Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 22 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Setiorini
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1999
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Loeki Enggar Fitri
"Cytoadherence eritrosit terinfeksi P.falciparum pada sel endolel adalah faktor utama dalam perkembangan malaria berat. Proses ini diduga melibatkan respon iinun lokal yang distimulasi o!eh Tumour Necrosis Factor-a (TNF-a). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh Cytoadherence eritrosit terinfeksi P.falciparum dan pemberian TNF-a dalam mengtnduksi aktivasi sel endotel secara in vitro. Ekspresi inducible Nitric Oxide Synthase (iNOS) dan Caspase-3, serta produksi Reactive Oxygen Intermediate (ROl) digunakan sebagai parameter aktivasi. Suatu penelitian eksperimental laboratorium telah dilakukan untuk melihat aklivasi sel endotel (HUVECs) setelah dipajan dengan TNF-a selama 20 jam atau eritrosit terinfeksi P.falciparum selama 1 jam atau keduanya. Biakan sel endotel normal digunakan sebagai kontrol. Dengan metode imunohistokimia respon imun lokal dari sel endotel ditentukan dengan melihat ekspresi iNOS dan Caspase 3. Nitro Blue Tetrazolium reduction-assay dilakukan untuk melihat produksi ROi secara semikwantitatif pada sel endotel. Ekspresi iNOS hanya ditemiikan pada biakan sel endotel yang dipajan dengan eritrosit terinfeksi P.falciparum atau eritrosit terinfeksi P.falciparum bersama TNF-a. Ekspresi Caspase 3 terlihat tipis pada beberapa sel pada biakan endotel normal. Ekspresi ini meningkat secara signifikan pada biakan sel endotel yang dipajan eritrosit terinfeksi P.falciparum bersama TNF-a (p=0,000). Sel endotel normal yang diinduksi dengan suaiu induktor non spesifik (PMA) mengeluarkan ROl dalam kadar yang sangat rendah. Pemberian eritrosit terinfeksi P.falciparum saja atau eritrosit terinfeksi P.falciparum bersama TNF-a menyebabkan sel endotel mengeluarkan ROf dalam kadar medium sampai finggi. Pajanan eritrosit terinfeksi P.falciparum dan TNF-a pada sel endotel dapat menginduksi respon iinun lokal yang ditandai dengan peningkatan inducible nitric oxide synthase dan pelepasan radikal bebas sehingga menyebabkan kerusakan sel. (Med J Indones 2006; 15:151-6)

Cytoadherence of P. falciparum infected erythrocytes on endothelial cells is a key factor in development of severe malaria. This process may associated with the activation of local immune that was enhanced by Tumour Necrosis Factor-a (TNF-a). This study was conducted to see the influence of P.falciparum infected erythrocytes Cytoadherence and TNF-a treatment in inducing endolhelial cells activation in vitro. Inducible Nitric Oxide Synthase (iNOS) and Caspase-3 expression, also Reactive Oxygen Intermediate (ROl) production were used as parameters. An Experimental laboratory study had been done to obsen'e endothelial cells activation (HUVECs) after treatment with TNF-a for 20 hours or P.falciparum infected erythrocytes for I hour or both of them. Normal endolhelial cells culture had been used as a control. Using immunocytochemistry local immune activation of endothelial cells was determined by iNOS and Caspase-3 expression. Nitro Blue Tetrazolium reduction-assay was conducted to see the ROl production semi quantitatively. Inducible Nitric Oxide Synthase expression only found on endothelial cells culture treated with P.falciparum infected erythrocytes or both P.falciparltm infected erythrocytes and TNF-a. Caspase-3 expression found slightly on normal endothelial cells culture. This expression increased significantly on endothelial cells culture treated with both P.falciparum infected erythrocytes and TNF-a (p=0,000). The normal endothelial cells release low level of ROi in the presence of non-specific trigger, PMA. In the presence of P.falciparum infected erythrocytes or TNF-a or both of them, some celts showed medium to high levels of ROI. Cytoadherence of P. falciparum infected erythrocytes and 77VF a treatment on endothelial cells can induce activation of local immune marked by increase inducible nitric oxide synthase and release of free radicals that cause cell damage. (Med J'Indones 2006; 15:151-6)"
