Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 252 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Priyanto Wibowo
"ABSTRAK
Hubungan antara bangsa Cina dan orang-orang dari sebrang lautan sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Paling tidak sejak abad 14, atau bahkan jauh sebelumnya, beberapa kapal dari negara-negara yang lautnya maju pernah menyinggahi Cina. Tetapi kunjungan-kunjungan kapal-kapal asing tersebut tidak mendapat sambutan yang semestinya baik dari pemerintah Cina maupun tradisionil rakyat Cina, yang notabene juga merupakan pandangan penguasa Cina pada waktu itu yang menganggap orang asing adalah orang biadab. Hal ini tercermin dari konsep mereka tentang zhongguo, yang menganggap Cina adalah pusat dunia, pusat budaya dan segala peradaban. Sementara itu masyarakat di luar Cina adalah masyarakat primitif, tidak berbudaya serta bar-bar yang perlu dibudayakan.
Atas dasar pemikiran yang demikian, maka proses hubungan antara Cina dan negara-negara sangatlah lambat. Ketika Inggris memulai menjajaiki hubungan dengan Cina perlakuan yang diterima oleh utusan Inggris adalah perlakuan sama yang diterapkan oleh kepada utusan dari sebuah negara taklukan. Tentu saja Inggris tidak dapat menerima perlakuan tersebut. Budaya diplomasi Eropa yang dibawa Inggris berbenturan dengan budaya diplomasi yang diterapkan oleh Cina yang terkenal dengan sebutan family of nations, dimana Cina bertindak sebagai bapak sementara negara-negara, terutama dikawasan Asia, bertindak sebagai anak dengan masing-masing konsekwen dengan posisinya.
Dengan menggunakan beberapa bahan bacaan yang didapat melalui penelitian kepustakaan, yang terdiri dari bahan primer maupun sekunder, tulisan ini bermaksud mengunggkapkan bagaimana akhirnya bangsa Eropa, khususnya Inggris mampu menembus konsep tradisionil Cina yang menjadi penghalang kegiatan diplomasinya. Bahkan kemudian Inggris berhasil menjadi mitra dagang paling besar bagi Cina, terutama adalah berkat adanya konsumsi teh yang sangat besar dikalangan bangsa Inggris. Semua hal tersebut dapat dicapai oleh Inggris hanya dengan melalui satu cara : kekerasan."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1994
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Victoria: Pitman, 1980
337.994 AUS
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Victoria: Pitman, 1980
337.994 AUS
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Centre for Strategic and International Studies, 1997
337.598 IND (1)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Heroe Utomo Kuntjoro-Jakti
Jakarta: Erlangga , 1994
338.95 HER e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Luhulima, C.P.F.
Jakarta: Pustaka Pelajar, 2011
330.959 LUH d
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Chi, Siew Yue
Kuala Lumpur: Asean-Australia Joint Research Project, 1986
337.595 CHI s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Randall, Clarence B.
Chicago: University of Chicago Press, 1954
337.73 RAN f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Avina Nadhila Widarsa
"Setelah terlibat konflik politik selama lebih dari enam dekade, Cina mengambil sebuah kebijakan yang fenomenal dalam hubungannya dengan Taiwan. Pada tanggal 29 Juni 2010 disepakati suatu kerangka kerjasama ekonomi yang ditandatangani oleh Association for Relations Across Taiwan Straits (ARATS) yang mewakili pemerintah Cina dan Strait Exchange Foundation (SEF) yang mewakili pemerintah Taiwan. Penandatanganan Cross Strait Economic Cooperation Framework Agreement (ECFA) ini menandai babak baru dalam hubungan lintas selat. Walaupun perjanjian tersebut bertujuan untuk meningkatkan kerjasama ekonomi yang resiprokal dan setara, dalam isi perjanjian ECFA justru lebih menguntungkan Taiwan daripada Cina. Dalam ECFA disepakati kedua pihak sepakat untuk menurunkan tarif pada produk - produk ekspornya hingga 0%. Cina bersedia menurunkan tarif bagi 539 produk impor dari Taiwan, sementara Taiwan hanya bersedia menurunkan tarif bagi 267 produk impor dari Cina. Jelas terdapat ketidakseimbangan dalam kesepakatan ekonomi tersebut. Menjadi pertanyaan yang menarik, mengapa Cina tetap mau menandatangani perjanjian yang sudah jelas merugikan baginya secara ekonomi Melalui kerangka pemikiran economic statecraft, penelitian ini mengidentifikasi bahwa Cina memiliki memiliki kepentingan di balik penandatanganan ECFA. Adapun kepentingan politik Cina dalam penandatanganan ECFA adalah sebagai tahap awal untuk mencapai reunifikasi secara damai dengan Taiwan dan sebagaim pembuktian upaya peaceful development yang dilakukan Cina di kawasan Asia Timur. Selain itu, Cina juga memiliki kepentingan ekonomi untuk menjaga aliran dana investasi langsung dari Taiwan yang menjadi salah satu penyumbang pertumbuhan ekonomi Cina.

