Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Erni Erfan
Abstrak :
Perdarahan merupakan gejala klinis yang ditakuti terjadi pada demam berdarah dengue (DBD). Jumlah trombosit dalam darah penderita DBD mengalami penurunan hingga kurang dari 105/mL. Transfusi trombosit kepada penderita pada masa akut tidak menghasilkan peningkatan jumlah trombosit secara signifikan. Biasanya jumlah trombosit penderita yang telah diobati dengan kortikosteroid akan meningkat dengan sendirinya sehingga tidak memerlukan lagi transfusi trombosit. Mekanisme yang menyebabkan fenomena ini belum diketahui secara pasti. Meskipun demikian, fenomena ini menimbulkan dugaan akan adanya faktor imun, dalam hal ini otoimun terhadap trombosit penderita sendiri. Untuk mencari kemungkinan adanya otoantibodi anti trombosit pada penderita DBD dengan jumlah trombosit kurang dari 105/mL, serum DBD tersebut dicampur dengan lisat trombosit normal. Lisat didapat dengan cara freeze-thawing. Pelacakan dilakukan dengan menggunakan teknik ELISA dengan mengikat lisat trombosit pada rase padat, yaitu dinding sumur plastik mikroplat ELISA. Setelah penambahan serum DBD, yang disusul dengan pencucian, ditambahkan dengan antibodi kelinci anti protein serum manusia. Adanya kompleks imun dilacak dengan penambahan antibodi kambing anti IgG kelinci yang telah ditandai dengan peroksidase. Reaksi positif yang menunjukan adanya kompleks imun ditunjukan oleh terbentuknya senyawa yang berwarna jingga kekuning-kuningan pada penambahan substrast H202 dan kromogen odianisidine. Pembacaan dilakukan pada k 450 nm. Berdasarkan rata-rata nilai serapan basil ELISA melalui uji t telah terbukti bahwa perbedaan rata-rata nilai serapan optik hasil ELISA kelompok pasien berbeda secara sangat signifikan dari kelompok serum normal. Rata-rata nilai serapan optik kelompok pasien setelah dikoreksi dengan rata-rata nilai serapan optik blanko berkisar 0,103 sampai dengan 0,193 dengan rata-rata 0,145 ± 0,0340. Rata-rata nilai serapan optik kelompok normal setelah dikoreksi dengan rata-rata nilai serapan optik blanko berkisar antara 0,004 sampai dengan 0,089 dengan rata-rata 0,037 ± 0,0339. Kemudian juga dilakukan deteksi otoantibodi tersebut dengan menggunakan teknik Western Bloat. Ternyata protein dengan berat molekul sekitar (160-200) kDa, 97 kDa dan 50 kDa dapat dikenali dan diikat oleh serum yang berasal dari pasien. Hasil yang sama tidak ditemukan pada serum normal.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
T 1699
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faizah
Abstrak :
ABSTRAK
Penyakit asma bronkial dan/atau rinitis atopik terutama disebabkan oleh Dermatoohagoides pteronyssinus. Antibodi yang berperan pada reaksi alergi ialah IgE dan IgG, yaitu I gG sebagai 'short-term anaphylactic antibody' dan 'precipitating antibody'. Sebaliknya IgG dapat mencegah timbulnya reaksi alergi karena I gG berperan sebagai 'blocking antibody'. Tujuan penelitian mi meneliti peranan aktivitas antibodi IgE dan IgG terhadap D. pteronyssinus, serta hubungan antara keduanya terhadap alergen yang sama pada penderita asma bronkial dan/atau rinitis atopik sebelum dilakukan imunoteraoi. penentuan aktivitas IgE dan aktivitas I gG dilakukan dengan teknik 'Enzym Linked Immuno Sorbent Assay' (ELISA). Selain itu dilakukan pula penghitungan jumlah eosinofil. Berdasarkan uji Mann-whitney diketahui bahwa, aktivitas I gE, aktivitas I gG, serta kadar eosinofil pada penderita asma bronkial dan/atau rinitis atopik berbeda dengan orang non-alergi, yaitu lebih tinggi pada penderita ( E =66,81%; X G1 = 62,02%; X ES1 = 518,87 sel/mm3 ) daripada orang nonalergi (R E2 = 3996%; X = 40,32%; X ES 2 = 122,15 sel/ mm3 ). Dengan uji korelasi jenjang Spearman di.peroleh kesimpulan, tidak ada korelasi antara aktivitas igE dengan aktivitas I gG dan juga dengan kadar eosinofil.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ani Retno Prijanti
