Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fitriana Hidayati
"Sejak tanggal 6 Agustus 2001, Indonesia telah memiliki suatu Undang-Undang yang mengatur tentang yayasan. Akhirnya keberadaan yayasan yang selama ini didirikan berdasar atas kebiasaan dalam masyarakat dan jurisprudensi Mahkamah Agung memperoleh dasar pengaturan yang kuat dengan diundangkannya Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan. Pemisahan kekayaan yayasan dari kekayaan pribadi para pendirinya merupakan prasyarat penting bagi berdirinya suatu yayasan (Pasal 1 ayat(1), Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1) UUY).
Penulisan tesis ini memberikan gambaran mengenai tiga hal pokok yang dibahas yaitu Bagaimanakah cara perwakafan tanah dari pendiri sebagai modal awal kekayaan yayasan?, bagaimanakah pelaksanaan pengalihan hak milik mengenai modal awal kekayaan yayasan dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan? serta bagaimanakah status modal awal kekayaan yayasan yang berasal dari wakaf, dalam hal yayasan bubar dan atau yayasan dinyatakan pailit? Penulis dalam melakukan penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik yaitumenggambarkan secara sistematis kedudukan hukum tanah wakaf akibat dibubarkannya yayasan dihubungkan dengan UUY.
Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan, dapat disimpulkan bahwa cara perwakafan tanah dari pendiri dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 (1977 No.38) tentang Perwakafan Tanah Milik. Dalam hal ini berlaku prinsip Lex Spesialis Derogat Lex Generalis, karena Berdasarkan Pasal 26 ayat (3) UUY, dalam hal kekayaan yayasan yang berasal dari wakaf, maka berlaku ketentuan hukum perwakafan. UUY tidak menegaskan terjadinya peralihan hak milik atas kekayaan yang dipisahkan oleh pendirinya kepada yayasan. UUY tidak mewajibkan pemisahan kekayaan yang meliputi penyerahan hak milik kepada yayasan. UUY hanya menegaskan bahwa pendiri memisahkan (sebagian) kekayaannya untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan. Kekayaan yang berasal dari wakaf tidak dimasukkan dalam harta pailit, jika ketentuan perwakafan diberlakukan. Karena harta wakaf merupakan benda diluar perdagangan (res extra comrnercium) yang tidak dapat dijadikan objek jaminan dan oleh karena itu tidak dapat disita dan dieksekusi."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T18925
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Apridita S.
"Laju arus telekomunikasi yang semakin canggih membuat dunia bisnis pun terbangun Stasiun televisi tidak hanya didominasi oleh TVRI tetapi sudah dibagi antara 6 stasiun televisi swasta lainnya, yang paling muda adal ah Indosiar. Masya rakat kini semakin t erbuai dengan adanya layar kaca yang memberikan alternatif hiburan yang beraneka ragam. Tiap stasiun televisi berlomba-lomba merebut hati pemirsa. Salah satu acara yang digemari pemirsa televisi adalah adanya siaran langsung baik itu berupa siaran langsung olahraga hiburan ataupun berita. Untuk menyajikan acara siaran langsung tersebut PT. RCTI telah membeli satelit dish. Akan tetapi, menurut PP no. 8 tahun 1989 telekomunikasi hanya dipegang oleh badan penyelenggara, dalam hal ini adalah PT. Indosat yang berhak menjadi badan penyelenggara telekomunikasi di Indonesia termasuk telekomunikasi satelit Sehingga PT. RCTI akhirnya menghibahkan satelit dish itu kepada PT. Indosat. PT. Indosat kemudian meminjamkan satelit dish tersebut kepada PT. RCTI untuk dipakai bagi keperluan siaran langsungnya. Satelit dish itu sendiri terletak di kawasan PT. RCTI. Berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, mereka sepakat untuk mengikatkan diri kedalam suatu Perjanjian Hibah dan Pinjam Pakaian antara PT. RCTI dan PT. Indosat. Penulis dalam skripsi ini berusaha untuk meninjau dan menganalisa perjanjian tersebut ditinjau dari segi hukum."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1996
S20723
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Shannon Gabriella Pesik
"Pemberian hibah dengan objek harta bersama dalam perkawinan semestinya dilakukan melalui persetujuan antara kedua belah pihak, baik suami maupun istri. Namun dalam beberapa kasus, pemberian hibah di mana tanah merupakan objek hibah yang juga merupakan harta bersama, tidak dilakukan dengan persetujuan salah satu dari pasangan dalam hubungan suami dan isteri, sebagaimana ditemukan dalam Putusan Nomor 167/Pdt.G/2019/PN.Cbi. Oleh karena itu permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini berkaitan dengan status hibah harta bersama yang diberikan tanpa persetujuan isteri dan tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam peralihan hak atas tanah melalui pemberian hibah yang dilakukan tanpa persetujuan isteri. Penelitian hukum doktrinal ini dilakukan dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum melalui studi kepustakaan. Data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum tersebut selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Dari hasil analisis, dapat dinyatakan bahwa status hibah atas harta bersama yang