Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andry Hartanto
Abstrak :
Intervensi yang sedang populer di kalangan perempuan sebagai rekonstruksi wajah tanpa operasi yaitu tanam benang atau tarik benang. Akupunktur tanam benang adalah salah satu jenis tindakan akupunktur yang memanfaatkan benang yang dapat diserap, yang melekat pada jarum. Kerusakan jaringan akibat penusukan dan penyisipan benang menghasilkan reaksi inflamasi aseptik dan akhirnya mendorong regenerasi jaringan sekitar. Meskipun akupunktur tanam benang telah banyak dilakukan untuk kasus-kasus tertentu, terutama untuk kasus kosmetika, namun masih kurangnya bukti mengenai keamanannya baik di Korea, yang merupakan negara yang mempopulerkan teknik ini. Infeksi, reaksi terhadap benang yang dianggap benda asing oleh tubuh, nodul subkutan atau eritem, gatal, reaksi inflamasi akibat mikrotrauma saat penusukan dan penyisipan adalah hal-hal yang mungkin terjadi dalam tindakan akupunktur tanam benang ini. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa ada 4 subyek (30,77%) yang merasakan 1 jenis tanda kardinal inflamasi, 3 subyek (23,08%) yang merasakan 3 jenis tanda inflamasi, 5 subyek (38,46%) yang merasakan 4 jenis tanda kardinal inflamasi dan 1 subyek (7,69%) yang merasakan semua jenis tanda kardinal inflamasi. Bila dilihat dari tanda kardinal, maka 100% pasien mengalami dolor, 6 pasien mengalami kalor, 7 pasien mengalami rubor dan tumor, serta 5 pasien mengalami fungsio lesa. Nilai FACE-Q untuk domain penampilan wajah dan kualitas hidup terkait dengan kesehatan cukup tinggi reratanya, sedangkan untuk dampak buruk cukup rendah reratanya. Untuk uji korelasi antara perubahan kerutan nasolabial dengan nilai FACE-Q tidak ada korelasi. Dapat disimpulkan bahwa prosedur akupunktur tanam benang relatif aman dan minimal efek samping serta memberi penilaian subyektif yang tinggi. ......An intervention that is popular with women as face reconstruction without surgery is planting threads or pulling threads. Thread acupuncture is one type of acupuncture that utilizes absorbable thread attached to the needle. Tissue damage due to puncturing and insertion of threads results in aseptic inflammatory reactions and ultimately encourages the regeneration of surrounding tissue. Although yarn acupuncture has been used for certain cases, especially for cosmetics, there is still a lack of evidence regarding its safety either in Korea, which is a country that popularized this technique. Infection, reactions to threads that are considered foreign bodies by the body, subcutaneous nodules or erythema, itching, inflammatory reactions due to microtrauma during pricking and insertion are things that might occur in this thread acupuncture action. The results showed that there were 4 subjects (30.77%) who felt 1 type of cardinal inflammation sign, 3 subjects (23.08%) who felt 3 types of inflammatory sign, 5 subjects (38.46%) who felt 4 types of signs cardinal inflammation and 1 subject (7.69%) who felt all kinds of inflammatory cardinal signs. When viewed from the cardinal sign, then 100% of patients experience color, 6 patients experience heat, 7 patients experience rubles and tumors, and 5 patients experience fatigue. The FACE-Q value for the domain of facial appearance and quality of life associated with health is quite high, while for adverse effects it is quite low. For the correlation test between changes in nasolabial wrinkles with the FACE-Q value there is no correlation. It can be concluded that the thread acupuncture procedure is relatively safe and minimizes side effects and gives a high subjective assessment.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zuniar
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
T58978
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alvira Rozalina
Abstrak :