Abstrak :
Homosistein adalah suatu senyawa antara yang mengandung sulfur pada proses sintesis asam amino sistein dari metionin. Radar normal dalam darah kurang lebih 10 µ mol/L. Peningkatan kadarnya dihubungkan dengan "premature vascular diseases" dan merupakan faktor resiko penyakit jantung koroner. Peningkatan kadar lebih dari 100 µ mol/L menyebabkan homosisteinuria. Bila tidak diterapi maka 50°/o penderita akan mengalami tromboemboli dan mortalitasnya 20% pada penderita usia 30 tahun. Faktor resiko ?'kadar homosistein tinggi" ini apabila dapat diketahui maka dapat diupayakan pencegahannya atau paling tidak dapat memperlambat terjadinya kerusakan vaskuler pada seseorang. Saat ini pengukuran kadar homosistein plasma ditetapkan dengan metoda HPLC yang canggih dan kepekaannya tinggi, namun sangat mahal biaya operasinya Karena itu dirasa perlu dikembangkan cara penetapan lain yang lebih murah dan cukup peka, seperti ELISA. Sebagai langkah awal dilakukan upaya isolasi antibodi kelinci anti hoinosistein. Kelinci diinduksi dengan homosistein yang diikatkan pada permukaan membran eritrosit memakai glutaraldehid 2,5%. Induksi imunisasi dengan dosis total perkali 1 mL yang disuntikkan dengan cara subkutan di 5 lokasi berbeda pada kulit punggung kelinci. imunisasi dilakukan dengan selang waktu 1 minggu. Serum kelinci diambil pra dan pasca imunisasi ke 3. Titer antibodi kelinci anti hoinosistein diukur dengan metoda hemaglutinasi pasil. Hasil yang didapat, titer antibodi kelinci anti homosistein praimunisasi 0 (nol) dan pasca imunisasi ke 3 adalah 32.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Bernard Iwantoro
Abstrak :
Latar belakang: Sepsis neonatal masih menjadi masalah kesehatan di dunia. Hal ini tidak terlepas dari kesulitan dalam menegakkan diagnosis akibat sistem imun yang belum sempurna sehingga tidak memiliki gejala yang khas dan tidak memiliki penanda laboratorium tunggal. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menilai potensi CD64 neutrofil, HLA-DR monosit dan rasio CD64 neutrofil per HLA-DR monosit sebagai penanda sepsis neonatal. Metode: Subjek penelitian ini adalah neonatus yang  dicurigai sepsis secara klinis yang ditandai dengan gejala pada salah satu sistem organ. Diagnosis sepsis neonatal secara klinis ditegakkan berdasarkan kriteria dari European Medical Association. Expresi CD64 neutrofil dan HLA-DR monosit dilakukan menggunakan flow cytometry mengikuti protokol Quantibrite dengan hasil dilaporkan sebagai indeks fluoresens dan dikonversi menjadi antibody bound per cell (ABC). Sedangkan rasio CD64 neutrofil per HLA-DR monosit didapatkan dari hasil perhitungan. Hasil: Lima puluh subjek neonatus berhasil direkrut dalam penelitian ini, yang terdiri 24 subjek sepsis, dan 26 subjek non sepsis. Ekspresi CD64 neutrofil dan rasio CD64 neutrofil per HLA-DR monosit lebih tinggi pada kelompok sepsis neonatal dan masing-masing memiliki area under curve (AUC) 71,8% dan 70,2%. Nilai titik potong CD64 