Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 24 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Florianus S.
"Tesis ini membahas pengaruh pemberlakuan Peraturan Menteri Perdagangan RI (?Permen?) No. 53/2012 dan Permen 07/2013 terhadap formil dan materil Perjanjian Waralaba antara Pemberi dan penerima waralaba. Bagaimana Indonesia mengatur penyelenggaraan waralabanya dan perhatian utama pengaturan waralaba di Indonesia serta perbandingan dengan beberapa negara ASEAN. Indonesia merupakan negara yang mengatur waralaba dan penggunaan bahan baku, peralatan usaha serta menjual barang dagangan paling sedikit 80% barang dan/atau jasa produksi dalam negeri serta kewajiban bagi Pemberi Waralaba untuk bekerjasama dengan usaha kecil dan menengah sebagai Penerima Waralaba atau pemasok barang dan/atau jasa. Khusus untuk perjanjian waralaba jenis usaha makanan dan minuman Perjanjian waralaba telah diatur pembatasan pada jumlah tertentu outlet/gerai yang dimiliki dan dikelola sendiri (company owned outlet) dengan kewajiban Diwaralabakan; dan/atau dikerjasamakan dengan pola penyertaan apabila outlet/gerai melebihi jumlah pembatasan; Dalam penyelenggaraan waralaba terlihat Pemerintah berperan dan turun mengatur kebijakan dalam penyelenggaraan waralaba di Indonesia, Malaysia dan Vietnam. Sedangkan Singapura dan Filipina pengaturannya pada asosiasi yaitu Franchising And Licensing Authority Singapore (FLA) dan Philippine Franchise Assocition (PFA).Negara-negara anggota ASEAN cenderung menerbitkan aturan khusus yang mengatur bisnis franchisenya. Kedepan, Indonesia perlu memberikan bantuan dan kebijakan yang berkaitan dengan memperkuat peran asosiasi franchise dalam penyelenggaraan waralaba untuk menggantikan peran negara agar negara tidak terlalu mengintervensi kegiatan ekonomi.

This thesis discusses the impact of the enforcement of Regulation of the Minister of Trade of Republic of Indonesia ("Minister Regulation") No. 53/2012 and Minister Regulation No 07/2013 to the formal and materil of Franchise Agreement between the franchisor and the franchisee of a franchise. How Indonesia arrange the maintenance of its franchise and the main concern of the franchise regulation in Indonesia, and the comparison with some ASEAN countries. Indonesia is a country that regulates franchises and the use of raw materials, business equipment as well as sells merchandise order at least 80% of goods and / or services of domestic production and the obligations of the Franchisor to work with small and medium enterprises as the franchisees or suppliers of goods and / or services. Especially for the franchise agreement on the food and beverage business type, the franchise agreement has been arranged its certain limitations of the number of outlets / stalls owned and managed their own (company owned outlets) with the obligations that it must be franchised; and / or cooperated with the participation patterns if the outlets / stalls exceeds the limitation; In the maintenance of franchise, it looks that the government has a role and regulate the policy in the maintenance of franchises in Indonesia, Malaysia and Vietnam. While in Singapore and Philippines, its organization is in the association namely Franchising And Licensing Authority Singapore (FLA) and Philippine Franchise Assocition (PFA). The ASEAN members tend to issue specific rules that govern its franchise bussiness. Franchisor and franchisee should improve the role of associations in the franchising activities.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35247
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfian Anditya
