Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ayu Amrita Trihadiono Putri
Abstrak :
Jumlah berita palsu semakin banyak ditemukan di media sosial dan aplikasi chatting, khususnya ketika pandemi COVID-19 sejak 2020 silam. Berbagai usaha untuk mengangani berita palsu oleh pemerintah dan pengembang telah dilakukan, akan tetapi tidak sepenuhnya menghentikan munculnya berita palsu. Melihat masih sulitnya untuk menangani berita palsu, kemampuan membedakan berita palsu sangat diperlukan oleh individu untuk menghindari kesalahpahaman, hingga kerugian. Kemampuan membedakan berita dipengaruhi oleh tipe proses kognitif individu, yakni individu yang menggunakan otomatis atau heuristik cenderung gagal dalam membedakan berita palsu. Afek juga berpengaruh pada kemampuan membedakan berita palsu, semakin intens afek yang tengah dialami individu akan memperburuk kemampuan membedakan berita palsu. Berdasarkan hal ini, dilakukan penelitian hubungan tipe proses kognitif yang dimoderasi oleh afek pada kemampuan membedakan berita palsu. Ketiga variable diuji dengan menggunakan alat ukur Cognitive Reflection Test (CRT), Positive Affect Negative Affect Scale (PANAS), serta 12 berita palsu dan 8 berita asli yang dari situs berita tepercaya dan situs klarifikasi berita palsu. Patisipan penelitian merupakan Warga Negara Indonesia berusia minimal 18 tahun (N=147) dan menggunakan media sosial atau aplikasi chatting. Pengolahan data statistic menggunakan multiple linear regression analysis di aplikasi SPSS versi 25. Hasil pengolahan data menunjukkan baik afek negatif ataupun positif tidak memoderasi tipe proses kognitif dalam membedakan berita palsu, namun pendapatan dan jenis kelamin signfikan pada kemampuan membedakan berita palsu. Hasil penelitian tidak signifikan karena jumlah partisipan yang sedikit serta minim variasi pada demografi partisipan, yakni seluruh partisipan setidaknya telah menamatkan Sekolah Menengah Atas (SMA). Memperluas serta memperbanyak jumlah partisipan sangat disarankan untuk penelitian selanjutnya. ......An increasing number of fake news were found on social media and chat applications, especially during the COVID-19 pandemic. Various efforts to deal with fake news by governments and developers have been made, but that does not really stop fake news from circulating in social media. Seeing that it is still difficult to deal with fake news, the ability to distinguish fake news is very much needed by individuals to avoid further misunderstandings that might lead to potential physical or mental loss. The ability to discern news is influenced by individual cognitive types, namely individuals who use type 1 or heuristics who are tend to fail in fake news discernment. Affect also change the ability to distinguish fake news, the stronger the emotions experienced by individuals will weaken the ability to distinguish fake news. A study was conducted on the relationship of emotion-moderated cognitive type to the ability to discriminate fake news. Cognitive types was measured by Cognitive Reflection Test (CRT), and using Positive Affect Negative Affect Scale (PANAS) for measuring emotion states. Twelve fake news and eight true news were assembled from reputable news sources and fake news clarification sites. Research participants are Indonesian citizens aged at least 18 years (N=147) and use social media or chat applications. Statistical data processing used multiple linear regression analysis in the SPSS version 25 application. The results of data processing showed that neither negative nor positive emotions moderated the cognitive type in fake news discernment. Gender and income was significant. The results of the study were not significant because the number of participants was small and there was minimal variation in participant demographics, that is, all participants had at least graduated from high school (SMA). Expanding and increasing the number of participants is highly recommended for further research.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theresia Jocelyn Kusuma Alvita
Abstrak :