[place of publication not identified]: Medical Journal of Indonesia, 2006
MJIN-15-3-JulySept2006-151
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nenden Solihatul Zannah
"Tagetes erecta merupakan tanaman yang memiliki bunga berwarna kuning hingga Oranye yang mengandung senyawa α-terthienyl (2,2′:5′,2′′-Terthiophene) yang bersifat nematosidal dan toksik terhadap eritrosit dan kulit manusia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kandungan senyawa α-terthienyl (2,2′:5′,2′′-Terthiophene) dalam bunga Tagetes erecta Indonesia yang berasal dari beberapa daerah di Jawa Barat, yaitu Cipanas, Lembang, dan Rancaekek. Bunga yang digunakan adalah bunga berwarna kuning dan Oranye. Bunga diekstraksi dengan menggunakan waterbath shaker pada suhu 65 oC selama 1 jam menggunakan pelarut n-heksan, kemudian n-heksan diuapkan dan ekstrak kental yang dihasilkan dilarutkan dengan etanol dengan bantuan sonikasi. Ekstrak etanol kemudian dianalisis secara secara KLT, HPLC, dan LC-MS/MS. Berdasarkan hasil KLT, semua bunga mengandung senyawa α-terthienyl (2,2′:5′,2′′-Terthiophene) yang ditandai dengan adanya bercak yang sejajar dengan baku α-terthienyl (2,2′:5′,2′′-Terthiophene) dengan warna yang sama, yaitu warna biru keunguan yang diamati di bawah sinar 366 nm. Kandungan α-terthienyl (2,2′:5′,2′′-Terthiophene) yang diuji dengan HPLC dan LC-MS/MS memberikan hasil yang sama, dimana pada setiap daerah, bunga berwarna Oranye memiliki kandungan α-terthienyl (2,2′:5′,2′′-Terthiophene) yang lebih tinggi dari bunga berwarna kuning.

Tagetes erecta is a plant that has yellow to orange flowers containing α-terthienyl (2,2′:5′,2′′-Terthiophene) compounds which are nematocidal and toxic to erythrocytes and human skin. This study aims to analyze the content of α-terthienyl (2,2′:5′,2′′-Terthiophene) compounds in Indonesian Tagetes erecta flowers originating from several regions in West Java, namely Cipanas, Lembang, and Rancaekek. The flowers used are yellow and orange flowers. The flowers were extracted using a waterbath shaker at 65 oC for 1 hour using n-hexane solvent, then the n-hexane was evaporated and the resulting viscous extract was dissolved with ethanol by sonication. The ethanol extract was then analyzed using TLC, HPLC, and LC-MS/MS. Based on the TLC results, all flowers contain the compound α-terthienyl (2,2′:5′,2′′-Terthiophene) which is characterized by the presence of spots parallel to the standard α-terthienyl (2,2′:5′,2′′-Terthiophene) with the same color, namely the purplish-blue color observed under 366 nm of light. The content of α-terthienyl (2,2′:5′,2′′-Terthiophene) analysed by HPLC and LC-MS/MS gave the same results, where in each region, orange-colored flowers contained α-terthienyl (2,2′:5′,2′′-Terthiophene) which is higher than yellow flowers."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Engla Merizka
"ABSTRAK
Latar belakang. Pasien yang mendapatkan trasfusi darah berulang berisiko
mempunyai aloantibodi terhadap antigen yang ada pada permukaan sel darah
merah. Aloantibodi tersebut dapat menyebabkan terjadinya reaksi transfusi berupa hemolisis sel darah merah pada transfusi darah berikutnya. Untuk mencegah terjadinya hemolisis sel darah merah maka pasien talasemia sebaiknya mendapatkan darah yang sesuai dengan antigen sel darah merah yang dimilikinya. Namun hal ini belum dimungkinkan karena keterbatasan pemeriksaan rutin pretransfusi yang dilakukan untuk setiap pasien talasemia yang mendapatkan transfusi darah berulang.
Metode penelitian. Delapan puluh delapan sampel pasien talasemia yang
mendapat transfusi darah berulang dilakukan skrining antibodi sel darah merah
dengan metode Indirect Coomb's Test (ICT) dan dilanjutkan dengan identifikasi
antibodi. Sampel yang terdeteksi mempunyai antibodi dikonfirmasi dengan
pemeriksaan fenotyping dan genotyping untuk melihat jenis antigen yang ada di permukaan sel merah.
Hasil. Dari hasil skrining antibodi terdeteksi adanya aloantibodi pada tujuh dari
88 sampel. Dari delapan sampel yang diidentifikasi terdapat tiga sampel
mempunyai anti E (47%), empat (57 %) sampel tidak dapat disimpulkan jenis
antibodi apa yang terdapat dalam sampel.