diberikan tanpa persetujuan isteri adalah dapat dibatalkan. Hibah terhadap objek harta bersama yang diberikan dengan tanpa persetujuan isteri adalah tidak sah karena melawan hukum. Pada dasarnya, hibah dapat diberikan secara cuma-cuma kepada siapa saja yang terkualifikasi sebagai penerima hibah. Namun, terhadap objek harta bersama, pemberian hibah harus memiliki persetujuan dari kedua belah pihak yakni suami dan isteri. Selain itu, PPAT dalam peralihan hak atas tanah melalui pemberian hibah adalah untuk memastikan bahwa semua dokumen yang merupakan persyaratan dan ketentuan yang berlaku telah dipenuhi sebelum akta dibuat. Pembuatan akta harus mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku dan memenuhi syarat-syarat dalam pembuatan akta hibah. Sebelum pembuatan akta, PPAT wajib dengan teliti mencek dokumen-dokumen yang diberikan penghadap kepadanya. Apabila, syarat subjektif dalam sebuah akta tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya, maka akta tersebut dapat dibatalkan sehingga kekuatan pembuktian akta tersebut menjadi di bawah tangan. Batalnya suatu akta akan menimbulkan tanggung jawab PPAT yang membuat akta tersebut. Tanggung jawab PPAT terhadap pembatalan suatu akta hibah adalah sanksi perdata yakni batalnya akta itu sendiri dan ganti rugi terhadap kerugian yang timbul akibat akta tersebut.

Granting grants with the object of joint property in marriage should be done through the consent of both parties, both husband and wife. However, in some cases, the granting of grants where land is the object of the grant which is also joint property, is not made with the consent of one of the partners in the relationship of husband and wife, as found in Decision Number 167/Pdt.G/2019/PN.Cbi. Therefore, the issues raised in this research are related to the status of joint property grants given without the consent of the wife and the responsibility of the Land Deed Official (PPAT) in the transfer of land rights through grants made without the consent of the wife. This doctrinal legal research is conducted by collecting legal materials through literature study. Secondary data in the form of legal materials are then analyzed qualitatively. From the results of the analysis, it can be stated that the status of grants on joint property given without the consent of the wife is cancelable. Grants of joint property objects given without the consent of the wife are invalid because they are against the law. Basically, grants can be given freely to anyone who qualifies as a grantee. However, for the object of joint property, the grant must have the consent of both parties, namely the husband and wife. In addition, PPAT in the transfer of land rights through grants is to ensure that all documents that constitute the applicable requirements and conditions have been fulfilled before the deed is made. The making of the deed must comply with the applicable laws and regulations and fulfill the requirements in making the grant deed. Before making the deed, the PPAT is obliged to carefully check the documents provided by the confronter. If the subjective requirements in a deed do not match the actual facts, then the deed can be canceled so that the evidentiary power of the deed becomes under hand. The cancellation of a deed will lead to the responsibility of the PPAT who made the deed. The PPAT's responsibility for canceling a grant deed is a civil sanction, namely the cancellation of the deed itself and compensation for losses arising from the deed."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afifah Nabila Putri
"Tulisan ini menganalisis mengenai keabsahan Akta Pengikatan Hibah berdasarkan perpektif hukum Islam dan dampak yang mungkin terjadi sebelum dibuatkan Akta Hibah oleh PPAT. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode doktrinal. Akta Pengikatan Hibah dibuat dihadapan Notaris ditujukan sebagai alat bukti perjanjian para pihak dalam melaksanakan hibah dikemudian hari. Saat ini, belum ada pengaturan mengenai Akta Pengikatan Hibah yang membuat ambiguitas dikalangan masyarakat. Akta Pengikatan Hibah Nomor 7 yang dibuat dihadapan Notaris di Kota Bandung terdapat beberapa kejanggalan. Berdasarkan perspektif Hukum Islam, Akta Pengikatan Hibah dinilai melalui prinsip akad dan wa’ad. Akta Pengikatan Hibah berdasarkan prinsip akad dapat dipersamakan seperti Akta Hibah. Sedangkan, Akta Pengikatan Hibah berdasarkan prinsip wa’ad dipersamakan dengan Akta Pengikatan Hibah. Meskipun keabsahan penghibahan secara Hukum Islam belum dapat menjadi alat bukti pengalihan hak atas tanah berdasarkan yuridis di Indonesia. Dalam hal belum sempat dibuatkannya Akta Hibah, jika terdapat salah satu pihak meninggal dunia secara prinsip akad tidak membatalkan penghibahan. Namun, berdasarkan prinsip wa’ad, Akta Pengikatan Hibah dapat dijadikan bukti untuk melakukan mediasi kepada ahli waris penghibah. Apabila terjadi ingkar janji atau perizinan tidak bebas, pihak yang dirugikan dapat melakukan upaya penetapan pengadilan, meminta ganti rugi, atau pembayaran denda.

