Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Alditho Farrasi Anantoputra
"ABSTRAK
PLTG Borang 60 MW, Palembang, menghasilkan polutan-polutan ke udara di sekitar, diantaranya SO2, NOx, CO, dan Total PM yang kemudian dipantau dengan alat CEMS. Selain pemantauan, perlu adanya penetapan strategi dan rencana aksi pengelolaan kualitas udara untuk masa akan datang dengan menggunakan faktor emisi. Faktor emisi merupakan nilai representatif yang mencoba untuk menghubungkan kuantitas suatu polutan yang dilepas ke atmosfer dengan aktivitas yang terkait dengan pelepasan polutan tersebut. Faktor emisi di beberapa wilayah berbeda-beda, di Indonesia sendiri menggunakan AP-42 sebagai sumber faktor emisinya. Pada penelitian ini dibahas mengenai perbandingan nilai total emisi tiap polutan antara polutan berdasarkan pendataan CEMS dengan faktor emisi berbagai sumber AP-42, IPCC, dan Kurokawa et al. serta pemilihan faktor emisi turbin gas yang cocok digunakan di Indonesia berdasarkan hasil perbandingan tersebut. Dengan menggunakan rumus dari PermenLH No. 21 Tahun 2008 untuk perhitungan total emisi berdasarkan pendataan CEMS dan PermenLH No. 12 Tahun 2012 untuk perhitungan total emisi berdasarkan faktor emisi dan kemudian kedua nilai ini dibandingkan, didapatlah nilai perbandingan yang paling mendekati, yaitu: nilai rata-rata data CEMS SO2 dengan faktor emisi AP-42 sebesar 1,87 , nilai rata-rata data CEMS NOx dengan AP-42 sebesar 9 , nilai maksimum CO dengan faktor emisi Kurokawa et al. sebesar 75,64 , dan nilai median Total PM dengan IPCC sebesar 40,6 . Faktor emisi yang baik digunakan di Indonesia adalah faktor emisi dari USEPA, yaitu AP-42.

ABSTRACT
Borang 60 MW Gas Power Plant, Palembang, produces pollutants which affected surroundings, such as SO2, NOx, CO, and Total PM, that monitored by CEMS. In addition to monitoring, it is necessary to establish a strategy and action plan for the management of air quality for the future by using emission factor. Emission factor is a representative value that attempts to associate the quantity of a pollutant released to the atmosfer with its releasing activities. Emission factors in several regions vary, in Indonesia Itself is using AP 42 as a source of emission factor. This experiment discussed about the comparison of total emission values of each pollutants based on CEMS data which are AP 42, IPCC, and Kurokawa et al., also selection of gas turbine emission factors that most suitable for use in Indonesia based on the comparison result. By using the formula from PermenLH No. 21 2008 for the calculation of total emissions based on CEMS and PermenLH Number 12 2012 for the calculation of total emission based on emission factor, these two values are compared. Data showed that the most approximate values of the comparability are the average value of SO2 based on CEMS with AP 42 emission factor is 1,87 , the average value of NOx based on CEMS with AP 42 emission factor is 9 , maximum value of CO based on CEMS with emission factor from Kurokawa et al. is 75,64 , and median value of Total PM with IPCC emission factor is 40,6 . In conclusion, the most suitable gas turbine emission factors for use in Indonesia is emission factor from USEPA, which is AP 42."
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dedi Hermawan
"Proyek pembangunan gas processing facility (GPF) sering mengalami keterlambatan, yang dapat berakibat pada kerugian finansial dan operasional yang signifikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model risiko yang akurat untuk meningkatkan kinerja waktu proyek GPF. Model ini menggunakan metode Analisa Risiko Kuantitatif (QRA) dan simulasi Monte Carlo untuk mengidentifikasi dan mengukur risiko yang paling berpengaruh terhadap kinerja waktu proyek. Keterlambatan proyek GPF dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti perubahan desain, kondisi pandemi tidak terduga, keterlambatan fabrikasi, ketidakmampuan kontraktor, dan keterlambatan pengadaan bahan dapat menyebabkan keterlambatan proyek, kegagalan dalam mengidentifikasi, menilai, dan mengelola risiko secara efektif dapat meningkatkan kemungkinan keterlambatan proyek. Kurangnya komunikasi dan koordinasi antar tim proyek dapat menyebabkan miskomunikasi, penundaan, dan re-work, yang pada akhirnya dapat menyebabkan keterlambatan proyek.
Penelitian ini mengusulkan model risiko yang menggunakan metode QRA dan simulasi Monte Carlo untuk mengatasi masalah keterlambatan proyek GPF. Model ini membantu tim proyek untuk mengidentifikasi risiko-risiko yang paling berpengaruh terhadap kinerja waktu proyek, mengukur tingkat ketidakpastian yang terkait dengan setiap risiko, dan mengembangkan strategi mitigasi risiko yang efektif untuk mengurangi kemungkinan dan dampak keterlambatan proyek.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode QRA dengan simulasi Monte Carlo adalah alat yang efektif dalam mengidentifikasi risiko-risiko yang dominan dan mengukur tingkat ketidakpastian dalam proyek GPF. Output simulasi memberikan informasi tentang distribusi probabilitas, histogram, statistik deskriptif, analisis sensitivitas, dan grafik hasil yang membantu dalam pemahaman dan pengambilan keputusan yang lebih baik terkait risiko proyek.
Penelitian ini memberikan kontribusi signifikan dalam mengatasi masalah keterlambatan proyek GPF dengan menghadirkan model risiko yang inovatif dan efektif. Model ini memberdayakan tim proyek untuk mengidentifikasi, mengukur, dan memitigasi risiko secara proaktif, sehingga meningkatkan kinerja waktu proyek dan menghasilkan proyek yang lebih sukses. Dengan menggunakan model risiko yang baru ini, proyek pembangunan gas processing facility dapat dilakukan dengan lebih efektif dan efisien, mengurangi risiko terjadinya penundaan waktu penyelesaian proyek.

The construction of Gas Processing Facilities (GPF) often experiences delays, which can lead to significant financial and operational losses. This research aims to develop an accurate risk model to improve the time performance of GPF projects. The model uses Quantitative Risk Analysis (QRA) and Monte Carlo simulation methods to identify and measure the risks that most significantly impact project time performance. Delays in GPF projects can be caused by various factors, such as design changes, unforeseen pandemic conditions, fabrication delays, contractor incompetence, and material procurement delays. Additionally, failure to effectively identify, assess, and manage risks can increase the likelihood of project delays. Lack of communication and coordination among project teams can also lead to miscommunication, delays, and rework, ultimately resulting in project delays.
This research proposes a risk model that uses QRA and Monte Carlo simulation methods to address GPF project delay issues. The model helps project teams to identify the most influential risks to project time performance, measure the level of uncertainty associated with each risk, develop effective risk mitigation strategies to reduce the likelihood and impact of project delays.
The research results show that the QRA method with Monte Carlo simulation is an effective tool for identifying dominant risks and measuring the level of uncertainty in GPF projects. The simulation output provides information on probability distribution, histograms, descriptive statistics, sensitivity analysis, and graphical results that aid in better understanding and decision-making regarding project risks.
This research makes a significant contribution to addressing GPF project delay issues by introducing an innovative and effective risk model. The model empowers project teams to proactively identify, measure, and mitigate risks, thereby improving project time performance and delivering more successful projects. By using this new risk model, Gas Processing Facility construction projects can be carried out more effectively and efficiently, reducing the risk of delays in project completion time.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library