Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 51 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lichten, Edward M
Birmingham: Edward M.Lichten, 2007
571.74 LIC t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Baziad
Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2021
612.45 ALI h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Reiss, Uzzi
"An easy-to-follow anti-aging programme that draws on the principles of natural hormone replacement to promote a healthier, younger-looking skin, weight control, muscle tone, enhanced energy and sexual function, better sleep habits, balanced moods, better memory, and more. It provides women advice on choosing natural hormone replacements based on individual needs, and suggests how they can improve memory, balance moods, enhance sexuality, and increase energy."
New York: Pocket Books, 2001
612.405 REI n
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Sinta Deviyanti
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian : Dalam rangka mencari bahan kontrasepsi pria yang ideal, penyuntikan TE (Testosterone Enanthate) dan DMPA (Depot Medroxy Progesterone Acetate) sebagai bahan kontrasepsi hormonal pria menunjukkan hasil penekanan spermatogenesis yang berbeda antara pria bangsa Asia (azoospermia 90-100%) dan Kaukasia (azoospermia < 70%). Diduga ada dua faktor yang mempengaruhi perbedaan hasil tersebut yaitu faktor genetik dan konsumsi makanan/ diet berbeda yang mempengaruhi kadar SHBG. Sebagai glikoprotein plasma homodimerik, SHBG memiliki kemampuan spesifik mengikat hormon-hormon steroid seks (dehidrotestosteon, testosteron dan estradiol) dan membawanya menuju ke jaringan target. Kadar SHBG normal dalam plasma adalah 10-73 nmol/L. Bila dihubungkan dengan proses spermatogenesis, kadar SHBG secara tidak langsung mungkin dapat mempengaruhi spermatogenesis dengan merubah kadar testosteron babas yang bekerja menimbulkan efek umpan balik negatif melalui poros hipotalamus-hipofisis-testis. SHBG manusia dikode oleh suatu gen autosom tunggal yang memiliki dua alel kodominan yaitu alel normal dan alei varian. Alei SHBG varian muncul akibat mutasi titik pada ekson 8 dari gen pengkode SHBG yang terletak di lengan pendek 12-13 (p12-13) dari kromosom 17. Mutasi titik tersebut menyebabkan substitusi basa tunggal pada kodon 327 dari GAC-)AAC yang mengkode perubahan asam amino aspartat menjadi asparagin (Asp327Asn) dan menyebabkan penambahan rantai karbohidrat atau N-linked glikosilasi pada posisi ini. Glikosilasi berpengaruh terhadap waktu paruh dan penambahan berat molekul SHBG varian. Penambahan waktu paruh selanjutnya dianggap dapat mempengaruhi kadar SHBG. Penelitian sebelumnya terhadap SHBG manusia produk cDNA (complementary DNA) yang diekspresikan pada jamur Pichia pastoris menyebutkan bahwa SHBG yang mengalami deglikosilasi enzimatik menghasilkan kadar SHBG yang lebih rendah dibandingkan SHBG normal. Apakah SHBG varian seharusnya menghasilkan kadar SHBG yang Iebih besar, masih perlu diteliti. Melalui teknik SDS PAGE (Sodium Dodecyl Sulfate Gel Electrophoresis), deteksi SHBG normal dan SHBG varian dalam serum manusia menampakkan pola fenotip SHBG dua pita dan tiga pita dengan berat molekul berbeda yaitu 49,52 dan 56 kDa. Untuk mengetahui efektifitas penekanan spermatogenesis oleh bahan kontrasepsi hormonal TE dan D1VIPA, maka perlu diteliti kadar SHBG serta faktor yang dianggap turut mempengaruhi kadar SHBG tersebut (dalam hal ini adalah faktor genetik atau variasi fenotip SHBG).Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mendeteksi variasi fenotip SHBG dan melihat kemungkinan pengaruhnya terhadap kadar SHBG pada populasi pria Indonesia dewasa sehat. Deteksi variasi fenotip SHBG dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik SDS PAGE dan Western blot. Sedangkan pengukuran kadar SHBG dilakukan dengan teknik IRI/ IA (Immunoradiometric assay). Data yang diperoleh kemudian dianalisa secara statistik menggunakan program komputer SPSS versi 10.
Hasil dan Kesimpulan : Dari total sampel serum pria Indonesia dewasa sehat yang dideteksi melalui SDS PAGE dan Western blot, tampak gambaran ekspresi gen SHBG yang terdiri dari dua jenis pola fenotip SHBG dengan berat molekul yang berbeda. Pola fenotip SHBG dua pita (SHBG normal) dijumpai sebanyak 61% (11 sampel serum), terdiri dari sub unit heavy dengan perkiraan berat molekul 51 kDa dan sub unit light dengan perkiraan berat molekul 46 kDa. Sedangkan pola fenotip SHBG tiga pita (SHBG varian) dijumpai sebanyak 39% (7 sampel serum), memiliki tambahan sub unit ketiga yaitu sub unit super heavy dengan berat molekul 56 kDa. Hasil perhitungan rata-rata kadar SHBG normal dan SHBG varian yang diperoleh dalam penelitian ini masing-masing adalah 42,24 nmolll dan 39,44 nmolll. Analisa data melalui perhitungan statistik menggunakan program komputer SPSS versi 10 menyimpulkan bahwa fenotip SHBG tiga pita (SHBG varian) temyata menghasilkan kadar SHBG yang tidak berbeda bermakna dibandingkan dengan fenotip SHBG dua pita (SHBG normal) (pada tingkat signifikan 5%, 1 = 0,343 dengan P= 0,736, 2-tail test)."
