Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Suhartati M. Natsir
"Penelitian foraminifera bentik telah dilakukan tanggal 19 November - 3 Desember 1995 di Delta Solo dan Porong Jawa Timur untuk mengetahui distribusi dan kelimpahan foraminifera bentik dan untuk mengetahui foraminifera aglutinin di Delta Solo dan Porong. Untuk itu telah diambil sampel sedimen dengan menggunakan Van Veen grab di 15 stasiun pada masing-masing delta, kemudian dianalisis di laboratorium.Untuk mengetahui keterkaitan antara komunitas foraminifera bentik dan beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh dalam kehidupan biota ini, maka dilakukan juga pengukuran terhadap sifat fisik perairan seperti kedalaman , salinitas, PH dan turbiditas. Hasil analisa laboratorium kemudian dibagi ke dalam 3 kategori yaitu melimpah, umum dan jarang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi dan kelimpahan foraminifera bentik dan untuk mengetahui foraminifera aglutinin di Delta Solo dan Porong.
Hasil analisis menunjukkan terdapat 53 spesies foraminifera bentik dengan jumlah individu 7288 yang termasuk dalam 10 famili di Delta Solo dan 37 spesies dengan jumlah individu 6223 yang termasuk dalam 9 famili di Delta Porong. Seluruh spesies yang dijumpai di dua delta tersebut termasuk dalam subordo Rotaliina, 1VIilioliina dan Textulariina. Spesies yang melimpah di Delta Solo adalah Ammonia beccarii dan Asterorotala trispinosa yang dijumpai di semua stasion penelitian. Terdapat 35 spesies yang termasuk kategori umum dan 16 species pada kategori jarang. Di Delta Porong dijumpai 6 spesies dalam kategori melimpah yaitu Ammonia beccarii, Asterorotalia trispinosa, Ammobcculites agglutinans, Haplophragmoides canariensis, Textularia pseudogramen dan Trochammina amnicola. Sedangkan spesies yang umum 16 species dan 15 species yang tergolong jarang.
Sebaran dan kelimpahan foraminifera bentik di Delta Solo dan Porong dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan terutama jenis substrat, pH dan turbiditas. Hasil pengamatan terhadap foraminifera aglutinin menunjukkan keadaan sebaliknya dan hasil foraminifera bentik secara umum, yaitu Delta Porong lebih kaya akan species dibandingkan dengan Delta Solo. Di Delta Solo di jumpai 5 species yang hanya dijumpai di II stasiun, sedangkan di Delta Porong dijumpai 6 jenis yang dijumpai di semua stasiun penelitian. Hal ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan dan keadaan delta tersebut.

Solo and Porong Deltas, located in East Java, have different morphological forms. The differences in morphological forms are due to the variation in the sediment types. Solo River which flows from Mount Lawu and Mount Merapi in Central Java supplies a large number of sediment to Solo Delta. The type of sediment of Solo Delta is dominated by clay, silt and fine sand. Porong River receives water from Brantas River which originates from Mount Semeru and Mount Arjuno. The type of sediment of Porong Delta is dominated by sand. Benthic foraminiferans, which live and grow at the bottom of the sediment, are sensitive to environmental changes. Distribution and abundance of benthic foraminifera depend on some environmental factors, and that various ecological factors influence each other.
From 15 stations observed in Solo Delta and 15 stations in Porong Delta there was a difference either in the species number or in the number of individuals found. The species are belong to 3 subordos, i.e Rotaliina, Milioliina and Textulariina. The main difference between the two deltas was the abundance of species. The number of species found in Solo Delta were 53 and the number of individuals were 7288, while in Porong there were 37 spesies with 6223 individuals. The predominant species found in almost all stations in two deltas were Ammonia beccarii and Aslerorotalia trispinosa.
In Solo Delta the common species found were Ammonia umbonata, Amphistegina lessonii, Bucella frigida, Elphidium crispum, E. craticulatum, E. advenum, E. lessonii, Calcarina calcar,Chrysalidinella dimorpha, Quinqueloculina sp, Q.semirrulum, Q. intricata, Nonion sp, Nonion depressulum, Triloculina trio ata, Reuse/la simplex, Pseudorotalia schroeteriana, Spiroloculina communis, Ammobaculites agglutinans, Textularia pseudogramen. The less common species found were Buliminella elegantissima, B. basicostata, Cymbaloporetta squwnmosa, Cibicides lobatum, Hauerina braayi, Heterostegina depressa, Lagena laevis, Lagena grad/lima, Loxostomum lobatum, L. limbatum, Massilina milled, Operculina ammonoides, Triloculina trigonula, Ammotium cassis, Haplophragmoides canariensis and Textularia sagittula.
