Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 149 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sri Puji Astuti
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh rendahnya tanggapan dari instansi terkait penanganan dugaan pelanggaran HAM dibandingkan dengan besarnya jumlah pengaduan dugaan pelanggaran HAM. Masuknya Program Yankomas pada RANHAM generasi ketiga ini, berimplikasi pada implementasi Program Yankomas secara integratif. Dengan metode kualitatif, penelitian ini menganalisis implementasi Program Yankomas RANHAM berdasarkan implementasi model George C. Edward III.
Dari 12 informan yang diwawancara serta penggalian data sekunder diperoleh hasil implementasi Program Yankommas RANHAM belum terintegrasi ke dalam satu wadah. Selain itu komitmen dari pelaksana masih rendah dan belum ada kesepahaman dalam hal ini. Pedoman Yankomas RANHAM yang baru saja disyahkan harus segera disosialisasikan untuk menjadi pedoman pelaksanaan Program Yankomas RANHAM.

This research is prompted by the lack of response from the relevant authorities handling alleged human rights violators, compared to high number of complaints of all eged human rights violations. The inclusion of Public Service Communication as a program in 3rd National Human Rights Action Plan has affected the implementation of Public Service Communication as a whole.This study is sarried out in qualitative approach and analyzes theimplementation ofPublic Service Communication of National Human Rights Action Plan based on George C. Edward III implementation model. Data is gathered by interviewing 12 volunteers and other means of various secondary data collection methods.
The result shows that the implementation of Public Service Communication of National Human Rights Action Plan program has yet to integrate into a single entity.Additionally, commitmentof the parties are stilllow andthere is no unified understandingin this matter. Therefore, official Public Service Communication guidelines recently approved must be socialized to become Public Service Communicationof National Human Rights Action Plan program implementation guidelines."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fiana Basauli
"Tesis ini membahas mengenai HAM mengatur tentang prinsip hak asasi manusia maupun bentuk perlindungan pada anak sebagai korban kekerasan menurut Konvensi Hak Anak PBB 1989, UU Nomor 35 Tahun 2014, dan UU Nomor 12 Tahun 2022 baik korban di Tangerang, Bandung, maupun Martapura antara lain prinsip non diskriminasi, prinsip perlindungan khusus, prinsip pemeliharaan terhadap anak, prinsip kepentingan terbaik bagi anak, prinsip perlindungan yang sama, prinsip perlindungan dari kekerasan dari setiap bentuk keterlantaran, tindakan kekerasan, dan eksploitasi dimana korban harus dilindungi dari setiap bentuk kekerasan, baik kekerasan fisik maupun verbal, dengan alasan apapun, prinsip jaminan perlindungan atas hak mengemukakan pendapat. Selain itu, bentuk perlindungan yang diberikan kepada korban kekerasan menurut Konvensi Hak Anak PBB 1989, UU Nomor 35 Tahun 2014, dan UU Nomor 12 Tahun 2002 antara lain negara Indonesia melakukan semua tindakan legislatif, administratif, dan tindakan lain, menjamin bahwa berbagai lembaga, pelayanan, dan fasilitas yang bertanggung jawab atas perawatan dan perlindungan kepada korban, mengambil tindakan yang melindungi korban dari bentuk kekerasan fisik yang dilakukan oleh pelaku melalui prosedur-prosedur yang efektif hingga ke pengadilan, dan mengambil semua langkah yang tepat untuk meningkatkan penyembuahan fisik dan psikologis korban. Bentuk penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah bentuk normatif, yaitu menganalisa keberlakuan hukum/aturan tidak tertulis dalam masyarakat, sedangkan Metode analisis data yang digunakan adalah metode kualitatif. Metode ini dilakukan dengan cara untuk meneliti kondisi objek alamiah yang mana peneliti merupakan instrumen kunci.