Latar Belakang: Panjang interval QTc dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya oleh inflamasi. Pada pasien COVID-19 sering terjadi badai sitokin sehingga menyebabkan peningkatan signifikan dari sitokin inflamasi, termasuk interleukin 6. Peningkatan interleukin 6 menyebabkan perubahan pada kanal ion kardiomiosit sehingga menyebabkan pemanjangan interval QTc yang berisiko aritmia. Tujuan: Mengetahui korelasi dengan melihat beda rerata kadar interleukin 6 dan panjang interval QTc, nilai titik potong kadar interleukin 6 terhadap panjang interval QTc > 500 ms dan kekuatan kadar interleukin 6 dalam menilai risiko aritmia ventrikular. Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang dengan mengambil data sekunder rekam medik pasien COVID-19 yang menjalani rawat inap di RSCM Kiara sejak November 2020 hingga Maret 2021. Pada penelitian ini dilakukan analisis bivariat menggunakan uji Spearman. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap beda rerata kadar interleukin 6 pada kelompok subyek dengan panjang interval QTc > 500 ms dan kelompok subyek dengan panjang interval QTc normal. Dilakukan analisis dengan Receiver Operating Curve (ROC) untuk melihat Area under curve (AUC) dan menentukan titik potong kadar interleukin 6 terhadap panjang interval QTc > 500 ms. Hasil: Pada penelitian ini didapatkan korelasi kadar interleukin 6 dan panjang interval QTc (r=0,72). Median kadar interleukin 6 pada kelompok subyek dengan interval QTc > 500 ms yaitu 99,36 pg/ml sedangkan pada kelompok subyek dengan interval QTc normal yaitu 19,51 pg/mL. Didapatkan AUC=0,852 untuk menentukan titik potong kadar interleukin 6 terhadap panjang interval QTc > 500 ms dengan nilai 59 pg/ml, dengan sensitivitas 80,6% dan spesifisitas 80%. Kejadian aritmia ventrikular tidak ditemukan sehingga tidak dapat dilakukan analisis untuk menilai kekuatan kadar interleukin 6 untuk menentukan risiko aritmia ventrikular. Kesimpulan: Terdapat korelasi kadar interleukin 6 dan panjang interval QTc dengan beda rerata kadar interleukin 6 pada subyek dengan interval QTc > 500 ms 5 kali lebih besar dibandingkan kelompok subyek dengan panjang interval QTc normal. Kadar interleukin 6 59 pg/mL ditentukan sebagai nilai titik potong terhadap panjang interval QTc > 500 ms. ......Background: The length of the QTc interval is influenced by various factors, one of which is inflammation. In COVID-19 patients, cytokine storms often occur, causing a significant increase in inflammatory cytokines, including interleukin 6. An increase in interleukin 6 can cause changes in the ion channels of cardiomyocytes, which can lead to prolonged QTc interval which is at risk of arrhythmias. Objective: Knowing the correlation by looking at the differences in interleukin 6 levels and the length of the QTc interval, the cut-off value of interleukin 6 levels to the length of the QTc interval > 500 ms and the strength of interleukin 6 levels in assessing the risk of ventricular arrhythmias. Method: This study used a cross-sectional study design by taking secondary data from the medical records of COVID-19 patients who were hospitalized at RSCM Kiara from November 2020 to March 2021. In this study, a bivariate analysis was carried out using the Spearman test. Furthermore, an analysis of the mean difference in interleukin 6 levels was carried out in the subject group with a QTc interval length> 500 ms and the subject group with a normal QTc interval length. Analyzes were performed using the Receiver Operating Curve (ROC) to see the area under curve (AUC) and determine the interleukin 6 cutoff point for the QTc interval length> 500 ms. Result: The correlation between interleukin 6 levels and the length of the QTc interval (r=0.72) was found. The median level of interleukin 6 in the group of subjects with a QTc interval > 500 ms was 99.36 pg/ml