Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Budi Susanto Notosaputro
Abstrak :
ABSTRAK
Neoplasia endometrium dalam klinik muncul sebagai keluhan gangguan haid dalam berbagai bentuk. Keluhan ini merupakan kasus sehari-hari dalam klinik ginekologi. Diagnosis pasti, yang dapat berbentuk hiperplasia kistik, hiperplasia adenomatosa, hiperplasia atipik, atau adanokarsinoma berbagai derajat, hanya mungkin ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologik.

Dalam patogenesisnya, rangkaian jejas ini umumnya berkaitan erat dengan hormon estrogen. Kadar hormon estrogen yang tinggi dan berlangsung lama tanpa diimbangi oleh hormon progesteron akan menyebabkan berlangsungnya perangsangan yang terus menerus pada sel epitel kelenjar sehingga terjadi proliferasi yang berlebihan. Untuk dapat bekerja, hormon ini membutuhkan suatu protein spesifik dalam sel sasaran yang dikenal sebagai "reseptor". Pada dasarnya receptor mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) mengenal dan mengikat hormon estrogen, dan 2) mengantar hormon estrogen dari sitoplasma ke inti sel sehingga berlangsung respons sel yang spesifik. Dalam inti sel, kompleks reseptor-estrogen ini berikatan dengan bagian kromatin yang disebut "akseptor". Dengan berlangsungnya rangkaian ikatan ini, inti sel mulai membentuk mRNA yang dikeluarkan ke sitoplasma dan sel mulai membentuk protein spesifik yang pada akhirnya menghasilkan pembelahan sel.

Pengenalan terdapatnya reseptor estrogen ini bermanfaat dalam pengobatan maupun penentuan prognosis penderita. Suatu adenokarsinoma endometrium misalnya, bila memiliki cukup reseptor dapat diberikan pengobatan hormonal yang jauh lebih menguntungkan dari pada sitostatika. Demikian juga tumor demikian menunjukkan prognosis yang lebih baik.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai manfaat pulasan imunoperoksidase dalam mengenal reseptor estrogen, sekaligus mempelajari pola distribusi dan intensitasnya dalam sel sasaran serta melihat hubungannya dengan jenis neoplasia. Diharapkan penelitian ini selanjutnya akan bermanfaat bagi ahli patologi anatomik, para ahli klinik yang menangani penderita, saerta bagi para peneliti sebagai dasar penelitian selanjutnya.
Dalam penelitian ini diperiksa sejumlah 36 kasus, 5 (=13,9%) di antaranya terdiri atas adenokarsinoma endometrium berdiferensiasi baik. Jumlah kasus ini lebih kurang sebanding dengan jumlah kasus yang telah didiagnosis sebagai neoplasia endometrium di Bagian Patologi Anatomik FKUI selama 7 tahun {1980--1986) yaitu sebanyak 1240 kasus, di antaranya 186 (=15%) kasus adalah karsinoma.

Diperiksa pula 10 sediaan endometrium normal masa proliferasi den sekresi dan 2 sediaan endometrium dalam gangguan keseimbangan horman. Diagnosis histopatologik ditegakkan berdasarkan hasil pulasan rutin hematoksilineosin. Untuk mengenal reseptor estrogen dipergunakan pulasan imunoperoksidase dengan memakai antibodi anti-estradiol, dikerjakan pada jaringan yang telah difiksasi dan dibuat blok parafin. Hasil pulasan umumnya memuaskan karena 1) antibodi yang digunakan memiliki spesifisitas yang cukup tinggi, 2) kromogen memberikan warna merah-coklat yang kontras terhadap latar belakang yang kebiruan, dan 3) pulasan tending dengan hematoksilin Mayer tidak menghalangi pembacaan warna kromogen. Spesifisitas pulasan dikontrol dengan sediaan yang sama tetapi tidak diberikan antibodi anti-estradiol, melainkan diberikan serum non-imun. Pulasan non-spesifik berlangsung juga pada jaringan ikat kolagen den sel granulosit, namun secara morfologik mudah dibedakan dari sel epitel kelenjar.
Pembacaan dilakukan.dengan pembesaran 450 kali pada 10 lapangan, hanya sel epitel kelenjar yang dinilai serta dirinci atas inti dan sitoplasma. Dilakukan pengukuran semikuantitatif atas distribusi reseptor estrogen maupun intensitas pulasannya.

Peniiaian distribusi reseptor estrogen dinyatakan dalam % positif polpulasi sel kelenjar. Jumlah nilai yang diperoleh dikonversikan dalam bentuk derajat distribusi, dinyatakan dalan derajat 1 {20 - 40% positif) sampai dengan derajat 3 ' (> 60% positif) dan basil yang negatif (< 20% positif).Penilaian intensitas pulasan dirinci atas +, ++, dan +++ berdasarkan kepadatan granula yang terpulas.