neutrofil didapatkan 5.196,15 ABC sedangkan rasio CD64 neutrofil terhadap HLA-DR monosit memiliki titik potong 13,44%. Kesimpulan: CD64 neutrofil dan rasio CD64 neutrofil per HLA-DR monosit berpotensi menjadi penanda sepsis neonatal. ......Background: Neonatal sepsis remains a global health concern. This is attributed to the challenges in establishing a diagnosis due to an immature immune system, resulting in a lack of specific symptoms and a singular laboratory marker. Objective: This research aims to explore the potential of CD64 neutrophils, HLA-DR monocytes, and the CD64 neutrophil to HLA-DR monocyte ratio as markers for neonatal sepsis. Methods: The subjects of this study were neonates with suspected sepsis, identified by symptoms affecting one of the organ systems. Neonatal sepsis confirmation followed the criteria set by the European Medical Association. CD64 neutrophil and HLA-DR monocyte examinations were conducted using flow cytometry following the Quantibrite protocol and reported as fluorescence index that were converted to antibody bound per cell (ABC). Meanwhile, the CD64 neutrophil to HLA-DR monocyte ratio was calculated. Results: Fifty neonatal subjects were recruited into this study, comprising 24 sepsis cases and 26 non-sepsis cases. The expression of CD64 neutrophils and the CD64 neutrophil to HLA-DR monocyte ratio were higher in the neonatal sepsis group, with respective areas under the curve (AUC) of 71.8% and 70.2%. The cutoff value for CD64 neutrophils was determined to be 5,196.15 ABC, while the cutoff for the CD64 neutrophil to HLA-DR monocyte ratio was 13.44%. Conclusion: CD64 neutrophils and the CD64 neutrophil to HLA-DR monocyte ratio show potential as markers for neonatal sepsis.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Weinheim, Germany: Wiley Blackwell, 2014
R 615.37 HAN I
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Weinheim, Germany: Wiley Blackwell, 2014
R 615.37 HAN II
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Weinheim, Germany: Wiley Blackwell, 2014
R 615.37 HAN III
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Weinheim, Germany: Wiley Blackwell, 2014
R 615.37 HAN IV
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Christy Ambarsari
Abstrak :
Diabetes melitus merupakan kelainan metabolik yang ditandai hiperglikemia dimana landasan terapinya masih menggunakan human insulin. Telah banyak sediaan yang beredar, namun metode analisis yang standar dan valid belum ditetapkan di dalam negeri. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan dan memvalidasi metode analisis secara indirect ELISA dibandingkan KCKT UV fase terbalik untuk determinasi sediaan. Antibodi poliklonal IgG dihasilkan dari kelinci yang diimunisasi dengan 1 mg/mL antigen human insulin rekombinan, dimurnikan melalui presipitasi dan kromatografi afinitas, dikuantitasi dengan spektrofotometer UV280nm, dikarakterisasi dengan uji Dot blot menggunakan substrat BCIP-NBT, serta dikarakterisasi melalui uji SDS-PAGE dan Western Blot dengan konsentrasi gel 7,5% dan 17,5%. Sedangkan, metode KCKT menggunakan kolom ReliantTM C-18 (4,6 x 150 mm, 5 µm), fase gerak Na2SO4 pH 2,3 : Na2SO4 pH 2,3 dalam asetonitril (55:45,v/v) rasio 38:62 v/v, standar internal etilparaben 10 µg/mL, detektor UV 215 nm, suhu kolom 40°C, laju alir 1 mL/menit, dan volume injek 20 µL. Validasi kedua metode dilakukan terhadap larutan uji yang mengandung m-kresol dan gliserol. Metode