Lengkap +
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T1407
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ibrata, Bernard
"Sex hormone binding globulin (SHBG) adalah glikoprotein plasma yang mengangkut hormon seks steroid dan meregulasi aksesnya pada sel sasaran. Konsentrasi pada plasma manusia 10-73 nmol/l. Produk variasi alel SHBG telah diidentifikasi pada plasma manusia. Umumnya frekuensi alel normal dan alel varian adalah 0.9 dan 0.1, tetapi distribusinya sangat bervariasi di antara populasi dari berbagai negara. SHBG yang dikode oleh alel varian ketika dianalisis dengan elektroforesis gel poliakriiamid terpisah menjadi tiga pita (triple banded) dengan berat molekuI (BM) yang berbeda (56,52,49 kDa), sedangkan SHBG normal terpisah hanya dua pita (double handed) dengan BM 52 kDa dan 49 kDa.
Selanjutnya dalam tesis ini masing-masing subunit tersebut disebut SHBG varian dan SHBG normal. Sui L.M.. dkk. meneliti konsentrasi SHBG normal dan SHBG yang mengalami deglikosilasi dengan transfornasi jamur Pichia pastoris. Pada SHBG yang mengalami deglikosilasi konsentrasi SHBG yang didapat lebih rendah dibandingkan dengan SHBG normal. Apakah pada SHBG varian yang mengalami glikosilasi atau penambahan oligosakarida konsentrasi SHBG yang dihasilkan seharusnya lebih besar dari pada SHBG normal, masih perlu diteliti lebih lanjut.
Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk memeriksa variasi subunit SHBG pada pria dewasa Kaukasia sehat dan implikasinya terhadap konsentrasi SHBG. Variasi subunit SHBG diperiksa dengan cara elektroforesis dan Western blot, sedangkan konsentrasi SHBG dianalisis dengan immunoradio metric assay (IRMA).
Hasil dan Kesimpulan: Dari keseluruhan sampel, tujuh puluh tujuh persen (20 orang) mempunyai jumlah dua pita (SHBG normal), rata-rata konsentrasi SHBG: 31,82 nmol/l. Sedangkan 23 % (6 orang) mempunyai jumlah tiga pita (SHBG varian), dengan rata-rata konsentrasi SHBG: 23,83 nmol/l. Secara statistik tidak terdapat perbedaan bermakna antara konsentrasi SHBG varian dengan SHBG normal."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
T3160
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Effi Setiawati
"Dehidroepiandrosteron (DHEA) dan konjugat sulfatnya (DHEAS) adalah hormon steroid adrenal yang paling banyak diproduksi di dalam tubuh manusia. DHEA merupakan salah satu prekursor utama pads biosintesis hormon steroid endogen. Zat ini walaupun diklasifikasikan sebagai androgenik lemah dapat membentuk androgenik kuat sesuai jalur metabolismenya melalui androstenedion menjadi testosteron dan 5a-dihidrotestosteron (5a-DHT). Oleh sebab itu, maka mulai Januari 1997 penggunaan DHEA eksogen ini dimasukkan ke dalam daftar anabolik steroid androgenik sebagai doping bagi atlet oleh International Olympic Committee (IOC). Di Indonesia steroid ini dapat dibeli secara babas tanpa resep dokter sebagai suplemen atau health food. Untuk mengetahui pengaruh pemberian DHEA eksogen terhadap beberapa hormon steroid androgenik dan untuk melihat apakah terdapat suatu perubahan yang signifikan dan konsisten pada rasio metabolit setelah pemberian DHEA eksogen, dilakukan penelitian terhadap pengaruh pemberian DHEA terhadap beberapa metabolit hormon steroid androgenik dalam urine yaitu konjugat glukuronat dari testosteron (T), epitestasteron (Epi-T), 5a-androstan-3a,1713-dio1 (5a-diol), 5¢-androstan-3a-17P-dio1 (50-dio1), androsteron (A), etiokolanolon (Elio), DIVA dan konjugat sulfat dari DHEA (DHEAS), yang ditunjukkan pads perubahan rasio yang terjadi pada metabolit tersebut. Rasio metabolit yang diteliti adalah rasio TfEpiT, AJEtio, 5a-dio1J5~3-dial, DHEASIDHEA glukuronat dan AIT. Penelitian ini melibatkan 13 sukarelawan pria, bangsa Indonesia, memenuhi kriteria inidusi yaitu berbadan sehat, berumur 20 - 30 tahun, tidak minuet obat atau vitamin apapun serta makanan yang diduga mengandung hormon minimal dua minggu sebelum penelitian dilaksanakan dan selama penelitian berlangsung serta bersedia menandatangani informed consent. Kriteria sehat didasarkan pada tidak dijumpainya kelainan selama anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium yang meliputi fungsi ginjal (ureum, kreatinin), fungsi hati (SGOT, SGPT), hematologi rutin (kadar hemoglobin, jumlah lekosit, hitung jenis lekosit dan laju endap darah), dan foto toraks. Pengambilan sampel urine baseline dilakukan 1 hari sebelum pemberian obat yaitu pada pukul 08.00, 12.00, 16,00, dan pukul 20.00. Setelah itu kapsul DHEA 50 mg diberikan setiap pukul 08.00 pagi selama lima hari berturut-turut dengan 200 ml air putih. Sampel urine diambil pada hari kelima setelah minum obat yang dilakukan pada jam ke-0 (pukul 8.00), 1 (9.00), 2 (10.00), 4 (12.00), 5 (13.00), 7 (15.00), 8 (16,00), 10 (18.00), 12 (20.00), 14 (22.00) dan 24 (pukul 8.00 hari berikutnya). Urin dikumpulkan dan diuji terhadap kadar masing-masing hormon steroid dengan menggunakan metode Gas Chromatography./Mass Selective Detector (GCIMSD).