Pada endometrium normal, sebaran reseptor estrogen dalam inti sel kelenjar memperlihatkan keterkaitan dengan periode siklus haid. Derajat terendah didapatkan pada masa proliferasi awal, menoapai nilai tertinggi dalam masa proliferasi lanjut, menetap selama masa sekresi awal, kemudian menurun menoapai nilai minimal dalam masa sekresi lanjut.

Guna melihat hubungan antara status reseptor dengan derajat perubahan histopatologik, dilakukan pengujian statistik menurut Kendall dengan 2 variabel kategori berderajat. Bila didapatkan hubungan bermakna, kemaknaan hubungan itu ditentukan dengan menggunakan koefisien kemaknaan dari Kendall pula.

Analisis status reseptor dalam hubungannya dengan perubahan histopatologik dari normal hingga karsinoma tidak menunjukkan hubungan yang bermakna. Sebaran reseptor estrogen dalam inti sel kelenjar yang mencapai derajat III didapatkan pada 40% kasus dari kelompok endometrium normal, namun hanya 11,11% kasus dari kelompok neoplasia. Rendahnya jumlah kasus dalam kelompok yang terakhir ini menunjukkan perbedaan perilaku biologik antara kedua kelompok. Selanjutnya dari kelompok neoplasia dilakukan analisis tersendiri.

Hasil pengujian yang diperoleh menunjukkan bahwa distribusi reseptor dalam inti sel kelenjar mempunyai hubungan yang bermakna dengan jenis neoplasia (0,001 < p < 0,01; r = 0,29). Makin keras neoplasia, makin luas sebaran reseptor 'estrogen dalam inti sel kelenjar. Meskipun demikian, beberapa kasus menunjukkan sebaran yang menyimpang dari pola umum.

Distribusi reseptor estrogen dalam sitoplasma sel kelenjar maupun intensitasnya dalam inti dan sitoplasma tidak menunjukkan hubungan bermakna dengan jenis neoplasia.
1987
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Triono Adi Suroso
Abstrak :
Karsinoma endometrium merupakan keganasan ginekologi yang sering dijumpai dan keganasan ketiga yang paling sering pada wanita. Karsinoma endometrium juga merupakan penyebab kematian ketujuh dari keganasan pada wanita. The American Cancer Society melaporkan bahwa pada tahun 1999 terjadi 37.400 kasus baru dan 6.400 kematian. Tahun 2000 dilaporkan 36.100 kasus baru dengan 6.500 kasus kematian. Tahun 2001 terjadi 38.300 kasus baru dengan 6.600 kematian. Sedangkan tahun 2002 diperkirakan akan terjadi 39.000 kasus baru dengan 6.600 kematian pertahunnya di Amerika Serikat. Data registrasi kanker berbasis rumah sakit di RSCM sepanjang tahun 1997-1998 terdapat 19 (1,41%) kasus baru dari 1346 keganasan pada wanita dan separuhnya datang sudah dengan derajat sedang dan berat serta sebagian besar dengan status pendidikanfsosiai ekonomi rendah. Beberapa peneliti mengajurkan untuk dilakukan evaluasi lebih jauh terhadap perdarahan uterus abnormal berdasarkan risiko terjadi polip endometrium, hiperplasia dan neoplasma endometrium. Pengambiian contoh sediaan endometrium merupakan suatu analisis histologi yang sangat panting. Cara ini mudah dilakukan sehingga dapat dijadikan alat bantu diagnosis pada penderita dengan rawat jalan. Diagnosis histopatologi memegang peranan penting dalam penatalaksanaan penyakit kanker. Hasil pemeriksaan ini akan menentukan pengobatan selanjutnya dan prognosis penyakit. Terdapat beberapa cara potensial untuk penapisan antara lain pemeriksaan sitologi, pemeriksaan histologi dan pemeriksaan ultrasonografi transvagina. Cara pengambilan dapat dilakukan dengan biopsi, histeroskopi atau dilatasi dan kuretase. Biopsi lebih murah bila dibandingkan dengan dilatasi dan kuretase, histeroskopi maupun observasi. Sebelumnya baku emas diagnosis histologi endometrium adalah dilatasi dan kuretase. Biopsi endometrium di poliklinik terbukti bermanfaat untuk penapisan penyakit endometrium karena tidak sakit, murah atau efek samping yang relatif rendah. Beberapa penelitian mendapatkan basil dari biopsi di poliklinik dengan nilai keakuratan yang hampir sama dengan dilatasi dan kuretase berkisar antara 90-95%. Deteksi kelainan endometrium yang dilakukan dengan cara dilatasi kuretase memiliki kendala antara lain biaya yang tinggi dan tindakan yang invasif. Dipikirkan dilakukan cars lain yang kurang invasif dan biaya yang relatif lebih murah, diantaranya adalah biopsi endometrium. Biopsi endometrium memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dalam mendeteksi keganasan endometrium. Biopsi endometrium mempunyai sensitivitas 91-99%. Sedangkan spesifisitasnya