......This theses explains about how human rights arranges the principle of human rights and protection to child as victim based On Children's Rights Convention In 1989, Law Number 35 of 2014, Law Number 12 of 2022 In Tangerang, Bandung, and Martapura, such as non-discrimination, special protection, caring for children, the best interests of the child, protection from violence from any form of violence, and respect for child’s opinions. But, the protections that are given based On Children's Rights Convention In 1989, Law Number 35 of 2014, Law Number 12 of 2022, such as taking all appropriate legislative, administrative and other measures, guardians guarantees that the various institutions, services and facilities responsible for the care and protection, respecting the responsibilities, rights and obligations of parents and guardians, taking measures that protect victims from physical violence perpetrated by perpetrators through effective procedures up to court, and taking all appropriate steps to enhance the victim's physical and psychological healing. The form of research conducted in this study is a normative form, namely analyzing the applicability of laws/unwritten rules in society, while the data analysis method used is a qualitative method. This method is carried out in a way to examine the condition of natural objects in which the researcher is the key instrument."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulkipli
"Tesis ini membahas tentang konsep ganti rugi bagi korban tindak pidana dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia dan praktiknya dalam pengadilan
HAM yang telah berlangsung, serta optimalisasi peran penuntut umum dalam
memperjuangkan hak-hak korban khususnya korban pelanggaran HAM yang
berat atas ganti kerugian dalam proses peradilan pidana. Metode penelitian adalah
yuridis normatif. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa meskipun undangundang
memberikan jaminan bagi korban pelanggaran HAM berat dalam
memperoleh restitusi dan kompensasi, namun dalam implementasinya tidak
efektif. kelemahan konsep dan prosedur restitusi dan kompensasi yang diatur
dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 menjadi faktor penting efektifitas
pelaksanaan restitusi dan kompensasi, sehingga perbaikan konsep dan penguatan
hukum acara menyangkut kompensasi dan restitusi harus dilakukan agar efektif
dalam implementasinya. Disamping itu, pihak-pihak yang terlibat langsung dalam
pengajuan konpensasi dan restitusi melalui mekanisme peradilan pidana
khususnya penuntut umum belum secara optimal memperjuangkan terpenuhinya
hak-hak korban tersebut. Seharusnya, Kejaksaan Agung sudah memiliki kebijakan
yang jelas dalam memperjuangkan hak-hak korban atas restitusi dan kompensasi.

Abstract
The thesis discusses the concept of compensation for the victims of criminal acts
in the laws and regulations in Indonesia and its practice which has been
implemented in the human rights court, as well as the role optimalization of the
public prosecutors in fighting for the rights of the victims, especially the victims
of serious human rights violation, to get compensation in criminal justice process.
The research method is normative judicial. The research results conclude that
although the law guarantees the victims of serious human rights violation to get
restitution and compensation, in the implementation it is not effective; the weak
concept and procedure of the restitution and compensation governed in the Law
No. 26 of the year 2000 become the important factor of the restitution and
compensation implementation effectiveness so that the improvement of the
concept and the strengthening of the law of procedure concerning the
compensation and restitution must be done in order to be effective in the
implementation. Moreover, the parties directly involved in filing for
compensation and restitution through criminal justice mechanism, especially the
public prosecutors, have not optimally fought to fulfill the rights of those victims.
The Attorney General?s Office should have had a clear policy to fight for the
rights of the victims to receive restitution and compensation."
