Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Warto
"Penelitian ini ingin mencoba mengungkapkan masalah kerja wajib blandong dalam usaha eksploitasi hutan di Jawa selama paro pertama abad XXX. Kerja wajib (kerja paksa) blandong di sini diartikan sebagai bagian dari kerja wajib negara (heerendiensten) di masa kolonial, yang dilakukan oleh penduduk desa yang tinggal di sekitar hutan. Adapun kerja blandong itu meliputi berbagai macam pekerjaan, seperti penebangan kayu di hutan, pengangkutan ke tempat-tempat penampungan kayu, penanaman kembali hutan, serta pekerjaan lainnya yang masih berhubungan dengan eksploitasi hutan. Berbeda dengan penduduk desa lainnya, penduduk desa yang secara langsung terlibat dalam kegiatan eksplotasi hutan (kerja blandong) dibebaskan dari segala beban kerja wajib lainnya, karena pekerjaan itu merupakan jenis pekerjaan yang sangat berat di antara kerja wajib lainnya.
Tidak jelas sejak kapan tepatnya kerja blandong itu mulai dikenal di Jawa, tetapi praktek kerja-wajib blandong sesungguhnya telah berlangsung eukup lama, jauh sebelum datangnya orang-orang Belanda ke Jawa. Baru setelah VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie, Kongsi Dagang Hindia Timur) menguasai sebagian daerah pesisir utara pulau Jawa, kerja blandong mulai diintensifkan. Secara umum daerah kerja blandong waktu itu dibagi menjadi dua, yaitu blandong di daerah pesisir bagian barat Semarang dan blandong di bagian timur Semarang, terutama di daerah-daerah yang memiliki hutan jati. Dengan kata lain, praktek kerja blandong itu semula hanya dikenal di daerah pantai utara Jawa, mulai dari Cirebon di pesisir bagian barat sampai di Banyuwangi di pesisir ujung timur Jawa. Tetapi sejalan dengan meluasnya pengaruh kekuasaan Belanda di Jawa, praktek kerja blandong juga makin meluas sampai ke wilayah pedalaman.
Penelitian ini akan dipusatkan di salah satu daerah blandong yang terkenal, yaitu di wilayah Karesidenan Rembang, Jawa Tengah. Daerah Rembang sejak dulu dikenal sebagai daerah sentral hutan jati di Jawa. Maka dalam usaha mengeksploitasi hutan di sana, VOC pada 1777 menetapkan empat distrik blandong di Kabupaten Rembang, yaitu distrik Waru, Mondotoko, Kaserman, dan Trambalang. Selain itu, di Kabupaten Lasem dan Tuban - yang juga merupakan bagian dari wilayah Karesidenan Rembang - kerja blandong juga sudah cukup lama dijalankan. Demikian juga dua Kabupaten lainnya, yakni Blora dan Bojonegoro, menjadi daerah pusat penebangan hutan sejak daerah ini diserahkan oleh Raja Mataram kepada pemerintah kolonial pada awal abad XIX. Jauh sebelum itu, di daerah Blora khususnya, kerja blandong sebenarnya sudah lama dijalankan, ketika daerah ini disewa oleh VOC dari Sunan.
Meskipun praktek kerja blandong di daerah Rembang sudah berlangsung cukup lama, namun penelitian ini hanya ingin mengungkapkan masalah itu sejauh ditemukannya sumber-sumber arsip yang mendukung. Khususnya nengenai pelaksanaan kerja blandong .selama awal abad XIX, telah diatur sedemikian rupa oleh Dereksi Kehutanan yang berdiri sejak 1808, sehingga banyak ditemukan informasi mengenai kerja blandong. Tetapi setelah lembaga kehutanan itu dihapus pada 1827, pengawasan hutan dan pengaturan eksploitasi hutan menjadi tidak efektif, karena berada di bawan Departemen Perkebunan, yang berlangsung sampai 1865.
