Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hani Adhani
"Pasca Amandemen UUD 1945, Proses pemilihan Kepala Daerah dilaksanakan melalui pemilihan langsung. Hal mengenai mekanisme pemilihan Kepala Daerah tersebut selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah.
Pelaksanaan demokrasi dalam Pilkada langsung ini menimbulkan konsekuensi yang besar terhadap kelangsungan kehidupan demokrasi di Indonesia. Proses pelaksanaan Pilkada yang syarat dengan berbagai kepentingan akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan dan selalu berujung dengan sengketa. Lembaga peradilan yang merupakan benteng terakhir untuk menyelesaikan sengketa Pilkada harus selalu dituntut untuk mengedepankan putusan yang menjunjung rasa keadilan bagi semua kepentingan yang terkait dengan sengketa Pilkada.
Adanya konflik yang berkepanjangan pasca putusan sengketa Pilkada oleh Mahkamah Agung menimbulkan kegamangan yang berujung dengan pengalihan kewenangan untuk mengadili sengketa Pilkada dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak secara jelas mengatur tentang mekanisme pengalihan kewenangan mengadili sengketa Pilkada dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi, hal tersebut menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda terkait tenggat waktu pelimpahan kewenangan tersebut, meskipun pada akhirnya permasalahan tersebut berakhir setelah ditandatanganinya Berita Acara Pelimpahan Kewenangan Mengadili Sengketa Pilkada dari Mahkamah agung ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 29 Oktober 2008.
Proses penyelesaian sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi tidaklah jauh berbeda dengan penyelesian sengketa di Mahkamah Agung, adanya tenggat waktu 14 (empat belas) hari untuk menyelesaikan sengketa tersebut, menyebabkan proses penyelesaian sengketa tersebut harus dilaksanakan secara cepat dengan acuan yang menjadi dasar pertimbangan hakim adalah hal mengenai hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon. Adanya upaya hukum berupa kasasi dan peninjauan kembali yang dilakukan oleh Mahkamah Agung pasca putusan yang bersifat final dan mengikat, menyebabkan upaya menyelesaikan sengketa Pilkada berlarut-larut sehingga menimbulkan adanya ketidakpastian hukum. Hal tersebut yang menjadi salah satu pembeda antara proses penyelesaian sengketa Pilkada di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T25202
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mashudi
Bandung: Mandar Maju, 1993
324.6 MAS p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Panitian Pengawas Pemilihan Umum, 2004
324.6 KUM;324.6 KUM (2)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Topo Santoso
Jakarta: Kemitraan Parnership, 2007
324.6 TOP h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Jakarta: Perludem, 2004
324.6 IND p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"Tahun ini Indonesia akan menggelar dua perhelatan politik besar berskala nasional: Pileg dan Pilpres. Pileg untuk memilih wakil rakyat yang akan duduk di DPR, DPD dan DPRD. Sedangkan Pilpres untuk memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden. Bagaimana hasil kedua pemilu itu untuk perjalanan Indonesia ke depan (2014-2019)? Pemilu memang tidak menjamin apa-apa kecuali kebebasan bagi rakyat untuk memilih. Namun, tentu saja selalu ada perubahan di balik pemilu. Yang kita tak tahu apakah perubahan itu positif atau negatif. Diprediksi hasil-hasil Pileg relatif tak berubah, dalam arti tidak membawa calon-calon wakil rakyat baru yang benar-benar berkualitas dan berintegritas. Sebab, sebagian dari mereka mengawali proses masuk ke lembaga legislatif itu dengan tahapan-tahapan yang sarat politik uang. Jika awalnya saja sudah kotor, maka ke depannya pun kerja-kerja politik mereka niscaya diwarnai dengan praktik-praktik busuk dan korup. Sementara hasil Pilpres mungkin agak berbeda, karena kali ini rakyat telah banyak belajar dari pengalaman masa lampau terkait seorang pemimpin yang lebih menekankan citra diri tapi sangat peragu dan kinerjanya mengecewakan. Apabila seiring waktu rakyat makin berani memerankan diri sebagai "pengawal-pengawas" bagi kinerja pemimpin mendatang. Rakyat akan bersuara terus-menerusmengkritisinya, terutama melalui jejaring sosial yang kian terbuka luas."
330 ASCSM 25 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Kepemimpinan Kepala Daerah menjadi faktor utama yang menentukan keberhasilan daerah yang bersangkutan untuk melaksanakan pembangunan guna mensejahterakan rakyat dan memajukan daerahnya. Reformasi birokarsi sudah menjadi program pemerintah selama lebih dari satu dekade ini. Namun hasil dari reformasi birokrasi ini masih belum memuaskan, yang terjadi justru banyak Kepala Daerah yang tersangkut dalam perkara korupsi. Salah satu penyebab dari hal ini, adalah karena mahalnya biaya sejak Calon Pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah mengikuti proses Pemilukada maupun setelah menjabat Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Sehingga sistem Pemilukada saat ini cenderung menghasilkan Pemimpin Transaksional, bukan berarti transaksi yang menawarkan visi, misi, dan program yang baik, tetapi cenderung terjadi transaksi jual beli kekuasaan."