HASIL DAN KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan rasio TIEpiT baseline pada pukul 8.00 sebesar 1,07 ± 1,15, mencapai puncak pada pukul 16.00 yaitu 1,18 ± 1,21, dan setelah pemberian DIVA eksogen pada pukul 8.00 sebesar 1,03 ± 1,15 dan mencapai puncaknya pada pukul 16.00 : 2,11 ± 2,53. Seorang sukarelawan yang mempunyai rasio TIEpiT baseline sebesar 3,4 pada pukul 8.00, menunjukkan peningkatan yang berarti setelah pemberian DHEA eksogen yaitu pada pukul 15.00, 16.00 dan 18.00 berturut-turut sebesar 9,71; 9,13 dan 8,55. Rasio AlEtio baseline pada pukul 8.00 sebesar 1,45 ± 0,54, mencapai puncak pada pukul 20.00 : 1,82 ± 0,68 ; setelah pemberian DHEA eksogen pada pukul 8.00 : 0,77 ± 0,49, mencapai puncak pads pukul 12.00: 1,51 ± 0,67. Kurva AlEtio sebelum pemberian DHEA (baseline) berada di atas nilai yang diperoleh setelah pemberian DHEA eksogen. Kurva rasio 5or-diol15 G3-diol sedikit berubah setelah pemberian DHEA eksogen dibandingkan dengan baseline, tetapi secara statistik tidak signifikan. Rasio DHEASIDHEA glukuronat setelah pemberian DHEA eksogen meningkat signifikan dibandingkan dengan baseline pada semua semua sukarelawan, rasio DHEASIDHEA glukuronat mencapai nilai maksimum pada pukul 16.00 sebesar 158,03 ± 95,63 setelah pemberian DHEA eksogen, berbeda bermakna dengan baseline pada jam yang sama yaitu: 18,49 ± 16,32 (p < 0,05). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian DHEA eksogen secara oral dengan dosis 50 mg per hari selama 5 hari (1) mengubah rasio-rasio metabolit TIE, AlEtio dan DHEASIDHEA glukuronat ; (2) Seorang sukarelawan yang mempunyai rasio TIEpiT baseline relatif tinggi yaitu sebesar 3,4 mengalami peningkatan rasio T/EpiT menjadi 9,7. Angka ini melebihi batas rasio TIEpiT yang diperbolehkan oleh IOC yaitu 6 : 1 ; (3) Rasio DHEASIDHEA glukuronat meningkat signifikan setelah pemberian DHEA eksogen.

SCOPE AND METHODS : Dehydroepiandrosterone (DHEA) and its sulfate ester dehydroepiandrosterone sulfate (DHEAS) are quantitatively the largest products of adrenal cortex and the most abundant steroids in peripheral blood. DHEA is one of the major precursors for the biosynthesis of the endogenous steroids. It is classified as having weak androgenic activity, but it can be converted in peripheral tissues via androstenedione to testosterone and 5a-dihydrotestosterone (5a-DHT), both are classified as having strong androgenic activity. Exogenous DHEA is considered to be a doping drug and listed in the class of prohibited anabolic agents by International Olympic Committee since January 1997. In Indonesia, this steroid can be purchased legally as healthfood and over the counter product. In the present study, we investigate the effects of DIVA oral administration to the urinary excretion of some DHEA metabolites in healthy volunteers. Thirteen volunteers, 20 - 30 years old, all men, fulfilled the inclusion criteria (healthy, no previous or chronic disease), passed the medical examination (physical exams, blood chemistry determination, chest X-ray), and signed a letter of informed consent. All volunteers had undergone 2 weeks wash-out periode of free medicines, vitamines and all kind of food that influence hormonal level. Each volunteer took 50 mg of exogenous DHEA orally in the morning at h. 8.00 for 5 days. Baseline urine value was collected a day before exogenous DHEA at hour 8.00, 12.00, 16.00 and 20.00 and at h. 8.00, 9.00, 10.00, 12.00, 13.00, 15.00 16.00 18.00, 20.00, 22.00 and 8.00 (next day) respectively after exogenous DHEA. Urinary excretion glucuronide (and free) metabolites of testosterone (T), epitestosteron (E), androsterone (A), etiocholanolone (Elio), 5a-androstane-3a, 173-diol (5a-dial), 5¢-androstane-3a,170-dio1 (50-diol) and DHEA, and also sulfate metabolite of DHEA was determined by Gas Chromatography/Mass Selective Detector (GCIMSD).
