Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
I Kade Sanjaya Duaja
"Sebelum terbentuknya majelis umat Hindu, di Bali sarat dengan pembaharuan. Pembaharuan dilaksanakan diberbagai aspek baik ekonomi, politik, sosial maupun budaya. Organisasi-organisasi kecil baik yang berbau politik, agama maupun sosial pada bermunculan. Lebih - lebih pengakuan terhadap Agama Hindu terlambat datangnya. Agama Hindu baru diakui dan didudukkan sejajar dengan agama - agama lain di kementrian agama Republik Indonesia pada tahun 1958.
Sebelumnya Agama Hindu Bali dinyatakan sebagai aliran kepercayaan. Pengakuan agama Hindu Bali oleh pemerintah memerlukan waktu yang cukup panjang. Para tokoh di Bali dengan segala upaya ditempuh untuk pengakuan tersebut. Beberapa kali pertemuan dilakukan untuk menyatukan pikiran dalam rangka mengajukan tuntutan kepada pemerintah.
Bali adalah salah satu propinsi yang ada di Indonesia yang berdiri pada tahun 1958. Di pulau inilah berdiri sebuah majelis agama Hindu yang bernama Parisada Dharma Hindu Bali. Parisada ini berdiri adalah karena hilangnya sistem kerajaan di Bali yang digantikan oleh para bupati pada tahun 1957, pada setiap kabupaten. Sebelum adanya bupati urusan agama serta pemerintahan adalah tanggung jawab raja. Urusan pemerintahan sudah mendapatkan porsi yang digantikan oleh para bupati tetapi untuk urusan agama yaitu agama Hindu tidak mendapat perhatian. Dengan tidak adanya penanggungjawab secara pasti maka umat Hindu di Bali melaksanakan kegiatan-kegiatan keagamaannya sesuai dengan tradisinya masing - masing. Ketidakteraturan pelaksanaan kegiatan keagamaan di Bali juga mendorong untuk membentuk suatu lembaga yang mampu memberikan pembinaan, pengayoman dan pendidikan kepada umat Hindu di Bali. Dorongan dari generasi muda yang sudah mengenyam pendidikan baik di luar maupun di Bali sendiri untuk membentuk suatu lembaga, yang sangat diperlukan dalam rangka pembinaan, pendidikan dan pengayoman umat.
Sosok putra Bali seperti Ida Bagus Mantra (almarhum), Tjokorde Rai Sudartha dan Ida Bagus Oka Puniatmaja, yang mempunyai pengalaman sekolah di India berusaha untuk menata kembali kehidupan keagamaan di Bali dengan membentuk satu majelis yang bernama Parisada. Mengenai Parisada ini memang sudah diatur didalam Kitab Suci Agama Hindu Manawa Dharma Sastra. Parisada tercetus pada tanggal 23 Februari 1959 di Fakultas Sastra Universitas Airlangga Denpasar. Dua produk Parisada yaitu Piagam Parisada yang lahir di Fakultas Sastra tanggal 23 Februai 1959 dan Piagam Campuhan lahir pada tanggal 23 Nopember 1961 di Pura Gunung Lebah Campuhan Ubud Gianyar.
Parisada dalam perkembangannya sebagai majelis umat telah berhasil membuat lambang Parisada yang sangat sarat dengan makna yaitu menggambarkan kepengurusan Parisada baik Pesamuhan Sulinggih, Pesamuhan Welaka dan Pengurus harian. Semua tersirat dalam Lambang yang dibuat oleh Parisada itu. Pada tanggal 3 Oktober 1963 Parisada juga berhasil mendirikan Institut Hindu Dharma yaitu tempat mempelajari Dharma. Parisada ingin membuat kaderisasi sebagai pembina umat karena pembinaan sangat kurang kepada umat. Salah satu pola anutan bagi umat juga dibangun Parisada walaupun dalam renatang waktu yang cukup lama yaitu Pura Jagatnatha. Pura ini didirikan dari tahun 1964 dan selesai pada tahun 1975. Pura ini berdiri megah ditengah - tengah kota Denpasar. Pura ini dibangun selain untuk model Pura untuk umat di luar Bali, juga sebagai sarana untuk mempersatukan seluruh umat Hindu yang ada di kota Denpasar.