"Kerja sama waralaba pada prinsipnya ialah skema usaha yang dilaksanakan oleh perseorangan atau badan usaha melalui pemanfaatan sistem bisnis dengan ciri khas usaha yang telah dikembangkan oleh pelaku usaha berpengalaman dalam rangka pemasaran barang dan/atau jasa. Kerja sama tersebut haruslah didasarkan pada suatu perjanjian waralaba yang telah disusun para pihak dengan memperhatikan ketentuan penyelenggaraan waralaba yang telah diatur oleh Pemerintah. Ketidak-patuhan penyusunan perjanjian waralaba terhadap ketentuan dimaksud sejatinya akan mengakibatkan perjanjian yang bersangkutan menjadi batal demi hukum, akan tetapi implementasinya dalam praktek peradilan kerap kali tidak sesuai dengan norma hukum yang seharusnya berlaku. Salah satu contoh dari permasalahan ini terlihat dalam kasus waralaba “HH” di mana terdapat suatu perjanjian waralaba yang dinilai penerima waralabanya sebagai perjanjian yang cacat hukum berikut digugat ke pengadilan untuk dinyatakan batal demi hukum, akan tetapi gugatan tersebut tidak dikabulkan oleh hakim yang lebih mengedepankan pemenuhan unsur kesepakatan para pihak sebagaimana ditemukan dalam Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 321/PDT/2021/PT.DKI. Berkaca pada kasus waralaba HH, penelitian ini menganalisis pertimbangan hakim terhadap materi gugatan pembatalan perjanjian waralaba yang diajukan oleh penerima waralaba HH serta konsekuensi yang timbul bagi para pihak apabila perjanjian yang bermasalah tersebut tetap berlaku. Untuk menjawab permasalahan dimaksud, penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan tipe penelitian eksplanatoris guna menjelaskan dan menganalisis fakta hukum yang ada dalam contoh yang diangkat berdasarkan ketentuan hukum perjanjian dan peraturan waralaba yang berlaku di Indonesia. Dengan mengacu pada pengkajian atas masalah tersebut, penelitian ini dapat menyimpulkan bahwa pertimbangan hakim yang kurang memperhatikan aspek kepatuhan hukum dalam perjanjian waralaba HH merupakan  suatu pertimbangan yang keliru serta keabsahan perjanjian dimaksud dapat menimbulkan berbagai macam konsekuensi komersial maupun hukum bagi para pihak. Adapun saran yang dapat diberikan berupa pentingnya kehati-hatian dalam melakukan penyusunan perjanjian berikut memastikan telah dimuatnya klausula pembatalan perjanjian secara tegas. Lebih lanjut, penggunaan jasa profesi hukum penunjang dalam pembuatan perjanjian waralaba dapat menjadi opsi guna memastikan terwujudnya ketaatan hukum dari perjanjian waralaba yang dibuat.

In principal franchise is a business scheme that is implemented by individuals or business entity through the utilization of a business system with specific business characteristic that is developed by an experienced business player in the context of marketing of goods and/or service. Such cooperation must be based on a franchise agreement that has been prepared by the parties with due observance on franchise provisions that have been regulated by the Government. Incompliance against the regarding regulation during the preparation of franchise agreement will result for such agreement to be null and void, yet its implementation in judicial practices is often not in accordance with the legal norms that should be applied. One example of this problem can be seen in the “HH” franchise case where there is a franchise agreement that is considered to be legally defective by the franchisee and further sued to the court to be declared null and void, yet such lawsuit was not granted by the judge who prioritized the fulfillment of consensuality between the parties as found in the Decision of High Court of DKI Jakarta Number 321/PDT/2021/PT.DKI. Reflecting on the HH franchise case, this research analyze the judge’s consideration of the substance of the HH franchisee’s lawsuit and the consequences for the parties if such agreement remains in effect. To answer this issue, this research use a judicial normative approach with an explanatory type of research to explain and analyze the legal facts that exist in the case based on the provisions of contract law and franchise regulations that prevailed in Indonesia. By referring to the study on the given issue, this research concludes that the consideration of the judge who pays less attention to the aspect of legal compliance in the HH franchise agreement shall be considered to be inaccurate and the validity of such agreement results for various commercial and legal consequences for the parties. The advice that can be given from this case is the importance of caution in drafting a franchise agreement and ensure that the cancellation clause is expressly included in the agreement. Further, the use of supporting legal profession in making franchise agreement can be an option to ensure the realization of the agreement’s legal compliance."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Irwando L. J.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1991