RESULTS AND CONCLUSION : The results showed that the TIE ratio at h. 8.00 was 1.07 ± 1.15, peaked at h. 16.00: 1.18 ± 1.21 before and at 8.00: 1.03 ± 1.15, peaked at h. 16.00 :2.11 ± 2.53 after exogenous DHEA. One volunteer had a high baseline TIE ratio of 3.4 at h. 8.00 before and at h. 15.00, 16.00, and 18.00 respectively were 9.71; 9.13 and 8.55 after exogenous DHEA. The AfEtio ratio at h. 8.00 was 1.45 ± 0.54; peaked at h. 20.00 : 1.82 ± 0.68 before and at h. 8.00 : 0.77 ± 0.49, peaked at h. 12.00 : 1.51 ± 0.67 after exogenous DHEA. The AJEtio curve before exogenous DHEA was entirely above the value obtained after exogenous DHEA. Although the curve of ratio of 5a-dio11513-dial after exogenous DHEA was slightly different from that of the curve before exogenous DHEA, it was not statistically significant. The DHEASIDHEA glucuronide at various time points after exogenous DHEA was significantly higher than that before exogenous DHEA; the ratio of DHEASIDHEA glucuronide reached a maximum value of 158.03 ± 95.63 after exogenous DHEA in comparison with 18.49 ± 16.32 at h. 16.00 before exogenous DHEA (p < 0,05). To conclude, oral administration of exogenous DHEA of 50 mg once daily for 5 days (1) alter ratios TIE, AlEtio and DHEASIDHEA glucuronide; (2) One volunteer had a high baseline TIE ratio of 3.4 and after receiving exogenous DHEA the ratio was further increased to 9.71, significantly exceeding the limit value permitted by IOC 6:1 ; (3) The ratios of DHEASIDHEA glucuronide after receiving exogenous DHEA in comparison with those before exogenous DHEA were significantly increased at various time points.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
T8260
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vivit Vidyawati
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian :
Dalam rangka pengembangan kontrasepsi hormonal pria, penggunaan TE (Testosteron Enantat) dan DMPA (Depot Medroksi Progesteron Asetat), menunjukkan hasil tingkat azoospermia yang lebih tinggi (90-100%) pada bangsa Asia, sedangkan bangsa Kaukasia hanya mencapai 70% atau kurang. Diduga ada 2 faktor yang mempengaruhi perbedaan tersebut yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan termasuk makanan/diet. Telah diketahui bahwa diet negara Barat (Western Diet) mengandung lemak dan protein tinggi, sedang diet negara Asia (Asian Diet) mengandung karbohidrat tinggi. Dari penelitian dilaporkan bahwa status nutrisi tampaknya merupakan salah satu faktor yang mengatur konsentrasi SHBG (Sex Hormone Binding Globulin) yang dapat mempengaruhi jumlah testosteron bebas yang akan digunakan dalam mekanisme umpan balik negatif. SHBG adalah glikoprotein yang berfungsi sebagai alat pengangkut hormon steroid, mempunyai afinitas yang kuat terhadap dehidrotestosteron dan testosteron, sedangkan terhadap estradiol afinitasnya lebih lemah. Berbagai hasil penelitian di luar negeri menunjukkan bahwa korelasi antara konsentrasi SHBG dengan testosteron, insulin dan BMI hasilnya belum seragam dan satu sama lain berbeda-beda. Oleh karena itu kami merasa perlu mengadakan penelitian ulang pada orang Kaukasia yang berada di Jakarta. Pengukuran konsentrasi SHBG, menggunakan immunoradiometric assay (IRMA), sedangkan testosteron total, testosteron bebas dan insulin menggunakan radiommunoassay (RIA). Pengukuran glukosa, trigliserida dan albumin dengan menggunakan spektrofotometer. Untuk mengetahui komposisi makronutrien karbohidrat, lemak dan protein dilakukan pencatatan makanan (food record) selama 3 hari. Analisis korelasi dilakukan untuk mengetahui korelasi antara konsentrasi SHBG dengan parameter-parameter yang diukur dan analisis regresi ganda untuk mengetahui hubungan yang paling erat antara konsentrasi SHBG dengan parameter-parameter yang diukur.
Hasil dan Kesimpulan :
Hasil penelitian menunjukkan bahwa SHBG mempunyai korelasi positif dengan testosteron total (r = 0,483, P = 0,002), dan SHBG mempunyai korelasi negatif dengan testosteron bebas (r = 0,087, P = 0,312), insulin (r = 180, P = 0,134) dan BMI (r = 0,366, P = 0,017). Konsentrasi SHBG mempunyai hubungan paling erat dengan konsentrasi testosteron total (P = 0,001).