Simpulan. Pasien talasemia yang memiliki aloantibodi pada sampel darahnya
memiliki genotype RHCE*Ce dan sesuai dengan hasil fenotyping. Dapat
disimpulkan bahwa antibodi pada pasien merupakan aloantibodi. Pada penelitian ini didapatkan persentase aloantibodi pada pasien talasemia sebanyak tujuh (8%) dari total 88 sampel (100 %). Dengan dilakukannya skrining antibodi diharapkan dapat mengurangi risiko terbentuknya aloantibodi dengan memberikan darah donor yang sesuai dengan antibodi yang dimiliki pasien sehingga tidak terjadi hemolisis.

ABSTRACT
Background. Patients who receive repeated blood trasfusi alloantibody risk
having the antigen on the surface of red blood cells. Alloantibody can cause
transfusion reactions in the form of a red blood cell hemolysis on next blood
transfusions. To prevent the occurrence of the red blood cell hemolysis in
thalassemia patients should receive blood that best match the red blood cell
antigen has. But this was not possible due to the limitations of routine pretransfusion examination performed for every patient with thalassemia who receive repeated blood transfusions.
Research methods. Eighty-eight samples thalassemia patients receiving repeated blood transfusions carried red cell antibody screening method Indirect Coomb's Test (ICT) and continued with the identification of antibodies. Samples were detected with antibodies was confirmed by examination fenotyping and genotyping to see what kind of a cell surface antigen that is red.
Results. From the results of antibody screening detected seven out of 88 samples contained alloantibody. Of the eight samples has identified three samples contained anti-E (47%), four (57%) samples can not be inferred what kind of antibodies contained in the sample.
Conclusions. Patients with thalassemia who have alloantibody on blood samples have genotype RHCE * Ce and in accordance with the results of fenotyping. It can be concluded that the antibodies in patients is alloantibody. In this study, the percentage of patients with thalassemia alloantibody seven (8%) of the total 88 samples (100%). The effect of antibody screening is expected to reduce the risk of developing alloantibody by providing appropriate donor blood with antibodies that owned the patient so there is no hemolysis."
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosita Saumi Imanta Putri
"Latar Belakang: Transfusi darah masih sering dilakakukan sekarang. Transfusi darah yang aman dan steril seharusnya dilakukan untuk mencegah reaksi yang tidak diinginkan untuk ada. Transfusi sel darah merah mempunyai insiden yang paling rendah. Walaupun dorongan dan praktik untuk memeriksa darah sebelum donor sudah dilakukan, reaksi transfusi tetap menunjukan angka kejadian yang tinggi terutama di negara dengan berpenghasilan rendah. Walaupun sebagian besar reaksi transfusi tidak mengancam, namun reaksi transfusi tetap menambah ketidaknyamanan pasien.
Metode: cross-sectional digunakan dalam riset ini. Data diambil secara primer dengan kuesioner yang diberikan kepada pasien anak berumur 0-18 tahun yang sedang di transfusi dengan sel darah merah. Kuesioner tersebut di isi sendiri oleh orang tua atau wali pasien. Kuesioner mencakupi ada atau tidaknya reaksi transfusi, diagnosis pasien, dan frekuensi transfusi pasien dalam satu bulan. Dibutuhkan 81 subyek untuk riset ini.
Result: Dari 83 pasien, ditemukan prevalensi reaksi transfusi di RSCM Kiara adalah 39.8%. Data yang diperolah sebagian besar adalah perempuan dan umur paling tinggi adalah 5-10 tahun. Hubungan signifikan antara diagnosis pasien dengan kemunculan reaksi transfusi ditemukan. Namun, signifikansi antara frekuensi transfusi dan reaksi transfusi tidak ditemukan di riset ini.
Kesimpulan: reaksi transfusi yang paling sering terjadi adalah gatal, kemerahan, dan nyeri. Dari penelitian, ditemukan bahwa pasien dengan diagnosis keganasan 6 kali lebih mungkin untuk mengidap reaksi transfusi dikarenakan keadaan kesehatan pasien tersebut. Frekuensi transfusi tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan reaksi transfusi.

Background: Blood transfusion is a common practice done nowadays. Safe and sterile practice should be done to avoid any unwanted reaction that could happen. Red blood cell transfusion has the lowest incidence of transfusion reaction compared to other blood product. However, transfusion reaction is still happening despite the endorsement and practice of blood screening especially in some low income countries. The most common transfusion reactions are usually benign, however, it still adds to the patient’s discomfort.
Methode: This is a cross-sectional study. Primary data by a questionnaire given to pediatric patient undergoing RBC transfusion between 0-18 years old in RSCM Kiara transfusion ward. The questioner was completed by the parents or guardian of the patient. The questionare include the presence of transfusion recation, patient’s diagnosis, and the frequention of transfusion in one month. 81 subjects are needed for this research.
