Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
Ande Fachniadin
"Latar Belakang. Salah satu komplikasi pada teknik kraniotomi ini adalah cedera pada saraf nervus fasialis cabang frontal sehingga terjadi paralisis pada otot frontal dan orbikularis oris. Komplikasi ini terjadi pada 30% kasus pasien yang dilakukan kraniotomi frontotemporal. Masih terdapat perdebatan bagiamana melakukan preservasi yang baik pada nervus fasialis cabang frontal. Beberapa teknik telah dikembangkan untuk menghindari komplikasi ini seperti teknik seperti teknik miokutan, interfascialis, dan subfascialis. Penelitian ini memiliki tujuan mengetahui insiden terjadinya cedera nervus fasialis pada teknik interfascialis dan subfascialis.
Metode. Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif potong lintang. Penelitian ini dilakukan di Departemen Bedah Saraf FKUI-RSCM pada subjek pasien yang dilakukan kraniotomi frontotemporal pada Januari - Juli 2018. Dilakukan penelusuran rekam medis dalam menilai teknik dan luaran cedera subjek.
Hasil. Dalam kurun waktu dilakukan penelitian terdapat 20 (dua puluh) subjek pasien yang dilakukan preservasi nervus fasialis cabang frontal yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Didapatkan 15% subjek mengalami cedera nervus fasialis cabang frontal pada saat segera setelah tindakan. Pasca 3 bulan tindakan cedera didapatkan 5% subjek masih didapatkan cedera. Seluruh cedera didapatkan pada Teknik interfascialis.
Kesimpulan. Insiden cedera nervus fasialis cabang frontal pada pasien yang menjalani kraniotomi frontotemporal sebanyak 15%. Insiden cedera nervus fasialis cabang frontal menggunakan teknik interfascialis sebanyak 15% dan dengan teknik subfascialis sebanyak 0%.
Background. One of the major complications on frontotemporal craniotomy technique is injury to the frontal facial nerve, inducing paralysis to the frontal and orbicularis oris muscle. This complication occurs in 30% of patients with frontotemporal craniotomy. There are still some lively debates regarding proper preservation on frontal branch of the facial nerve. Some techniques have been developed in order to avoid this complication such as Miocutanenous, interfascialis and subfascialis techniques. This research aims to find the incident of injury to facial nerve on interfascialis and subfascialis techniques.Method. This is a retrospective cross-sectional research performed in Neurosurgery Department of FKUI-RSCM on patients with frontotemporal craniotomy on January to July 2018. All suitable patients medical record was inspected and studied for the techniques and the occurrence of post-operative side effects.Results. Within the time limit, we found 20 (twenty) subject patients with frontal branch of facial nerve that matched the inclusion and exclusion criterias. It was found that 15% of the subjects have had their frontal branch of facial nerve injured immediately after surgery, and 5% after 3 months of recuperation. All injuries was found in interfascialis technique.Conclusion. The incident of injury on the frontal branch of the facial nerve after frontotemporal craniotomy was 15%, with the interfacialis technique contributing to the whole 15% while the subfascialis technique with 0%"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Grewal, D. S.
New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers, 2007
617.156 GRE a
Buku Teks SO Universitas Indonesia Library
Grewal, D. S.
New Delhi: Jaypee Brothers, 2012
617GREA001
Multimedia Universitas Indonesia Library
Grewal, D. S.
New Delhi: Jaypee Brothers, 2012
617GREA002
Multimedia Universitas Indonesia Library
Ande Fachniadin
"Latar Belakang. Salah satu komplikasi pada teknik kraniotomi ini adalah cedera pada saraf nervus fasialis cabang frontal sehingga terjadi paralisis pada otot frontal dan orbikularis oris. Komplikasi ini terjadi pada 30% kasus pasien yang dilakukan kraniotomi frontotemporal. Masih terdapat perdebatan bagiamana melakukan preservasi yang baik pada nervus fasialis cabang frontal. Beberapa teknik telah dikembangkan untuk menghindari komplikasi ini seperti teknik seperti teknik miokutan, interfascialis, dan subfascialis. Penelitian ini memiliki tujuan mengetahui insiden terjadinya cedera nervus fasialis pada teknik interfascialis dan subfascialis.
Metode. Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif potong lintang. Penelitian ini dilakukan di Departemen Bedah Saraf FKUI-RSCM pada subjek pasien yang dilakukan kraniotomi frontotemporal pada Januari-Juli 2018. Dilakukan penelusuran rekam medis dalam menilai teknik dan luaran cedera subjek.
Hasil. Dalam kurun waktu dilakukan penelitian terdapat 20 (dua puluh) subjek pasien yang dilakukan preservasi nervus fasialis cabang frontal yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Didapatkan 15% subjek mengalami cedera nervus fasialis cabang frontal pada saat segera setelah tindakan. Pasca 3 bulan tindakan cedera didapatkan 5% subjek masih didapatkan cedera. Seluruh cedera didapatkan pada Teknik interfascialis.