Scope and Research Method:
In developing men hormonal contraception, the utilization of TE (Testosterone Enantat) and DMPA (Depot Medroksi Progesterone Acetate), indicated higher level of azoospermia (90-100%) at Asian Men, while Caucasian men reached 70% or less only. Presumably, there were two factors affecting this discrepancy, genetic and environmental factor including meal/diet. It has been well known that Western Diet consists of high fat and protein while Asian Diet consists of high carbohydrate. From the research, it was reported that nutrition status seemed to be one of many factors bringing about the concentration of SHBG (Sex Hormone Binding Globulin) affecting the number of free testosterone that would be used in the negative feedback mechanism. SHBG is glycoprotein acting as steroid hormone transporter, having strong affinity against dehydrotesterone and testosterone, in the same time its affinity against estradiol is weak. Many researches in foreign countries demonstrated that the correlation between concentration of SHBG and testosterone, insulin and BMI did not result in the uniform output and it was different one another. Therefore, we needed to repeat the research at Caucasian men in Jakarta. The measurement of SHBG concentration was using immunoradiometric assay (IRMA), while the measurement for total testosterone, free testosterone and insulin was using radioimmunoassay (RIA). The measurement of glucose, triglyceride and albumin was performed using spectrophotometer. To see the composition of macronutrient carbohydrate, fat and protein food record was conducted for 3 days. Correlation analysis was carried out to see the correlation between the concentration of SHBG and other parameters measured and multiple regression analysis was held to see the closest relation between SHBG concentration and other measured parameters.
Result and conclusion:
The research results indicated that SHBG had positive correlation with total testosterone (r= 0.483, P = 0.002), and SHBG had negative correlation with free testosterone (r=0.087, P = 0.312), insulin (r= 0.180, P = 0.134), and BMI (r= 0.366, P = 0.017). SHBG concentration had the closest relation with total testosterone concentration (p=0.001).
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
T9589
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahayu Yekti
"Dalam pengembangan kontrasepsi pria, penggunaan TE (Testosteron Enantat) atau kombinasinya dengan DMPA (Depot Medroxy Progesterone Acetate) sebagai bahan kontrasepsi hormonal pria menunjukkan perbedaan penekanan spermatogenesis antara pria bangsa Asia dan pria bangsa Kaukasia, pada bangsa Asia menyebabkan azoopermia 90-100% sedangkan pada bangsa Kaukasia mencapai azoospermia < 70%. Faktor yang diduga menimbulkan perbedaan hasil yaitu variasi genetik dan konsumsi makanan yang berbeda. Variasi genetik merupakan perbedaan urutan nukleotida menetap diantara individu. Perubahan nukleotida atau mutasi di dalam gen mungkin berperan pada formasi sebuah protein varian. Insiden dan distribusi alel varian dalam suatu populasi sebagai akibat menyeluruh dari tiga macam proses utama melalui generasi yang terdahulu yaitu mutasi, seleksi alam, peluang atau penyimpangan genetik secara acak. SHBG manusia di kode oleh dua alel autosom kodominan yaitu alel normal dan alel varian. Alel SHBG varian muncul akibat mutasi titik pada ekson 8 dari gen pengkode SHBG yang terletak di lengan pendek 12 - 13 dari kromosom 17. Mutasi titik tersebut menyebabkan substitusi basa tunggal pada kodon 327 dari GAC menjadi AAC yang mengkode perubahan asam amino aspartat menjadi asparagin, disertai penambahan tempat untuk N-glikosilasi pada posisi ini. Glikosilasi berpengaruh terhadap waktu paruh dan penambahan berat molekul SHBG varian. Melalui tehnik SDS-PAGE (Sodium Dodenji Sulfate Gel Electroforesis) deteksi SHBG normal dan SHBG varian dalam serum manusia menampakkan pola fenotip SHBG dua pita dan tiga pita dengan berat molekul yang berbeda yaitu 49, 52 dan 56 kDa. Karena latar belakang genetik antar ras/populasi berbeda dalam hal ini antara ras/populasi Indonesia dan Kaukasia, diduga ada perbedaan variasi genetik yang mengaldbatkan proses penekanan spermatogenesis yang berbeda.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan membandingkan variasi fenotip SHBG antara populasi pria Indonesia dan pria Kaukasia dewasa. Deteksi variasi fenotip SHBG dalam penelitian ini dilakukan dengan tehnik SDS-PAGE dan Western blot.
Dari keseluruhan sampel serum pria Indonesia dan Kaukasia yang dianalisis dengan SDS-PAGE dan Western blot, menunjukkan gambaran 2 macam pola fenotip SHBG yaitu gala fenotip SHBG dua pita dan pola fenotip SHBG tiga pita. Pala fenotip SHBG dua pita mempunyai subunit light dengan berat molekul 46 kDa, subunit heavy dengan berat molekul 51 kDa, sedangkan poly fenotip SHBG tiga pita mempunyai tambahan subunit super heavy dengan berat molekul 56 kDa. Dari 31 sampel serum pria Indonesia dijumpai sebanyak 65% (20 sampel) mempunyai pola fenotip SHBG dua pita (SHBG normal) sedangkan 35% (11 sampel) mempunyai pola fenotip SHBG tiga pita (SHBG varian). Pada 26 sampel serum pria Kaukasia dijumpai sebanyak 77% (20 sampel) mempunyai pola fenotip SHBG dua pita (SHBG normal) dan 23% (6 sampel) mempunyai pola fenotip SHBG tiga pita (SHBG varian). Analisa data melalui perhitungan statistik menggunakan uji Chi Square menunjukkan tidak berhubungan antara ras/populasi dengan variasi fenotip SHBG pada tingkat kepercayaan 95%. ]adi tidak berbeda bermakna variasi fenotip "SHBG antara ras/populasi Indonesia dan ras Kaukasia.