In Porong Delta, besides Ammonia beccarii and Asterorotalia trispinosa other species which were found abundant in almost all of the stations were Ammobaculites agglutinans, Haplophragmoides canariensis, Textularia pseudogramen and Trochammina amnicola. The latest species are agglutinated foraminifera which live well at the sandy sediment dominating Porong Delta.The common species were Adelosina semistriata, Ammotium cassis, Elphidium advenum, E craticulatum, E. lessonii, Pseudorotalia shroeteriana, Heterostegina depressa, Flintina bradyana, Operculina ammonoides, Quinqueloculina seminulum, Q. lamarchiana, Nonion sp, Reusella simplex, Triloculina tricarinata, spiroloculina commis, Textularia sagittula. The rare species found were Amphistegina lessonii, Calcarina calcar, Cibicides praecinctus, Crysalidinella dimorpha, Loxoslomum lobatum, L. limbatum, Miliolinella subrotunda, M sublineata, Nonion depressulum, N. cf asterizans, Qrbitolites duplex, Quinqueloculina cultrata, Q. venusta, Q. granulocostata, Triloculina trigonula.
The range of salinity in Solo Delta was 15 - 32 %o and in Porong Delta was 10 - 30 %o. Previous researchers showed that foraminiferan species adapt and produce well at salinity between 15 - 40 %o. That means that the salinity in Solo Delta is probably more suitable for foraminifera than in Porong Delta. The everage pH in Solo Delta was 7,86 while in Porong Delta was 8,20. According to some researchers, foraminiferans were found abundant in lower pH. Turbidity in Solo Delta was between 33,0 - 87,5 NTU, while in Porong Delta areas was between 37,8 - 200 NTIJ. That means that the water in Solo Delta was clearer than in Porong Delta. Water clearance influences penetration of sunlight , and results in decreasing photosynthesis activities of plankton which leads to food deficiency. According to previous researchers the population of some foraminiferans decreases at zones with high turbidity. Those above factors might influence the distribution and abundance of the benthic foraminifera, of both deltas.
The study of aglutinated foraminiferan was done simultaneously with the study of distribution and abundance of benthic foraminiferans in Solo and Porong Delta. From 15 stations studied in each delta 5 species were found in Solo Delta and 6 species were found in Porong Delta. All species belongs to 3 families, namely Lituoliidae, Textulariidae and Trochanuniniidae. The 5 species found in Solo Delta were Ammobaculites agglutinans, Ammotium cassis, Haplophragmoides carurriensis, Textularia pseudogramen and T. sagittula. In Porong Delta, besides those 5 species, another species, i.e. Throcarnmrna amnicola, was also found.
In general, Porong Delta is richer than Solo Delta in number of species and number of individuals of species. This might be due to the differences in types of sediment and water conditions of both deltas."
Depok: Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
London: Academic Press, 1991
579.44 BIO
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Wilayah pesisir seperti Teluk Jakarta merupakan wilayah yang rentan terhadap hipoksia musiman yang sangat dipengaruhi oleh kualitas dan besarnya debit air tawar dari sistem sungai. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan bukti kejadian hipoksia dalam periode 100 tahun. Pengambilan sampel kor di dua stasiun (FB dan FT) di Teluk Jakarta dilaksanakan pada bulan Juni 2011. Pipa PVC berdiameter 10 cm digunakan untuk pengambilan sampel. Subsampling dilakukan per lapisan untuk analisa umur sedimen dan populasi foraminifera sebagai indikator. Kronologis waktu berdasarkan pengukuran 210Pb di kedua kor menunjukkan periode kecepatan sedimentasi tertinggi di pesisir barat terjadi pada tahun 1977 dan di pesisir timur pada tahun 1982. Foraminifera yang secara eksklusif ditemukan di kedua stasiun kor adalah Ammonia beccarii dan Elphidium crispum di kor pesisir timur. Keberadaan kedua jenis tersebut meunjukkan perairan pesisir Teluk Jakarta memiliki gradien perairan euryhaline. Indeks Ammonia-Elphidium (A-E) yang merupakan indikator dari kondisi oksigen rendah memperlihatkan pesisir bagian barat lebih rentan terhadap kondisi hipoksia dibandingkan dengan pesisir timur. Di pesisir timur gejala oksigen rendah terjadi mulai tahun 1992, sedangkan di pesisir barat terjadi sejak 128 tahun yang lalu (tahun 1880an)."