sekitar 98-99%. Teknik pengambilan contoh sediaan biopsi endometrium dengan menggunakan alat yang kecii, fleksibel dan sekali pakai cocok untuk mendapatkan jaringan endometrium. Kelebihan lain dari biopsi adalah biaya yang dikeluarkan lebih murah. Di RSCM diperkirakan biaya yang dikeluarkan untuk pemeriksaan biopsi endometrium dengan Endoram berkisar Rp. 150.000 dibandingkan dengan biaya untuk kuretase yang berkisar sebesar Rp. 1.500.000. Dari penelitian ini diharapkan pemeriksaan biopsi endometrium dengan Endoram dapat dipergunakan sebagai cars untuk mendeteksi dini bagi penderita yang berisiko tinggi terhadap kelainan endometrium atau perdarahan uterus abnormal sebelum dilakukan dilatasi kuretase. Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan suatu pertanyaan penelitian bagaimana sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan histologi biopsi Endoram dengan baku emas dilatasi kuretase endometrium untuk mendeteksi kelainan endometrium pada kasus perdarahan uterus abnormal.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T21391
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andhea Debby Pradhita
Abstrak :
GnRH digunakan dalam program fertilisasi in vitro (FIV) sebagai salah satu regimen stimulasi ovarium. Agonis GnRH memiliki efek langsung maupun tidak langsung terhadap perkembangan endometrium terutama saat fase implantasi. Penggunaan agonis GnRH dapat berefek negatif terhadap perkembangan endometrium setelah pemberian stimulasi ovarium terhadap ekspresi reseptor dan apoptosis sel endometrium. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis dampak pemberian agonis GnRH terhadap ekspresi reseptor GnRH dan protein apoptosis sel-sel endometrium fase luteal terhadap perkembangan endometrium. Sampel dari penelitian ini menggunakan bahan biologi tersimpan berupa serum dan jaringan endometrium Macaca nemestrina. Total sampel ada 8 yang terbagi atas 2 kelompok, Stimulasi dan Kontrol. Setiap sampel dilakukan 2 pemeriksaan yaitu Enzym-Linked Immunosorebent Assay (ELISA) untuk serum dan Imunohistokimia (IHK) untuk jaringan endometrium. Jaringan IHK diperiksa dengan 2 jenis antibody, reseptor GnRH dan Caspase 3. Consentrasi diukur menggunakan ELISA reader lalu dikonversi dengan Optical Density (OD) menggunakan software SoftMax Pro. Sel pada jaringan IHK dihitung secara kuantitatif berdasarkan pewarnaan menggunakan software ImageJ lalu dinilai menggunakan IHC Optical Density Score. Tidak ada perbedaan signifikan pada serum GnRH, Reseptor GnRH, dan Caspse 3 diantara kedua kelompok (p> 0,05). Terdapat korelasi negatif pada serum GnRH dengan reseptor GnRH (p=0,014; r=-0,762). Tidak terdapat korelasi antara serum GnRH dengan caspase 3 (p>0,05). Tidak ada korelasi antara reseptor GnRH dengan caspase 3 (p>0,05). ......GnRH is widely used in the embryo fertilization program as one of the ovarian stimulation regimens. At the implantation window, GnRH agonists are known to have an effect on the endometrium directly or indirectly. GnRH estimated has a negative effect on the development of endometrial cells after ovarian stimulation. This study is to analyze the impact of GnRH agonist on ovarian stimulation procedures on receptor expression and endometrial cell apoptosis due to endometrial development. The study sample was a stored biological material (BBT) from serum and the endometrial tissue of Macaca nemestrina. The total sample is 8 and divided into 2 groups, the stimulated and control groups. Each sample will be examined 2 types which are the enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) for serum and immunohistochemistry (IHC) for endometrial tissue. IHC was performed with anti-GnRH receptor and caspase 3 antibody. Serum concentration is measured using an ELISA reader and then converts to a concentration using SoftMax Pro Software. Quantitative data of IHC were performed using the Image-J Analyzer programs and scored by IHC Optical Density Score. There is no significant difference between GnRH serum, GnRH receptors, and Caspase 3 in stimulation or control group (p>0,05). There was a strong negative correlation between serum GnRH levels and GnRH receptors (p=0,14; r=-0,762). There was no correlation between GnRH in serum with activation of caspase 3 (p>0,05). There was no correlation between GnRH receptors with activation of caspase 3 (p>0,05).