Derasnya arus informasi di media sosial berdampak pada kemunculan berita palsu dan menyebabkan konflik di masyarakat. Oleh karena itu, beberapa negara mengeluarkan regulasi untuk mengatur berita palsu, termasuk Singapura dengan kebijakan POFMA (Protection of Falsehood and Manipulation Act). POFMA diberlakukan kepada oposisi hingga masyarakat umum. POFMA juga diberlakukan pada masa Pemilihan Umum 2020 yang dimenangkan oleh partai berkuasa People’s Action Party (PAP) dalam kondisi Pandemi Covid-19. Penelitian ini berargumen bahwa POFMA dimanfaatkan oleh PAP sebagai salah satu cara untuk mempertahankan kekuasaannya. Sebelum POFMA dibentuk, PAP telah melakukan kontrol politik terhadap oposisi dalam struktur negara dan media massa serta masyarakat umum dengan pembentukan lembaga, skema pemilu, dan kebijakan yang membatasi kebebasan. Penelitian ini dianalisis menggunakan teori three pillars of stability milik Gerschewski yang membahas tiga pilar penting yang saling berkaitan untuk mempertahankan stabilitas rezim, yaitu pilar legitimasi, kooptasi, dan represi. Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan pengumpulan data yang bersumber dari studi pustaka berupa buku, jurnal, dokumen resmi, dan website. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pilar legitimasi didapatkan melalui survei persepsi masyarakat terhadap berita palsu, green paper, public hearing, dan dukungan masyarakat setelah POFMA disahkan. Masyarakat mendukung POFMA karena berperan dalam mengatasi berita palsu terutama dalam isu kepentingan publik. Pilar kooptasi dapat dilihat melalui kooptasi perusahaan media sosial, POFMA Office, dan civil servants. Pilar represi diperlihatkan melalui topik kasus yang diberlakukan POFMA, jenis koreksi yang dikeluarkan, dan pihak-pihak yang mendapat pemberlakuan POFMA. Kata kunci: POFMA, Mempertahankan Kekuasaan PAP, Pemilihan Umum 2020. ......The rapid flow of information on social media has an impact on the emergence of fake news and causes conflict in society. Therefore, several countries have issued regulations to regulate fake news, including Singapore with the POFMA (Protection of Falsehood and Manipulation Act) policy. POFMA applies to the opposition until the general public. POFMA was also implemented during the 2020 General Election which was won by the ruling People's Action Party (PAP) during the Covid-19 pandemic. This study argues that POFMA is used by PAP as a way to maintain its power. Before POFMA was formed, the PAP had exercised political control over the opposition in the state structure and the mass media as well as the general public by establishing institutions, electoral schemes, and policies that limited freedom. This study was analyzed using Gerschewski's theory of three pillars of stability which discusses three important interrelated pillars to maintain regime stability, namely the pillars of legitimacy, co-optation, and repression. The research uses qualitative methods with data collection sourced from literature studies in the form of books, journals, official documents, and websites. The results showed that the pillars of legitimacy were obtained through a survey of public perceptions of fake news, green papers, public hearings, and community support after POFMA was ratified. The community supports POFMA because it plays a role in overcoming fake news, especially in issues of public interest. The pillar of co-optation can be seen through the co-optation of social media companies, POFMA Office, and civil servants. The pillars of repression are shown through the topics of the cases imposed by POFMA, the types of corrections issued, and the parties to whom POFMA is enforced. Keywords: POFMA, Maintaining PAP's Power, General Election 2020.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elias, Carlos
Abstrak :
In this controversial essay, Carlos Elias addresses the worldwide phenomenon that is threatening the scientific and economic progress of Western countries. The rise and influence of magic and irrationality in the media, in social networks and at universities is a disturbing phenomenon: many Western students no longer want to pursue STEM (Science, Technologies, Engineering, and Math) careers. This lucid and well-written book addresses one of the key issues of public debate: the deteriorating state of science in Western countries and their governments, and its rise in Asian countries. The author compares two distinct models: the Spanish or Latin model, which closed the door on science with the Counter-Reformation, and that employed by a second group of countries where science was encouraged. Elias suggests that a similar development could now be taking place between Western countries (where the press, television and social science academics are becoming increasingly critical towards science) and Asia, where most prime ministers (and other politicians) are scientists or engineers.