OLDI 40:3 (2014) (1)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Berdasarkan penelitian di lab mikropaleontologi terhadap 18 contoh sedimen yang diambil didaerah perairan Pulau Papateo, Kepulauan Seribu, Laut Jawa, telah ditemukan 64 spesies foraminifera bentonik, yang terdiri dari 18 spesies sub ordo milioliina, 41 spesies sub ordo protaliina, dan 5 spesis dari sub ordo tekstulaiina. Hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa sub ordo protailiina memiliki jumlah spesies dan jumlah tempat dijumpainya yang paling melimpah, sedangkan jumlah individu yang paling melimpah adalah sub ordo milioliina. Dari hasil analisis kluster, daerah penelitian dibagi menjadi tiga kelompok biofasies. Kelompok satu dengan kedalaman 27,00-29,00 meter didapatkan asosiasi foraminifera bentonik seperti elpidium advenum, elpidium discoidale, sudorotalia indopasifica, queenquelolina poeana dan queenquoelina tenagos. Kelompok II dengan kedalaman 24,00-26,00 meter didapatkan asosiasi foraminifera bentonik seperti cornusphira foliacea, elpidium advenum, elpidium discoidale, queenqueloculina pulchella, poelana, tenagos, dan trilocullina tricarinata.Kelompok III dengan kedalaman 28,00-29,00 meter ditemukan sudorotalia conoidea dan queenqueloculina tenagos. Berdasarkan zonasi biofasies tersebut bahwa pada kisaran yang relative sama akan dijumpai asosiasi berbeda yang disebabkan oleh parameter lingkungan."
MTUGM 2:13 (1991)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Muktafikah
"Daerah penelitian berada pada Formasi Klapanunggal tersusun atas batugamping berumur Miosen Tengah dan bagian dari Palung Bogor Utara. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi karakteristik fasies yang dikelompokan dalam asosiasi fasies, serta pemodelan biofasies dengan metode analisis kuantitatif klaster dengan fosil foraminifera bentonik pada daerah penelitian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengumpulan data lapangan, pengukuran penampang stratigrafi, analisis petrografi, dan analisis mikropaleontologi. Berdasarkan analisis makroskopis melalui data lapangan dan mikroskopis melalui analisis petrografi, didapatkan adanya F1 - Skeletal Packstone, F2 - Skeletal Wackestone,  F3 - Mudstone, F4 - Skeletal Floatstone, F5 – Skeletal Rudstone, F6 - Coral Bindstone. Fasies tersebut dikelompokan menjadi asosiasi fasies pada platform margin reef yang terbagi menjadi back reef dan reef front. Dari analisis mikroskopis didapatkan 12 spesies dan 4 genus foraminifera bentonik yang dilanjutkan adanya analisis biofasies menggunakan metode kuantitatif klaster sehingga mendapatkan Biofasies A – Amphistegina sp, Biofasies B – Asterorotalia sp, dan Biofasies C – Elphidium sp.  Dari kehadiran foraminifera tersebut dan asosiasi fasies dapat diketahui variasi lingkungan pengendapan daerah penelitian yang terbagi 2 yaitu fasies back reef memiliki hubungan dengan Asterorotalia sp  pada back reef inner dan Elphidium sp pada fasies back reef outer dengan batimetri 0 - 50 m, serta fasies dari reef front dengan hubungan pada biofasies Amphistegina sp dengan batimetri  50 - 100 m.