Kesimpulan. Insiden cedera nervus fasialis cabang frontal pada pasien yang menjalani kraniotomi frontotemporal sebanyak 15%. Insiden cedera nervus fasialis cabang frontal menggunakan teknik interfascialis sebanyak 15% dan dengan teknik subfascialis sebanyak 0%.
Background. One of the major complications on frontotemporal craniotomy technique is injury to the frontal facial nerve, inducing paralysis to the frontal and orbicularis oris muscle. This complication occurs in 30% of patients with frontotemporal craniotomy. There are still some lively debates regarding proper preservation on frontal branch of the facial nerve. Some techniques have been developed in order to avoid this complication such as Miocutanenous, interfascialis and subfascialis techniques. This research aims to find the incident of injury to facial nerve on interfascialis and subfascialis techniques.Method. This is a retrospective cross-sectional research performed in Neurosurgery Department of FKUI-RSCM on patients with frontotemporal craniotomy on January to July 2018. All suitable patients' medical record was inspected and studied for the techniques and the occurrence of post-operative side effects.Results. Within the time limit, we found 20 (twenty) subject patients with frontal branch of facial nerve that matched the inclusion and exclusion criterias. It was found that 15% of the subjects have had their frontal branch of facial nerve injured immediately after surgery, and 5% after 3 months of recuperation. All injuries was found in interfascialis technique.Conclusion. The incident of injury on the frontal branch of the facial nerve after frontotemporal craniotomy was 15%, with the interfacialis technique contributing to the whole 15% while the subfascialis technique with 0%."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57604
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Donny Hamdani Hamid
"Latar Belakang: Sebagian besar pendenita Bell's palsy sembuh sempurna, sisanya tetap mengalam paralisis atau sembuh dengan cacat Secara klinis kecepatan penyembuhan Bell's palsy berbeda-beda, bila terjadi perbaikan yang nyata dalam 3-4 minggu, maka dalam beberapa minggu kemudian akan tercapai kesembuhan sempurna Pemeriksaan Elektrofisiologis antara lain MLP (masa laten proksimal) dan CMAP (compound muscle action potential) diharapkan dapat memprediksi kemungkinan kesembuhan lebih dini Namun terdapat perbedaan mengenai waktu yang tepat untuk melakukan pemeriksaan Elektrofisiologis Pada penelitian ini akan dilihat apakah terdapat korelası antara derajat kelumpuhan dengan MLP dan CMAP minggu pertama maupun minggu ke 5. Metodologi: Dilakukan pemeriksaan elektrofisiologıs yakni masa laten proksimal dan compound muscle action potential dengan menggunakan alat EMG Medelec Sapphire pada 55 orang penderita Bell's palsy di laboratorum EMG bagian Neurologi RSUPNCM, yang derajat kelumpuhan otot fasialisnya telah ditentukan menurut metode modifikasi House Brackmann Evaluasi klinis, pemenksaan MLP dan CMAP pada sisi sakit dan sehat dilakukan 2 kali yakni pada minggu pertama dan minggu ke 5 Selanjutnya diadakan uyi statistik untuk menilai adakah perbedaan antara sisi sakit dan sehat pada minggu pertama maupun minggu ke 5 dan dinilai pula adakah hubungan antara derajat kelumpuhan klinis dengan MLP dan CMAP dengan tingkat kemaknaan p 0.05 Dinilai pula korelasi antara gambaran MLP dan CMAP minggu pertama dengan kesembuhan dalam 1 bulan. Hasil Penelitian: Bell's palsy sedikit lebih banyak ditemukan pada wanita dibanding pria dan lebih sering ditemukan pada usia 20-29 tahun dibanding usia lebih tua Tidak tedapat perbedaan kekerapan timbulnya Bell's palsy pada sisi kin dengan sisı kanan Umumnya didahului kontak udara dingin beberapa han sebelum timbulnya Bell's palsy Terdapat perbedaan bermakna antara MLP dan CMAP sisi sakit dengan sisi schat Nilai CMAP sisi sakit dengan sisi sehat minggu pertama maupun minggu ke 5 berhubungan dengan derajat kelumpuhan secara klinis sedang MLP tidak Terdapat korelasi secara statistik baik antara derajat kelumpuhan klinis, MLP maupun CMAP dengan kesembuhan dalam 1 bulan. Kesimpulan: Terdapat korelasi antara derajat kelumpuhan dengan CMAP minggu pertama maupun minggu ke 5 sedangkan MLP tidak Terdapat korelasi antara derajat kelumpuhan klinis maupun gambaran MLP dan CMAP minggu pertama dengan kesembuhan penderita dalam 1 bulan."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T57301
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library