Penelitian mengenai kerja blandong khususnya dan kerja wajib lainnya di Jawa abad XIX, belum banyak dilakukan. Ada beberapa studi yang secara umum membicarakan masalah itu, yaitu antara lain yang dilakukan oleh Djuliati Suroyo (1981, 1987), R.E Elson (1988), dan "Eindresume", yaitu laporan mengenai macam-macam kerja wajib di Jawa dan Madura yang disusun oleh pegawai pemerintah Hindia Belanda pada 1901-1903. Dalam tulisannya yang pertama, Djuliati membicarakan secara garis besar mengenai kerja wajib negara selama abad XIX di Karesidenan Kedu. Dia menjelaskan hubungan perkembangan kerja wajib dan pemilikan tanah, pendapatan petani, struktur kekuasaan, pelapisan masyarakat, dan perkembangan penduduk. Sedangkan pada tulisannya yang kedua, dia membicarakan eksploitasi buruh di Hindia Belanda dan di British-India selama abad XIX. Kemudian Elson lebih memusatkan perhatian pada pengerahan tenaga kerja petani selama berlangsungnya tanam Paksa, yang dikaitkan dengan adanya hubungan patronase dalam masyarakat Jawa.
Namun dari beberapa studi yang disebutkan itu belum ada yang secara khusus menyinggung masalah kerja wajib blandong. Uraian singkat mengenai masalah itu dalam konteks politik kehutanan di Jawa, dapat ditemukan inisalnya dalam tulisan Cordes (1881), Nancy Peluso (1988), dan Boomgaard (1988). Namun demikian, mereka itu umumnya membicarakan kerja blandong hanya sambil lalu dan lebih memusatkan perhatiannya pada politik kehutanan dalam skala makro. Oleh karenanya, bagaimana dampak?"
Depok: Universitas Indonesia, 1993
T9621
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farhan Adiatma
"Penelitian ini menganalisis tentang penerapan kebijakan tentang Romusha (tenaga kerja paksa) dan dampaknya di Sumatera pada 1943—1945. Romusha merupakan tenaga kerja paksa dari hasil kebijakan mobilisasi masyarakat yang diterapkan oleh pemerintah militer Jepang dengan tujuan untuk kepentingan perang. Kebutuhan perang yang besar akan sumber daya manusia diperlukan untuk menggali sumber daya alam dan memenuhi kebutuhan pangan dan perang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode sejarah dengan melakukan pencarian sumber primer seperti surat kabar sezaman dan memoar. Salah satu sumber primer yang telah diperoleh yaitu buku yang ditulis oleh Takao Fusayama. Buku tersebut ditulis berdasarkan catatan harian atau laporan tentang perjalanannya sebagai seorang tentara Jepang pada divisi unit sinyal di Malaya dan Sumatera. Sumber sekunder yang digunakan antara lain buku teks dan artikel jurnal yang dapat diperoleh melalui Perpustakaan Nasional, Perpustakaan UI, dan secara daring. Tahapan selanjutnya yaitu dilakukan proses kritik sumber sejarah untuk mendapatkan data sejarah serta dilakukan interpretasi untuk menghasilkan fakta-fakta dari data yang sudah didapatkan pada tahap sebelumnya. Setelah ketiga tahapan sebelumnya dipenuhi, maka untuk menghasilkan penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan maka dilakukan proses terakhir yaitu historiografi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa romusha di Sumatera dipekerjakan sebagai tenaga kerja dalam bidang pembangunan sarana dan prasarana, antara lain pembangunan jalur kereta api.
......This research analyzes the implementation of the Romusha (forced labor) policy and its impact in Sumatra in 1943—1945. Romusha was forced labor as a result of the community mobilization policy implemented by the Japanese military government for the purpose of war. The war needs for human resources was necessary to extract natural resources and fulfill the needs of food and war. The method used in this research is using the historical method by searching for primary sources such as contemporaneous newspapers and memoir. One of the primary sources that has been obtained is a book written by Takao Fusayama. The book was written based on diaries or reports about his journey as a Japanese soldier in the signal unit division in Malaya and Sumatra. Secondary sources used include textbooks and journal articles that can be obtained through the National Library, UI Library, and online. The next step is the historical source criticism process to obtain historical data and interpretation to produce facts from the data that has been obtained in the previous step. After the three previous steps have been fulfilled, to produce research that can be accounted for, the last process is historiography or historical writing. The results showed that romusha in Sumatra were employed as laborers in the construction of facilities and infrastructure, including the construction of railroad lines."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
"[The basic hypothesis of this book is that slave labor can never be efficient and will therefore disappear by itself. However, this process of disappearance can take many years. For instance, two generations after the importation of slaves to North America had ended, the states still fought over the issue, and this despite the fact that Ely Whitney had invented the Cotton Gin in 1793 and already then made slavery in cotton production literally superfluous. While there have been several books on the economics of American slavery, few studies have examined this issue in an international context. The contributions in this book address the economics of unfree labor in places like Prussia, Westphalia, Austria, Argentina and the British Empire. The issue of slavery is still a hotly debated and widely studied issue, making this book of interest to academics in history, economics and African Studies alike., The basic hypothesis of this book is that slave labor can never be efficient and will therefore disappear by itself. However, this process of disappearance can take many years. For instance, two generations after the importation of slaves to North America had ended, the states still fought over the issue, and this despite the fact that Ely Whitney had invented the Cotton Gin in 1793 and already then made slavery in cotton production literally superfluous. While there have been several books on the economics of American slavery, few studies have examined this issue in an international context. The contributions in this book address the economics of unfree labor in places like Prussia, Westphalia, Austria, Argentina and the British Empire. The issue of slavery is still a hotly debated and widely studied issue, making this book of interest to academics in history, economics and African Studies alike.]"
