Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hutagalung, Sihol P.
"ABSTRAK
Perhatian Pemerintah terhadap peran serta masyarakat ternyata sudah cukup besar. Ini tercermin dari Sistim Kesehatan Nasional (SKN) yang bertujuan: "Tercapainya kemampuan hidup Sehat bagi setiap penduduk, agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal."
Selanjutnya dalam SKN dikatakan bahwa :"Penyelenggaraan upaya kesehatan dilakukan secara menyeluruh, terpadu, merata dan dapat diterima serta terjangkau oleh masyarakat dengan peran aktif masyarakat?.
Sebagai salah satu respon peran serta dari masyarakat, ternyata terdapat peningkatan jumlah posyandu di 9 propinsi dari 52.700 pada tahun 1986 menjadi lebih dari 160.000 pada tahun 1991. Namun yang menjadi pertanyaan adalah: "Apakah semua masyarakat sudah menimbangkan anaknya setiap bulan di posyandu tersebut?"
Menurut I.B. Mantra bahwa derajat kesehatan masyarakat tidak akan meningkat secara berarti hanya dengan meningkatkan pelayanan medis saja (misalnya memperbanyak Rumah Sakit atau sarana pelayanan kesehatan saja), tetapi derajat kesehatan masyarakat ditentukan oleh masyarakat itu sendiri.
Sebagai Contoh : Ternyata D/S hasil penelitian Purnawan Junadi di Sumsel hanya 34%, Jabar = 69% dan Sulsel = 37% Di Sulawesi Tengah sendiri rata-rata DIS nya 52,08% (1992), sementara di Kotip Palu iebih rendah lagi yaitu = 32,22X.
Rendahnya D/S di Palu tersebut mendorong penulis mengadakan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi ibu-ibu menimbangkan anaknya di posyandu, se-Kotip Palu.
Dengan responder 400 orang yang dipilih secara acak dari 40 posyandu (20 kelurahan masing-masing kelurahan dipilih 2 posyandu), penelitian ini menghasilkan bahwa ternyata ada hubungan yang bermakna antara variabel-variabel bebas: Pengetahuan Ibu, Sikap Ibu, Kelengkapan Posyandu, Pelayanan posyandu, Pembinaan oleh Petugas Kesehatan, Partisipasi tokoh Masyarakat serta Pembinaan oleh Kader; dengan variabel terikat yaitu Perilaku menimbangkan anak di posyandu. "
1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shucksmith, Janet
London: Routledge, 1998
613.043 3 SHU h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
"Buku yang berjudul "Handbook of adolescent health risk behavior" ini membahas tentang perilaku remaja yang dapat mengganggu kesehatan mereka, seperti mengkonsumsi alkohol, pola makan, dan penggunaan obat-obat terlarang. "
New York: Plenum Press, 1996
R 613.043 HAN
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Kistiyah Aini Sri Prabasanti
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang perilaku kesehatan preventif remaja terkait HIV/AIDS. Tujuan dari penelitian ini untuk menggambarkan hubungan perilaku kesehatan preventif dengan attitudes terkait HIV/AIDS yang dimiliki remaja akhir di wilayah Depok dan hubungan perilaku kesehatan preventif dengan subjective norms terkait HIV/AIDS yang dimiliki remaja akhir di wilayah Depok.
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan tehnik penggumpulan data survei. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku kesehatan preventif remaja terkait HIV/AIDS tinggi. Mayoritas responden memiliki attitudes mengenai perilaku kesehatan preventif terkait HIV/AIDS tinggi dengan perilaku kesehatan preventif terkait HIV/AIDS yang tinggi; dan mayoritas responden memiliki subjective norms mengenai perilaku kesehatan preventif terkait HIV/AIDS rendah dengan perilaku kesehatan preventif terkait HIV/AIDS yang tinggi.

ABSTRACT
This thesis discusses about preventive health behavior of adolescent. The purpose of this research are to describe relation between preventive health behavior with attitudes about HIV/AIDS of late adolescent in Depok and to describe relation between preventive health behavior with subjective norms about HIV/AIDS of late adolescent in Depok.