Switzerland: Springer Nature, 2019
e20509834
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Vidya Prahassacitta
Abstrak :
Penelitian ini memiliki tiga tujuan. Pertama, menemukan landasan kriminalisasi terhadap penyebaran berita bohong. Kedua, menelaah pandangan hakim mengenai penyebaran berita bohong. Ketiga, memformulasikan kebijakan hukum pidana mengenai penyebaran berita bohong di Indonesia. Fokus penelitian adalah penyebaran berita bohong yang mengganggu ketertiban umum sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Guna mencapai tujuan tersebut, dilakukan penelitian dokumen melalui peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan penelitian empiris melalui wawancara informan aparat penegak hukum. Temuan penelitian menunjukan bahwa latar belakang sejarah, perkembangan politik dan keadaan sosial budaya Indonesia membenarkan adanya larangan penyebaran berita bohong sebagai batasan kebebasan berekspresi. Pandangan ini sedikit berbeda dengan pandangan barat yang berpendapat bahwa suatu pendapat yang tidak benar layak untuk di sampaikan di ruang publik selama tidak membahayakan kepentingan individu, ketertiban umum maupun kepentingan keamanan nasional. Agar kriminalisasi penyebaran berita bohong selaras dengan kebebasan berekspresi, maka kriminalisasi harus dilakukan secara sempit dan ketat. Kriminalisasi hanya dapat dilakukan terhadap kesalahan dan bahaya yang serius. Secara teori, kriminalisasi penyebaran berita bohong yang mengancaman keamanan nasional hanya dapat dilakukan apabila ada suatu serangan yang jelas dan nyata saja. Hal ini menunjukan adanya keterbatasan hukum pidana di mana hukum pidana tidak perlu memidana penyebaran berita bohong yang menyebabkan bahaya sepele. Analisa terhadap undang-undang menujukan bahwa rumusan tindak pidana penyebaran berita bohong luas dan tidak ketat. Demikian halnya dengan analisa terhadap putusan pengadilan tahun 2018-2021 dan hasil wawancara informan ditemukan bahwa penerapan tindak pidana penyebaran berita bohong tidak didasarkan pada batas kriminalisasi. Hal ini bertentangan dengan kebebasan berekspresi. Pada akhirnya perlu dilakukan perbaikan terhadap undang-undang yang ada. Perbaikan sarana penal dengan memformulasikan kembali rumusan tindak pidana dan ancaman pidana. Rumusan tindak pidana terbatas pada bentuk kesengajaan dan adanya bahaya yang jelas dan nyata. Penyesuaian ancaman pidana perlu dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan dan situasi masyarakat Indonesia saat ini. Perbaikan ketentuan di luar hukum pidana perlu dilakukan untuk mendukung penanggulangan bahaya dari penyebaran berita bohong. ......This research has three goals. First, to discover the cornerstone of criminalization regarding the distribution of fake information. Second, to analyze judges' point of view concerning the distribution of fake information. Third, to formulate the penal policy relating to the distribution of fake information in Indonesia. The research focuses on the distribution of fake information, which disturbs public order as stipulated in articles 14 and 15 of Law Number 1 Year 1946 concerning Criminal Law Regulation. In achieving these goals, the author conducts document research by studying laws and legislation, court decisions, as well as empirical research by interviewing law enforcement informants. The research reveals that Indonesia's historical background, political development, and social culture have justified the prohibition on the distribution of fake information as a limitation in the freedom of expression. This perspective is slightly different compared to the western ideals that prefer to allow negative (or untrue) opinions to be conveyed in the public sphere as long as they do not endanger individual, public order, or even national security. To ensure that the criminalization of fake information fits with the freedom of expression, then the criminalization needs to be done precisely and accurately. A fake information criminalization can only