This writing analyzes the validity of the Deed of Gift Agreement from the perspective of Islamic law and the potential impacts that may arise before the creation of a Deed of Gift by a Land Deed Official (PPAT). The study employs a doctrinal method. The Deed of Gift Agreement, made before a Notary, serves as evidence of the agreement between the parties to carry out the gift in the future. Currently, there are no specific regulations regarding the Deed of Gift Agreement, which has created ambiguity among the public. Deed of Gift Agreement Number 7, drawn up before a Notary in Bandung, contains several irregularities. From the perspective of Islamic law, the Deed of Gift Agreement is assessed through the principles of akad (contract) and wa’ad (promise). Based on the akad principle, the Deed of Gift Agreement is comparable to a Deed of Gift. Meanwhile, based on the wa’ad principle, the Deed of Gift Agreement is considered equivalent to a promise of a gift. Although the validity of gifting under Islamic law does not yet serve as legal evidence for the transfer of land rights under Indonesian jurisdiction, it can still have implications. If a Deed of Gift has not yet been created and one of the parties passes away, the gifting process, under the akad principle, remains valid and is not annulled. However, under the wa’ad principle, the Deed of Gift Agreement can be used as evidence to mediate with the heirs of the donor. In cases of breach of promise or lack of free consent, the aggrieved party may pursue legal measures, such as a court ruling, compensation, or penalty payment."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Tirta Kusuma
"Suatu akta hibah seharusnya tidak dapat dibatalkan apabila telah dilakukan sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini disebabkan karena pemberian hibah merupakan hak dari pemilik barang sehingga ia memiliki kebebasan untuk memberikan barang tersebut kepada orang lain. Apabila hibah yang dilakukan semasa hidup menyebabkan terlanggarnya bagian mutlak (legitieme portie) dari ahli waris nya, maka pada saat harta pewarisan terbuka dapat dilakukan pemotongan atau pengurangan (inkorting). Hibah sendiri adalah suatu bentuk perjanjian dimana pemberi hibah menyerahkan suatu benda untuk keuntungan dari pemberi hibah secara cuma-cuma yang tidak dapat ditarik kembali dan penyerahan tersebut dilakukan pada saat pemberi hibah masih hidup. Sebuah hibah tidak dapat dibatalkan oleh ahli waris tanpa adanya alasan yang kuat. Penelitian ini membahas mekanisme inkorting sebagai cara pemenuhan legitieme portie yang terlanggar serta akibat hukum dari sebuah akta hibah yang digugat pembatalan oleh anak selaku ahli waris yaitu yang terjadi pada sebuah kasus yang telah diputus oleh hakim dalam Putusan Peninjauan Kembali Nomor 1159/Pk/Pdt/2023 dimana hakim memutuskan untuk membatalkan akta hibah yang dilakukan oleh orang tua semasa hidup karena ternyata melanggar legitieme portie. Penelitian ini menerapkan metode penelitian doktrinal dengan menggunakan pendekatan yuridis-normatif. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Hasil penelitian ini tidak dapat mendukung putusan hakim yang membatalkan akta hibah dengan alasan adanya legitieme portie dari ahli waris yang terlanggar. Pertimbangan tersebut adalah kurang tepat dikarenakan apabila terjadi pelanggaran legitieme portie dapat dilakukan inkorting untuk memenuhi kekurangan bagian tersebut.

A grant deed should not be invalidated if it has been carried out in accordance with the applicable laws and regulations. This is because the grant is the right of the owner of the goods so that he has the freedom to give the goods to others. If a grant made during life causes a violation of the absolute share (legitieme portie) of the heirs, then when the inheritance is open, a deduction or reduction (incorting) can be made. Grant itself is a form of agreement where the grantor hands over an object for the benefit of the grantor free of charge which is irrevocable and the handover is made when the grantor is still alive. Thus a grant cannot be canceled by the heirs without a strong reason. This research discusses the legal consequences of a grant deed that is sued for annulment by the child as the heir, which occurs in a case that has been decided by the judge in Judicial Review Decision Number 1159/Pk/Pdt/2023 where the judge decides to cancel the grant deed made by the parents during their lifetime because it violates legitieme portie. This research applies doctrinal research methods using a juridical-normative approach. This research uses secondary data obtained through library research in the form of primary, secondary, and tertiary legal materials. The results of the research show that. The results of this study cannot support the judge's decision where the reason for the cancellation due to the violated legitieme portie of the heirs is incorrect because if there is a violation of the legitieme portie, incorting can be done to fulfill the shortage of the share."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kluyskens, Albert
"Dit boek bevat een uitleg van het burgerlijk recht."
Antwerpen: Standaard-Boekhandel, 1955
K 343.053 5 KLU b III
Buku Klasik  Universitas Indonesia Library