S17962
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mina
"Dalam era persaingan perdagangan global yang semakin ketat memerlukan sistem pemasaran yang mendukung, namun sering terjadi biaya untuk pemasaran yang luas terlalu tinggi sehingga timbul alternatif menghemat biaya dengan melakukan pemasaran tersebut melalui salah satu cara yang efisien dan efektif yaitu dengan sistem Franchise. Franchise adalah hak istimewa dalam bentuk lisensi terhadap hak milik intelektual yang diberikan franchisor kepada franchisee dengan syarat menggunakan sistem, metode atau prosedur yang telah ditetapkan secara baku oleh franchisor dan pemberian bantuan dari franchisor serta pernbayaran biaya franchise atas pemakaian nama dan bantuan tersebut sistem franchise ini di jalankan berdasarkan perjanjian para pihak yang tunduk pada ketentuan Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Untuk menganalisa perjanjian franchise perlu diperhatikan isi dari perjanjian franchise sehingga dapat diperoleh saran-saran yang menyempurnakan isi perjanjian franchise dan hal-hal apa yang diperlukan dalam penyusunan perjanjian franchise yang baik."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
S20719
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sari Febiyanti
"Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Franchise, Skripsi, 1995. Perjanjian Franchise merupakan perjanjian yang dibuat antara pihak Franchisor dan Franchisee mengenai pemberian izin untuk menggunakan merek dagang franchisor kepada franchisee. Dalam menjalankan bisnisnya ini Franshisee harus menyesuaikan diri dengan metode dan prosedur yang di tetapkan Franchisor. Franchise tumbuh dan berkembang dari praktek dagang yang berlangsung sesuai dengan kebutuhan dunia usaha. Di Indonesia pun franshise tengah pesat berkembang. Sampai saat ini Franchise masih belum mendapat pengaturan secara khusus. Namun demikian bukan berarti tidak ada perlindungan hukum bagi mereka yang terlibat di dalamnya. Perlindungan hukum bagi para pihak (Franchisor dan Franchisee) masih dapat dilakukan melalui perjanjian Franchise yang dibuat. Asas Terbuka Buku III KUH Perdata, memungkinkan bagi para pihak untuk membuat perjanjian apapun, perjanjian yang dibuat secara sah akan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian Franchise yang dibuat merupakan landasan untuk menuntut hak dan kewajiban para pihak. Perjanjian Franchise menjadi dasar untuk mengetahui sah atau tidaknya perbuatan para pihak. Klausula-klausula dalam perjanjian Franchise mengatus kepentingan para pihak Bargaining Position yang lebih kuat, dapat memaksa salah satu pihak dalam memasuki perjanjian menerima saja klausula-klausula yang dianjurkan, sehingga perjanjian itu tidak seimbang mengatur kepentingan para pihak. Walaupun KUH Perdata sudah memberikan tolak ukur berupa asas ketertiban umum, asas moral atau kesusilaan, asas kepatuhan atau keadilan dan asas itikad baik, klausula-klausula yang perlu diperhatikan antaranya adalah mengenai pengaturan hak dan kewajiban, pembalasan dalam pemberian izin merek, perihal pembayaran franchise fee/royalti, jangka waktu, dan pembatalan perjanjian Kausula-klausula tersebut sedikit banyak memberikan perlindungan terhadap kepentingan para pihak-pihak, sehingga perjanjian dapat terlaksana dan tujuan Franchise itu sendiripun dapat tercapai bagi masing-masing pihak."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1995
S20710
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuni Karyanti S.