be sentenced if it poses serious culpability and severe harm. Theoretically, criminalizing fake information that disturbs national security can only be indicted if there is a clear and present danger on national interests. It demonstrates the limitation of criminal law which criminal law does not require to punish the distribution of fake information that results in trivial matters. Legislation analysis shows that the formulation of criminal acts on the distribution of fake information is too general. Moreover, data samples from court decisions from 2018 until 2021 and informants' interview analysis show that the implementation of criminal acts on the distribution of fake information does not follow the limit of criminalization. Subsequently, it violates the freedom of expression. In the end, the legislation requires revision: criminal legislation requires a new formulation of criminal action as well as its sentencing. The law of the distribution of fake information criminalization depends on if the intentional action shows clear and present danger. Sentencing should be adjusted by considering Indonesia’s current situation and condition. Revisions of non-criminal legislation should be done to support the prevention of dangers posed by the distribution of fake information.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vidya Prahassacitta
Abstrak :
Penelitian ini memiliki tiga tujuan. Pertama, menemukan landasan kriminalisasi terhadap penyebaran berita bohong. Kedua, menelaah pandangan hakim mengenai penyebaran berita bohong. Ketiga, memformulasikan kebijakan hukum pidana mengenai penyebaran berita bohong di Indonesia. Fokus penelitian adalah penyebaran berita bohong yang mengganggu ketertiban umum sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Guna mencapai tujuan tersebut, dilakukan penelitian dokumen melalui peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan penelitian empiris melalui wawancara informan aparat penegak hukum. Temuan penelitian menunjukan bahwa latar belakang sejarah, perkembangan politik dan keadaan sosial budaya Indonesia membenarkan adanya larangan penyebaran berita bohong sebagai batasan kebebasan berekspresi. Pandangan ini sedikit berbeda dengan pandangan barat yang berpendapat bahwa suatu pendapat yang tidak benar layak untuk di sampaikan di ruang publik selama tidak membahayakan kepentingan individu, ketertiban umum maupun kepentingan keamanan nasional. Agar kriminalisasi penyebaran berita bohong selaras dengan kebebasan berekspresi, maka kriminalisasi harus dilakukan secara sempit dan ketat. Kriminalisasi hanya dapat dilakukan terhadap kesalahan dan bahaya yang serius. Secara teori, kriminalisasi penyebaran berita bohong yang mengancaman keamanan nasional hanya dapat dilakukan apabila ada suatu serangan yang jelas dan nyata saja. Hal ini menunjukan adanya keterbatasan hukum pidana di mana hukum pidana tidak perlu memidana penyebaran berita bohong yang menyebabkan bahaya sepele. Analisa terhadap undang-undang menujukan bahwa rumusan tindak pidana penyebaran berita bohong luas dan tidak ketat. Demikian halnya dengan analisa terhadap putusan pengadilan tahun 2018-2021 dan hasil wawancara informan ditemukan bahwa penerapan tindak pidana penyebaran berita bohong tidak didasarkan pada batas kriminalisasi. Hal ini bertentangan dengan kebebasan berekspresi. Pada akhirnya perlu dilakukan perbaikan terhadap undang-undang yang ada. Perbaikan sarana penal dengan memformulasikan kembali rumusan tindak pidana dan ancaman pidana. Rumusan tindak pidana terbatas pada bentuk kesengajaan dan adanya bahaya yang jelas dan nyata. Penyesuaian ancaman pidana perlu dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan dan situasi masyarakat Indonesia saat ini. Perbaikan ketentuan di luar hukum pidana perlu dilakukan untuk mendukung penanggulangan bahaya dari penyebaran berita bohong. ......This research has three goals. First, to discover the cornerstone of criminalization regarding the distribution of