Dengan berkembangnya umat Hindu di berbagai daerah , berkembang pula nama majelis ini. Parisada Dharma Hindu Bali berkembang menjadi Parisada Hindu Dharma dan selanjutnya berkembang menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia. Perubahan nama ini disebabkan karena umat Hindu tidak hanya ada di Bali dan tidak di peluk oleh suku Bali saja tetapi sudah tersebar secara sporadis di seluruh wilayah Indonesia. Begitupula dengan sekretariat dari majelis ini berpindah - pindah yang dimulai dari Fakultas Sastra Universitas Airlangga, kemudian pindah di areal Pura Jagatnatha dengan membuat bedeng dan selanjutnya di jalan Ratna Tatasan Denpasar Bali.
Kepengurusan demi kepengurusan telah dilewati oleh majelis ini. Orang - orang yang duduk dalam kepengurusan Parisada sama sekali tidak mendapat gaji. Ini dilakukan semata - mata sebagai wujud bhakti yang dilandasi dengan ngayah(tUlus iklas). Sejak berdiri Parisada ini dipimpin oleh Ida Pedanda Gde Wayan Sideman dari tahun 1959 - 1968. Kemudian dipimpin oleh Ida Pedanda Putra Kemenuh dari tahun 1968 - 1980. Ida Pedanda Gde Made Pidada Keniten dari tahun 1980 - 1986. Tahun 1986 - 1991 dipimpin oleh Ida Pedanda Ngurah Bajing dan selanjutnya dipimpin oleh Ida Pedanda Putra Telaga dari tahun 1991 - 1996. Semua sosok pemimpin majelis yang disebut dengan ketua umum adalah sosok yang berkarisma. Umat Hindu sangat yakin dengan pemimpinnya Semua ahli dalam Weda dan sastra -- sastra agama yang lain. Selain mampu melaksanakan pembinaan kepada urnat Hindu secara umum beliau juga sangat diyakini mampu mengadakan hubungan dengan Tuhan, dalam rangka mengemban serta membina umat Hindu.
Pembinaan yang dilakukan oleh majelis ini adalah dengan mendatangi umat ke daerah - daerah untuk diberikan penyuluhan agama. Buku buku agama sangat minim dikeluarkan dari majelis ini untuk disebarkan kepada umat karena masalah dana. Parisada tidak mempunyai sumber pendapatan yang tetap. Salah satu buku yang diterbitkan Parisada untuk pertama kalinya adalah "Dharma Prawerili Sastra". Pembinaan ini selalu dilaksanakan bersama - sama dengan Departemen Agama cq. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha baik di pusat maupun di daerah. Begitu pula dalam mengalasi permasalahan yang menyangkut keumatan di daerah - daerah Parisada selalu berjalan bersama-sama.
Dengan melihat kondisi umat di lapangan, Parisada juga dapat mengeluarkan Bhisama ( fatwa } alas usul dari Pesamuhan Walaka. Salah satu Bhisama Parisada yang pernah dikeluarkan adalah "Kesucian Pura". Bhisama ini dibuat karena mengingat Bali sebagai daerah pariwisata, dan Pura adalah sebagai tempat yang sangat disucikan oleh umat Hindu. Ini supaya sama - sama dipikirkan baik dari kalangan wisatawan maupun dari kalangan umat sendiri. Disinilah peran dari majelis ini untuk selalu tanggap dengan kondisi dilapangan sebagai pengayom umat."
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T11586
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karyana Sindunegara
1994
D403
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Afriono
"Kepurbakalaan Situs Gunung Argopuro memiliki peninggalan bangunan berundak. Penelitian komponen-komponen bangunan berundak pada kedua bangunan belum pernah dilakukan secara detail. Oleh karena itu. dalam skripsi ini dicoba mendata ulang, mengidentifikasi, dan mengklasifikasikan setiap komponen yang ada. Penelitian ini menunjukan bahwa Situs Gunung Argopuro adalah sebuah bangunan keagamaan Hindu, yang dijadikan karsyan. Dilihat dari komponen fitur, artefak, bentuk bahan, orientasi dan pondasi, bangunan berundak Situs Gunung Argopuro dapat dikatakan sama dengan bangunan berundak yang ada pada Situs Gunung Lawu dan Situs Gunung Wilis.