The research area is in the Klapanunggal Formation composed of Middle Miocene limestone and part of the North Bogor Trench. The purpose of this study was to identify facies characteristics grouped in facies associations, as well as biofacies modeling using quantitative analysis methods clusters with benthic foraminifera fosils in the study area. The methods used in this study were field data collection, stratigraphic cross-sectional measurement, petrographic analysis, and micropaleontological analysis. Based on macroscopic analysis through field data and microscopic analysis through petrographic analysis, it was found that there were F1 - Skeletal Packstone, F2 - Skeletal Wackestone, F3 - Mudstone, F4 - Skeletal Floatstone, F5 - Skeletal Rudstone, F6 - Coral Bindstone. These facies are grouped into facies associations on the margin reef platform which is divided into back reef and reef front. From microscopic analysis, 12 species and 4 genera of benthic foraminifera were obtained, followed by biofacies analysis using cluster quantitative methods to obtain Biofacies A – Amphistegina sp, Biofacies B – Asterorotalia sp, and Biofacies C – Elphidium sp. From the presence of these foraminifera and facies associations, it can be seen that the variation of the depositional environment of the study area is divided into 2, namely the back reef facies having a relationship with Asterorotalia sp on the inner back reef and Elphidium sp on the outer back reef facies with a bathymetry of 0-50 m, and the reef front facies. with the relationship between the biofacies of Amphistegina sp with a bathymetry of 50 - 100 m."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Intanza Oktafia
"Daerah Sukatani berada di Selatan Jawa memiliki potensi terjadi bencana tsunami yang diakibatkan oleh gempa bumi besar dari proses pergerakan di zona subduksi. Catatan sejarah kejadian tsunami di Selatan Jawa masih terbatas, sehingga perlu dilakukan penelitian identifikasi endapan paleotsunami. Daerah Sukatani dipilih sebagai lokasi penelitian karena belum ada penelitian mengenai paleotsunami di daerah ini. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejarah kejadian paleotsunami di daerah Sukatani yang masih sangat terbatas. Pengambilan sampel kode KRB 03 sepanjang 193 cm dilakukan di Pantai Karang Bolong, Kecamatan Surade, Kabupaten Sukabumi. Untuk mengetahui lapisan endapan paleotsunami dilakukan beberapa analisis laboratorium seperti analisis ukuran butir (granulometri), loss on Ignition (LOI), geokimia unsur jejak, dan analisis foraminifera. Dari analisis yang terlah dilakukan didapatkan satu lapisan endapan paleotsunami di kedalaman 164 hingga 186 cm. Hasil analisis ukuran butir diketahui lapisan endapan paleotsunami memiliki rata-rata ukuran butir antara kerikil halus hingga pasir halus, sortasi sedang hingga sangat buruk, kurtosis tipe very platykurtic hingga very leptokurtic, dan skewness tipe very fine skewed hingga very coarse skewed. Hasil analisis Loss on Ignition (LoI) diketahui lapisan endapan paleotsunami memiliki kandungan material organik yang rendah dan material karbonat yang lebih tinggi. Hasil analisis geokimia unsur jejak diketahui lapisan endapan paleotsunami memiliki kandungan unsur Ca dan Sr yang lebih tinggi. Hasil analisis foraminifera didapatkan foraminifera bentonik dengan lingkungan neritik tengah yang diperkirakan sebagai sumber endapan paleotsunami.

The Sukatani area in southern Java has the potential for a tsunami disaster caused by a large earthquake from the movement process in the subduction zone. The historical record of tsunami events in southern Java is still limited, so it is necessary to conduct research on the identification of paleotsunami deposit. The Sukatani area was chosen as the research location because there was no research on paleotsunami in this area. This research was conducted to determine the history of ancient tsunami events in the Sukatani area which is still very limited. Sampling code KRB 03 along 193 cm was carried out at Karang Bolong Beach, Surade District, Sukabumi Regency. To determine the paleotsunami sediment layer, several laboratory analyzes were carried out such as grain size analysis (granulometry), loss on Ignition (LOI), trace element geochemistry and foraminifera analysis. From the analysis that has been carried out, it is found that one paleotsunami deposit layer is at a depth of 164 to 186 cm. The results of grain size analysis show that the paleotsunami sediment layer has an average grain size of fine gravel to fine sand, moderate to very poor sorting, very platykurtic to very leptokurtic types of kurtosis, and very fine skewed to very coarse skewed types of skewness. The results of the loss on Ignition (LOI) analysis show that the paleotsunami sediment layer has a low content of organic material and higher carbonate material. The results of trace element geochemistry analysis show that the paleotsunami sediment layer has higher levels of Ca and Sr. The results of foraminifera analysis obtained bentonic foraminifera with middle neritic environments which are thought to be the source of paleotsunami deposits."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iqbal Lail Mukarom
"

Cekungan Kutai merupakan cekungan terluas di Indonesia. Secara fisiografis, terdapat 3 zona berorientasi utara ke selatan yang membagi Cekungan Kutai pada bagian barat hingga timur. Penelitian biostratigrafi terhadap sedimen berumur tersier di cekungan Kutai penting untuk dilakukan karena dapat meningkatkan akurasi pembatasan umur relatif bagi masing-masing satuan batuan dan peristiwa-peristiwa penting seperti sejarah pembentukan cekungan Kutai. Penelitian terdahulu mengenai sedimen Tersier yang lebih tua daripada Miosen Tengah masih sangat sedikit, terutama penelitian mengenai stratigrafi khususnya biostratigrafi yang dinilai sangat penting. Maka dari itu penelitian ini akan membahas biostratigrafi cekungan Kutai yang berada di pulau Kalimantan bagian Timur dan berumur lebih tua daripada Miosen Tengah, tepatnya pada umur Eosen Akhir hingga Oligosen. Penelitian ini dilakukan berdasarkan kandungan fosil foraminifera yang terdapat pada perconto batuan sedimen dari sumur pengeboran ILM untuk mengetahui zonasi umur, persebaran fosil, dan lingkungan pengendapan batuan yang terdapat dalam sumur pengeboran tersebut. Analisis fosil foraminifera juga akan dilengkapi oleh data fosil nanoplankton sebagai data pelengkap yang dapat meningkatkan ketelitian dari studi biostratigrafi yang dilakukan.