fake information. Second, to analyze judges' point of view concerning the distribution of fake information. Third, to formulate the penal policy relating to the distribution of fake information in Indonesia. The research focuses on the distribution of fake information, which disturbs public order as stipulated in articles 14 and 15 of Law Number 1 Year 1946 concerning Criminal Law Regulation. In achieving these goals, the author conducts document research by studying laws and legislation, court decisions, as well as empirical research by interviewing law enforcement informants. The research reveals that Indonesia's historical background, political development, and social culture have justified the prohibition on the distribution of fake information as a limitation in the freedom of expression. This perspective is slightly different compared to the western ideals that prefer to allow negative (or untrue) opinions to be conveyed in the public sphere as long as they do not endanger individual, public order, or even national security. To ensure that the criminalization of fake information fits with the freedom of expression, then the criminalization needs to be done precisely and accurately. A fake information criminalization can only be sentenced if it poses serious culpability and severe harm. Theoretically, criminalizing fake information that disturbs national security can only be indicted if there is a clear and present danger on national interests. It demonstrates the limitation of criminal law which criminal law does not require to punish the distribution of fake information that results in trivial matters. Legislation analysis shows that the formulation of criminal acts on the distribution of fake information is too general. Moreover, data samples from court decisions from 2018 until 2021 and informants' interview analysis show that the implementation of criminal acts on the distribution of fake information does not follow the limit of criminalization. Subsequently, it violates the freedom of expression. In the end, the legislation requires revision: criminal legislation requires a new formulation of criminal action as well as its sentencing. The law of the distribution of fake information criminalization depends on if the intentional action shows clear and present danger. Sentencing should be adjusted by considering Indonesia’s current situation and condition. Revisions of non-criminal legislation should be done to support the prevention of dangers posed by the distribution of fake information.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Belinda Laila Caesar
Abstrak :
ABSTRACT
Novel Nineteen Eighty-Four karya George Orwell menceritakan tentang sebuah negara fiksi Oceania yang dikuasai partai Ingsoc dengan rezim totaliter dan segala informasi dikuasai oleh partai itu. Penelitian ini akan menganalisis bagaimana hiperrealitas yang ditimbulkan sebagai dampak konstruksi realita menggunakan berita bohong yang ada di dalam novel Nineteen Eighty-Four. Penelitian ini akan menggunakan metode analisis isi kualitatif. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa proses pembuatan berita yang bersifat manipulatif dan dipenuhi dengan berita bohong mengonstruksi realita masyarakat Oceania dan mengaburkan persepsi mereka tentang kejahatan yang dilakukan oleh Ingsoc terhadap mereka.
ABSTRACT
George Orwell's Nineteen eighty-four tells the story of a fictional country Oceania which is ruled by the totalitarian English Socialist Party (or Ingsoc) and every information is managed and controlled by the ruling party. This research will analyze how hyperreality that is caused by the construction of reality using fake news in the novel Nineteen Eighty-Four. The method used in this research is qualitative content analysis. The research shows that the manipulative news making process which is filled with fake contents constructs the reality of Oceanian people and causes them to be unable to see the crimes that Ingsoc is doing to them.
