Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pohan, Fathy Zuandi
"ABSTRAK
Latar belakang. Penggunaan antikonvulsan jangka panjang, terutama golongan
penginduksi enzim, berkaitan dengan penurunan kadar 25-hidroksivitamin D
(25[OH]D) dan peningkatan prevalens defisiensi vitamin D. Namun demikian,
hasil yang tidak konsisten ditunjukkan pada penggunaan antikonvulsan nonpenginduksi
enzim seperti asam valproat. Sampai saat ini belum ada penelitian di
Indonesia yang melihat hubungan penggunaan antikonvulsan jangka panjang
dengan kadar 25(OH)D.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar 25(OH)D dan prevalens
defisiensi/insufisiensi vitamin D pada anak epilepsi yang menggunakan
antikonvulsan jangka panjang serta faktor-faktor yang memengaruhinya.
Metode. Penelitian potong lintang di dua poliklinik neurologi anak di Jakarta
pada bulan Maret hingga Juni 2013 pada anak epilepsi usia 6 – 11 tahun yang
menggunakan asam valproat, karbamazepin, fenobarbital, fenitoin, atau
okskarbazepin, baik tunggal maupun kombinasi, selama 1 tahun atau lebih.
Penelitian menggunakan kontrol matching usia dan jenis kelamin. Pemeriksaan
kadar 25(OH)D menggunakan metode enzyme immunoassay.
Hasil. Terdapat 31 subjek epilepsi dan 31 kontrol dengan rerata usia 9,1 (SD 1,8)
tahun. Sebagian besar subjek menggunakan asam valproat (25/31) dan diberikan
monoterapi (21/31). Rerata lama pemakaian antikonvulsan adalah 41,9 (SD 20)
bulan. Rerata kadar 25(OH)D subjek epilepsi adalah 41,1 (SD 16) ng/mL, lebih
rendah dibanding kontrol dengan selisih 9,7 ng/mL (IK95% 1,6 sampai 17,9).
Tidak ditemukan defisiensi vitamin D pada kedua kelompok. Prevalens
insufisiensi vitamin D pada subjek epilepsi lebih besar dibanding kontrol (12/31
vs 4/31; p=0,020). Berdasarkan analisis multivariat, tidak ada faktor yang
memengaruhi penurunan kadar 25(OH)D pada anak epilepsi yang menggunakan
antikonvulsan jangka panjang.
Simpulan. Kadar vitamin D pada anak epilepsi yang menggunakan antikonvulsan
jangka panjang lebih rendah dibanding dengan kontrol namun tidak sampai
menyebabkan defisiensi vitamin D.

ABSTRACT
Background. Long-term anticonvulsants therapy, especially the enzyme inducer,
are associated with low level of 25-hidroxyvitamin D (25[OH]D) and high
prevalence of vitamin D deficiency. However, studies had showed inconsistent
results on long-term usage of non-enzyme inducer anticonvulsant such as valproic
acid. Until now, there is no study ever conducted in Indonesia to evaluate the
association between long-term usage of anticonvulsant with 25(OH)D level.
Objectives. To investigate 25(OH)D level and the prevalence of vitamin D
deficiency/insufficiency in epileptic children who are using long-term
anticonvulsant and to describe the associated factors.
Method. This was a cross-sectional study conducted at two pediatric outpatient
neurology clinics in Jakarta, between March to June 2013. Subjects were epileptic
children, aged 6 – 11 years old who had been using valproic acid, carbamazepine,
phenobarbital, phenytoin, or oxcarbazepine, as single or combination therapy, for
1 year or more. We performed a matched control for age and sex. The 25(OH)D
level was measured with enzyme immunoassay method.