Phenotype Variation of Sex Hormone Binding Globulin (Shbg) in Health Adult Indonesian and Caucasian MaleIn the development of male contraception, the use of TE (Testosteron Enantat) or its combination with DMPA (Depo Medroxy Progesteron Acetat) as a material for male hormonal contraception shows different result of suppression of spermatogenesis between Asian and Caucasian. In Asian it causes 90-100% azoospermia while in Caucasian it reaches azoospermia < 70%. The possible factors that cause different result are genetic variation and different variety of food consumption. Genetic variation is different of nucleotides order resides in each individual. Nucleotide change or gene mutation probably play role in protein variant formation. The incidence and the distribution of variant allele in one population as cumulative result from 3 kind of main process through previous generation that is mutation, natural selection, the change or random of genetically deviation. Human SHBG is encoded by two codominant autosome allele, those are normal and variant alleles. SHBG variant allele appears as a result of mutation at exon 8 of SHBG gene that locates at the short arm (p12 - pI 3) of chromosome 17. This mutation is a single base substitution at codon 327 from GAC to AAC that underly amino acid changing from aspartat to asparagin, along with additional place for N-glycocilation at this position. Glycocilation affects the half life and addition of molecular weight. By SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulfate Gel Electroforesis) technique detection of normal SHBG and variant SHBG in human serum shows two and three bands of SHBG phenotype pattern respectively, which has different molecular weight that is 49, 52 and 56 k Da. Since inter race/population genetically is different, in this case between Indonesian race/population and Caucasian, causes different genetic variation, it will probably cause different pressure on spermatogenesis.
The aim of this research is to compare SHBG phenotype variant between adult male of Indonesian and Caucasian population. The detection of phenotype SHBG variation in this research is done with SDS-PAGE and Western blot technique.
Serum samples of Indonesian and Caucasian analyzed with SDSPAGE and Western blot show two kind of SHBG phenotype pattern that is two bands and three bands SHBG phenotype pattern. Two bands SHBG phenotype consist of light subunit with molecular weight 46 k Da and heavy subunit with molecular weight 51 kDa. Three bands SHBG phenotype pattern has an additional subunit, which is super heavy with molecular weight 56 k Da. In 31 male Indonesian serum samples, 66% (20 samples) has two bands SHBG phenotype pattern (normal SHBG) and 34% (II samples) has three bands SHBG phenotype pattern (variant SHBG). Of 26 male Caucasian serum samples, 77% (20 samples) has two bands SHBG phenotype pattern (normal SHBG) and 23% (6 samples) has three bands SHBG phenotype pattern (variant SHBG). Statistical analysis using Chi Square test shows 95% validity is not match between race/population with SHBG phenotype variation. So the difference of SHBG phenotype variation between Indonesian race/population and Caucasian is not significant."
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
T10333
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Nurul Qomariyah
"ABSTRAK
Dalam upaya penatalaksanaan penderita penyakit kelenjar tiroid, harus dibuat diagnosis anatomik atau etiologik untuk mengetahui penyebab yang mendasari penyakit dan diagnosis fungsional untuk mengetahui status produksi hormon tiroid. Pemeriksaan laboratorium sangat berguna dalam membedakan fungsi kelenjar tiroid tersebut termasuk hipotiroid, eutiroid atau hipertiroid.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pemeriksaan TSH-sensitif metode IRMA dan ICMA dapat membedakan dengan jelas penderita hipertiroidisme dan kontrol eutiroid, dengan kata lain apakah pemeriksaan tersebut dapat dipakai sebagai uji saring untuk hipertiroidisme. Disamping itu ingin mendapatkan nilai rujukan TSH-IRMA dan ICMA yang dapat dipakai di UPF Patologi Klinik FKUI/RSCM.
Subyek penelitian adalah 35 penderita hipertiroidisme, terdiri atas 25 orang wanita dan 10 orang laki-laki, berusia 21-59 {30,2) tahun. Sebagai kontrol adalah 70 orang yang mempunyai fungsi kelenjar tiroid eutiroid, terdiri atas 40 laki-laki dan 29 perempuan, berusia 15-73 (37) tahun. Kriteria diagnostik didasarkan pada temuan klinik dan hasil pemeriksaan laboratorium FT4I. Terhadap subyek penelitian dan kontrol dilakukan pemeriksaan T4 total, T3U, TSH-IRMA (DPC) dan TSH-ICMA (Amerlite).