330 ASCSM 25 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Adeline Syahda
"Penyelesaian Pelanggaran administrasi Pilkada dan Pemilu oleh Bawaslu dan jajaran sesuai dengan mandat UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Keduanya menggunakan mekanisme yang bebeda yaitu mekanisme penerimaan laporan, kajian dengan produk rekomendasi untuk pilkada dan mekanisme adjudikasi dalam persidangan terbuka umum dengan produk putusan untuk Pemilu. Pada praktiknya terdapat hambatan dalam penyelesaian pelanggaran administrasi pilkada yang difokuskan pada pelanggaran Pasal 71 ayat (2) ayat (3) dengan sanksi administrasi pembatalan calon karena diparitas mekanisme dan produk akhir ini. Ditemui variasi tindaklanjut yang dilakukan oleh KPU dan jajarannya ketika produk pelanggaran administrasi berupa rekomendasi meskipun baik putusan ataupun rekomendasi, UU Pemilu dan UU Pilkada sama mengatur kewajiban KPU dan jajarannya untuk melakukan tindaklanjut. Perbedaan terletak pada konteks pilkada karena setalah rekomendasi Bawaslu diberikan UU Pilkada juga memberikan kewenangan memeriksa dan memutus pelanggaran administrasi Pilkada oleh KPU dan jajarannya. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakan penanganan pelanggaran administrasi Pilkada dan Penanganan Pelanggaran administrasi Pemilu oleh Bawaslu dan bagaimanakah hambatan dalam penanganan pelanggaran administrasi Pilkada jika dibandingkan dengan penanganan pelanggaran Pemilu berdasarkan Putusan dan Rekomendasi. Penulisan tesis ini menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penanganan pelanggaran administrasi Pilkada dan Pemilu menggunakan mekanisme yang diatur oleh dua regulasi yang berbeda sehingga menimbulkan disparitas meskipun diselenggarakan oleh lembaga yang memiliki kewenangan yang sama sebagaimana putusan MK 48/PUU-XVII/2019. Ditemui hambatan seperti perbedaan pemahaman antara KPU dan Bawaslu, sifat dan daya ikat rekomendasi, mekanisme non adjudikasi yang tidak berimbang dengan output rekomendasi pembatalan calon, peraturan KPU yang tidak sesuai. Saran adalah perbaikan kerangka hukum dengan revisi UU Pilkada berkenaan dengan kewenangan pelanggaran administrasi menyesuaikan dengan UU Pemilu untuk pelanggaran Pasal 71 ayat (2), (3) dengan sanksi pembatalan calon dengan output putusan, mengatur hukum acara sendiri, revisi PKPU Nomor 25 Tahun 2013 dan membangun kesepahaman antar lembaga penyelenggara pemilu

Settlement of Election and Election administrative violations by Bawaslu and its ranks in accordance with the mandate of Law Number 7 of 2017 concerning General Elections and Law Number 10 of 2016 concerning Election of Governors, Regents and Mayors. Both of them use different mechanisms, namely the mechanism for receiving reports, studies with recommendation products for the regional elections and adjudication mechanisms in public open trials with decisions for elections. In practice, there are obstacles in resolving election administrative violations which are focused on violations of Article 71 paragraph (2) paragraph (3) with administrative sanctions for canceling candidates due to the disparity of the mechanism and the final product. There were variations of follow-up carried out by the KPU and its staff when the product of administrative violation was in the form of a recommendation, even though it was a decision or recommendation. The Election Law and the Pilkada Law both regulate the obligations of the KPU and its staff to follow up. The difference lies in the context of the election because after the Bawaslu recommendation was given the Pilkada Law also gave the authority to examine and decide on violations of the election administration by the KPU and its staff. The formulation of the problem in this research is howhandling of election administrative violations and handling of election administrative violations by Bawaslu and how are the obstacles in handling election administrative violations when compared to handling election violations based on Decisions and Recommendations. The writing of this thesis uses a normative juridical legal research method. The results of the study indicate that the handling of administrative violations of the Pilkada and General Elections uses a mechanism regulated by two different regulations, causing disparities even though they are carried out by institutions that have the same authority as the Constitutional Court's decision 48/PUU-XVII/2019. Obstacles were encountered such as differences in understanding between the KPU and Bawaslu, the nature and binding power of the recommendations, non-adjudication mechanisms that were not balanced with the output of recommendations for the cancellation of candidates, Inappropriate KPU regulations. Suggestions are improvements to the legal framework by revising the Pilkada Law with regard to the authority for administrative violations to comply with the Election Law for violations of Article 71 paragraph (2), (3) with sanctions for canceling candidates with decision outputs, regulating their own procedural law, revising PKPU Number 25 of 2013 and build understanding among election management bodies."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>