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anna Wirdiani Fathiah
Abstrak :
Faktor transkripsi Hoxa 10 dan gen targetnya integrin αvβ3, keduanya adalah marka penting yang meregulasi kondisi endometrium reseptif. Stimulasi ovarium telah dilaporkan dapat mengganggu reseptifitas endometrium yang berkaitan dengan kegagalan implantasi. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh stimulasi rFSH terhadap tingkat ekspresi Hoxa 10 dan integrin αvβ3 pada endometrium selama fase sekresi, serta menilai hubungan korelasi keduanya. Metode, dipilih 27 tikus betina dengan siklus estrus normal dibagi dalam kelompok siklus alamiah dan dua kelompok dengan siklus terstimulasi, dilakukan penyuntikan rFSH dosis 12,5 IU dan 25 IU dan 48 jam kemudian dilanjutkan penyuntikan hCG dosis 10 IU. Pengambilan sampel uterus dilakukan pada hari pertama, kedua dan ketiga setelah penyuntikan hCG. Ekspresi kedua marka dinilai menggunakan teknik imunohistokimia dan Western Immunoblotting. Hasil, Ekspresi Hoxa 10 di stroma tidak berbeda antara kelompok kontrol dan distimulasi dosis 12,5 UI (P > 0,05). Ekspresi integrin αvβ3 di epitel luminal tidak menurun secara bermakna akibat distimulasi dosis 25 UI (P > 0,05) dan perubahan ekspresi integrin αvβ3 di epitel kelenjar juga tidak berbeda bermakna setelah pemberian stimulasi (P > 0,05). Kedua marka berkorelasi positif pada hari kesatu (r = 0,607) dan hari ketiga ditemukan korelasi negatif (r = -0,616). Dari data tersebut disimpulkan bahwa stimulasi rFSH tidak menurunkan ekspresi Hoxa 10 dan integrin αvβ3 pada fase sekresi. The transcription factor Hoxa 10 and its target gene the αvβ3 integrin, are both essential molecules that regulate receptivite endometrial condition. Giving ovarian stimulation has been reported to impair endometrial receptivity in association with implantation failure. The aim of this study was to analyze the effect of rFSH administration on the expression level of Hoxa 10 and αvβ3 integrin in the endometrium during the secretory phase, as well as assess the correlation between the two. Methods, 27 Wistar female rats with normal estrus cycles were selected divided into natural cycle group and two groups were stimulated cycle of rFSH doses of 12.5 IU and 25 IU and 48 hours later followed by injection of hCG dose 10 IU. Uterine sampling was carried out on the first, second and third day after hCG injection. Hoxa 10 and αvβ3 integrin expression was assessed using immunohistochemistry and Western Immunobloting techniques. As a results, the expression of Hoxa 10 in the stromal cell did not differ between the control group and the group with stimulation dose 12,5 UI (P>0,05). The expression of αvβ3 integrin in the luminal epithelium did not decrease significantly due to stimulation dose 25 UI (P>0,05) and changes in αvβ3 integrin expression in the epithelial glands did not show a significant difference after stimulation (P>0,05). Both proved to be positively correlation on the first day (r = 0,607) and on the third day negatifly correlation (r = -0,616). From these data it was concluded that rFSH stimulation did not decrease Hoxa 10 and αvβ3 integrin expression in the secretory phase.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anindya Putra Julianno
Abstrak :
Latar belakang: Saat ini prevalensi penyakit tidak menular, salah satunya obesitas, mengalami tren peningkatan. Obesitas dapat menimbulkan berbagai komplikasi dan dapat menjadi penyakit penyulit sehingga menjadi tantangan dalam menata laksana berbagai penyakit. Perubahan fisiologis yang dibawa oleh obesitas dapat menjadi faktor risiko perkembangan kanker endometrium. Obesitas dapat memicu paparan estrogen berlebih dari konversi androgen pada jaringan adiposa perifer. Selain itu, dengan perubahan hormonal akibat menopause, terjadi gangguan keseimbangan hormon yang dapat mencetuskan kanker endometrium. Saat ini masih sedikit sekali penelitian yang meneliti hubungan antara obesitas dan awitan kanker endometrium terutama yang merefleksikan populasi Indonesia. Studi ini bertujuan untuk mendalami topik tersebut berserta hubungannya dengan menopause pada pasien kanker endometrium di RSUPN Cipto Mangunkusumo tahun 2019-2021.  Metode: Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode potong lintang menggunakan rekam medis pasien yang terdiagnosis kanker endometrium di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2019-2021. Terdapat 54 subjek penelitian dari sampel tersedia yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.  Hasil: Terdapat 122 kasus kanker endometrium yang ditemukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2019-2021. Sebanyak 48,2% dari seluruh subjek tergolong mengalami obesitas berdasarkan kriteria APAC. Sebanyak 40,7% subjek yang mengalami awitan kanker endometrium sebelum menopause dan terdapat 59,3% dari seluruh subjek yang mengalami awitan kanker endometrium setelah menopause.  