This research uses quantitative method of data collection through survey. The result of research indicate that participant of this research has high preventive health behavior in HIV/AIDS. Almost all of participant of this research has high attitudes about preventive health behavior in HIV/AIDS with high preventive health behavior in HIV/AIDS, and almost all of participant of this research has low subjective norms about preventive health behavior in HIV/AIDS with high preventive health behavior in HIV/AIDS.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
San Fancisco: Jossey-Bass, 2009
613.043 3 ADO
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Salma Sundari
"Rendahnya tingkat literasi pangan dan gizi pada remaja dapat membentuk perilaku makan tidak sehat dan dapat berlangsung hingga dewasa, hal ini dapat memengaruhi kesehatan mereka. Literasi pangan dan gizi dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti jenis kelamin, tingkat pendidikan ayah dan ibu, pendapatan keluarga, kebiasaan makan keluarga, pengaruh teman sebaya, penggunaan media, dan peran guru. Untuk melihat faktor dominan tingkat literasi pangan dan gizi berdasarkan faktor tersebut, dilakukan penelitian studi cross-sectional pada bulan Maret hingga Mei 2021. Penelitian melibatkan 135 siswa/i SMA Negeri 3 Depok, dipilih menggunakan metode quota sampling serta pengisian kuesioner secara daring. Hasil penelitian menemukan sebagian besar responden memiliki tingkat literasi pangan dan gizi yang baik yaitu sebesar 71,1%. Hasil bivariat dan multivariat menunjukkan terdapat perbedaan proporsi yang bermakna pada tingkat literasi pangan dan gizi remaja hanya berdasarkan penggunaan media (p-value=0,000) serta penggunaan media merupakan faktor paling dominan yang berhubungan dengan tingkat literasi pangan dan gizi remaja (OR = 6,5). Untuk itu, faktor penggunaan media pada remaja dapat dipertimbangkan dalam upaya meningkatkan literasi pangan dan gizi para siswa/i.

The low level of food and nutrition literacy in adolescents tends to develop unhealthy eating behaviors which last until adulthood, this can affect their health. Food and nutrition literacy can be influenced by various factors, such as gender, education level of father and mother, family income, family eating habits, peer influence, media use, and the role of teacher. To see the dominant factor in the level of food and nutrition literacy based on these factors, a cross-sectional study was conducted from March to May 2021. The study involved 135 students of SMA Negeri 3 Depok, selected using the quota sampling method and filling out online questionnaires. The results of the study found that most of the respondents had a good level of food and nutrition literacy, which was 71.1%. The bivariate and multivariate results showed that there was a significant difference in the proportion of food literacy and adolescent nutrition based only on media use (p-value = 0.000) and media use was the most dominant factor associated with adolescent food and nutrition literacylevels (OR = 6.5). For this reason, the factor of media use in adolescents can be considered in an effort to improve food and nutrition literacy for students.

"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia;, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ivana Ester Sinta Uli
"Latar belakang. Keputihan adalah masalah kesehatan reproduksi yang umum terjadi pada remaja putri, yang dapat memengaruhi kualitas hidup dan aktivitas belajar mereka. Pengetahuan dan perilaku perawatan organ genitalia wanita berperan penting dalam mencegah keputihan abnormal. Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan pengetahuan dan perilaku perawatan organ genitalia terhadap kejadian keputihan pada siswi remaja putri di Madrasah Tsanawiyah Al Falah Cibinong, Jawa Barat. Metode. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dengan pengumpulan data melalui kuesioner yang diisi oleh 375 siswi. Analisis statistik dilakukan untuk mengidentifikasi hubungan antara pengetahuan, perilaku perawatan, dan kejadian keputihan. Hasil. Prevalensi kejadian keputihan pada remaja putri di Madrasah Tsanawiyah Al Falah Cibinong adalah 69,87%, dengan 76% diantaranya tidak terpapar informasi terkait merawat organ reproduksi, 86,49% memiliki pengetahuan kurang terkait keputihan, serta 80,33% memiliki perilaku genital hygiene kurang. Rata-rata usia responden adalah 13 tahun, dengan usia terendah adalah 10 tahun (1,33%) dan usia tertinggi yaitu 16 tahun (3,73%). Mayoritas responden remaja putri pertama kali mengalami menstruasi pada usia 11 tahun. Sumber informasi utama responden berasal dari orangtua (17,33%), dan guru (16%). Remaja putri dengan pengetahuan keputihan yang kurang memiliki risiko 1,38 lebih besar (PR= 1,38; 95% CI 1,0599-1,7966) untuk mengalami kejadian keputihan dibandingkan dengan remaja putri dengan pengetahuan cukup dan baik. Pengetahuan merupakan variabel yang paling berhubungan terhadap kejadian keputihan di Madrasah Tsanawiyah Al Falah Cibinong, Jawa Barat. Kesimpulan. Pengetahuan yang baik dan perilaku perawatan organ genitalia yang benar dapat mengurangi kejadian keputihan abnormal pada remaja putri. Oleh karena itu, pendidikan kesehatan reproduksi perlu ditingkatkan di kalangan remaja.