Universitas Indonesia, 2011
T29299
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Misra Dewita
"Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga negara yang relatif baru
di Indonesia. Lembaga yang bersifat independen ini didirikan khusus untuk
menangani tindak pidana korupsi. Dalam melaksanakan tugas penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan, KPK oleh Undang-Undang diberikan kewenangan untuk
melakukan intersepsi atau penyadapan dan merekam pembicaraan. Kewenangan KPK
melakukan penyadapan ini bersinggungan dengan butir-butir hak asasi manusia,
khususnya hak privasi yang terkait dengan kebebasan berkomunikasi. Yang menjadi
permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah tindakan penyadapan oleh
KPK ini dilihat dari sudut pandang hak asasi manusia serta bagaimana regulasi terkait
dengan lawful interception di Indonesia. Penulisan tesis ini menggunakan metode
penelitian kepustakaan dengan data sekunder sebagai sumber datanya. Data sekunder
ini terdiri dari bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan dan
putusan pengadilan; bahan hukum sekunder berupa buku, majalah ilmiah, artikel
surat kabar, karya tulis ilmiah maupun sumber dari internet; dan juga bahan hukum
tersier berupa kamus besar bahasa Indonesia dan kamus hukum. Hasil yang
diharapkan dari penelitian ini adalah memperoleh gambaran secara jelas mengenai
kedudukan hak asasi manusia dalam tindakan penyadapan dalam penanganan tindak
pidana korupsi serta bisa menjadi masukan dalam penyusunan Rancangan Undang-
Undang terkait tata cara intersepsi dalam rangka penegakan hukum. Sebagai hasil
penelitian dapat disimpulkan bahwa penyadapan merupakan tindakan yang
melanggar hak asasi manusia. Penyadapan terhadap seseorang, baik menggunakan
alat sadap maupun penyadapan terhadap alat komunikasinya merupakan tindakan
yang telah melanggar hak privasi terkait dengan kebebasan berkomunikasi. Namun
hak ini dapat disimpangi oleh negara berdasarkan Undang-Undang karena hak
berkomunikasi ini termasuk ke dalam kategori derogable rights. Sebagai bagian dari
hak asasi manusia, hak berkomunikasi ini juga diatur dalam instrumen hukum
internasional, antara lain dalam International Covenant on Civil and Political
Rights(ICCPR). Sebagian negara di dunia telah memiliki Undang-Undang yang
secara khusus mengatur penyadapan, sementara hingga saat ini Indonesia belum
memilki Undang-Undang sama. Saat ini teknis penyadapan yang dilakukan oleh KPK
hanya didasarkan pada peraturan setingkat menteri yaitu Peraturan Menteri
Komunikasi dan Informatika Nomor 11/Per/M.Kominfo/02/2006 tentang Teknis
Penyadapan Terhadap Informasi. Untuk operasionalnya, KPK mempunyai SOP
penyadapan yang mana setiap penyadapan yang dilakukan harus berdasarkan SOP
ini. Untuk menyempurnakan peraturan terkait lawful interception, pemerintah
berencana membuatnya dalam bentuk Peraturan Pemerintah sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 31 ayat (4), namun ditentang oleh banyak pihak. Mahkamah Konstitusi kemudian
memutus perkara uji materil terhadap pasal terkait dan menyatakan bahwa pasal
tersebut bertentangan dengan UUD dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Oleh
karena itu, aturan tata cara lawful interception ini hendaknya dibuat dalam bentuk
Undang-Undang bukan Peraturan Pemerintah.

Abstract
Indonesia. This independent institution is specially established to handle corruption
crime. In implementing its investigation and prosecution, the KPK is authorized by
law to use interception and/or wiretapping. The authority of KPK to conduct this
interception is contradict to the elements of human rights especially privacy right
which related to freedom of communication. A subject of discussion in this research
is how interception conducted by KPK viewed from human rights perspective and
how the related regulation with interception in Indonesia. This thesis writing using
librarian research method with secondary data as the resource. This secondary data
consist of primary law material consist of regulations and court verdict; secondary
law material consist of books, scientific magazine, news paper article, scientific paper
and internet resources as well; also tertiary law material consist of grand dictionary of
Bahasa Indonesia and legal dictionary. The expected result of this research is to
obtain a clear position about human rights perspective in the implementation of
interception in handling corruption crime and to provide suggestion in the drafting of
law related to interception method as well in the frame of legal enforcement. In short,
the research can be concluded that principally an interception is contradict with
human rights. An interception to a person whether using interception device or
interception toward his communication device is contradict to the privacy rights
which related to freedom of communication. However, this privacy right may be
overrided by state based on the law because the right of communication in considered
as derogable rights. As a part of human rights, the freedom of communication is also
governed by international law instrument among others International Covenant on
Civil and Political Rights. Some of the states in the world has owned the laws which
govern specifically about interception, while Indonesia, has not yet govern the
specific law on interception. At this moment, the technical method of interception
conducted by KPK is only based on the regulation in the ministerial level namely
Ministry of Communication and Information Decree Number
11/Per/M.Kominfo/02/2006 concerning Technical Interception Toward Information.