while in the group of subjects with a normal QTc interval it was 19.51 pg/mL. AUC = 0.852 was obtained to determine the cut-off point for interleukin 6 levels to the QTc interval length > 500 ms with a value of 59 pg/ml, with a sensitivity of 80.6% and specificity of 80%. The incidence of ventricular arrhythmias was not found so that an analysis could not be performed to assess the power of interleukin 6 levels to determine the risk of ventricular arrhythmias. Conclusion: There is a correlation between levels of interleukin 6 and the length of the QTc interval. The mean difference of interleukin 6 levels in subjects with QTc intervals> 500 ms was 5 times greater than those in groups of subjects with normal QTc interval lengths. The level of interleukin 6 59 pg / mL was determined as the cutoff value for the QTc interval length> 500 ms.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Edward Faisal
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang. Konstipasi idiopatik kronik adalah masalah yang cukup banyak terjadi, dan berhubungan dengan proses inflamasi. Proses inflamasi yang diwakili oleh rasio neutrofil limfosit merupakan marker inflamasi yang cukup stabil dan banyak digunakan, dan diduga ada hubungannya dengan terjadinya gejala depresi. Tujuan. Studi ini bertujuan untuk mengetahui hubungan rasio neutrofil limfosit dengan gejala depresi pada konstipasi idiopatik kronik. Metode. Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang melibatkan pasien konstipasi idiopatik kronik berusia 18-59 tahun di populasi. Di saat bersamaan, dinilai gejala depresi dengan menggunakan Beck Depression Inventory-II kemudian diambil sampel darah untuk menilai rasio neutrofil limfosit. Uji hipotesis dilakukan dengan uji korelasi Pearson. Hasil. Sebanyak 73 subyek didapatkan rerata (SB) usia adalah 40,29 (11,2) tahun, dengan proporsi perempuan 90,4%. Median RNL (min-maks) adalah 1,72 (0,27-7,18). Hasil analisis korelasi didapatkan hasil koefisien korelasi (r) = 0,028 (p = 0.811). Kesimpulan. Rasio neutrofil limfosit tidak berhubungan dengan gejala depresi pada konstipasi idiopatik kronik.
ABSTRACT
Background. Chronic idiopathic constipation is a problem that is quite common and is related to the inflammatory process. Inflammation marker is represented by neutrophil lymphocyte ratio that is quite stable and widely used and is thought to have something to do with the occurrence odd depressive symptoms. Objectives. This study was aimed to determine relationship between neutrophil lymphocyte ratio and depressive symptom in chronic idiopathic constipation. Methods. This was a cross sectional study involving chronic idiopathic constipation patients aged 18-59 years old in population. At the same time depressive symptoms were assessed using the Beck Depression Inventory-II and blood sample were taken to assess the neutrophil lymphocyte ratio. Pearson correlation test was done for hypothesis testing. Results. From total of 75 subjects, the mean (SB) age is 40.29 (11.2) years and the proportion of women is 90.4%. The median RNL (min-max) is 1.72 (0.27-7.18). The results of correlation coefficient obtained from correlation analysis is (r) = 0.028 (p= 0.811). Conclusion. The neutrophil lymphocyte ratio is not associated with depressive symptom in chronic idiopathic constipation.
2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Febriyanti Wulandari
Abstrak :