Background. Leucorrhea is a common reproductive health issue among adolescent girls that can affect their quality of life and learning activities. Knowledge and behavior regarding the care of female genitalia play a crucial role in preventing abnormal leucorrhea. Objective. This study aims to analyze the correlation between knowledge and behavior regarding genital care on the incidence of leucorrhea among female adolescents at Madrasah Tsanawiyah Al Falah Cibinong, West Java. Methods. This research employs a cross-sectional design, collecting data through questionnaires filled out by 375students. Statistical analysis was conducted to identify the relationship between knowledge, care behaviors, and the occurrence of leucorrhea. Results. The prevalence of vaginal discharge in adolescent girls at Madrasah Tsanawiyah Al Falah Cibinong was 69.87%, with 76% of them not exposed to information related to caring for reproductive organs, 86.49% had poor knowledge about vaginal discharge, and 80.33% had poor genital hygiene behavior. The average age of respondents was 13 years, with the lowest age being 10 years (1.33%) and the highest age being 16 years (3.73%). The majority of adolescent girls experienced their first menstruation at the age of 11. The main source of information for respondents came from parents (17.33%), and teachers (16%). Adolescent girls with poor knowledge of vaginal discharge had a 1.38 greater risk (PR= 1.38; 95% CI 1.0599-1.7966) of experiencing vaginal discharge compared to adolescent girls with sufficient and good knowledge. Knowledge is the variable most related to the incidence of vaginal discharge in Madrasah Tsanawiyah Al Falah Cibinong, West Java. Conclusion. Good knowledge and proper care behaviors regarding genitalia can reduce the incidence of abnormal leucorrhea in adolescent girls. Therefore, reproductive health education needs to be enhanced among adolescents."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andrean Wangsa
"Masa remaja adalah masa kritis untuk pertumbuhan, dan nutrisi yang tepat sangat penting untuk perkembangan yang memadai. Faktor-faktor seperti meningkatnya paparan media, tekanan terhadap citra tubuh, dan pengaruh budaya menempatkan remaja perempuan pada risiko lebih tinggi untuk mengembangkan sikap makan yang tidak sehat, yang berpotensi menyebabkan gangguan makan. Studi mixed-method clustered randomized control (cRCT) ini berfokus pada dampak program Nutrition Goes to School (NGTS) terhadap sikap makan remaja putri di Jakarta. Program NGTS, sebuah pendekatan lingkungan yang melibatkan guru, staf kantin, tukang kebun sekolah, dan siswa, berupaya untuk mendorong perubahan perilaku dan meningkatkan pengetahuan, sikap, dan praktik gizi pada remaja. Pengukuran dasar pada bulan Januari 2024 mengukur informasi sosiodemografi, pengetahuan gizi, dan Indeks Masa Tubuh (IMT), serta Eating Attitudes Test (EAT-26) untuk mengkategorikan responden yang berisiko tinggi dan rendah mengalami gangguan makan di sepuluh sekolah di Jakarta berdasarkan wilayah. Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) dan Wawancara Mendalam (IDI) dilakukan melalui WhatsApp untuk melakukan triangulasi skor awal EAT-26 untuk mengidentifikasi dan membandingkan faktor pendorong sikap makan yang berisiko tinggi dan rendah. Intervensi NGTS diberikan secara bertahap sekitar akhir bulan Februari 2024, dan pengukuran akhir (n= 278) dilakukan pada bulan Mei 2024 untuk membandingkan perbedaan di dalam dan antar kelompok. Data kualitatif dilaporkan berdasarkan kerangka biopsikososial. Jumlah sampel sebaran kelompok kontrol dan intervensi sebanding kecuali wilayah di Jakarta, usia, dan keaktifan ekstrakurikuler. Kedua kelompok memiliki pengetahuan dasar yang sama (0,0-16,0) dan skor EAT-26 (0,0-75,0); FGD menemukan tema-tema yang berkaitan dengan faktor individu, keluarga, dan sosial dimana terdapat persamaan dalam praktik namun terdapat perbedaan dalam sikap. Data akhir mengumpulkan data dari tiga sekolah intervensi dan empat sekolah kontrol. Perbandingan antara data pengukuran awal dan akhir menunjukkan peningkatan signifikan pada skor EAT-26 (0,0-51,0) dan skor pengetahuan NGTS (2,0-18,0) dibandingkan dengan pengukuran awal, namun tidak ada perbedaan signifikan yang ditemukan antara kategori EAT-26 risiko tinggi dan rendah. Data kualitatif mengeksplorasi faktor individu, keluarga, dan sosial di balik sikap makan mereka. Ada banyak praktik yang dilakukan bersama, antara lain melewatkan makan dan rasa bersalah karena makanan. Namun, sikapnya berbeda-beda, dimana anak perempuan yang berisiko tinggi berfokus pada kalori, dikotomi makanan, dan citra tubuh, sedangkan anak perempuan yang berisiko rendah berfokus pada tanda-tanda lapar, jadwal, dan preferensi mereka. Program NGTS memberikan dampak terhadap peningkatan sikap makan pada kelompok intervensi remaja putri di Jakarta, dan terjadi peningkatan yang lebih baik pada kelompok intervensi dibandingkan kelompok kontrol.