Kesimpulan: Walaupun tidak terdapat hubungan statistik bermakna antara obesitas dan awitan kanker endometrium terhadap menopause, namun perbandingan proporsi menunjukkan bahwa 50% subjek kelompok obesitas mengalami awitan sebelum menopause dibandingkan 32,1% subjek pada kelompok IMT normal. ......Introduction: Currently, prevalence of non-communicable diseases, including obesity, is increasing. Obesity can present numerous complications and may be comorbidity that can bring challenges in treatments. Physiological changes provoked by obesity can be a risk factor for precipitating endometrial cancer. Obesity can cause excessive estrogen exposure from androgen conversion conveyed in peripheral adipose tissue. In addition, with hormonal changes attributed to menopause, hormonal imbalance may occur and precipitate endometrial cancer. At present, the availability of study discussing obesity and onset of endometrial cancer is still limited. This study is conducted to delve this topic with respect to menopause in patients with endometrial cancer at RSUPN Cipto Mangunkusumo in 2019-2021.  Method: This study is based on cross-sectional design study using health record of patients diagnosed with endometrial cancer at RSUPN Cipto Mangunkusumo in 2019-2021. There are 54 subjects from available sample and complying with inclusion and exclusion criteria.  Result: This study found 122 cases of endometrial cancer diagnosed at RSUPN Cipto Mangunkusumo in 2019-2021. As many as 48,2% of all subjects classified as having obesity in reference to APAC criteria. Proportion of patients with onset before menopause is 40,7% of all subjects while patients with onset after menopause is 59,3% from all subjects.  Conclusion: While this study suggests that there are no significant statistic association between obesity and onset of endometrial cancer compared with menopause, comparison of proportion of endometrial cancer onset shows that 50% of subjects with obesity experience onset before menopause compared to 32,1% subjects with normal BMI.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salinah
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Kanker endometrioid merupakan keganasan ginekologi yang sering terjadi pada wanita. Hewan coba kanker endometrioid dengan karakteristik yang sesuai manusia diperlukan untuk memahami karsinogenesis secara molekular dan pengembangan terapi baru. p16INK4amerupakan gen supresor tumor yang ekspresinya menurun pada kanker endometrioid dan memiliki nilai prognostik. Ekspresi protein ini pada hewan coba diteliti untuk menilai kesesuaian dengan kanker endometrioid pada manusiaMetode: 15 blok parafin yang terdiri dari 5 jaringan uterus tikus normal, 5 jaringan uterus hiperlasia atipia dan 5 jaringan kanker endometrioid dilakukan pulasan imunohistokimia dan dinilai intesitas ekspresi p16INK4a dengan IHC profiler Image-J.Hasil dan Diskusi:Skor ekspresi p16INK4a meningkat bermakna pada kelompok hiperplasia dibandingkan dengan ekspresi pada kelompok normal p = 0,003 dan menurun bermakna pada kelompok kanker endometrioid dibandingkan kelompok normal p = 0,01 . Ekspresi berlebihan dari gen supresor tumor pada kelompok hiperplasia dapat merupakan salah satu mekanisme sel untuk mengurangi peningkatan proliferasi.Kesimpulan: Ekspresi tertinggi p16INK4a ditemukan pada hiperplasia endometrium dan menunjukkan ekspresi menurun hingga negatif pada kanker endometrioid yang sesuai dengan gambaran ekspresi pada manusia.
ABSTRACT
BackgroundEndometrioid cancer is one of the most common cancer in female. Animal model that representative to human endometrioid cancer is needed to develop new therapy and understanding molecular carcinogenesis. Decrease expression of p16INK4a, a tumor suppressor gene, is found in endometrioid cancer and has prognostic value. Expression of this protein in animal model was studied to evaluate its similarity with human endometrioid cancer.Method15 paraffin blocks of rat consist of 5 normal uterine tissues, 5 atypical hyperplasia of uterine tissues, and 5 endometrioid cancer tissues were stained for immunohistochemistry analysis of p16INK4a expression by using IHC profiler Image J software.Result and DiscussionExpression score of p16INK4a was significantly increase in hyperplasia group compared to normal group p 0,003 and decrease significantly in endometrioid cancer group compared to normal group p 0,01 . Excessive expression of p16INK4a in hyperplasia group is one of cells mechanism to reduce proliferation activity.ConclusionHighest expression of p16INK4a was found in hyperplasia group and decrease to negative expression in endometrioid cancer group. These patterns was similar to human endometrioid cancer.
