Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
Ghea Kinanti Rizadi
"Aljazair memiliki cukup banyak kebudayaan dan sebagiannya mereka rayakan dengan mengadakan festival. Salah satu festival tahunan yang rutin diadakan di Aljazair adalah festival FiSahara. FiSahara didirikan pada 2003 oleh sahrawi bersama dengan aktivis solidaritas Spanyol dan pembuat film dari Spanyol yang mengunjungi kamp Sahrawi di Aljazair. Penelitian ini mengkaji permasalahan tentang isu Hak Asasi Manusia dalam festival FiSahara. Dalam mewujudkan penelitian ini, penulis menggunakan teori hak asasi manusia dan kebudayaan. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan menggunakan pendekatan studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa festival FiSahara adalah festival film Hak Asasi Manusia di Aljazair. Sahrawi memperjuangkan hak asasi manusia orang-orang Sahara Barat melalui festival FiSahara. Pemutaran film-film karya Sahrawi di festival FiSahara bertujuan untuk meningkatkan kesadaran internasional tentang krisis hak asasi manusia yang terlupakan. Festival FiSahara melatih dan mendukung para aktivis dan orang Sahrawi untuk menggunakan video secara aman, etis, dan efektif untuk mengungkap pelanggaran hak asasi manusia dan memperjuangkan perubahan hak asasi manusia.
Algeria has quite a lot of culture and part of it they celebrate by holding festivals. One of the annual festivals that are regularly held in Algeria is the FiSahara festival. FiSahara was founded in 2003 by sahrawi together with Spanish solidarity activists and filmmakers from Spain who visited the Sahrawi camp in Algeria. This study examines the issue of human rights in the FiSahara festival. In realizing this research, the author uses the theory of human rights and culture. The method used is a qualitative method using a literature study approach. The results showed that the FiSahara festival is a Human Rights film festival in Algeria. Sahrawi fights for the human rights of the Western Sahara people through the FiSahara festival. The screening of Sahrawi's films at the FiSahara festival aims to raise international awareness about the forgotten human rights crisis. The FiSahara Festival trains and supports activists and Sahrawi people to use video safely, ethically and effectively to expose human rights abuses and fight for human rights change."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Putri Aisyah Taufiq
"Belakangan ini, jumlah penyelenggaraan festival film meningkat. Festival Film sendiri merupakan sebuah wadah dimana para penikmat film dapat menonton film-film alternatif, yang tidak dapat mereka peroleh di bioskop komersial. Bagi para pembuat film, festival film merupakan tempat dimana mereka dapat memasarkan karya-karya mereka yang tidak dapat diputar di bioskop komersial, dan tentunya juga sebagai ajang bertemunya para pembuat film untuk berbincang dan saling bertukar ide. Oleh karena itu, festival film dapat dikatakan sebagai wadah perkembangan alternatif dunia perfilman. Kendati berpotensi membuka peluang bagi inovasi baru, festival film di Indonesia menghadapi sebuah tantangan utama, yaitu masalah pendanaan, yang sangat mempengaruhi penyelenggaraan festival itu sendiri. Makalah ini beragumen bahwa festival film Indonesia membutuhkan dukungan langsung dari berbagai pihak, baik dari pemerintah maupun publik, agar terus terselenggara tiap tahunnya.
Recently, the number of film festivals is increasing. Film festival itself is a space where film audience can enjoy alternative films, which they cannot access through commercial cinema. For filmmakers, film festivals provide a place for them to promote their work, which otherwise cannot be played at commercial cinema, and of course as an occasion where filmmakers meet each other, converse and exchange ideas. Due to that, film festivals become a an alternative space for film development. However, despite their potential in opening up opportunities for innovations, film festivals in Indonesia face major challenges; it is financially insecure, and this significantly hinders the festivals’ organization. This paper argues that Indonesian film festivals need direct support from various parties, including the government and also the public, to maintain its routine exhibition each year."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Nadia Vetta Hamid
"Perfilman Indonesia dikejutkan oleh The Raid (Gareth Evans, 2012) yang didapuk menjadi generasi film laga Asia berikutnya. Film ini telah lebih dulu mendulang sukses di di luar negeri,diantaranya:ditayangkan perdana di Toronto International Film Festival (TIFF) di tahun 2011, menjadi pilihan utama Sundance Film Festival 2012 dan meraih box office di bioskop terpilih di Amerika Serikat. Kesuksesan The Raid di Indonesia dan di luar negeri menjadi kejutan karena film ini di luar formula film Indonesia bahkan Hollywood pada umumnya, yaitu dengan menggabungkan unsur laga tradisional Indonesia, Pencak Silat dengan sinematografi ala Hollywood. Makalah ini dianalisis dengan dasar argumentasi Hesmondhalgh (2012) dan Miège (1989) yang mengkritik pesimisme budaya Adorno dan Horkheimer (1972 & 1976) mengenai komodifikasi budaya dan standardisasi produk. Makalah ini berargumen bahwa pengenalan industrialisasi dan teknologi baru dalam produksi budaya justru memunculkan arah baru dan inovasi yang menarik.
Indonesian film industry was shocked by The Raid (Gareth Evans, 2012) which was predicted to be the next generation of Asian action/martial arts movies. Before being screened in Indonesia, The Raid had gained success overseas, including: premiered at the Toronto International Film Festival (TIFF) in 2011, became one of the official selections atSundance Film Festival 2012 and became box office in selected theaters in the United States. The unexpected success of The Raid was a surprise because the film is outside the Indonesian and Hollywood movie formula in general, as it combines elements of the traditional Indonesian Pencak Silat with Hollywood-style cinematography. This paper is analyzing the phenomenon based on Hesmondhalgh (2012) and Miège (1989) that argue Adorno and Horkheimer’s cultural pessimism (1972 & 1976) about culture commodification and standardization of products. Furthermore, this paper argues that industrialization and the introduction of new technologies in cultural production led actually led to new directions and innovations."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library