ELISA pada rentang 80,11-200,28 µg/mL (r = 0,99) dan KCKT pada 9,735-146,025 µg/ml (r = 0,9997) terbukti linear. Rekoveri pada ELISA dan KCKT adalah 99,11% ± 5,01 dan 100,71% ± 1,11, sedangkan RSD 3,91% dan 0,64%. LOD dan LOQ metode ELISA 22,05 µg/mL dan 73,51 µg/mL, serta KCKT 0,193 µg/ml dan 0,643 µg/ml. Human insulin bersifat stabil pada suhu 2-8°C selama 24 jam (ELISA) dan suhu 23°C selama 48 jam (KCKT). Kesimpulan, hasil validasi kedua metode valid dan mampu mendeterminasi human insulin tanpa berbeda siginifikan (Uji T, a0,05).  ......Cannot connect to Ginger Check your internet connection or reload the browser. Disable in this text field Rephrase Rephrase current sentence Edit in Ginger Enable Ginger Cannot connect to Ginger Check your internet connection or reload the browser Disable in this text field phrase. Rephrase current sentence. Edit in Ginger Enable Ginger. Diabetes mellitus is a metabolic disorder characterized by hyperglycemia that is still treated with human insulin. Many preparations on the market, but a standard and valid analytical method has not been established in our country. This study aims to develop and validate an indirect ELISA method for determining human insulin comparative to reverse phase UV HPLC. IgG polyclonal antibodies were produced by immunizing rabbits with 1 mg/mL recombinant human insulin antigen, purified by precipitation and affinity chromatography, quantified by UV spectrophotometer 280nm, characterized by dot blot test using BCIP-NBT substrate, and characterized by SDS-PAGE and Western Blot at 7.5% and 17.5% gel concentrations. The HPLC method was performed using a Reliant TM C-18 column (4.6 x 150 mm, 5 µm), with mobile phase Na2SO4 pH 2.3: Na2SO4 pH 2.3 in acetonitrile (55:45, v/v) ratio 38: 62 (v/v), 10 µg/mL ethylparaben internal standard, UV detector 215 nm, 40°C column temperature, 1 mL/minute flow rate, and 20 µL injection volume. The validation of both methods using test solutions containing m-cresol and glycerol. ELISA method in the range of 80.11-200.28 µg/mL (r = 0.99) and HPLC at 9.735-146.025 µg/ml (r = 0.9997) was resulted to be linear. The recovery yields on ELISA and HPLC were 99.11%±5.01 and 100.71%±1.11. RSD on ELISA and HPLC were 3.91%, and 0.64%, respectively. The LOD and LOQ of the ELISA were 22.05 µg/mL and 73.51 µg/mL, while HPLC were 0.193 µg/ml and 0.643 µg/ml. Human insulin is stable at 2-8°C for 24 hours (ELISA) and 23°C for 48 hours (HPLC). In conclusion, the validation results of both methods are valid and able to determine human insulin with no significant difference (T test, a0.05). Cannot connect to Ginger Check your internet connection or reload the browser Disable in this text field Rephrase Rephrase current sentence Edit in Ginger Enable Ginger Cannot connect to Ginger Check your internet connection or reload the browser Disable in this text field Rephrase Rephrase current sentence Edit in Ginger.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chaula Putri Rizkia
Abstrak :