Hasil pemeriksaan kontrol: T4=4,1-15,1 (9,28) ug/dL; T3U = 19,3-33,0 (27,3)%; FT4I=0,81-3,59 (2,53); TSH-IRMA=O,25-3,60 (1,38) mIU/L dan TSH-ICMA=0,54-3,12 (1,34) mIU/L. Terdapat korelasi terbalik antara nilai T4 total, T3U dan FT4I dengan TSH-IRMA maupun TSH-ICMA. Tidak terdapat perbedaan nilai TSH kontrol laki-laki dan perempuan. Tidak terdapat hubungan antara umur dan nilai TSH. Nilai rujukan TSH-IRMA = 0,39-3,63 mIU/L, dan TSH-ICMA = 0,49-2,97 mIU/L.Hasil pemeriksaan penderita hipertiroid: T4 = 16,0->24 ng/dL; T3U=30,3-43,7 (38,3)7.; FT4I = 5,36->10,49; 31 (88,51.) orang mempunyai nilai TSH-IRMA dan ICMA tidak terukur dan, 4 Orang mempunyai nilai TSH-IRMA 0,09; 0,12; 0,16; 0,18 dan TSH-ICMA 0,06; 0,12; 0,13; 0,14. Nilai TSH-IRMA dan TSH-ICMA penderita hipertiroid berbeda bermakna dengan kontrol eutiroid. Terdapat korelasi antara nilai TSH-IRMA dengan TSH-ICMA (r = 0,9922). Nilai TSH-ICMA lebih rendah 6,6% dibanding TSH-IRMA. Nilai batas deteksi TSH-IRMA = 0,09 mIU/L dan TSH-ICMA = 0,04 mIU/L. Biaya per tes TSH-IRMA lebih mahal dibanding TSH-ICMA, karena pemeriksaan TSH-IRMA harus dilakukan in duplo. Pemeriksaan TSH-IRMA dan TSH-ICMA sensitif secara analitik dan klinik untuk diagnosis hipertiroidisme.
Kesimpulan penelitian ialah pemeriksaan TSH-IRMA dan TSH﷓ICMA mampu membedakan dengan jelas penderita hipertiroidisme dan kontrol eutiroid, dan dapat dipakai sebagai uji saring hipertiroidisme. Batas deteksi pemeriksaan TSH-ICMA lebih rendah dari pada TSH-IRMA. Nilai rujukan TSH-IRMA berbeda dengan TSH-ICMA.
Disarankan untuk melakukan penelitian serupa dengan subyek penelitian dan kontrol (penderita rawat tinggal dan rawat jalan) yang lebih banyak agar dapat ditentukan nilai batas TSH untuk diagnosis hipertiroidisme, dan mendapatkan nilai rujukan yang lebih memenuhi syarat. Disarankan pula untuk menilai kemampuan pemeriksaan TSH untuk memantau pengobatan hipertiroidisme dan pengobatan hormon tiroid.

In managing patients with thyroid diseases, an anatomical or etiological diagnosis should be made for knowing the basic causes, and functional diagnosis for knowing the thyroid hormone production. Laboratory tests are necessary to differentiate whether the condition is hypothyroid, euthyroid or hyperthyroid.
The goal of this study was to know whether TSH-IRMA and ICMA tests can clearly differentiate hyperthyroid patients from euthyroid, and whether this test can be used as the first test for hyperthyroidism. More over, to determine the reference range of TSH-IRMA and ICMA which can be used in the Departement of Clinical Pathology, Dr Cipto Mangunkusumo hospital / Faculty of Medicine University of Indonesia.
The subjects of this study were 35 patients with hyperthyroidism. They consist of 25 women and 10 men, who were 21-59 (30,2) years old. We took 70 people who were in euthyroid condition, about 15-73 (37) years old as controls. The criteria of diagnosis were based on clinical finding and FT4I test. Subjects and controls were examined for total T4, T3U, TSH-IRMA (DPC) and TSH-ICMA (Amerlite) levels.
Values of the controls were T4 = 4,1-15,1 (9,28) ug/dL; T3U = 19,3-33,0 (27,3)%; FT4I = 0,81-3,59 (2,53); TSH-IRMA = 0,25-3,60 (1,3B) mIU/L and TSH-ICMA = 0,54-3,12 (1,34) mIU/L. There was negative correlation between total T4, T3U or FT4I level and TSH-IRMA or TSH-ICMA. There was no difference between TSH level in male and female controls. No correlation was found between age and TSH level. The reference value of TSH-IRMA was 0,39-3,63 mIU/L and TSH-ICMA was 0,49-2,97 mIU/L.
The level of total T4, T3U and FT4I in hyperthyroid were 16,0->24 ng/dL, 30,3-43,7 (38,3)7 and 5,36-7.10,49 respectively. TSH-IRMA and TSH-ICMA value were undetectable in 31(88,5%) persons, and 4 persons have TSH-IRMA level of 0,09; 0,12; 0,16; 0,1B and TSH-ICMA level of 0,06; 0,12; 0,13; 0,14. TSH﷓IRMA and TSH-ICMA level in hyperthyroid were significantly lower than in euthyroid.
There was a good correlation between TSH-IRMA and TSH-ICMA (r = 0,9922). T5H-ICMA was 6,6% lower than TSH-IRMA. The detection limit of TSH-IRMA was 0,09 mIU/L and TSH-ICMA was 0,04 mIU/L. One TSH-IRMA test was more expensive than one TSH-ICMA test, because TSH-IRMA test must be performed in duplicate. TSH-IRMA and TSH-ICMA assays were analytically and clinically sensitive and specific for diagnosing hyperthyroidism.
In conclusion, TSH-IRMA and TSH-ICMA assays could clearly differentiate hyperthyroid from euthyroid patients, and suitable as screening tests for hyperthyroidism. The detection limit of TSH-ICMA was lower than T5H-IRMA. The reference range of TSH-IRMA was different from TSH-ICMA.