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lydia Olivia
Abstrak :
Latar Belakang: Endometriosis menjadi penyakit dengan teka-teki yang memerlukan penyelesaian. Prevalensinya bervariasi dengan rentang yang luas. 0,7-44% pada populasi umum. 26,5% pada kelompok 40-44 tahun, namun 52,7% pada usia 18-29 tahun. Ilmu, tehnologi dan penelitian yang ada belum menghasilkan terapi terkini menurunkan prevalensinya. Anti inflamasi non-steroid terapi non-hormonal penghilang nyeri mempunyai efek samping pada pemakaian jangka panjang, terapi hormonal mempengaruhi siklus menstruasi dan fertilitas. Modalitas terapi perlu dikembangkan mengatasi endometriosis. Peroxisome Proliferator Activated Receptor gamma merupakan faktor transkripsi terikat pada membran nukleus sebagai anti inflamasi potensial. Aktivasi PPAR gamma oleh ligan menghambat faktor transkripsi nuclear factor-κB menurunkan ekspresi gen sitokin inflamasi, menurunkan TNF α, menginduksi sekresi IL-8 menghambat proliferasi sel. Agonis selektif PPARγ diharapkan menjadi pilihan terapi non-hormonal jangka panjang endometriosis masa mendatang. Belum ada penelitian mengevaluasi ekpresi PPARγ pada jaringan endometrium endometriosis dan tidak endometriosis. Tujuan: Penelitian ini membandingkan ekpresi mRNA PPARγ endometrium subjek endometriosis dan tidak endometriosis. Metode: Penelitian potong lintang pada Desember 2016-Oktober 2017 di Kamar Operasi RS Ciptomangunkusumo. Dua puluh lima pasien endometriosis yang menjalani laparoskopi atau laparotomi yang memenuhi syarat penelitian direkrut consecutive sampling diperiksa tampilan PPAR Gamma pada dinding endometrium endometriosis dan tidak endometriosis; jaringan endometriosis dari dinding kista endometriosis. Ekspresi PPAR Gamma diperiksa menggunakan two step real time PCR. Penelitian ini disetujui oleh Komite Etik dan Penelitian tahun 2016. Hasil: Ekspresi PPARγ endometrium subjek endometriosis dan tidak endometriosis tidak berbeda bermakna (p 0,58). Ekspresi mRNA PPARγ jaringan endometrium dan endometriosis subjek endometriosis tidak berbeda bermakna (p 0,89). Ekspresi PPARγ jaringan endometriosis dan endometrium subjek tidak endometriosis tidak berbeda bermakna (p 0,68). Kesimpulan: Penilaian ekspresi mRNA PPARγ belum dapat digunakan sebagai dasar target terapi endometriosis. Penelitian lanjutan memisahkan jaringan epitel dan stromanya dapat dilakukan untuk membuktikan peran PPARγ pada patogenesis endometriosis.
Background: Endometriosis becomes a disease with a puzzle that requires completion. Prevalence varies with wide ranges. 0.7-44% in the general population. 26.5% in the 40 to 44 years group, but 52.7% at the age of 18-29 years. Existing science and research have not resulted in current therapy reducing its prevalence. Non-steroidal antiinflammatory non-hormonal pain relief therapy has side effects on long-term use, hormonal therapy affects the menstrual cycle and fertility. Therapeutic modalities need to be developed to overcome endometriosis. Peroxisome Proliferator Activated Receptor gamma is a transcription factor bound to the nuclear membrane as a potential anti-inflammatory. Activation of gamma PPAR by ligand inhibits nuclear factor-κB transcription factor decreases expression of inflammatory cytokine gene, decreases TNF α, inducing IL-8 secretion inhibiting cell proliferation. PPAR sel-selective agonists are expected to be the preferred long-term non-hormonal therapy of future endometriosis. Objective: This study compared PPAR expression in endometriosis and endometrial subjects of endometriosis and not endometriosis. Method: Cross-sectional study in December 2016-October 2017 at Operation Room of RS Ciptomangunkusumo. Twenty-five endometriosis patients undergoing laparoscopy or laparotomy who qualified for the study were recruited consecutive sampling examined PPAR Gamma display on the endometrial wall of endometriosis and not endometriosis; endometriosis of the cervical wall of endometriosis. The PPARγ expression was examined using two step real time PCR. The study was approved by the Ethics and Research Committee of 2016. Result: The PPAR expression of the endometrium of endometriosis and nonendometriosis did not differ significantly (p 0.58). Expression of PPAR gamma endometrial and endometriosis tissue subject of endometriosis was not significantly different (p 0.89). PPAR expression of endometriosis and endometrial tissue of the subjects not endometriosis was not significantly different (p 0.68). Conclusion: PPAR expressivity assessment has not been used as a target for endometriosis therapy. Further studies separating epithelial tissue and stroma can be performed to prove the role of PPARγ in the pathogenesis of endometriosis.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyuni Saddang