For the operational purpose, KPK has their own standard operational procedure
(SOP) where all interception should be conducted based on this SOP. To the
perfection of regulation related to lawful interception, the government has planned to
enact a government regulation as mandated by law on Information and Electronic
Transaction Article 31 paragraph (4), but this plan has been argued by many parties.
The Constitution Court has decided the judicial review on the related article and
stated that the said Article is contradict to the UUD and has no legal force. Therefore, the provision on the lawful interception is suggested to be made in the form of law
(undang-undang) not in the form of government regulation."
Universitas Indonesia, 2011
T29317
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tirmizi
"Skripsi ini menguraikan peran Yap Thiam Hien dalam menegakkan Hak Asasi Manusia di Indonesia dan dunia internasional. Pergulatan Yap dalam misi mulia tersebut berakar dari latar belakangnya sebagai kaum minoritas di Indonesia dan kerisauannya terhadap sikap diskriminatif kaum kolonialis serta tidak diindahkannya hak-hak rakyat oleh para penggenggam kekuasaan pascakemerdekaan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2002
S12592
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irdham Riyanda
"DPRD sebagai bagian dari pemerintahan daerah mendapat anggaran yang bersumber dari APBD. Untuk meningkatkan kinerja DPRD, Pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah yang mengatur protokoler dan keuangan pimpinan dan anggota DPRD. Pokok permasalahannya adalah apakah Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 (PP Nomor 37 Tahun 2006) dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2007 (PP Nomor 21 Tahun 2007) bertentangan dengan undang-undang yang terkait? Serta bagaimana dampak kedua peraturan pemerintah tersebut terhadap kondisi keuangan daerah?
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum yuridis-normatif dengan menggunakan data sekunder. PP Nomor 37 Tahun 2006 dalam Pasal 14D bertentangan dengan UU Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-Undangan, UU Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pasal 14B PP Nomor 21 Tahun 2007 bertentangan dengan UU Nomor 10 Tahun 2004. Ditetapkannya Penyelidikan dan..."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
S22149
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teguh Eko Wirdhani
"Undang-undang No. 39 tentang Hak Asasi Manusia dianggap sebuah peraturan terobosan, yang dibuat oleh pemerintah Indonesia setelah pemerintahan Presiden Soeharto. Yang diikuti oleh keluarnya sebuah lembaga baru yang khusus untuk mengadili pelanggaran-pelanggaran terhadap HAM yaitu Pengadilan HAM dengan undang-undang No 26 tahun 2000 sebagai dasar pembentukannya.Ternyata pada kenyataanya usaha pemerintah untuk menyelesaikan masa lalunya tidak bisa hanya melalui sebuah lembaga pengadilan HAM. Susahnya menguak masa lalu, hanya dengan lembaga pengadilan HAM, terasa ketika para terdakwa kasus pelangaran berat HAM yang diproses melalui pengadilan HAM pada putusan akhirnya dinyatakan bebas. Kecewa adalah perasaan yang pasti keluar dari hati para korban melihat para terdakwa bebas dari semua tuntutan.Bebasnya para terdakwa kasus pelanggaran berat HAM TIMTIM ini mengindikasikan bahwa untuk mencari keadilan dimasa perubahan sangatlah susah. Oleh karena susahnya mencari keadilan dimasa transisi maka pemerintah, dengan melihat dari pengalaman-pengalaman negara lain dalam mengatasi masa lalunya, akhirnya mengeluarkan sebuah undang-undang No 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Dengan hadirnya KKR maka diharapkan dapat memberikan rasa keadilan yang diinginkan oleh para korban, walaupun akan terasa naïf bila kita tidak mengatakan bahwa rasa keadilan