"Arus globalisasi dalam perekonomian, terutama di bidang kerjasama perdagangan barang dan jasa yang tengah melanda dunia saat ini, turut pula merebak di Indonesia. Dalam pertumbuhan ekonomi yang semakin cepat dan kompleks, berbagai bentuk kerjasama dalam bidang perdagangan masuk ke Indonesia, dimana salah satu bentuknya adalah perjanjian franchise. Franchise merupakan suatu bentuk usaha yang telah lama dikenal di Indonesia dan diakui berdasarkan asas kebebasan berkontrak serta sistem terbuka buku III KUH Perdata. Perjanjian franchise antara PT.X dengan PT. Y merupakan perjanjian yang dibuat pada tahun 1993 berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Dalam Perjanjian tersebut para pihak rnelakukan pilihan hukum dengan memberlakukan hukum Ohio bagi perjanjian yang bersangkutan, dan hingga saat ini perjanjian tersebut belum didaftarkan sesuai peraturan yang berlaku. Perjanjian tersebut memuat klausula-klausula yang memperlihatkan ketidakseimbangan kedudukan para pihak, dan dalam hal ini pihak franchisee banyak dirugikan, terutama karena adanya pilihan hukum tersebut. Berlakunya PP No. 16 tahun 1997 beserta peraturan pelaksananya yang mensyaratkan berlakunya hukum Indonesia bagi perjanjian franchise serta menentukan adanya kewajiban pendaftaran bagi perjanjian franchise yang dibuat sebelum berlakunya peraturan tersebut dalam hal ini tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terutama bagi pihak franchisee, karena kedudukannya yang lebih rendah daripada KUH Perdata. Dengan demikian, para pihak dalam perjanjian tetapa dapat melakukan pilihan hukum dalam perjanjian, berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Namun dengan diberlakukannya Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, terdapat pembatasan yang cukup berarti terhadap kebebasan para pihak dalam suatu perjanjian franchise, terutama dalam hal terdapatnya klausula no agency yang dapat menghilangkan tanggung jawab franchisor atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan franchisee."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
S21053
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfani Gunawan
"Dalam era pesaingan pedagangan global diperlukan adanya suatu sistem pemasaran yang efektif dan efisien salah satunya adalah waralaba. Apabila di bandingkan dengan sistem pemasaran yang sudah ada sebelumnya, bisnis waralaba memiliki beberapa keuntungan, salah satunya adalah penerima waralaba dapat langsung menggunakan popularitas produk dari pemberi waralaba. Bentuk perjanjian waralaba biasanya menggunakan bentuk perjanjian baku, yang kemudian menimbulkan permasalahan apakah bentuk perjanjian waralaba ini telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan bagaimana kedudukan para pihak dalam perjanjian waralaba ini. Bedasarkan peraturan perundangan-undangan maka perjanjian ini bisa disebut sebagai perjajian waralaba karena memenuhi unsur-unsur sebagai waralaba yaitu adanya penggunaan hak kekayaan intelektual atau ciri khas dengan suatu imbalan dalam rangka penjualan barang atau jasa. Kedudukan para pihak dalam perjanjian waralaba ini adalah tidak seimbang karena perjanjian dibuat sepihak oleh pemberi waralaba yang merupakan kontrak baku. Ketika keseimbangan ini dikarenakan karena pemberi waralaba ingin melindungi kepentingannya sebagai pemilik merek dagang. Masalah lain yang mungkin timbul dari perjanjian waralaba ini adalah masalah penyelesaian sengketa antara para pihak, pembagian wilayah pemasaran dan jangka waktu waralaba. Menurut penulis dalam menyelesaikan sengketa sebaiknya menggunakan cara arbitrase. Pembagian wilayah juga harus disebutkan secara tegas agar tidak terjadi kesalahpahaman antara cabang-cabang waralaba mengenai wilayah pemasaran. Mengenai jangka waktu perjanjian waralaba antara PT X. dengan PT Y. adalah 5 tahun, tetapi dapat ditinjau ulang menjadi 10 tahun berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 12 Tahun 2006."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
S21294
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Soesanto
"Didalam era globalisasi seperti saat ini dimana batas-batas kedaulatan negara seolah-olah menyatu dan terjadinya revolusi industri banyak produk-produk luar negeri yang datang ke satu negara dalam rangka expansi pasar dan diproduksi secara masal, produk barang dan jasa yang ditawarkan produsen bukan dalam bentuk penjualan langsung kepada konsumen tetapi dengan pola kerjasama usaha yaitu kemitraan berupa franchise(waralaba),Produk barang dan jasa tersebut seperti makanan,minuman,perkakas rumah,salon mobil, motor, sarana pendidikan.Dalam bisnis franchise ini ada pihak-pihak yang terlibat didalamnya seperti:1).Pihak Franchisor adalah orang perorang atau badan yang memiliki hak istimewa atau hak khusus 2).Pihak Franchisee adalah perusahaan atau orang perorang yang menerima hak istimewa dalam rangka pengembangan usaha 3).Bisnis franchise itu sendiri. franchise adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perorang/badan usaha terhadap sistim dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian,pokok permasalahannya adalah 1)Apa konsep bisnis franchise yang ada selama ini.2)Dasar atau landasan hukum dari bisnis franchise ini dan 3)Hak serta kewajiban dari franchisor dan franchisee,penelitian yang dilakukan adalah penelusuran literatur atau kepustakaan yang bersifat kuantitatif, dapat disimpulkan bahwa:a)Konsep bisnis franchise adalah kemitraan usaha yang saling menguntungkan,b)Dasar hukum berdasarkan PP No. 42 Tahun 2007,Kitab Undang-undang Hukum Perdata serta perundang-undangan lainnya seperti hukum administrasi,kete nagakerjaan dan perpajakan,c)Hak dan kewajiban antara franchisor dan franchisee tidak seimbang atau unequalbargaining power dimana posisi franchisor lebih dominant dari posisi franchisee,sehingga perlu dibuat perlindungan hukumnya.