Kemerahan pada kulit eritema merupakan salah satu tanda terjadinya inflamasi yang dapat disebabkan oleh mikroorganisme, trauma mekanis, zat kimia, dan paparan sinar matahari. Kasus eritema yang disebabkan oleh paparan sinar matahari merupakan kasus yang dominan di Indonesia. Oleh karena itu dikembangkan produk perawatan kulit berbentuk lotion yang mengandung bahan aktif dari bahan alam. Selaginella plana dan Lagenaria siceraria merupakan tanaman asli Indonesia yang diduga dapat digunakan sebagai antiinflamasi. Senyawa aktif yang berperan dalam penurunan kadar eritema adalah flavonoid dalam Selaginella plana dan asam amino dalam Lagenaria siceraria. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain randomized controlled trial RCT Study, dimana kelompok perlakuan terdiri dari 5 kelompok yaitu kelompok control negatif, kelompok kontrol positif, kelompok kontrol netral, kelompok uji formula A mengandung 1 fraksi etanol Selaginella plana dan 0,5 fraksi etanol Lagenaria siceraria , kelompok uji formula B mengandung 0,5 fraksi etanol Selaginella plana dan 1 fraksi etanol Lagenaria siceraria . Kelompok diinduksi dengan paparan sinar matahari outdoor selama 30 menit kemudian diamati kadar penurunan eritema setelah mendapatkan perlakuan pada masing-masing kelompok pada 1 jam, 3 jam dan 24 jam setelah aplikasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa formula A mampu menurunkan kadar eritema berbeda bermakna p
Erythema is a sign of inflammation which is caused by microorganisms, mechanical trauma, chemicals, and sun exposure. Cases of erythema caused by sun exposure is the dominant case in Indonesia. Therefore skin care lotion containing botanical of active ingredients was developed. Selaginella plana and Lagenaria siceraria molina Standl are Indonesian native plant which are been used as anti inflammatory. The active compounds decreasing the level of erythema are flavonoid in Selaginella plana and amino acids in Lagenaria siceraria molina Standl. This study is an analytical study design randomized controlled trial RCT Study, in which the treatment group consist of 5 groups negative control, positive control, neutral control, the test group of formula A containing 1 ethanol fraction Selaginella plana and 0, 5 ethanol fraction Lagenaria siceraria molina Standl , the test group of formula B containing 0.5 ethanol fraction Selaginella plana and 1 ethanol fraction Lagenaria siceraria molina Standl . Each group was induced by exposure to sunlight for 30 minutes at 10 00 to 16 00, then observed decreasing the level of erythema after 1 hour, 3 hour and 24 hour after application. The result shows that the A formulation is significantly p
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2017
T47097
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hafidz Makarim Ilmi
Abstrak :
ABSTRAK
Inflamasi memiliki reaksi lokal pada jaringan terhadap cedera yang salah satu mediatornya adalah leukotrien. Leukrotrien dihasilkan dari metabolisme asam arakidonat oleh lipoksigenase dan dapat meningkatkan permeabilitas kapiler dan meningkatkan adhesi leukosit. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh fraksi teraktif dalam menghambat lipoksigenase, mengetahui kadar fenol dan flavonoid total dari ekstrak kulit batang dan daun Artocarpus Heterophyllus. Pada penelitian ini, kulit batang dan daun Artocarpus Heterophyllus diekstraksi dengan cara refluks bertingkat. Dilakukan uji penghambatan lipoksigenase secara in vitro, pengukuran kadar fenol dan flavonoid total terhadap masing-masing fraksi. Ekstrak etanol merupakan ekstrak teraktif pada masing-masing fraksi. Nilai IC50 yang didapatkan pada kedua fraksi teraktif adalah 31,82 g/mL pada fraksi etil asetat kulit batang dan 46,61 g/mL pada fraksi etil asetat daun. Nilai ini lebih rendah dari standar apigenin yang memiliki nilai IC50 2,08 g/mL. Kadar fenol tertinggi adalah ekstrak etanol daun dengan nilai 404,903 mg GAE/g ekstrak. Sementara itu kadar flavonoid adalah pada ekstrak etil asetat kulit batang, dengan nilai kadar 372,362 mg QE/g ekstrak. Kesimpulan dari pengujian ekstrak daun dan kulit batang nangka Artocarpus Heterophyllus ini adalah kenaikan kandungan fenol ataupun flavonoid total berpengaruh terhadap kenaikan aktivitas penghambatan enzim.