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lumban Gaol, Las Asimi
Abstrak :
Fenomena hoax marak terjadi di Indonesia, sebelum dan sesudah pemilu. Di era post-truth saat ini, kebenaran informasi seperti berita cenderung lebih dinilai berdasarkan emosi dan keyakinan seseorang, sejalan dengan penjelasan konsep motivated reasoning. Namun, penyebaran berita bohong juga bisa dijelaskan dengan firehose of falsehood, yakni teknik pengungkapan berita bohong dalam skala besar sehingga mereka percaya itu benar. Mekanisme yang menjelaskannya adalah konsep ilusi kebenaran berdasarkan kelancaran pemrosesan informasi. Penjelasan ini telah dibuktikan oleh penelitian di AS dan penelitian ini ingin mereplikasi penelitian eksperimental secara konseptual menggunakan 2 (Type: true vs lie, dalam) x 2 (Paparan: sekali vs dua kali, dalam) x 2 (Peringatan: tanpa peringatan vs Dengan peringatan, antara) desain campuran. Selain itu, moderasi gaya kognitif pada efek eksposur pada akurasi yang dirasakan juga diselidiki. Pengumpulan data menggunakan LimeSurvey dan dilakukan secara tatap muka. Pesertanya adalah 174 mahasiswa UI pengguna WhatsApp berusia 18-24 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh terhadap jenis berita, namun tidak menunjukkan pengaruh keterpaparan dan peringatan terhadap ketepatan yang dirasakan sehingga tidak mereplikasi temuan penelitian sebelumnya. Diduga, literasi media yang baik dilihat dari pengaruh utama jenisnya mempengaruhi hasil ini. Interaksi antara variabel dan moderasi masih belum dapat disimpulkan karena jumlah sampel yang tidak mencukupi. ...... The hoax phenomenon is rife in Indonesia, before and after the election. In the current post-truth era, the truth of information such as news tends to be more assessed based on one's emotions and beliefs, in line with the explanation of the concept of motivated reasoning. However, the spread of fake news can also be explained by firehose of falsehood, a technique for disclosing fake news on a large scale so that they believe it is true. The mechanism that explains it is the illusion of truth concept based on the smooth processing of information. This explanation has been proven by research in the US and this study wants to replicate experimental research conceptually using 2 (Type: true vs lie, in) x 2 (Exposure: once vs twice, in) x 2 (Warning: no warning vs with warning) , between) mixed designs. In addition, cognitive style moderation on the effects of exposure on perceived accuracy was also investigated. Data collection using LimeSurvey and carried out face to face. The participants were 174 UI students using WhatsApp aged 18-24 years. The results of this study indicate an influence on the type of news, but do not show the effect of exposure and warning on perceived accuracy so that they do not replicate the findings of previous studies. It is suspected that good media literacy in terms of the main influence of its type influences this result. The interaction between variables and moderation is still inconclusive due to insufficient sample size.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Axel Putra Hadiningrat
Abstrak :
Media berita dalam situasi globalisasi tertantang dengan munculnya penyebaran berita palsu dan ketidakpercayaan masyrakat terhadap media. Munculnya sumber media alternatif dalam dunia digital telah menjadi sebuah tren bagi masyarakat dalam mengakses berita. Namun kredibilitas dari media alternatif masih dipertanyakan akibat dari kurangnya pengawasan dan kontrol dalam media digital. Dengan demikian, metode transparansi media dilihat dapat menjadi sebuah solusi untuk mengurangi penyebaran berita bohong di media massa. Disisi lain, dunia saat ini sedang memasuki era pasca kebenaran dimana masyarakat tidak memperdulikan fakta asli terhadap sebuah berita melainkan mengikuti emosi dan opini pribadi mereka ketika mengakses berita. Tantangan transparansi media tidak hanya datang dari masyarakatnya saja namun tanggung jawab jurnalis dalam melaporkan berita juga penting karena, masyarakat dan jurnalis adalah subyek dari transparansi. Efektivitas transparansi untuk mengurangi penyebaran berita bohong masih kompleks karena pengetahuan masyarakat terhadap konsep transparansi media masih asing. Walaupun efektivitas transparansi media untuk melawan penyebaran hoax masih dipertanyakan, transparansi media itu penting untuk membangun kredibilitas sebuah media.
