Search Result  ::  Save as CSV :: Back

Search Result

Found 3 Document(s) match with the query
cover
Manurung, Hana Chaterein Immanuela
"Laïcité merupakan konsep sekularisme yang telah berkembang dan dianut oleh Prancis sejak lama. Prinsip laïcité menekankan pemisahan secara ketat urusan agama dengan negara. Konsep ini mengatur kehidupan dan kebebasan beragama di Prancis (Kiwan, 2023). Undang-undang nomor 2004-228 tanggal 15 Maret 2004 merupakan salah satu implementasi konsep laïcité. Undang-undang ini mengatur penggunaan atau pemakaian atribut keagamaan di Prancis. Akan tetapi, semakin lama peraturan ini semakin berkembang dan terus membatasi penggunaan atribut khususnya milik umat Muslim, seperti pelarangan penggunaan jilbab, penutup wajah burqa dan niqab, pakaian renang burkini, dan pada tahun 2023 pelarangan penggunaan baju panjang abaya di institusi pendidikan Prancis oleh Gabriel Attal. Artikel ini akan membedah pernyataan-pernyataan dari Gabriel Attal dan Emmanuel Macron yang menunjukkan adanya ketakutan tertentu, serta melihat hal yang melatarbelakangi munculnya peraturan ini, dengan menggunakan metode penelitian kualitatif milik Creswell (2014) dan teori Analisis Wacana Kritis milik Van Dijk (2015). Temuan dalam penelitian ini menunjukkan adanya motif tertentu dari Gabriel Attal di balik pelarangan abaya, yang mana hal ini memberikan keuntungan politik kepadanya. Selain itu, pernyataan-pernyataan milik Gabriel Attal dan Emmanuel Macron sebagai kepala negara yang negatif terhadap kaum Muslim memengaruhi pandangan masyarakat Prancis.

Laïcité is a concept of secularism that France has developed and embraced for a long time. The principle of laïcité emphasizes the strict separation of religion from the state. This concept regulates life and religious freedom in France (Kiwan, 2023). The law number 2004-228 dated March 15, 2004 is one of the implementations of the concept of laïcité. This law regulates the use or wearing of religious attributes in France. However, over time this regulation has grown and continues to restrict the use of attributes especially belonging to Muslims, such as the ban on the use of headscarves, burqa and niqab face coverings, burkini swimsuits, and in 2023 the ban on the use of abaya long dresses in French educational institutions by Gabriel Attal. This article analyzes statements from Gabriel Attal and Emmanuel Macron that show a certain fear, and looks at the background of the emergence of this regulation, using Creswell's qualitative research method (2014) and Van Dijk's Critical Discourse Analysis theory (2015). The results of this study show that Gabriel Attal has certain motives behind the abaya ban, which gives him political benefits. In addition, Gabriel Attal's and Emmanuel Macron's statements as head of state that are negative towards Muslims influence the perception of the French people."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2025
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Langit Masaha Putra Sabawana
"Penelitian ini menganalisis kebijakan antiterorisme yang dikemukakan oleh Presiden Prancis François Hollande dan Emmanuel Macron melalui pidato kenegaraan mereka. Menggunakan pendekatan Analisis Wacana Kritis (AWK) yang dikembangkan oleh Norman Fairclough (2003), penelitian ini mengeksplorasi bagaimana kedua presiden membingkai narasi kebijakan mereka dalam konteks serangan teror yang mengguncang Prancis tahun 2015. Selain itu, penelitian ini merujuk pada konsep perbedaan pandangan politik yang diungkapkan oleh Raymond Aron dalam bukunya L’Opium des Intellectuels (1955), yang menyoroti pengaruh ideologi dan konteks sosial terhadap kebijakan publik. Hasil analisis menunjukkan bahwa Hollande, meskipun berusaha menekankan nilai-nilai kemanusiaan dan solidaritas, seringkali terjebak dalam kebijakan yang memperkuat langkah-langkah keamanan yang ketat. Sebaliknya, Macron menunjukkan pergeseran menuju pendekatan yang lebih tegas dan militaristik, terutama setelah pengesahan undang-undang kontraterorisme yang kontroversial. Penelitian ini mengungkapkan ketegangan antara retorika politik dan realitas kebijakan yang diimplementasikan, serta tantangan yang dihadapi pemerintah dalam menyeimbangkan antara keamanan dan hak asasi manusia. Dengan demikian, penelitian ini memberikan wawasan mendalam tentang dinamika kebijakan anti-terorisme di Prancis dan implikasinya terhadap masyarakat, serta pentingnya memahami hubungan antara wacana politik dan struktur kekuasaan dalam konteks global yang semakin kompleks.

This research analyzes the anti-terrorism policies articulated by French Presidents François Hollande and Emmanuel Macron through their state speeches. Utilizing the Critical Discourse Analysis (CDA) approach developed by Norman Fairclough (2003), this study explores how both presidents frame their policy narratives in the context of terrorist attacks that have shaken France in 2015. Additionally, the research references the concept of differing political perspectives articulated by Raymond Aron in his book L’Opium des Intellectuels (1955), highlighting the influence of ideology and social context on public policy. The analysis results indicate that while Hollande strives to emphasize humanitarian values and solidarity, he often becomes trapped in policies that reinforce strict security measures. Conversely, Macron demonstrates a shift towards a more assertive and militaristic approach, particularly following the controversial enactment of counter-terrorism laws. This research highlights the tension between political rhetoric and the realities of implemented policies, as well as the challenges faced by the government in balancing security and human rights. Thus, this study provides indepth insights into the dynamics of anti-terrorism policy in France and its implications for society, emphasizing the importance of understanding the relationship between political discourse and power structures in an increasingly complex global context."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yessyca Megasari Christianto
"Prancis adalah salah satu negara dengan kebijakan hak reproduksi yang progresif. Hal itu dibuktikan dengan adanya kebijakan mengenai aborsi di Prancis yang terus mengalami peningkatan seiring berjalannya waktu. Kebijakan pertama yang berkaitan dengan dekriminalisasi aborsi di Prancis adalah La Loi Veil yang diresmikan tahun 1975. Pada perkembangan terakhir, tanggal 8 Maret tahun 2024, Prancis resmi menjadi negara pertama yang menetapkan hak aborsi ke dalam konstitusi negara. Langkah ini dianggap sebagai kemenangan bagi perempuan, tetapi juga menimbulkan perdebatan. Penelitian ini menganalisis keberpihakan politisi kanan terhadap isu konstitusionalisasi hak aborsi di Prancis dengan menggunakan pendekatan Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough (2013). Hasil analisis menunjukkan bahwa wacana yang dimiliki politisi kanan dalam isu hak aborsi memengaruhi terjadinya kompromi strategis atas teks akhir konstitusi, terutama dalam pengaturan kebebasan yang dijamin. Ambiguitas dalam bahasa hukum membuka peluang bagi pemerintah untuk membatasi hak aborsi di masa depan, menunjukkan kerentanan hak tersebut. Dengan menggunakan perspektif Feminist Legal Theory Martha Albertson Fineman (2005), penelitian ini menyimpulkan bahwa kompromi yang ada memperkuat subordinasi perempuan dalam kerangka hukum yang masih didominasi nilai-nilai patriarkal. Meskipun langkah konstitusional ini signifikan, perlindungan hak aborsi memerlukan pengawasan berkelanjutan untuk memastikan implementasinya bersifat adil dan tidak diskriminatif."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2025
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library