dimasa transisi akan terasa jauh dengan rasa keadilan di masa yang normal. Disamping itu juga kehadiran KKR diharapkan dapat memberikan masukan kepada pemerintah maupun masyarakat Indonesia agar peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM yang berat yang terjadi dimasa lalu tidak terulang. Serta kehadiran KKR juga diharapkan dapat meluruskan sejarah masa lalu bangsa Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Setelah secara resmi melakukan eksplorasi pertambangan di Mimika pada awal tahun 1970, PT. Freeport Indonesia secara perlahan melakukan pengambilan secara paksa atas tanah adat dari masyarakat lokal untuk kepentingan usaha mereka. Masyarakat adat suku Amungme dan Kamoro sebagai suku asli yang merasakan dampak langsung dari aktifitas pertambangan Freeport harus mengalami berbagai tindakan pelanggaran HAM yang berkepanjangan. Setelah sebagian besar tanah adat mereka diambil secara paksa, kedua suku tersebut masih harus mengalami berbagai tindakan kekerasan, penyiksaan bahkan pembunuhan sebagai akibat dari perlawanan mereka dalam usahanya mengambil kembali hak-hak yang telah dirampas oleh perusahaan atas dukungan dari pemerintah. Menghadapi situasi ini, kedua masyarakat adat memutuskan untuk menghadapi Freeport dengan berbagai cara. Reaksi pertama yang dilakukan oleh suku Amungme dan Kamoro dilakukan dengan melakukan perlawanan fisik mulai dari demonstrasi, pemotongan pipa konsentrat, penutupan akses masuk kedalam area pertambangan sampai pembakaran terhadap Bandara Mimika. Atas pertimbangan efektifitas dan jatuhnya banyak korban sebagai akibat dari perlawanan fisik yang telah dilakukan, masyarakat adat melalui lembaga adat dan dibantu oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pada akhirnya memutuskan untuk mengambil langkah hukum dengan menuntut Freeport melalui pengadilan Amerika Serikat. Langkah yang diambil oleh masyarakat ini pada dasarnya telah sesuai dengan perkembangan dunia kontemporer yang telah sejak lama meninggalkan penggunaan tindakan fisik untuk menyelasaikan sebuah permasalahan. Hal ini sejalan dengan pendapat Joel Handler dalam Theory of Law Reform and Social Change dimana upaya hukum merupakan jalan yang paling efektif untuk dapat melakukan sebuah perubahan sosial.

Since officially having exploration in Mimika early 1970, Freeport Indonesia Corporation gradually taking over forcibly the Indigenous land of local community for their interest purposes. The Indigenous people of Amungme and Kamoro as local community who feel the direct effect from Freeport's minning operation having experience human rights violation for a long time. After most of their land be taking over, both of them still be through violence act, torture even murder as result of their resistance againts Freeport. Facing off this situation, both of Indigenous people decided to oppose that corporation with some action. Firstly, Amungme and Kamoro againts Freeport conducted with some physical resistence like demonstration, blocking the entry acces to minning, cutting the concentrate pipe until burning of the airport. Considering of effectivity and many victim which fell in their side cause this physical resistence, the Indegenous people supported by some civil society that concern of this case decided to take legal action to prosecute Freeport through the United Stated Courts. This step which chosen by Indigenous peoples are essentially due with world situation nowadays that have for a long time left physical action to resolve a problem. This case is in line with Joel Handler's idea in the Theory of Law Reform and Social Change, which he said that legal action is most effective way to realized a social change."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
S62437
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>