Abstrak :
Pendahuluan : Adenomiosis adalah sebuah kelainan jinak ginekologi dengan insidensi diperkirakan 20%, dimana kondisi ini berkaitan dengan nyeri pelvis kronis serta infertilitas. Saat ini pilihan terapi adenomiosis terbatas pada meringankan gejala menggunakan antinyeri, manipulasi hormon, dan pembedahan dengan efek samping yang signifikan dan dikontraindikasikan pada wanita yang ingin hamil. Salah satu pilihan terapi yang sedang dikembangkan saat ini adalah microRNA. Telah diketahui sebelumnya bahwa terdapat penurunan ekspresi E-Cadherin pada pasien adenomiosis, dimana salah satu yang meregulasi E-Cadherin adalah microRNA-10b. Selain itu diketahui microRNA-let-7a, yang mempengaruhi ekspresi gen KRAS, mengalami disregulasi pada berbagai kondisi dengan proliferasi abnormal, seperti pada kondisi keganasan. Tujuan : Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi antara ekspresi microRNA let-7a terhadap KRAS dan microRNA-10b terhadap E-Cadherin pada jaringan endometrium adenomiosis dan jaringan endometrium non-adenomiosis. Desain : Studi potong lintang dengan analitik komparatif dan analitik korelasi. Material dan Metode : Sampel penelitian didapat dari total 31 wanita yang datang berobat ke poliklinik ginekologi atau klinik fertilitas RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, dengan 17 subyek dimasukkan ke dalam kelompok adenomiosis, dan 15 subyek ke dalam kelompok non-adenomiosis. Sampel dari tiap subyek diambil melalui tindakan histeroskopi, laparoskopi, maupun laparotomi operatif, bergantung pada indikasi masing-masing subyek. Pada masing-masing sampel kemudian dilakukan pengukuran kadar ekspresi microRNA-10b, microRNA-let-7a, E-Cadherin, serta KRAS. Hasil : Terdapat perbedaan signifikan ekspresi E-Cadherin antara kelompok adenomiosis dan non-adenomiosis (P=0,001). Sementara itu tidak ditemukan perbedaan signifikan pada ekspresi microRNA-10b, microRNA-let-7a, dan KRAS antara kedua kelompok. Uji korelasi menunjukkan korelasi negatif lemah antara ekspresi microRNA-let-7a dengan KRAS pada kelompok non-adenomiosis (R=-0.287; P=0.3), namun tidak pada kelompok adenomiosis. Terdapat korelasi negatif lemah antara ekspresi microRNA-10b dengan E-Cadherin pada kedua kelompok sampel. Kesimpulan : Terdapat perbedaan signifikan pada ekspresi E-Cadherin antara kelompok adenomiosis dan non-adenomiosis. Terdapat korelasi negatif lemah antara ekspresi microRNA-let-7a dengan KRAS pada kelompok non-adenomiosis. ......Introduction : Adenomyosis is a benign gynecologic disorder with incidence estimation up to 20%. This condition is strongly associated with chronic pelvic pain and infertility. Until now, treatments of this disorder are limited to symptomatic relief using painkillers, hormonal therapy, and surgical procedure. But these treatments come with significant side effects and are contraindicated for women planning to conceive. One of the therapeutic options currently being developed is microRNA. It has been known previously that there is a decrease in the expression of E-Cadherin in adenomyosis patients. And one of the factors that regulates E-Cadherin is microRNA-10b. In addition, microRNA-let-7ahas been discovered to affect KRAS gene expression, and it is dysregulated in various conditions with abnormal proliferation, such as in conditions of malignancy. Purpose : The purpose of this study is to observe the correlation between expression of microRNA-10b and E-Cadherin, microRNA-let-7a and KRAS, in endometrial tissue of adenomyosis and non-adenomyosis patients. Design : Cross-sectional study using comparative and correlation analytic. Materials and Methods : Samples were collected from 31 women at gynecology and fertility clinic in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Subjects are categorized into two groups, adenomyosis group with 17 subjects, and non-adenomyosis group with 15 subjects. Samples were taken through hysteroscopy, laparoscopy, or laparotomy, depending on the procedure indications for each subject. The expression of microRNA-10b, microRNA-let-7a, E-Cadherin, and KRAS then analyzed from each sample. Result : A significant difference was found in E-Cadherin expression between adenomyosis and non-adenomyosis groups (P=0.001). No significant differences were found in the expression of microRNA-10b, microRNA-let-7a, and KRAS between the two groups. A weak negative correlation was found between the expression of microRNA-let-7a and KRAS in non-adenomyosis group (R=-0.287; P=0.3), but not in adenomyosis group. A weak negative correlation was found between the expression of microRNA-10b and E-Cadherin in both groups. Conclusion : In this study we observed significant difference in E-Cadherin expression between adenomyosis and non-adenomyosis groups; a weak negative correlation between the expression of microRNA-let-7a and KRAS in the non-adenomyosis group.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ika Widiawati