Results. There were 31 epileptic children and 31 controls. The mean age was 9,1
(SD 1.8) years old. Most of the subjects were treated with valproic acid (25/31)
and administered as monotherapy (21/31). The mean duration of anticonvulsant
consumption was 41.9 (SD 20) months. The mean 25(OH)D level of epileptic
children was 41.1 (SD 16) ng/mL, lower than control with difference 9.7 ng/mL
(95% CI 1.6 to 17.9). There was no vitamin D deficiency found in this study. The
prevalence of vitamin D insufficiency in epileptic children was higher than control
(12/31 vs 4/31; p=0,020). Based on the multivariate analysis, no identified risk
factors were associated with low level of 25(OH)D in epileptic children with longterm
anticonvulsant therapy.
Conclusion. Vitamin D level in epileptic children with long-term anticonvulsant
therapy is lower than control but none have vitamin D deficiency."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R.M. Indra
"ABSTRAK
Latar Belakang. Anak epilepsi dengan usia awitan di atas lima tahun merupakan kelompok dengan karakteristik epidemiologis dan klinis khas yang mungkin memiliki faktor risiko resistensi terhadap obat anti epilepsi OAE spesifik. Penelitian mengenai resistensi obat pada kelompok usia ini masih sedikit. Tujuan. Mengidentifikasi faktor risiko resistensi OAE pada anak epilepsi dengan usia awitan di atas lima tahun. Metode. Dilakukan penelitian kasus kontrol terhadap anak epilepsi dengan usia awitan di atas lima tahun yang berobat di poliklinik RS Cipto Mangunkusumo dan Mohammad Hoesin bulan Agustus-September 2016. Kelompok kasus adalah anak yang resisten OAE sedangkan kelompok kontrol adalah anak responsif OAE berdasarkan klasifikasi ILAE 2010. Faktor risiko yang diteliti yaitu awitan, jumlah kejang dan lama sakit sebelum berobat, etiologi, jenis kejang, status epileptikus, gambaran EEG awal, evolusi EEG, pencitraan otak dan respon awal terapi. Hasil. Sebanyak 32 pasang anak ikut dalam penelitian. Setelah analisis regresi logistik, faktor yang ditemukan berhubungan dengan resistensi OAE adalah etiologi simtomatik adjusted OR 84,71; IK 95 5,18-1359,15 dan respon awal pengobatan tidak baik adjusted OR 72,55; IK 95 7,08-743,85 . Simpulan. Etiologi simtomatik dan respon awal pengobatan tidak baik merupakan faktor risiko resistensi terhadap OAE pada anak epilepsi dengan usia awitan di atas lima tahun yang bersifat independen.
Background. Epileptic children with onset above five years encompass distinct epidemiological and clinical characteristics that may have specific risk factors for resistance to anti epileptic drugs AED . Studies on this age group are limited. Objective. To identify risk factors for drug resistance in epileptic children with age of onset above five years. Methods. A case control study was conducted on epileptic children with onset above five years visiting Pediatric Neurology clinic of Cipto Mangunkusumo and Mohammad Hoesin Hospital between August and September 2016. Cases consisted of drug resistant children while control consisted of drug responsive children according to 2010 ILAE classification. Risk factors studied include onset, number of seizures and illness duration before treatment, cause, seizure type, status epilepticus, initial EEG and evolution of EEG, brain imaging, and initial treatment response. Results. Thirty two pairs of children were included in the study. After logistic regression analysis, symptomatic etiology and failure to achieve early response to treatment were found to be associated with drug resistance with adjusted OR 84.71 95 CI 5.18 1359.15 and 72.55 95 CI 7.08 743.85 respectively. Conclusion. Poor initial response to AED and symptomatic etiology are independent risk factors for drug resistance in epileptic children with age of onset above five years. "
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Siti Daliyanti
"Latar belakang : Pemakaian obat anti epilepsi jangka panjang dikaitkan dengan kekerapan terjadinya defisiensi vitamin D,Suplementasi vitamin D dapat meningkatkan kadar 25 OH D sehingga menurunkan angka morbiditasnya.
Tujuan : Mengetahui profil vitamin D pada anak epilepsi dan mengetahui efektivitas terapi suplementasi vitamin D.
Metode : Analisa before and after pada subjek epilepsi politerapi > 1 tahun dan menggunakan>2 obat, evaluasi pre- dan paska suplementasi vitamin D selama 3 bulan.