ABSTRACT
Inflammation is a local reaction at the cascular tissue to injury that mediated by leukotriens. Leukotriens produced by arachidonic acid metabolism, those can increase tha permeability of capillaries and improves the adhesion of leukocytes. The aim of this study was to obtain the most active extracts in inhibiting Lypoxygenase find out the phenol and flavonoid content of Artocarpus heterophyllus stem bark and leaf extracts. The Artocarpus heterophyllus stem bark and leaf were extracted by multistage reflux. Ethanol extract is the most active extract in this study. The IC50 values of two most active extracts are 31,82 g mL on stem bark ethyl acetate extract and 46,61 g mL on leaf ethyl acetate extract. This value is lower than the standard apigenin which has IC50 value 2,08 g mL. The highest phenol content in leaf extract was ethanol extract, which value is 404,903 mg GAE g extract. Meanwhile, the highest flavonoid content of leaf extract was on ethyl acetate leaf extract which value is 372,362 mg QE g extract.The conclusion of nangka leaf and stem bark Artocarpus heterophyllus extract test is the increase of phenol or flavonoids content to increase of enzyme inhibition activity is comparable.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Santi Widiasari
Abstrak :
Daun Mahkota dewa diketahui mempunyai efek antiinflamasi. Penelitian ini dilakukan untuk menguji apakah ekstrak daun Mahkota Dewa yang dikemas dalam bentuk kitosan nanopartikel, dapat memberikan efek antiinflamasi lebih baik pada organ kolon mencit kolitis ulseratif KU akibat induksi dextran sodium sulfat DSS , dibandingkan dengan ekstrak etanol saja. Pada penelitian dianalisa efek ekstrak daun Mahkota Dewa yang dikemas dalam bentuk kitosan nanopartikel dalam menghambat inflamasidengan melihat ekspresi cox-2 dan iNos. Efek antiinflamasi diuji menggunakan mencit sebanyak 36 ekor yang dibagi dalam 6 kelompok perlakuan yaitu kelompok normal, kontrol negatif, ekstrak daun dosis 12.5 dan 25 mg/kgBB, ekstrak daun kitosan nanopartikel dosis 6.25 dan 12,5 mg/kgBB. Induksi DSS 1 b/v diberikan melalui air minum selama 6 minggu perlakuan secara berselang-seling. Pada akhir percobaan kolon mencit difiksasi dalam larutan buffer formalin 10 kemudian dilakukan pemeriksaan imunohistokimia untuk mengetahui ekspresi protein inflamasi berupa COX-2 dan iNOS.Ekstrak daun Mahkota Dewa dosis 25 dan 12,5 mg/kg BB dan ekstrak daun Mahkota Dewa dalam Kitosan Nano Partikel dosis 12,5 dan 6,25 mg/kg BB mampu menurunkan inflamasi signifikan dibandingkan dibandingkan dengan kelompok DSS. Terlihat dari skor hasil pewarnaan imunohistokimia protein COX-2 dan iNOS dianalisis menggunakan uji statistik didapat nilai. p<0,05 untuk semua kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif (hanya men dapat DSS). Ekstrak daun Mahkota Dewa (dosis 25 dan 12,5 mg/kg BB) dan ekstrak daun Mahkota Dewa dalam Kitosan Nano Partikel (dosis 12,5 dan 6,25 mg/kg BB) mampu menghambat proses inflamasi kolon mencit yang diinduksi DSS, ditunjukkan oleh penekanan ekspresi protein inflamasi COX- 2 dan iNOS. ......Mahkota Dewa is known to have anti inflammatory effect. This study was conducted to test whether the extract of Mahkota Dewa leaf packaged in the form of chitosan nanoparticles, can provide better antiinflammatory effect on colon of ulcerative colitis UC due to induction of dextran sodium sulfate DSS , compared with ethanol extract alone. The study analyzed the effect of Mahkota Dewa leaf extract packed in the form of chitosan nanoparticles in inhibiting inflammatory by evaluating the expression of COX 2 and iNOS. Anti inflammatory effect was tested using 36 mice divided into 6 groups, normal group, negative control, leaf extract dose 12.5 and 25 mg kgBB, leaf extract chitosan nanoparticle dose 6.25 and 12.5 mg kgBB. DSS induction of 2 w v is administered through drinking water for 6 weeks of intermittent treatment. At the end of the experiment the mice colon was processed in 10 formalin buffer solution then immunohistochemical examination was performed to determine the expression of inflammatory proteins COX 2 and iNOS . Mahkota Dewa leaf extract dose 25 and 12,5 mg kg BW and Dewa Mahkota Dewa leaf extract in Chitosan Nano Particle dose 12,5 and 6,25 mg kg BW can decrease inflammation significantly compared to DSS group. The immunohistochemical staining results of COX 2 and iNOS proteins were analyzed using statistical tests obtained p <0.05 for all treatment groups compared with the negative control group (DSS only). Extract of Mahkota Dewa leaf (dose 25 and 12,5 mg / kg BW) and leaf extract of Mahkota Dewa in Chitosan Nano particle (dose 12,5 and 6,25 mg / kg BW) able to inhibit inflammatory process on DSS induced mice, by suppressing the expression of COX-2 and iNOS inflammatory proteins.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58953