Adolescence is a critical period for growth, and proper nutrition is essential for adequate development. Factors such as increased media exposure, body image pressures, and cultural influences put adolescent females at a higher risk of developing unhealthy eating attitudes, potentially leading to eating disorders. This mixed-method clustered randomized control (cRCT) study focuses on the impact of the Nutrition Goes to School (NGTS) program on the eating attitudes of adolescent girls in Jakarta. The NGTS program, an environmental approach involving teachers, canteen staff, school gardeners, and students, seeks to promote social change and improve nutrition knowledge, attitudes, and practices in teenagers. Baseline measurements in January 2024 quantified sociodemographic information, nutrition knowledge, and BMI, along with baseline Eating Attitudes Test (EAT-26) to categorize the respondents to high- and low-risks of eating disorders in ten schools in Jakarta based on region. Focused Group Discussions (FGD) and In-Depth Interviews (IDI) via WhatsApp followed to triangulate the baseline EAT-26 scores to identify and compare drivers of high-risk and low-risk eating attitudes. NGTS intervention was gradually provided around the end of February 2024, and end-line measurements (n= 278) were conducted in May 2024 to compare within and between-group differences. Qualitative data were reported based on the biopsychosocial framework. The control and intervention group distribution sample numbers were comparable except for regions in Jakarta, age, and extracurricular activeness. Both groups had similar baseline knowledge (0.0-16.0) and EAT-26 scores (0.0-75.0); FGD found themes relating to individual, familial, and social factors where there were similarities in practice but differences in attitudes. End-line data collected data from three intervention and four control schools. Comparisons between baseline and end-line revealed significant improvements in EAT-26 scores (0.0-51.0) and NGTS knowledge scores (2.0-18.0) compared to the baseline, but no significant differences were found between the high and low-risk EAT-26 categories. Qualitative data explored individual, familial, and social factors behind their eating attitudes. There were many shared practices, including meal skipping and food guilt, among others. However, attitudes differed, with high-risk girls focusing on calories, food dichotomy, and body image, whereas low-risk girls focused on their hunger cues, schedules, and preferences. The NGTS program had an impact on improving the eating attitudes in the intervention group of adolescent girls in Jakarta, and there was a better improvement in the intervention group than in the control group."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fildzah Khairuna Huwaida
"ABSTRAK
Konsumsi sayur merupakan salah satu bagian penting dalam mewujudkan gizi seimbang, untuk itu dianjurkan mengonsumsi sayur sebanyak 3-4 porsi/hari. Namun, anjuran tersebut belum terealisasi ditandai dengan tingginya data kurang konsumsi sayur dan buah dalam Riskesdas 2007 93,6 dan 2013 93,5 , khususnya di DKI Jakarta sebesar 94,5 . Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbedaan konsumsi sayur menurut faktor individu dan faktor lingkungan serta sumbangannya terhadap kecukupan serat dan zat gizi mikro pada remaja di DKI Jakarta. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional, dilakukan pada bulan April-Mei 2017 di SLTA X Jakarta Timur dengan 146 murid. Sampel didapatkan dengan metode purposive sampling. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner yang diisi oleh responden dan wawancara 2x24-hour food recall. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi sayur murid hanya sebesar 25 g/hari 1,25 porsi/hari . Konsumsi sayur tersebut menyumbang 0,95 terhadap kecukupan serat, 5,08 terhadap kecukupan vitamin A, 3,86 terhadap kecukupan vitamin C, dan 1,32 terhadap kecukupan zat besi. Analisis bivariat menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna pada konsumsi sayur murid menurut sikap nilai-p=0,001 , preferensi nilai-p=0,007 , keyakinan diri nilai-p=0,019 , pengaruh teman nilai-p=0,024 , dan pengaruh orang tua 0,005 . Berdasarkan hasil tersebut diharapkan sekolah dapat membuat program kesehatan, khususnya edukasi gizi untuk menambah pengetahuan murid mengenai pentingnya konsumsi sayur setiap hari sesuai anjuran Pedoman Gizi Seimbang.