Results: From 83 patients that was included in this research, it was found that prevalence of transfusion reaction in pediatric patient is 39.8%. Most of the data was taken from female and most were between age 5-10 years old. There is a significant correlation between the recepient underlying diagnosis and the presence of transfusion reaction. However, there is no significant results in transfusion frequency.
Conclusion: The most common transfusion reactions found in this study are urticarial, rash, and pain. From this research, it was proven that patient with malignancy is 6 times more prone to transfusion reaction due to the patient’s condition. The frequency of transfusion does not significantly effect the possibility of developing transfusion reaction.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andriansjah
"ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui potensi berudu katak lembu (Rana catesbeiana Shaw) sebagai hewan uji hayati dengan metode uji mikronukleus. Penelitian yang dilakukan menggunakan metode rancangan acak lengkap dengan cara memaparkan kadmium kiorida pada berudu katak lembu dengan konsentrasi 0; 0,1; 0,25; 0,5; dan 1 ppm serta kolkisin 4 ppm (kontrol positif) selama 12 hari. Untuk setiap berudu katak dilakukan penghitungan mikronukleus per 1000 sel eritrosit. Penghitungan statistik menunjukkan, terdapat perbedaan sangat nyata (α = 0,01) antara perlakuan pemaparan dengan cadmium kiorida 0 ppm (kontrol negatif) terhadap perlakuan pemaparan dengan kadmium klorida 0,25; 0,5 dan 1 ppm. Hasil tersebut memberikan kesimpulan bahwa berudu katak lembu dapat membentuk mikronukleus pada eritrosit bila dipapar cadmium klorida dengan konsentrasi 0,25; 0,5 dan 1 ppm."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1996
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Gunawan
"ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui potensi berudu katak lembu (Rana catesbeiana Shaw) sebagai hewan uji hayati dengan metode uji mikronukleus. Berudu R. catesbeiana dipapari merkuri klorida (HgCl2) dengan konsentrasi 0 ppm (kontrol negatif); 0,0125; 0,025; 0,05 dan 0,1 ppm. Kolkisin 4 ppm digunakan sebagai control positif. Pemaparan dilakukan selama 12 hari. Mikronukleus diamati dari sediaan olesan darah ekor yang diwarnai dengan pewarna Giemsa. Penghitungan mikronukleus dilakukan pada 1000 eritrosit.
Hasil penghitungan statistik menunjukkan adanya perbedaan nyata (α = 0,05) antara HgCl2 0 ppm dengan HgCl2 0,0125; 0,025; 0,05; 0,1 ppm; dan dengan kolkisin 4 ppm. Dari hasil analisis regresi linier didapatkan persamaan garis Y = 5,25 + 82,82x, yang berarti peningkatan jumlah mikronukleus sesuai dengan peningkatan konsentrasi merkuri klorida yang dipaparkan. Dari hasil tersebut disimpulkan bahwa berudu R. catesbeiana mempunyai potensi sebagai hewan uji mikronukleus untuk mendeteksi pencemaran perairan."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1996
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Odilia Rovara
"Semua jenis makhluk hidup dapat terkena penyinaran radiasi pengion baik dari alam maupun buatan, yang mengakibatkan kerusakan pada tubuhnya bahkan mematikannya. Oleh kerena itu penting diadakannya penelitian mengenai zat yang bersifat proteksi terhadap radiasi. Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian Sugiarto dkk., untuk mengetahui mekanisme kamatian tikus putih yang diradiasi sinar gamma dosis 0--12 Gy dengan laju dosis 0,237075 x 10^3 Gy/jam (=transmisi 30%). Dalam penelitian ini diberikan ampicilin dosis 4 mg pasca radiasi untuk mengurangi pengaruh radiasi. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah eritrosis, leukisit, granulosit dan agranulosit pada hari ke 3, 11, 19, dan 27 pasca iradiasi. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pada dosis 4 Gy terjadi sindrom homopoetik dengan tanda-tanda leukopenia, granulositopenia, dan agranulositopenia. Kerusakan ini tidak bersifat permanen, di mana setelah terjadi reduksi sel maksimum sampai kurang lebih 73,47 % untuk leukosit, kurang lebih 58,29 % untuk granulosit, kurang lebih 27,88 % untuk agranulosit pada hari ke 3, jumlah sel akan meningkat kembali sehingga mencapai kurang lebih 8,98 % untuk leukosit, kurang lebih 69,18 % untuk granulosit, kurang lebih 76,03 % untuk agranulosit pada hari ke 19. Dosis 8 Gy mengakibatkan kerusakan homopoetik yang lebih parah, dimana penurunan leukosit, granulosit dan agranulosit lebih tajam sedang peningkatan kembali setelah terjadi reduksi maksimum pada hari ke 3, lebih lambat. Pada dosis ini terjadi pula kerusakan kulit dan gejala kerusakan gastrointestianal berupa feses yang cair dan invasi bakteri gastrointestinal dalam darah. Dosis 12 Gy mengakibatkan kerusakan mengakibatkan gastrointestinal yang l;ebih parah dari dosis 8 Gy, dengan tanda-tanda diare, kerusakan vili usus, bakteremia dan leukopenia berat yang tidak dapat diamatai pada hari-hari selanjutnya karena kematian telah terjadi pada hari ke 3 sampai 4. Selain itu dosis ini mengakibatkan kerusakan pada kulit. Antibiotik ampicilin dapat menunda kematian hewan percobaan dengan cara mengurangi invasi bakteri."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pinontoan, Rosnah
"Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang bertujuan mengetahui korelasi antara kadar seng serum dengan aktivitas SOD eritrosit pada pasien geriatri non-frail dan frail di Poliklinik Geriatri RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta pada pertengahan bulan Agustus 2014 sampai pertengahan bulan September 2014. Subjek didapatkan secara consecutive sampling, sebanyak 60 orang (30 orang untuk masing-masing kelompok non-frail dan frail) yang memenuhi kriteria penelitian dan mengikuti penelitian sampai selesai. Tidak didapatkan korelasi signifikan antara kadar seng serum dengan aktivitas SOD eritrosit subjek penelitian, baik secara keseluruhan maupun per kelompok.

This cross-sectional study aimed to know the correlation between serum zinc level and the erythrocyte SOD activity both in non-frail and frail geriatric patients. These subjects were collected from mid-August 2014 to mid-September 2014 from the clinic of Geriatric, Cipto Mangunkusumo General Hospital. Through conducting a consecutive sampling, 60 subjects who met the study criteria and completed all study progress, that consisted 30 persons who represent each non- frail and frail group, were enrolled into this study. Serum zinc level did not show significant correlation with erythrocyte SOD activity, both overall and per group."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jimmy Kurniawan
"ABSTRAK
Latar belakang: Pekerja di perusahaan alat berat terutama bagian pengelasan dapat terpajan berbagai macam logam berbahaya yang terdapat pada plat yang digunakan. Salah satu logam yang dapat menyebabkan kerusakan sel bahkan dapat menyebabkan kanker adalah kromium. Hati merupakan salah satu target organ dan sering mengalami kerusakan akibat logam ini. Tujuan penelitian ini adalah mencari hubungan kadar kromium di dalam eritrosit dengan status fungsi hati pekerja.
Metode: Penelitian potong lintang komparasi dilakukan terhadap pekerja yang terpajan dengan pekerja yang tidak terpajan. Data yang digunakan berdasarkan hasil pengukuran fisik, hasil pengukuran kromium eritrosit dan Serum Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT), serta hasil kuisioner.
Hasil: Dari 50 pekerja yang terbagi menjadi 25 orang terpajan dan 25 orang tidak terpajan, terdapat hubungan bermakna secara statistik antara kadar kromium eritrosit dengan masa kerja (p=0,044). Tidak terdapat hubungan bermakna secara statistik antara kadar kromium di dalam eritrosit dengan SGPT (p=0,814).
Kesimpulan: tidak terdapat hubungan bermakna secara statistik mengenai hubungan kadar kromium dengan kadar SGPT. Namun hasil rerata kadar kromium pekerja tidak terpajan lebih tinggi daripada populasi normal lainnya.

ABSTRACT
Background: worker in heavy equipment manufacturer especially can be exposed to a various kinds of harmful metals contained in the plate. One of metal that can cause cell damage or even cancer which are often used in workplace is chromium. Liver is one of targeted organ could be damaged due to this metal. The purpose of this study is to correlate between chromium level in erythrocytes and welder?s liver function status.
Methods: A Cross Sectional Comparative study was conducted to workers who were exposed and unexposed. The data used is based on worker?s physical measurement result, chromium level erythrocytes and Serum Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT) results, and also questionnaire.
Results: From 50 workers which are consisted of 25 exposed workers and 25 unexposed workers, there is statistically significant correlation between chromium erythrocytes level and duration of employment (p=0,044). There is no statistically significant correlation between chromium level in erythrocytes and SGPT (p=0.814).
Conclusion: There is no statistically significant correlation between erythrocytes chromium level and SGPT level. But the average result of erythrocytes chromium level of the unexposed workers were higher compare to other normally unexposed workers.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>