In the globalization era in which the state border as unity and due to modernization of industry many imported goods product entering from one country to another country and to penetrate and expand the market shares , the manufacture is offering the product output such as goods or services in the different system instead of direct selling to the customers the product output e.g. food and beverage, car salon, home appliances ,educational facility, in the franchise business are involved some party for instance;1)Franchisor is individual person or as company who have the preference right 2)Franchisee is person or company who receive the preference right and to develop the business.3)the type of franchise business , the franchise definition is the preference right is belong to someone or company by the system and unique business in conjunction with goods and services marketing, in fact the system is proven and succeed and the other parties can be utilized this system by using the agreement, the real focus in this business are 1),what is the franchise concept 2)what is the legal concept and 3)what’s the party obligation, the research paper by literacy library as quantitative approach , the conclusion may can be made are 1).the franchise is the partnership business by mutual benefit 2) the legal aspect by Government Regulation No. 42 / 2007 re : Franchise, Kitab Undang-undang Hukum Perdata and another regulation such as administration law, industrial relation law (labor law),taxes law 3).the right and obligation between franchisor and franchisee are unbalance, the franchisor is more dominant compare with the franchisee therefore the law protection is require"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
S24483
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yogie Prastiyans
"Penelitian ini akan membahas mengenai peraturan yang terkait dengan waralaba Primagama menurut hukum positif di Indonesia, selanjutnya, dalam skripsi ini akan dibahas hubungan hukum antara penggugat dengan para tergugat dan membahas apakah putusan Hakim Pengadilan Negeri Kediri sudah berkekuatan hukum tetap. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, sedangkan analisis datanya adalah metode kualitatif. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan peraturan yang terkait dengan waralaba Primagama adalah Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 57 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 53 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Waralaba, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaran Pendidikan, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan. Tidak ada hubungan hukum antara penggugat dengan tergugat I tetapi ada hubungan hukum penggugat dengan Tergugat II. Serta dapat diketahui bahwa putusan hakim Pengadilan Negeri Kediri kurang tepat. Kata Kunci: peraturan waralaba, hubungan hukum, putusan hakim.

This research dicusesses the regulations about Primagama franchise in accordance with Indonesian law. This research aims to examine legal relationship between the defendant and the plaintiffs whether the ruling has been legal and binding. The methods used in this research are normative juridical and qualitative for the data analysis. The results show that regulations about Primagama franchise are Government Regulation No. 42 of 2007 on franchise, Ministerial Regulation of Ministry of Commerce no. 57 of 2014 on amendment of Ministerial Regulation of Ministry of Commerce no. 53 of 2012 on franchising, Law no. 20 of 2003 on National Education system, Government Regulation no. 66 of 2010 on amendment of Government Regulation no. 17 of 2010 on Management and Implementation of Education, Government Regulation no. 19 of 2005 jo. Government Regulation no. 32 of 2013 jo. Government Regulation no. 13 of 2015 on National Education Standards. There was no legal relationship between the plaintiff and the defendant I, while there was legal relationship between the plaintiff and the defendant II. In addition, it was found that the judge 39 s ruling was not really appropriate. Therefore, defendant I shall start filing new lawsuit to district court of Kediri regency. Keywords franschise regulation, legal relationship, judge 39's ruling"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S66660
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>