Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Amaliana Nur Fajrina
"Perebutan kekuasaan di wilayah Laut Cina Selatan telah menjadi isu penting untukdidiksuikan oleh khalayak umum. Beberapa negara di ASEAN seperti Indonesia, sertapengaruh kekuatan Amerikadan China saling berebut di wilayah yang strategis bagi jalur perdagangan laut dan potensi sumber daya yang melimpah. Studi ini bertujuan untuk menganalisisfenomena geopolitik di wilayah Laut Cina Selatan dari perspektif masyarakat berdasarkan data dan analisis sosial mediaserta posisi Indonesia dalam konflik tersebut. Data dan analisis sosial media(twitter) diperoleh melalui Drone Emprit pada periode 7-25juni 2020. Hasilnya adalah diskusi dan perbincangan tentang isu Laut China Selatan dengan Social Network Analysis India, Hongkong, Australia dan Taiwan merupakan Negara yang paling terlibat dalam isu ini. Sedangkan, posisi Indonesia pada isu Laut China Selatan tetap berpegang pada politik bebas aktif dan menjunjung tinggi asas hukum yang berlaku (UNCLOS 1982)dibuktikan dengan beberapa cuitan seperti menolak negoisasi dengan Beijing; menutup ruang negosiasi; dan menolak 9 garis putus-putus yang diklaim oleh China.Isu konflik Laut Cina Selatan ini lebih banyak dibicarakan dari kalangan Babyboomers dan hanyas sedikit dari gen X-Y. Implikasi studi menjelaskanbahwa Indonesia sangat menekankan upaya diplomatis dalam isu geopolitik yang tengah memanas di Laut China Selatan. "
Jakarta: Biro humas settama lemhanas RI, 2020
321 JKLHN 43 (2020)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Zaid Tristan
"Sengketa Laut Cina Selatan merupakan salah satu isu geopolitik paling kompleks di Asia Tenggara, melibatkan klaim maritim yang saling tumpang tindih antara Tiongkok dan beberapa negara lain seperti Filipina, Vietnam, dan Malaysia. Laut ini memiliki nilai strategis yang signifikan, baik dari segi ekonomi, politik, maupun militer, dengan cadangan sumber daya alam yang melimpah serta jalur perdagangan internasional yang vital. Selain itu, kawasan ini juga menjadi titik penting dalam dinamika keamanan regional, di mana berbagai aktor global, termasuk Amerika Serikat, turut terlibat dalam menjaga keseimbangan kekuatan. Tiongkok, dalam menghadapi berbagai tantangan dan penolakan atas klaimnya, secara konsisten menggunakan narasi historis sebagai dasar legitimasi. Narasi ini menekankan konsep hak historis (historic rights) yang dianggap mendahului kerangka hukum internasional modern, termasuk United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Sementara UNCLOS dirancang untuk mengatur pembagian wilayah maritim, konvensi ini tidak memberikan definisi atau ketentuan yang jelas mengenai historic waters. Celah hukum ini memberikan ruang bagi Tiongkok untuk memperkuat narasi mereka dan menegaskan kedaulatan atas wilayah yang diklaim. Lebih lanjut, Tiongkok memanfaatkan dokumen sejarah, peta kuno, serta catatan navigasi sebagai bukti yang mendukung klaim mereka, dengan menekankan bahwa kehadiran mereka di Laut Cina Selatan mendahului klaim negara lain. Dengan menggunakan narasi historis, Tiongkok tidak hanya berusaha mempertahankan klaim kedaulatannya tetapi juga mendefinisikan ulang diskursus hukum internasional untuk mengakomodasi kepentingan geopolitiknya di kawasan tersebut. Hal ini menyoroti bagaimana narasi historis dan keterbatasan hukum internasional menciptakan dinamika sengketa yang kompleks dan berkelanjutan, serta bagaimana perdebatan mengenai hak historis dan legitimasi hukum terus menjadi isu utama dalam diplomasi maritim global.

The South China Sea dispute is one of the most complex geopolitical issues in Southeast Asia, involving overlapping maritime claims between China and several other nations, including the Philippines, Vietnam, and Malaysia. This maritime region holds significant strategic value in terms of economics, politics, and military affairs, as it contains abundant natural resources and serves as a vital international trade route. Furthermore, this area plays a crucial role in regional security dynamics, attracting the involvement of global actors such as the United States, which seeks to maintain a balance of power. In facing various challenges and oppositions to its claims, China has consistently employed historical narratives as the basis of its legitimacy. This narrative emphasizes the concept of historic rights, which China argues predate modern international legal frameworks, including the United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. While UNCLOS was designed to regulate maritime boundaries, the convention does not provide a clear definition or legal provisions regarding historic waters. This legal ambiguity creates an opportunity for China to reinforce its historical narrative and assert sovereignty over the claimed territories. Furthermore, China leverages historical documents, ancient maps, and navigation records as evidence supporting its claims, arguing that its presence in the South China Sea predates the claims of other nations. By using historical narratives, China not only seeks to uphold its sovereignty claims but also attempts to redefine international legal discourse to accommodate its geopolitical interests in the region. This highlights how historical narratives and the limitations of international law contribute to the complexity and persistence of the dispute, as well as how debates over historic rights and legal legitimacy remain central to maritime diplomacy on a global scale."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ju, Hailong
"Summary:
This book conducts a comprehensive study on China's maritime strategy"
Singapore: World Scientific Publishing Company, 2015
359.03 JUH c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library