New York: [Springer, Springer], 2012
e20397498
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
[New York]: Oceana Publications, 1953
940.531 813 NEW
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Thomann, Lars
"Lars Thomann examines the ILO's wide ranging efforts to achieve compliance with international labour standards adopted by the organization and ratified by its member states. The author draws on different compliance schools of various strands of international relations theory and discusses them against the background of the ILO's compliance efforts in general and regarding the abolition of forced labour in particular. He shows that even though the ILO has experience in bringing about compliance, given its seniority and is in many cases successful in doing so, it is not well equipped to deal with persistent cases of non-compliance.
"
Wiesbaden: VS Verlag, 2011
e20400930
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Nathalia Christine
"ABSTRACT
Perdagangan manusia merupakan kejahatan lintas batas negara yang terorganisir sehingga dikenal sebagai transnational organized crime. Mayoritas korban dari perdagangan manusia adalah perempuan dan anak dibawah usia delapan belas tahun yang diperjualbelikan untuk eksploitasi seksual. Asia Selatan dalam hal ini menduduki posisi kedua sebagai kawasan dengan jumlah kasus perdagangan perempuan dan anak terbanyak yang dilakukan secara global. Meningkatnya kasus perdagangan perempuan dan anak dari tahun ke tahun di India kemudian menarik perhatian dari South Asian Association of Regional Cooperation SAARC untuk mentuntaskan kejahatan perdagangan manusia tersebut melalui pembentukan Konvensi Pencegahan dan Penanggulangan Perdagangan Perempuan dan Anak untuk Prostitusi yang dibentuk pada tahun 2002. Penelitian ini berusaha melihat advokasi SAARC terhadap Pemerintah India dalam pembentukan klausul dan kebijakan dari Konvensi Pencegahan dan Penanggulangan Perdagangan Perempuan dan Anak di India dengan menggunakan teori Policy Cycle dalam melihat tahap-tahap pembuatan kebijakan, serta konsep Transnational Advocacy Network dalam melihat strategi-strategi yang dilakukan SAARC dalam melakukan advokasi terhadap Pemerintah India. Dalam upayanya, SAARC melakukan empat bentuk strategi advokasi yakni information politics, symbolic politics, leverage politics dan accountability politics.

ABSTRACT
Human trafficking is a cross border crime considered as a transnational organized crime. The majority victims of human trafficking are women and underaged children for sexual exploitation. In this case, South Asia has the second highest rate practice of women and children trafficking. The increasing number of women and children trafficking cases through years in India subsequently raises the awareness of the South Assian Association of Regional Cooperation SAARC to resolve the case by establishing the Convention of Preventing and Combatting Women and Children for Prostitution established in 2002. The number of women and children trafficking cases decreased for 9 since the establishment. This research aims to analyse SAARC rsquo s advocacy towards the Government of India to formulate the clause and the policy of Convention on Preventing and Combatting Trafficking in Children for Prostitution in India using the Policy Cycle Theory in viewing of policy making, and the concept of Transnational Advocacy Network in viewing strategic plans by SAARC in advocating the Government of India. In order to do the purpose, SAARC undertakes four forms of advocacy strategy that are information politics, symbolic politics, leverage politics, and accountability politics. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Solzhenitsyn, Aleksandr I.
London: Everyman's Library, 1995
891.734 SOL o
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Aldershot, Ashgate: Variorum, 1998
306.362 WOR
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Solschenizyn, Alexander
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2016
891.734 SOL ot
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: USAID, 2003
305.4 ROS p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>