News outlets in a globalization setting found themselves challenged by the spread of fake news and public distrust towards media. The emergence of alternative news outlets in digital spaces as a new news source of news media has become the trend for today rsquo s audience in accessing information. However, the credibility of alternative news outlets remains questionable as digital news media is lacking of gatekeeping and control. Therefore, Media transparency method come to be viewed as the solution to decline the spread of Hoax and fake news. On the other hand, today rsquo s world is now facing the era of post truth where people are tending to ignore the actual facts of the information and rather follow their emotion in consuming the news. Furthermore, the challenge of transparency comes not only from the audience but also from the journalist rsquo s responsibility because both audience and journalist are responsible for and subjected to transparency. The effectiveness of transparency to decline fake news is complex given that, public knowledge towards the importance of media transparency is still an extraneous concept. Moreover, even transparency effectiveness to tackle the spread of hoax remains questionable, media transparency is essential to support the credibility of news.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Sony Dewantara
Abstrak :
Berita palsu memiliki peranan yang besar terkait penyebaran informasi yang salah terhadap para pembacanya. Informasi yang salah dapat mempengaruhi persepsi atau dapat menimbulkan bias pada pemahaman hingga dapat mengubah pilihan seseorang dalam pengambilan keputusan. Kesalahan persepsi atau bias dalam pengambilan keputusan ini berpotensi menimbulkan konflik pada masyarakat. Dewasa ini, penyebaran berita palsu kian meningkat seiring berkembangnya media penyampaian informasi dalam bentuk daring atau online. Makin maraknya penyebaran berita palsu ini membuat perlunya dibangun suatu sistem yang dapat mendeteksi keberadaan berita palsu sehingga dapat meminimalisir dampak yang mungkin ditimbulkan. Permasalahan pendeteksian berita palsu ini merupakan permasalahan klasifikasi teks binomial yang mengelompokkan suatu konten berita menjadi berita asli atau berita palsu. Penelitian terkait pendeteksian berita palsu ini telah banyak dilakukan sebelumnya terutama dengan menggunakan pendekatan analisis pola tekstual pada konten berita. Namun pendekatan ini memiliki keterbatasan ketika produsen dari konten berisikan berita palsu memiliki kemampuan dalam mereplikasi pola tekstual tertentu yang menjadi ciri dari berita asli sehingga dapat mengelabuhi model prediksi yang digunakan. Penilaian kredibilitas sumber berita dapat dijadikan fitur tambahan selain fitur berupa pola tekstual. Sumber berita dengan kredibilitas yang baik memiliki kecenderungan dalam menghasilkan konten berita yang valid atau dapat dipercaya. Sebaliknya, sumber berita dengan kredibilitas yang buruk cenderung menghasilkan konten berita palsu atau menyesatkan. Penelitian ini menggunakan suatu sistem klasifikasi teks binomial untuk mendeteksi berita palsu melalui kombinasi metode analisis pola tekstual dengan kredibilitas sumber berita sebagai fitur tambahan. Algoritma yang digunakan penulis meliputi Multinomial Naive Bayes (MNB), Logistic Regression (LR), Support Vector Machine (SVM) dan Random Forest Decision Tree (RFDT) yang merupakan algoritma Machine Learning serta beberapa algoritma Deep Learning seperti Convolutional Neural Network (CNN), Long Short Term Memory (LSTM) serta kombinasi dari kedua algoritma tersebut. Penulis juga menggunakan metode Word Embedding Bahasa Indonesia sebagai penunjang penggunaan metode Deep Learning. Hasil dari percobaan menunjukan klasifikasi dengan CNN pada skenario fitur pernyataan dikombinasikan dengan fitur info redaksi menghasilkan F1-Score tertinggi sebesar 0.9354 atau sekitar 93%. ......Fake news has a big role in spreading misinformation to its readers. Incorrect information can affect perceptions or can cause bias in understanding so that it can change a person's choices in decision making. Misperceptions or biases in making these decisions have the potential to cause conflict in the community. Today, the spread of fake news is increasing along with the development of information delivery media online or online. The more widespread the spread of fake news makes it necessary to build a system that can detect fake news to minimize the impact that may be caused. The problem of detecting fake news is classifying binomial text, which groups news content into original news or fake news. Many studies related to detecting fake news have been carried out before, especially by using a textual pattern analysis approaches on news content. However, this approaches has limitations when producers of content containing fake news have the ability to replicate certain textual patterns that characterize real news so that it can fool the predictive model used. Assessment of the credibility of news sources can be used as an additional feature in addition to features in the form of textual patterns. News sources with good credibility have a tendency to produce news content that is valid or trustworthy. On the other hand, news sources with poor credibility tend to produce false or misleading news content. This research uses a binomial text classification system to detect fake news using a combination of textual pattern analysis methods with news source credibility as an additional feature. The algorithms that will be used by the author include Multinomial Naive Bayes (MNB), Logistic Regression (LR), Support Vector Machine (SVM) and Random Forest Decision Tree (RFDT), which are Machine Learning algorithms as well as several Deep Learning algorithms such as Convolutional Neural Network (CNN) , Long Short Term Memory (LSTM) and the combination of the two algorithms. The author will also use the Indonesian Word Embedding method to support the use of the Deep Learning method. The results of the experiment show that classification with CNN in the statement feature scenario combined with the editorial info feature produces the highest F1-Score of 0.9354 or around 93%.