After six decades full of hostility and political tension, China took an extraordinary action regarding her relation towards Taiwan. On June 29, 2010, an economic cooperation framework agreement was signed between Association for Relations Across Taiwan Straits (ARATS) as a representative of government of China and Strait Exchange Foundation (SEF) as a representative of government of Taiwan. The signing of Cross Strait Economic Cooperation Framework Agreement (ECFA) was marking the new era of cross strait relations. While looking to improve economic cooperation reciprocally and equally, this agreement is more favor Taiwan instead of China. China agreed to reduce tariffs until 0% for 539 Taiwan export goods, while Taiwan only agreed to reduce tariffs for 267 China export goods. It is likely that China will face economic disadvantages because of this agreement. Then, the question is why China wants to sign this agreement although it doesn't give maximum advantages to her economy. Through the analysis from economic statecraft and economic cooperation as conceptual framework, this research pointed out that China has political and economic interest within this agreement. This research identified China's interest on ECFA as initial step to achieve peaceful reunification with Taiwan and as a way for China to prove the peaceful development strategy in East Asia region. Moreover, China also has economic interest towards ECFA which is to make sure Taiwan's FDI still come to China."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Fadhilah
"Pasca Perang Dunia II, Pemerintah Orde Baru memiliki cara pandang yang berbeda dengan Pemerintah Orde Lama dalam memandang Jepang. Cara pandang yang berbeda ini membuat corak diplomasi kedua Pemerintahan pun berbeda dalam menjalin hubungan kenegaraan dengan Jepang. Tulisan ini menitikberatkan pada pembahasan hubungan diplomasi Pemerintah Orde Baru dengan Pemerintah Jepang, khususnya di bidang ekonomi. Tidak seperti Pemerintahan sebelumnya, hubungan Indonesia dengan Jepang pada masa Orde Baru ini dapat dikatakan dekat. Kedekatan ini tidak lepas dari peran salah seorang Asisten Pribadi (Aspri) Soeharto pada awal Pemerintahannya, yakni Soedjono Hoemardani. Lewat lobilobinya, ia berhasil membujuk Pemerintah Jepang untuk mengeluarkan berbagai bantuan ekonomi, pinjaman, hibah dan investasinya. Namun di sisi lain, ia dianggap sebagai antek Jepang yang membuat Jepang mendominasi perekonomian Indonesia sehingga menimbulkan kesenjangan di kalangan pengusaha nasional yang berujung pada Peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari) di tahun 1974. Perannya yang kontroversial ini membuatnya lengser dari jabatan Aspri. Meski jabatan tersebut dicabut, namun kedekatannya dengan Pemerintah Jepang masih tetap berlanjut dengan posisinya sebagai Inspektur Jenderal Pembangunan. Walaupun hubungan tersebut tidak seintensif seperti ketika ia menjabat sebagai Aspri. Pasca Peristiwa Malari, hubungan Indonesia dengan Jepang berjalan normal kembali setelah Jepang mengubah cara diplomasinya secara Heart to Heart.

After The World War II, Indonesian government?s perspective about Japan had changed. This changing differentiated The Old Order and The New Order's bilateral relationship between the two countries. This thesis emphasize on diplomacy between The New Order Government and Japanese Government particularly on economic diplomacy. In contrast to The Old Order Government, Indonesia-Japan relation under The New Order Government was close. This closeness was a result of Soedjono Hoemardani?s diplomacy that had been commenced since the beginning of Soeharto's Government. At that time Soedjono Hoemardani was charged as Soeharto's Personal Assistance. By his lobbies, he succeeded to persuade Japanese Government to give some financial assistances through investment, grant, and credit. Nevertheless, he was judged as Japan puppet whose duty helping Japanese Government dominated economy of Indonesia on which the domination caused social discrepancy between local industrialist and Japanese industrialist that lead to The Malari Riot (riot at January 15th) 1974. This controversial role led him to retire from his position as Soeharto's Personal Assistance. Even though he had left his formal position as Soehartos's Personal Assistance, his close relation with Japanese Government set him remain lobbying Japanese Government under his new position as General Inspectorate of Development. However, the intensity of the relation was not as high as it used to be. After The Malari, Indonesia-Japan relationship returned to be normal because Japanese Government changed their diplomacy strategy to heart to heart diplomacy."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S43548
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>