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuda Satrio Wicaksono
Abstrak :
ABSTRAK
Dengan adanya 230 juta penduduk di Indonesia yang masih banyak darinya tinggal di daerah dimana nyamuk anopheles merupakan spesies endemik di area tersebut, malaria masih merupakan sebuah masalah yang terus berkembang di Indonesia. Resistensi dari obat yang sering dipakai juga merupakan masalah yang terus bermunculan di Indonesia. Sambiloto dan spirulina adalah tanaman obat yang sudah sangat sering dipakai dan di teliti baik di kalangan umum dan kesehatan. Riset ini dilakukan untuk mengatahui efikasi dan efek dari kombinasi terapi Sambiloto dan Spirulina kepada gambaran histopatologis dari kolon proximal mencit yang di infeksi Plasmodium berghei anka. Data yang didapat dari ekperimen klinik dilakukan pada mencit Swiss Webster jenis kelamin jantan yang sudah diinfeksi p. berghei anka dan diberikan 4 jenis terapi yang berbeda. Hasil yang didapat dari percobaan dan analisis data menggunakan ANOVA dan Kruskall ndash; Wallis menunjukan penurunan jumlah sel inflamasi pada tikus yang diberikan tambahan spirulina pada terapinya mengkonfirmasi bahwa sambiloto dan spirulina baik bila digunakan bersamaan. Meskipun demikian, hubungan antara terapi sambiloto spirulina terhadap displasia, angiogenesis, dan jumlah sel goblet belum dapat ditemukan. Properti anti inflammatory yang dimiliki oleh sambiloto dan spirulina diperoleh dari zat zat aktif yang terkandung didalamnya sepert flavonoids, beta carotene, dan fikosianin, yang menyebabkan penurunan dari jumlah sel inflamasi yang ada di kolon mencit. Dysplasia dan angiogenesis membutuhkan tingkat inflamasi yang tinggi dan durasi yang kronis. Hal ini menyebabkan tidak optimalnya kondisi untuk dapat mengatami hubungan antara terapi dan variable-variable tersebut.
ABSTRACT
With 230 million people in Indonesia still being exposed to anopheles mosquito, malaria is still a very persistent problem in Indonesia. Besides of the ongoing spreading of mosquito problem, resistance to effective anti malarial drug is also becoming more and more common. Sambiloto and Spirulina has been both long used and studied inside the community and research areas. Both plants has a mechanism of anti inflammatory which can help during the infection of malaria. This research is conducted to observe the effect and efficacy of the combination therapy of Sambiloto and Spirulina against histopathological changes which can be observed in the colon of infected mice. Data is obtained from clinical experiment on Male Swiss Webster mice which has been infected with plasmodium berghei anka and treated with 4 different type of treatment. AP group is treated using sambiloto extract, AP PS group is treated using Sambiloto extract added with powder spirulina, AP ES group is treated using Sambiloto extract added with Spirulina extract, and DHP group act as the control group and is treated using DHP. The Results from statistical analysis using ANOVA and Kruskal ndash Wallis shows that the addition of spirulina to sambiloto reduce the amount of infalmmatory cell found in the proximal colon greatly and Is comparable to the result gain from treating the mice with DHP. Although so, the connection between the treatment and dysplasia, angiogenesis, and goblet cell count cannot be determined by this research and needs further researches to confirm. The anti inflammatory behaviour exhibited by sambiloto and spirulina is obtained from the active components such as flavanoids, beta carotene, and phycocyanin and is the main contributor on the results of this research. Dysplasia, and angiogenesis needs a great amount of inflammatory cell number and duration to develop, thus might be the reason why the information on dysplasia and angiogenesis cannot be obtained optimally.
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library