Respons antibodi spesifik SARS-CoV-2 dapat diperoleh dari paparan virus ketika infeksi ataupun dari vaksinasi. Studi mengenai rasio CD4+/CD8+ sebagai penanda status imunitas masih belum banyak dilakukan pada dewasa sehat. Vitamin D yang memiliki efek imunomodulatori pada sistem imun adaptif dan alamiah, mampu memodulasi pembentukan antibodi dan regulasi dari sel T. Penelitian ini bertujuan melihat hubungan kadar 25(OH)D serum terhadap titer antibodi SARS-CoV-2 dan rasio CD4+/CD8+ sebagai penanda status imunitas individu. Studi potong lintang ini dilakukan terhadap tenaga kesehatan di tiga rumah sakit rujukan COVID-19 di Jakarta dan Depok pada periode Juli–Desember 2021. Pengambilan data yang dilakukan berupa wawancara kuesioner data sosiodemografik, pemeriksaan tanda-tanda vital, pengukuran antropometri, dietary assessment menggunakan 24-h food recall dan SQ-FFQ. Pengambilan sampel darah dilakukan untuk menilai kadar 25(OH)D serum, rasio CD4+/CD8+, dan titer antibodi SARS-CoV-2. Didapatkan 154 tenaga kesehatan usia 22-53 tahun dalam kondisi sehat dan tanpa riwayat penyakit kronis. Median asupan vitamin D subjek penelitian sebesar 2,42 mcg/hari (1,23–4,00) dengan 94,7% subjek memiliki asupan vitamin D yang kurang. Median kadar serum 25(OH)D pada subjek sebesar 14,4 ng/mL (9,50–18,62) dengan 81,8% subjek mengalami defisiensi dan 14,9% subjek mengalami insufisiensi vitamin D. Median rasio CD4+/CD8+ 1,14 (0,88–1,34), 85,7% subjek memiliki titer antibodi SARS-CoV-2 >250 U/mL dan 14,3% subjek memiliki titer antibodi ≤250. Tidak ditemukan adanya hubungan yang siginifikan antara kadar 25(OH)D dengan titer antibodi SARS-CoV-2 (p 0,209 OR 4,101 95% CI 0,45–37,04) dan Rasio CD4/CD8 (p 0,385 𝛃 -0,005 95% CI -0,0015–0,006). Asupan dan kadar vitamin D pada subjek penelitian masih tergolong rendah. Penelitian ini tidak berhasil membuktikan adanya hubungan antara kadar serum 25(OH)D dengan rasio CD4+/CD8+ dan titer antibodi SARS-CoV-2. ......SARS-CoV-2 specific antibody response can be generated from exposure to the virus during infection or from vaccination. There is limited data on CD4+/CD8+ ratio in healthy individuals as a marker of immunity status. Vitamin D, which has an immunomodulatory effect on both  innate and adaptive immune systems, is able to modulate antibody formation and regulation of T cells. This study aimed to examine the association between serum 25(OH)D levels and SARS-CoV-2 antibody titers along with CD4+/CD8+ ratio as a marker of immunity status. This cross-sectional study was conducted on healthcare workers at three COVID-19 referral hospitals in Jakarta and Depok in the period of July–December 2021. Data collection was carried out using questionnaire, examination of vital signs, anthropometric measurements, dietary assessment using 24-h food recall, and SQ-FFQ. Blood samples were taken to assess serum 25(OH)D levels, CD4+/CD8+ ratio, and SARS-CoV-2 antibody titers. 154 healthcare workers aged 22-53 years who were in good health and had no history of chronic disease were examined in this study. The median intake of vitamin D was 2.42 mcg/day (1.23-4.00), with 94.7% of participants having insufficient intake of vitamin D. The median serum 25(OH)D level was 14.4 ng/mL (9.50-18.62), with 81.8% participants are vitamin D deficiency and 14.9% are insufficient. Median CD4+/CD8+ ratio was 1.14 (0.88 to 1.34). 85.7% participants had SARS-CoV-2 antibody titers >250 U/mL, while 14.3% were below 250 U/mL. There was no significant relationship of serum 25(OH)D levels to SARS-CoV-2 antibody titers (p 0.209 OR 4.101 95% CI 0.45–37.04) and CD4+/CD8+ ratio (p 0.385 o-0.005 95% CI -0.0015–0.006). Vitamin D intake and serum 25(OH)D levels are relatively low. This study disproves relationship between serum 25(OH)D levels with CD4+/CD8+ ratio and SARS-CoV-2 antibody.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>