Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Zuki Saputra
"Latar belakang: Rinosinusitis kronik (RSK) merupakan sebuah masalah kesehatan global. Berdasarkan keberadaan polip hidung, RSK dikategorikan menjadi RSK dengan dan tanpa polip hidung. Rinosinusitis yang memiliki gejala persisten walaupun mendapatkan tata laksana yang tepat disebut sebagai rinosinusitis refrakter. Kondisi ini dapat menyebabkan tatalaksana berlebih terkait kegagalan dalam tindakan pembedahan. Terdapat banyak faktor yang berperan dalam patogenesis RSK refrakter, seperti infiltrasi eosinofil, biofilm dan asma.
Tujuan penelitian: Mengetahui pengaruh infiltrasi eosinofil, biofilm dan asma terhadap RSK dengan polip hidung bilateral refrakter.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dan melibatkan 37 pasien RSK dengan polip hidung bilateral di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Data diambil dari rekam medis (jenis kelamin, usia, atopi, dan asma) dan hasil pemeriksaan preparat blok paraffin polip hidung (infiltrasi eosinofil dan biofilm). Analisis data dilakukan menggunakan Statistical Program for Social Science (SPSS) for Windows versi 20.
Hasil: Kejadian refrakter ditemukan pada 29 subjek (78,4%). Berdasarkan analisis bivariat, tidak terdapat asosiasi yang bermakna antara infiltrasi eosinofil, biofilm, asma, atopi, usia, dan jenis kelamin dengan kejadian RSK dengan polip hidung bilateral refrakter (p>0,05). Kesimpulan: Tidak terdapat pengaruh signifikan dari infiltrasi eosinofil, biofilm dan asma terhadap RSK dengan polip hidung bilateral refrakter.
......Background: Chronic rhinosinusitis (CRS) is a global health issue. Based on the existence of nasal polyps, CRS is further categorized into CRS with and without nasal polyps. Rhinosinusitis that show persistent symptoms despite suitable treatment is referred to as refractory rhinosinusitis. This condition could cause over-treatment due to failed surgery. There are a lot of factors that contribute towards the pathogenesis of refractory CRS, such as eosinophil infiltration, biofilm, and asthma
Aim: To assess the impact of eosinophil infiltration, biofilm, and asthma towards refractory CRS with bilateral nasal polyps.
Methods: This is a cross-sectional study involving 37 CRS with bilateral polyp nasal patients at Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital. Data were obtained from medical records (sex, age, atopy, and asthma) and nasal polyp paraffin block examination (eosinophil infiltration and biofilm). Data analysis was performed using Statistical Program for Social Science (SPSS) for Windows version 20.
Results: 29 subjects (78,4%) had refractory CRS with bilateral nasal polyps. Based on bivariate analysis, no significant association was shown between eosinophil infiltration, biofilm, and asthma, age, and sex and refractory CRS with bilateral nasal polyps."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Iris Rengganis
"Pada pengobatan asma bronkial diperlukan penilaian derajat berat asma. Hal tersebut
biasanya dilakukan dengan mengukur hiperreakfrfitas bronkus. Tetapi oleh karena sarana tersebut di rumah sakit tipe C belum tersedia, maka salah satu cara yang digunakan adalah menghitung jumlah eosinofil total darah tepi. Hal ini dilakukan atas dasar adanya hubungan antara eosinofil dan hiperreaktifitas bronkus. Arus Puncak Ekspirasi berhubungan dengan derajat berat asma. Oleh karena itu diteliti apakah eosinofil total darah tepi berhubungan dengan Arus Puncak Ekspirasi. Sebagai langkah pendahuluan
dilakukan penelitian pada 60 penderita asma bronkial untuk melihat apakah eosinofil total darah tepi dapat menjadi tolok ukur derajat berat asma. Penelitian ini bersifat cross-sectional, dilakukan pada 30 penderita asma daiam serangan
yang datang ke Instalasi Gawat Darurat Bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit dr.
Cipto Mangunkusumo dan 30 penderita asma yang tidak dalam serangan yang berobat
jalan ke Poliklinik Alergi-lmunologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo, untuk melihat hubungan antara eosinofil total darah tepi dan Arus
Puncak Ekspirasi. Pada kelompok penderita asma tidak dalam serangan dilakukan
pengamatan selama empat minggu dan pada kelompok penderita asma dalam serangan
hanya dilakukan satu kali pemeriksaan mengingat tingginya angka drop-out. Setiap
penderita diperiksa eosinofil total darah tepi dan Arus Puncak Ekspirasi. Jumlah eosinofil pada penderita asma dalam serangan berkisar antara 290-382/pl
(335,67+127,31) dan pada penderita asma tidak dalam serangan antara 162-182/pl
(172,65+27,79). Nilai Arus Puncak Ekspirasi pada penderita asma dalam serangan
berkisar antara 22-32% (27,35±13,18) dan pada penderita asma tidak dalam serangan
antara 68-71% (69,73±4,52). Terdapat hubungan terbalik antara eosinofil total darah tepi dengan Arus Puncak Ekspirasi, tetapi korelasinya lemah (r=-0,53 , R2=0,28 dan p<0,001). Oleh karena itu diperlukan penelitian lebih lanjut untuk meyakinkan hubungan eosinofil total darah tepi dengan Arus Puncak Ekspirasi pada asma bronkial dengan sampel yang lebih besar dan diikuti secara longitudinal."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library