Argopuro Archaeological site have the building terraces relics. Meanwhile, the site still absent from the comprehension research to explain detail stories about what happened in the past. This thesis is initial effort to re-encoding and identified every component remains. This thesis explains that Argopuro site is the Hinduism heritance which related to the rituals and become Karsyan. From the architectural component, ornaments, materials, orientation and foundation, building terraces Argopuro Mount Site can be said similar with the building terraces of Gunung Lawu and Gunung Wilis sites."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2011
S141
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Last, Jef
Djakarta: Timun Mas, 1955
899.22 LAS d (1);B 899.22 l 20
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
"Dang Hyang Nirartha adalah Tokoh Sejarah yang menjadi Tokoh legendaris masyarakat Bali, baik sebagai Ulama Hindu yang memperkuat akar-akar agama dan kebudayaan Hindu, baik sebagai budayawan dengan karya sastra dan filsafatnya serta arsitektur puranya, maupun sebagai tokoh yang berhasil mengadakan pembakuan stratifikasi sosial masyarakat Bali. Dyang Hyang Nirartha adalah cicit Mpu Bharadah (generasi ke empat Mpu Bharadah). Mpu Bharadah adalah seorang pendeta utama Kerajaan Kadiri dalam masa pemerintahan Erlangga. Pendeta ini ikut menentukan pembagian Kerajaan Kadiri menjadi dua, yaitu Daha dan Jenggala. Nirartha lahir dari perkawinan antara Dang Hyang Smaranata dengan Dewi Diah Sumawati. Keluarga Dang Hyang Smaranata beristana di di Daha (Jawa Timur). Beliau dahulunya migrasi ke Bali sekitar tahun 1546-1550 M. Pada masa itu Bali sedang berada pada puncak kebesarannya, di bawah pemerintahan Raja Dalem Waturenggong. Dyang Hyang Nirartha, selain sebagai seorang pendeta, ternyata juga memiliki berbagai keahlian lain. Sebagai seorang Ulama, beliau telah berhasil mengadakan pembaharuan untuk memperkuat akar-akar budaya dan ajaran agama Hindu di Bali, dengan menyebarkan Sekte Siwa. Sebagai seorang sastrawan, Dyang Hyang Nirartha telah memperkaya khasanah kesusastraan Bali, dengan beberapa karangannya, baik dalam bentuk sastra, filsafat, agama dan sejarah. Keahlian dan keberhasilan Dang Hyang Nirartha dalam berbagai bidang itu, telah menempatkannya pada status yang tertinggi, sebagai cikal-bakal Wangsa Brahmana Ciwa di Bali."
JNANA 18:2 (2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
I Gusti Made Aryasuta
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Depdikbud, 1992
899.221 IGU g
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Pringle, Robert, 1936-
Crows Nest: Allen & Unwin, 2004
959.86 PRI s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
"Upacara Dewa Mesraman adalah salah satu bentuk upacara yang dilakukan oleh masyarakat Bali, khususnya yang tinggal di desa Paksabali, Kabupaten Klungkung, Bali. Penelitian upacara Dewa Mesraman menggunakan metode kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa upacara Dewa Mesraman, tergolong upacara dewa yadnya, serta pelaksanaannya dilakukan pada hari caniscara (sabtu), wuku Kuningan (berdasarkan kalender Bali). Pelaksanaan upacara Dewa Mesraman, perlu diadakan persiapan sebelumnya, di antaranya : (1) Persiapan mengenai sarana dan prasarana upacara. dan (2) Membersihkan halaman pura, dan menghias pelinggih (bangunan) pura. Selain itu, dalam pelaksanaan upacara Dewa Mesraman, sangat membutuhkan kerjasama dari semua pihak yang ikut terlibat. Upacara Dewa Mesraman pelaksanaannya berdasarkan atas tahapannya, yaitu : 1). upacara mesucian. 2) Mesolah dan mesraman. 3) Melakukan upacara piodalan. Ketiga rangkaian upacara Dewa Mesraman tersebut, dilaksanakan secara berurutan, dan penuh semangat."
JNANA 18:2 (2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Pande Nyoman Djero Pramana
Surakarta: Citra Etnika, 2004
294.5 PAN t
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library