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Helena Desembra
Abstrak :
Berita bohong menjadi permasalahan yang saat ini dihadapi oleh masyarakat. Pengertian mengenai berita bohong yang luas, dapat menimbulkan perbedaan pemahaman antara satu pihak dan pihak lainnya. Berdasarkan hal tersebut terdapat tiga rumusan masalah yang akan dibahas, yakni: bagaimana aturan mengenai berita bohong dalam UU No. 11 Tahun 2008? Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana penyebaran berita bohong? Serta bagaimana penerapan pasal berita bohong dalam penyelesaian kasus 'Muhammad Faizal Tanong'? Untuk menjawab rumusan masalah tersebut, penulis menggunakan metode penelitian yuridis-normatif, dengan menggunakan data yang bersumber dari undang-undang, buku, artikel, majalah dan jurnal. Untuk melengkapi data tersebut, penulis juga melakukan wawancara terkait dengan penyebaran berita bohong. Penelitian yang dilakukan penulis menunjukkan hal-hal sebagai berikut. Pertama belum ada definisi yang disepakati mengenai berita bohong menyebabkan belum bisa dibuatnya suatu kategori khusus mengenai perbuatan pidana yang masuk kedalam berita bohong, sehingga aturan yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan berita bohong adalah pasal-pasal pencemaran nama baik, penghinaan, dan penodaan. Kedua, pihak yang membuat dan menyebarkan berita saja sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam penyebaran berita bohong. Padahal media yang menjadi sarana penyebaran berita bohong seharusnya dapat dimintai pertanggungjawaban. Ketiga, dalam kasus ujaran kebencian yang dilakukan 'Muhammad Faizal Tanong' penerapan pasal telah secara tepat. ......Fake news is a problem that currently faced by community. A broad sense of fake news, can lead to differences understanding between one side and the other. Based on this matter there are three problems that will be discussed, namely how the rules about fake news in the Law no. 11 in 2008 How is criminal liability for the crime of spreading fake news And how is the application of the fake news article in the verdict of the case Muhammad Faizal Tanong. To answer the problems authors are using juridical normative research methods, where authors use data derived from regulations, books, articles, magazines and journals. To complete the data, authors also conducted interviews related to the spread of fake news. As the result, there are three answers that author can get. First, there is no mutually agreed about the definition of fake news. Because of that matter, the category of fake news is not yet been made. That is why the rules used to solve the problem of spreading fake news are using articles such as defamation, humiliation, and desecreation. Secondly, until now the subject who are being responsible for spreading fake news are the newsmaker and the one who is spreading the fake news. In fact, the media used to spreading fake news also have a responsible. Third, based on 'Muhammad Faizal Tanong' case, the judge already did a proper application of article 28 paragraph 2.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>