Kutai Basin is the largest sedimentary basin in Indonesia. Physiographically, there are three zones with N-S orientation that divide Kutai Basin from the west side until the east side. Researches related to biostratigraphy of tertiary Kutai basin is important to do because it can enhance the accuracy of age determination within sediment layers and it can help reconstruct the history of Kutai Basin. Previous researches related to biostratigraphy in tertiary Kutai Basin which is older than Middle Miocene is very limited, so the goal of this research is to explain the biostratigraphy of Kutai Basin older than Middle Miocene, from Late Eocene to Oligocene to be exact. This research will be based on foramifera fossils contained in sedimentary rocks of ILM drilling well to explain age zonation, fossil distribution, and sediment depositional environment of the drilling well. Foraminifera fossil analysis will also be complemented with nannoplankton fossil as the secondary data to increase the accuracy of this biostratigraphy research.

"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Qinanti Anakke Duan Yarita Tawekal
"Perairan utara Papua berada pada lokasi yang strategis, dimana merupakan posisi salah satu pintu masuk arus lintas Indonesia (arlindo) yang merupakan bagian dari siklus oseanografi global. Sedimen laut dapat memberikan data mengenai keadaan lingkungan sekitarnya yang relatif lengkap dan tidak terganggu hingga jutaan tahun. Bukti perubahan lingkungan yang terekam pada sedimen laut berdasarkan karakteristik sedimen dan kandungan foraminifera pada periode transisi Pleistosen dan Holosen juga masih belum banyak dipelajari. Periode transisi Pleistosen-Holosen dapat menimbulkan dampak perubahan lingkungan yang dapat diteliti perbedaan akibat perubahan iklim tersebut. Kondisi tersebut dapat menimbulkan dampak perubahan lingkungan, paleogeografi, dan sumber daya alam yang signifikan. Variasi kelimpahan dan kumpulan foraminifera sendiri merupakan respons adaptif dari foraminifera terhadap perubahan lingkungan dengan habitatnya. Sedimen yang terdapat pada perairan Utara hingga Barat Jayapura ini kemudian dianalisis menggunakan metode Analisis Foraminifera, XRF, Granulometri dan LOI. Berdasarkan hasil kurva dari keempat metode yang dilakukan, dicurigai batas antara Kala Pleistosen dan Holosen berada di kedalaman 61 cm. Hasil tersebut yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan komposisi foraminifera dan karakteristik sedimen akibat perubahan iklim yang terjadi.

The waters of northern Papua are in a strategic location, which is the position of one of the entrances to the Indonesian cross flow (arlindo) which is part of the global oceanographic cycle. Marine sediments can provide data about the condition of the surrounding environment that is relatively complete and undisturbed for millions of years. Evidence of environmental changes recorded in marine sediments based on sediment characteristics and foraminifera content during the Pleistocene and Holocene transition periods has also not been widely studied. The Pleistocene - Holocene transition period can cause the impact of environmental changes which can be studied for differences due to climate change. These conditions can result in significant changes in the environment, paleogeography and natural resources. Variations in the abundance and collection of foraminifera themselves are an adaptive response of foraminifera to environmental changes in their habitat. The sediment found in the waters north to west of Jayapura was then analyzed using Foraminifera Analysis, XRF, Granulometry and LOI methods. Based on the curve results from the four methods used, it is suspected that the boundary between the Pleistocene and Holocene times is at a depth of 61 cm. These results are used to identify differences in foraminifera composition and sediment characteristics due to climate change."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library