Hasil penelitian : Dari 51 subjek yang diteliti ditemukan 25 49 subjek sufisien, 19 37,3 pasien insufisien, dan 7 13,7 subjek defisien. Faktor risiko yang memiliki kemaknaan statistik adalah usua pubertas dan prapubertas p=0,004 , busana tertutup p=0,002 ,jenis epilepsi fokal p=0,032 dan frekuensi kejang p=0,047 . Evaluasi pemberian suplementasi vitamin D selama 3 bulan memberikan peningkatan kadar 25 OH D yang bermakna secara statistic p=0,001.
Kesimpulan : Diperlukan pemantauan periodic kadar vitamin D pada anak epilepsi dan peranan terapi suplementasi dalam menurunkan angka morbiditasnya.
......
Background : in epileptic children, a number of medications are used. Antiepileptic drugs are known to exert deleterious effect on vitamin D metabolism. Reports of vitamin D deficiency associated with anticonvulsant drugs in pediatric patients are conflicting.
Objective : To determine vitamin D status and risk factors in epileptic children and evaluate the effect of vitamin D supplementation.
Methods : A prospective pre and post intervention study was done in 51 epileptic children aged 5 18 years on polytherapy for at least one year in Ciptomangunkusumo Hospital and Bekasi Hospital, over a vitamin D supplementation period of 3 months from January 2017 to May 2017.
Results : Of the 51 patients studied, 25( 49,0%) subjects had sufficient vitamin D levels (>20 ng/mL), 19 ( 37,3%) subjects had insufficient vitamin D levels (12-20 ng/mL), and 7 (13,7 %) subjects had vitamin D deficiency( <12 ng/mL). It was seen that the risk of vitamin D deficiency increased, in the dress used ( full-covered dress) (p=0,002) , pre-pubertal and pubertal age ( p=0,004), focal epilepsy (p=0,032) and in seizure frequency (p=0,047), which was statistically significant. The role of vitamin D supplementation showed beneficial effect in increasing vitamin D level, which was statistically significant( p=0,001).
Conclusion : vitamin D supplementation in epileptic children effectively increases serum 25(OH)D."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosita Febriyanti Chusniah
"Menurut World Health Ranking 2020, kematian epilepsi di Indonesia mencapai 706 orang dari total kematian dan menempatkan Indonesia pada peringkat 183 di dunia. Kualitas hidup pasien epilepsi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup anak epilepsi. Menggunakan metode cross sectional dengan accidental sampling dan didapatkan 94 responden, yaitu orang tua anak epilepsi berumur 4-18 tahun. Uji yang digunakan adalah Chi Square dengan Quality of Life in Childhood Epilepsy Questionner (QOLCE-16). Hasil penelitian menunjukan rata-rata nilai QOLCE-16 anak epilepsi adalah 42.25 dimana 52.1% anak memiliki kualitas hidup buruk. Faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup anak epilepsi, yaitu usia orang tua, tingkat pendidikan orang tua, status pendidikan anak, lama pengobatan, frekuensi kejang, jenis OAE, dan durasi epilepsi. Hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan dalam pengembangan pengkajian keperawatan pada pasien epilepsi terkait kualitas hidup.
......According to the 2020 World Health Ranking, Indonesia ranked 183rd with 706 epilepsy-related fatalities out of total deaths. Various factors impact the life quality experienced by those with epilepsy. Finding the variables affecting children with epilepsy's life quality is the goal of this study. 94 parents of children with epilepsy between the ages of 4 and 18 were selected from the population using an unintentional sampling technique. Chi Square with Life quality in Childhood Epilepsy Questionner (QOLCE-16) was the test utilized. The study finds 52.1% of children with epilepsy reported a low life quality, with an average QOLCE-16 score of 42.25. AED type, length of therapy, frequency of seizures, length of parental education, and length of epilepsy are all factors that affect the life quality for children with epilepsy. These findings can be referenced when creating life quality nursing assessments for patients with epilepsy."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library