K.H. Akhmat Tawabi pada pemilihan umum anggota legislatif di Daerah Pemilihan 4 Kabupaten Purworejo. Dengan menggunakan metode kualitatif dan berdasarkan teori modal sosial, penelitian ini menunjukkan bahwa modal sosial merupakan faktor penting dalam kemenangan K.H. Akhmat Tawabi pada pemilihan umum legislatif di Dapil 4 Kabupaten Purworejo. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, terdapat tiga modal sosial yang dimiliki oleh K.H. Akhmat Tawabi. Pertama, modal sosial berkaitan dengan status sebagai kiai. Kedua, modal sosial berkaitan dengan pengalaman menjadi kepala desa selama dua periode. Ketiga, modal sosial berkaitan dengan jaringan PPP. Melalui jaringan-jaringan yang dimiliki, diikat oleh norma-norma yang berlaku di dalamnya, serta kepercayaan yang timbul akibat interaksi dan komunikasi dalam jangka waktu yang lama, ketiga fitur dalam modal sosial tersebut menghasilkan kerja sama antara K.H. Akhmat Tawabi dengan pendukung. Ketiga fitur tersebut, menggerakkan orang-orang yang berhubungan dengan K.H. Tawabi terkait status sebagai kiai, pengalaman menjadi kepala desa, serta status beliau sebagai kader PPP, memilih beliau dalam pemilihan umum legislatif tahun 2019. Ketiga modal sosial tersebut memiliki karateristik yang membedakan satu sama lain. Selain itu, ketiganya juga memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.

The legislative general election is an event every five years which is a big event for the Indonesian people. As a Level II Region, the position of the regency/city is very important because it is very close to the people. Therefore, legislative elections at the district/city level cannot be ignored. The one that holds legislative general elections is Purworejo Regency. In Purworejo Regency, there are six electoral districts, one of which is electoral district 4. The research seeks to describe the factors of social capital that led to K.H. Akhmat Tawabi in the general election of legislative members in Electoral District 4, Purworejo Regency. Using qualitative methods and based on social capital theory, this study shows that social capital is an important factor in K.H. Akhmat Tawabi in the legislative general election in Electoral District 4, Purworejo Regency. Based on the research results that have been done, there are three social capitals owned by K.H. Akhmat Tawabi. First, social capital is related to the status of a kiai. Second, social capital is related to the experience of being a village head for two periods. Third, social capital is related to PPP networks. Through the networks they have, bound by the norms that apply in them, as well as the trust that arises as a result of long-term interaction and communication, the three features of social capital result in cooperation between K.H. Akhmat Tawabi with supporters. These three features, move people associated with K.H. Tawabi related to his status as a kiai, his experience as a village head, as well as his status as a PPP cadre, electing him in the 2019 legislative elections. The three social capitals have characteristics that differentiate one another. Apart from that, the three of them also have their own advantages and disadvantages."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rahardhian Ray Nursangkamara
"Pemilihan umum atau pemilu di tahun 2019, khususnya pemilihan presiden oleh nomor urut 1 dan 2 merupakan pesta demokrasi untuk masyarakat Indonesia. Informasi seputar politik tentunya ramai di kehidupan nyata dan di ranah cyberspace. Perkembangan zaman yang maju mendukung segala penyebaran pesan kampanye politik melalui cyberspace dengan media sosial sebagai wadah berbagi informasi. Namun, pesan kampanye politik yang tersebar tidak sedikit mengandung suku, agama, ras (SARA) dan politik identitas yang tujuannya membuat konflik satu sama lain. Informasi seputar kampanye politik di ranah cyberspace yang memuat infromasi berita palsu atau hoaks. Fenomena ini kemudian, menghadirkan upaya-upaya literasi digital oleh lembaga Kepolisian RI dan Kominfo melalui cyberspace. Tulisan ini berfokus pada konten visual yang diunggah pada platform media sosial, situs resmi, dan situs berita oleh kedua instansi tersebut, sebagai upaya literasi digital. Kerangka pemikiran dan analisis pada tulisan ini dilandasi oleh tiga konsep yaitu post truth, pengendalian sosial di ranah cyberspace yang memuat legal measures, informal request, outsourcing, just-in-time blocking, patriotic hacking, targeted surveillance and social – malware attacks, dan kriminologi visual yang memuat visuality dan remaking. Hasilnya, pengendalian sosial di ruang siber pada masa pemilu 2019 oleh Kepolisian RI dan Kominfo dengan visualisasi konten yang diunggah, dapat membantu kedua instansi tersebut dalam memberikan literasi digital terkait konten hoaks ke masyarakat.