Abstrak :
Kondisi infertilitas yang dialami oleh Wanita memiliki prevalensi yang tinggi. Kegagalan implantasi salah satu penyebab rendahnya keberhasilan IVF sebagai teknologi reproduksi berbantuan. Defek pada reseptivitas endometrium menyebabkan perkembangan kurang adekuat untuk proses implantasi. Progesteron berperan dalam peningkatan reseptivitas endometrium sehingga perlu dilakukan eksplorasi potensi senyawa bahan alam sebagai dasar pengembangan alternatif terapi alternatif infertilitas. Tujuan dari penelitian ini yaitu melakukan penapisan dan evaluasi senyawa bahan alam yang berpotensi sebagai kandidat modulator reseptor progesteron. Metode yang digunakan adalah penapisan virtual berbasis literatur secara sistematis, simulasi penambatan molekuler; analisis prediksi absorbsi, distribusi, metabolism, ekskresi dan toksisitas (ADMET), simulasi dinamika molekuler dan uji ikatan kompetitif reseptor progesteron secara in vitro. Berdasarkan hasil skrinig literatur informasi terkait 12 senyawa yang memiliki kemampuan modulasi reseptor progesteron. Hasil simulasi penambatan molekuler, analisis ADMET dan simulasi dinamika molekuler diperoleh kandidat 6 senyawa potensial dalam hal pengikatan dengan reseptor progesteron pada situs aktif dan stabil dengan reseptor progesteron serta memiliki profil farmakokinetika yang baik. Senyawa tersebut yaitu apigenin, kaempferol, naringenin, baicalein, paeoniflorin dan e-Guggulsterone. Uji konfirmasi ikatan dengan reseptor progesteron manusia secara in vitro menunjukkan senyawa yang memiliki nilai IC50 paling mendekati dengan kontrol progesteron yaitu apigenin (1,10 μM) dan e-guggulsterone (1,35 μM). Selanjutnya yaitu senyawa Baicalein (13,85 μM), Kaempferol (16 μM) dan Naringenin (47,97 μM). Paeoniflorin (0,98 μM) memiliki nilai IC 50 paling rendah dibandingkan dengan senyawa lainnya akan tetapi grafik menunjukkan tidak adanya perubahan nilai polarisasi terhadap perubahan konsentrasi senyawa sehingga data dianggap tidak valid (R= 0,18). Dapat ditarik kesimpulan kandidat senyawa yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai fitoprogestin untuk alternatif terapi pada infertilitas melalui reseptor progesteron yaitu apigenin dan e-guggulsterone. ......The prevalence of infertility conditions is high in women. Implantation failure is one of the causes of the low success of IVF as an assisted reproductive technology. Defects in endometrial receptivity result in inadequate development for the implantation process. Progesterone plays a role in increasing endometrial receptivity, therefore it is necessary to explore the potential of natural compounds as a basis for developing alternative infertility therapies. The aim of this study is to screen and evaluate natural compounds that potentially to be candidates for progesterone receptor modulators. The methods used are systematic literature screening, molecular docking, absorption, distribution, metabolism, excretion, and toxicity (ADMET) prediction analysis, molecular dynamics simulation, and competitive binding assay of progesterone receptors. Based on the results of the literature screening, information related to 12 compounds that have the ability to modulate progesterone receptors. The results of molecular docking simulations, ADMET analysis, and molecular dynamics simulations obtained six potential candidate compounds in terms of binding to the progesterone receptor in the active site, being stable with the progesterone receptor, and having a good pharmacokinetic profile. These compounds are apigenin, kaempferol, naringenin, baicalein, paeoniflorin and e-guggulsterone. The result of assay in confirming the binding to the human progesterone receptor showed that the compound with an IC50 value closest to the control progesterone was apigenin (1.10 μM) and e-guggulsterone (1.35 μM). The next compounds are Baicalein (13.85 μM), Kaempferol (16 μM) and Naringenin (47.97 μM). Paeoniflorin (0.98 μM) has the lowest IC50 value compared to other compounds, but the graph shows no change in polarization value to changes in compound concentration so that the data is considered invalid (R = 0.18). In conclusion, the candidate compounds which have the potential to be developed as a phytoprogestin for alternative therapy for infinfertility via the progesterone receptor are apigenin and e-guggulsterone.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>