ABSTRAK
Vegetables consumption is one important part in realizing balanced nutrition, so it recommended to consume vegetables as much as 3 4 servings per day. However, national scale showed that vegetables and fruits consumption was less 93.6 in 2007 and 93.5 in 2013 , especially in DKI Jakarta at 94.5 . This study aims to know the differences of vegetables consumption according to individual factors and environmental factors and their contribution to fiber and micronutrients in adolescents in DKI Jakarta. This study used cross sectional design, conducted in April May 2017 at SLTA X in East Jakarta with 146 students. The sample was obtained by purposive sampling method. Data were collected by using questionnaires filled by respondents and 2x24 hour food recall interview. The results showed that the vegetables consumption students 25 gram per day 1.25 servings per day . Vegetables consumption contributes 0.95 to fiber adequacy, 5.08 to vitamin A adequacy, 3.86 to vitamin C adequacy, and 1.32 to iron adequacy. The bivariate analysis showed that there were significant differences of vegetables consumption according to the attitude, preference, self efficacy, peer influence, and parenal influence p value 0.001, 0.007, 0.019, 0.024, and 0.005 . Based on that, it is expected that schools can create health programs, especially nutrition education to increase students knowledge about the importance of daily consumption of vegetables as recommended by the Balanced Nutrition Guide."
2017
S66862
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prajna Priyanka
"Penelitian ini membahas bagaimana modal sosial berperan dalam mengurangi konsumsi SSB berlebih pada generasi z. Studi-studi sosial telah menyoroti bahwa konsumsi SSB dapat dikendalikan tergantung dari peran keluarga, keterpaparan kampanye di media, dan pajak yang diberlakukan pada suatu negara. Peneliti setuju dengan gagasan tersebut, namun studi-studi ini cenderung melihat masing-masing agen sosial itu secara independen satu sama lain, padahal interaksi dan cakupan skala dari agen sosial itu turut menentukan. Peneliti berpendapat bahwa modal sosial berdampak pada internalisasi norma kesehatan positif dalam memberikan dukungan untuk mengurangi konsumsi SSB. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif berupa wawancara mendalam. Temuan mengindikasikan bahwa modal sosial yang dimiliki oleh generasi z untuk mengurangi konsumsi SSB terbentuk dari berbagai jaringan sosial. Ibu memiliki peran utama dalam mendorong perubahan perilaku konsumsi SSB dengan memberikan edukasi serta mengontrol asupan di rumah. Internet menjadi sumber informasi tambahan dalam membangun kesadaran akan dampak negatif dari konsumsi SSB, namun mereka hanya percaya pada sumber informasi yang dianggap kredibel, yaitu informasi disampaikan oleh ahli kesehatan. Peran pemerintah belum terlihat secara signifikan karena minimnya pengetahuan terhadap program pemerintah dalam mengurangi asupan gula. Penting bagi pemerintah untuk segera menerapkan kebijakan yang memiliki tekanan untuk mendorong masyarakat mengurangi konsumsi SSB, seperti penerapan pajak dan sistem pelabelan Nutri-Grade.

This study explores how social capital plays a role in reducing excessive consumption of Sugar-Sweetened Beverages (SSB) among generation z. Social studies have highlighted that SSB consumption can be influenced by family roles, exposure to media campaigns, and the implementation of sugar-related taxes in a country. The researcher agrees with these perspectives; however, previous studies tend to view each social agent independently, without considering the interaction and scale of influence among them. This study argues that social capital contributes to the internalization of positive health norms to reduce their SSB intake. This research adopts a qualitative method through in-depth interviews. The findings indicate that the social capital possessed by generation z in reducing SSB consumption is formed through various social networks. Mothers play a significant role in driving behavioral change by providing education and controlling household sugar intake. The internet is trusted only when information comes from credible health professionals. Government influence remains weak, with limited recognition of health campaigns. It’s crucial for the government to implement policies that provide structural pressure to encourage the reduction of SSB intake, such as taxation and the Nutri-Grade labelling system."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library