The general eletions in 2019, spesifically the presidential election number 1 and 2, is a democratic party for the people of Indonesia. Information about politics is certainly spread in real life and in the realm of cyberspace. The development of the modern era bolsters all the deployment of political campaign messages through cyberspace with social media as a platform for sharing information. Nevertheless, the political campaign messages that were spread contain a lot of ethnicity, religion, race (SARA) and identity politics with the aim of creating conflicts with each other. This phenomenon presents digital literacy efforts by the Indonesian Police and Ministry of Communication and Informatics institutions through cyberspace. This paper focuses on visual content uploaded on social media platforms, official websites and news sites by the two agencies, as a digital literacy effort. The framework and analysis are based on three concepts, namely post truth, social control in the realm of cyberspace which includes legal measures, informal requests, outsourcing, just-in-time blocking, patriotic hacking, targeted surveillance and social - malware attacks, and visual criminology that include visuality and remaking. As a result, social control in cyberspace during the election of 2019 by the Indonesian Police and Ministry of Communication and Informatics institutions with the visualization of uploaded content, it can help the two agencies in providing digital literacy related to hoax content to the society."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gabrielson Pascalino Milkyway
"Penelitian ini menganalisa mengenai proses pembiayaan politik caleg perempuan pada pemilu 2019. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan mengumpulkan data melalui wawancara dan studi literatur. Penelitian ini menggunakan kerangka pembiayaan politik dari van Biezen, sebagai teori utama, dan dilengkapi dengan konsep pembiayaan politik berbasis gender, personal vote, dan patronase. Pembiayaan politik yang tinggi di Indonesia diakibatkan perubahan sistem proposional dari tertutup (Orde Baru) menjadi terbuka (Reformasi) dan celah dalam aturan pembiayaan politik. Tingginya pembiayaan politik menyebabkan caleg perempuan terpilih banyak berasal dari kekerabatan politik. Temuan dari penelitian ini bahwa proses pembiayaan caleg perempuan dari kalangan elit dan petahana tidak menunjukan masalah. Pemasukan dana kampanye berasal dari diri sendiri. Sedangkan pengeluaran terbesar diperuntukan untuk kunjungan ke dapil dan APK. Tidak adanya pencatatan sesuai realitas di lapangan menunjukan celah dalam regulasi pembiayaan tidak hanya dalam aspek transparansi, tetapi juga dalam aspek regulasi pemasukan dan pengeluaran serta ketersediaan dana publik. Penerapan kuota gender di Indonesia yang mendorong pencalonan kandidat perempuan dengan modalitas tinggi menunjukan bahwa perlu adanya tindakan afirmasi dalam pembiayaan politik. Hal ini dikarenakan penggunaan kuota gender tidak mendorong perubahan ketidaksetaraan gender dalam struktur sosial dan ekonomi. 

This study analyzes the political financing process of female candidates in the 2019 elections. This study uses qualitative research methods by collecting data through interviews and literature studies. This study uses the political financing framework of van Biezen, as the main theory, and is complemented by the concepts of gender-based political finance, personal votes, and patronage. High political finance in Indonesia is due to a change in the proportional electoral system from closed (New Order) to open (Reformasi) and loopholes in political financing rules. The high level of political funding causes many of the elected female candidates to come from political kinship. The findings of this study that the process of financing female candidates from the elite and incumbent did not show a problem. Income from campaign funds comes from oneself. While the largest expenditure is intended for visits to electoral districts and APKs. The absence of records according to field reality shows gaps in financing regulations not only in the aspect of transparency, but also in terms of regulation of revenue and expenditure as well as the availability of public funds. The implementation of a gender quota in Indonesia that encourages the nomination of women candidates with high modality shows that there is a need for affirmations of gender-based political financing. This is because the use of gender quotas does not encourage changes in gender inequality in social and economic structures."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ismail shabri
"Pemilu Presiden 2019 memunculkan konflik antar pendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 01 dan 02. Kontestasi politik tersebut menimbulkan reaksi masyarakat, sehingga memunculkan pasangan calon presiden fiktif dan wakil presiden fiktif, Nurhadi Aldo. Akun fiktif Nurhadi Aldo menggunakan media sosial sebagai platform kampanye, mengunggah program-program fiktif yang seakan-akan mereka merupakan pasangan calon presiden dan wakil presiden nyata. Nurhadi Aldo menggunakan satire dalam program fiktif yang mereka buat sebagai bentuk kritik dan sekaligus humor terhadap kondisi Indonesia. Konten Nurhadi Aldo akan dikaji memanfaatkan pemikiran sosiologi humor oleh beberapa sosiolog di bidang sosiologi humor, peacemaking criminology oleh Fuller, kontestasi politik oleh Daxecker dan kriminologi visual oleh pemikiran beberapa kriminolog di bidang kriminologi visual. Disimpulkan dengan, Pasangan Calon fiktif Nurhadi Aldo merupakan reaksi masyarakat terhadap konflik yang terjadi, membentuk pasangan calon baru yang digunakan sebagai kritik dan humor terhadap kondisi Indonesia menjelang Pemilu Presiden 2019.

The 2019 Presidential Election led to conflicts between two of the candidate's supporters. Indonesian society reacted towards the political contestation with a fictional presidential candidate, Nurhadi Aldo. Nurhadi Aldo operated using social media as their campaign platform, creating fictional presidential programs as if they are the real deal. This paper utilizes the sociology of jokes, peacemaking criminology, and visual criminology to analyze Nurhadi Aldo. Nurhadi Aldo used satire within their fictional programs to criticize and humor towards Indonesia's problems. Nurhadi Aldo's content will be studied using the sociology of humor by several sociologists in humor, Fuller's peacemaking criminology concept, Daxecker's political contestation, and visual criminology by the thoughts of several criminologists in the field of visual criminology. It can be concluded that Nurhadi Aldo's fictional Candidate Pair is a form of public reaction towards the election conflicts, forming a new candidate pair that is used as criticism and humor about Indonesia's conditions ahead of the 2019 Presidential Election."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library