Further study with more subjects is still needed to determine TSH lower limit value for diagnosing hyperthyroidism and a more acceptable reference value. We suggest another study to evaluate TSH values in controlling treatment of hyperthyroidism and thyroid hormones supplementation.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edy Parwanto
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: Penggunaan testosteron enantat (TE) saja atau kombinasinya dengan depot medroksiprogesteron asetat (TE + DMPA) atau testosteron undekanoat (TU) saja dalam kontrasepsi hormon memiliki efektivitas yang berbeda dalam menekan spermatogenesis antara bangsa Asia dengan Kaukasia. Perbedaan efektivitas penekan spermatogenesis tersebut mungkin disebabkan oleh perbedaan asupan lipid-protein dan polimorfisme SHBG. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh perbedaan asupan lipid-protein dan polimorfisme SHBG terhadap kadar SHBG, testosteron total, testosteron bebas antara pria Indonesia dengan pria Kaukasia. Selain itu juga ingin diketahui hubungan antara kadar SHBG, testosteron total, testosteron bebas, persentase testosteron bebas, indeks testosteran bebas dan insulin. Penelitian ini merupakan studi potong lintang. Food recall 3 hari berturut-turut dilakukan terhadap semua subyek, kemudian dianalisis dengan World Food 2 Program. Kadar SHBG, testosteron total, testosteron bebas dan insulin dalam serum diukur dengan metoda radio immuno assay (RIA). Elektroforesis dan western blotting dilakukan untuk menentukan macam fenotip SHBG. Subyek penelitian dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan asupan lipid-protein dan dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan fenotip SHBG. Tiga puluh sembilan pria Indonesia asupan lipid-protein rendah sebagai kelompok I, 28 pria Indonesia asupan lipid-protein sedang sebagai kelompok II dan 27 pria Kaukasia asupan lipid-protein tinggi sebagai kelompok III. Tujuh puluh enam dari 94 subyek penelitian fenotipnya SHBG normal (2 pita SHBG) dan 18 dari 94 subyek penelitian fenotipnya SHBG varian (3 pita SHBG).
Hasil dan Kesimpulan: Kadar SHBG dan testosteron bebas kelompok I lebih tinggi dibanding kelompok II dan III, tetapi kelompok 1I tidak berbeda dengan kelompok III. Kadar testosteron total kelompok I lebih tinggi dibanding kelompok III dan kelompok II paling rendah. Karena kadar SHBG, testosteron total dan testosteron bebas antar kelompok berbeda (p < 0.05), maka kadar SHBG, testosteron total dan testosteron bebas dipengaruhi oleh asupan lipid-protein. Kadar SHBG, testosteron total dan testosteron bebas antara fenotip SHBG normal tidak berbeda dengan fenotip SHBG Marian (p > 0.05). Karena kadar SHBG, testosteron total dan testosteron bebas antar kelompok fenotip SHBG tidak berbeda, maka kadar SHBG, testosteron total dan testosteron.

The Influence Of Lipid-Protein Intakes And SHBG Polimorphysm On SHBG Level Of Indonesian And Caucasian MenScope and Methods of study: The development of hormonal contraception method for men using testosterone enanthate (TB) alone or in combination with depot medroxyprogesteron acetate (TE + DMPA) or testosterone undecanoat (TU) alone has different efficacy in suppressing the spermatogenesis of Asians or Caucasians. The difference of efficacy in suppressing the spermatogenesis of Asian or Caucasian maybe caused by the difference of lipid-protein intake and SHBG polymorphism. The main aim of this research was to investigate the effects of difference in lipid-protein intake and polymorphism of SHBG on the level of SHBG, total testosterone and free testosterone of Indonesian men with low lipid-protein intake, medium lipid-protein intake and Caucasian men with high lipid-protein intake. This research was cross sectional study. Three days repeated food recall for all subjects analyzed with World Food 2 Program. The measurement of serum SHBG, total testosterone, free testosterone and insulin were done with radio immuno assay (RIA) technique. Electrophoresis and western blotting were done to determine 2 types of SHBG phenotype. Subjects in this research were divided into 3 groups base on lipid-protein intake and 2 groups base on SHBG phenotype. Thirty nine Indonesian men with low lipid-protein intake as group I, 28 Indonesian men with medium lipid-protein intake as group II and 27 Caucasian men with high lipid-protein intake as group III. Seventy six out of 94 subjects as normal SHBG phenotype (double-banded SHBG) and I8 out of 94 subjects as variant SHBG phenotype (triple-banded SHBG).
Result and conclusion: The level of SHBG and free testosterone in the group I was higher compared to both group II and group III (p r 0.05), but the group II and group III was not different (p > 0.05). The level of total testosterone in the group I was higher compared to group ill, and the group II was the lowest (p < 0.05). Because the level of SHBG, total testosterone and free testosterone in the group I, II and III were different (p < 0.05), then they were affected by lipid-protein intake. The level of SHBG in the normal SHBG phenotype was not different compared to the variant SHBG phenotype (p > 0.05), then the level of SHBG was not affected by SHBG polymorphism."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
D514
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>