Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Endah Murwani
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini dilandasi pada suatu asumsi bahwa perilaku konflik merupakan interaksi komunikatif. Situasi terjadinya interaksi konflik sangat mempengaruhi pilihan perilaku orang yang terlibat konflik. Dalam konteks penelitian ini, 'situasi' organisasi seperti struktur, aturan maupun iklim organisasi akan mempengaruhi perilaku orang dalam interaksi konflik. Disamping dipengaruhi oleh suasana lingkungan kerja, perilaku seseorang dalam organisasi juga dipengaruhi oleh faktor internal. Perbedaan jenis kelamin, tingkat pendidikan dan usia diasumsikan dapat mempengaruhi perilaku seseorang dalam organisasi.

Beranjak dari asumsi diatas, studi ini bertujuan untuk menggali dan menemukan indikasi adanya perbedaan perilaku konflik manajer-staf, staf-manajer dan staf-staf dilihat dari variabel--variabel lingkungan kerja dan karakteristik individu

Secara konseptual, studi ini mengidentifikasi lima variabel lingkungan kerja, yakni hubungan struktural, intensitas komunikasi, partisipasi dalam pengambilan keputusan, kkepercayaan dari atasan dan kerjasama tim. Dari faktor karakteristik individu tercatat 4 variabel, yakni jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan dan masa kerja. Kesembilan variabel tersebut diduga potensial dalam mempengaruhi perbedaan perilaku konflik.

Dilakukan di perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Kelompok Astra Mobil dengan mengambil 40 manajer dan 100 staf, penelitian ini menemukan bahwa variabel-variabel yang termasuk dalam lingkungan kerja hampir sebagian besar mempengaruhi perbedaan perilaku konflik. Sedangkan faktor internal - yang dalam konteks penelitian ini merupakan variabel karakteristik individu - hampir sebagian besar tidak terbukti mempengaruhi perilaku konflik.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa hubungan struktural mempengaruhi perbedaan perilaku pasip, yakni staf cenderung berperilaku pasip terhadap atasannya. Dan, yang menarik untuk dicatat adalah bahwa perilaku distributif justru lebih sering digunakan dalam konflik diantara staf. Intensitas komunikasi manajer-staf hanya mempengaruhi perbedaan perilaku integratif, yakni manajer yang intensitas komunikasinya tinggi cenderung memilih perilaku tersebut. Sedangkan intensitas komunikasi staf-manajer mempengaruhi perbedaan perilaku distributif dan integratif. Dilihat dari intensitas komunikasi diantara staf, penelitian menemukan tidak adanya perbedaan perilaku konflik. Variabel partisipasi dalam pengambilan keputusan dan kepercayaan dari atasan mempengaruhi perbedaan perilaku distributif dan integratif. staf yang merasa diberi kepercayaan atasan dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan cenderung berperilaku distributif dan integratif. Dilihat dari kerjasama tim, perbedaan hanya ditemukan pada perilaku integratif, yakni staf yang memiliki kerjasama tinggi lebih sering memilih perilaku tersebut.

Dari faktor karakteristik individu, ternyata variabel jenis kelamin terbukti sangat mempengaruhi perbedaan perilaku konflik manajer-staf, staf-manajer maupun staf-staf. Perbedaan tersebut ditemukan pada perilaku pasip dan distributif. Manajer wanita cenderung berperilaku pasip, sebaliknya manajer pria cenderung berperilaku distributif terhadap bawahannya. Kecenderungan yang sama ditemukan dalam perbedaan pendapat staf-manajer maupun staf-staf. Dilihat dari perbedaan usia manajer, perbedaan hanya ditemukan pada perilaku distributif, yakni manajer yang berusia 30-40 tahun cenderung memilih perilaku distributif dalam menghadapi perbedaan pendapat dengan bawahannya. Sedangkan dalam perbedaan pendapat staf-manajer dan staf-staf, variabel usia tidak terbukti mempengaruhi perbedaan perilaku. Demikian pula halnya dengan variabel masa kerja, ternyata tidak mempengaruhi perbedaan perilaku baik dalam konflik manajer-staf, staf-manajer maupun staf-staf.

Kenyataan bahwa variabel-variabel lingkungan kerja sangat mempengaruhi perbedaan perilaku konflik, mengisyaratkan suatu implikasi teoritis yang sangat penting, yaitu bahwa tidak ada perilaku atau cara terbaik dalam menangani perbedaan pendapat. Persepsi terhadap situasi terjadinya konflik inilah yang menentukan seseorang untuk memilih perilaku konflik tertentu, dimana persepsi tersebut dipengaruhi oleh pengalaman, harapan-harapan dan motivasi.
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji fenomena persepsi antar kelompok, khususnya fenomena bias antar kelompok pada pengguna jalan di Jakarta. Bias antar kelompok adalah kecenderungan untuk mempersepsi, mengutamakan dan memperlakukan kelompok sendiri (ingroup) secara lebih baik dibandingkan kelompok lain (outgroup). Partisipan penelitian ini adalah 360 pengguna jalan, terdiri dari pengemudi kendaraan pribadi (N= 45), pengemudi motor (N= 51), pengemudi kendaraan umum (N= 50), polisi lalu lintas (N= 54), pejalan kaki (N= 49), pedagang kaki lima (N= 58) dan satuan pengaman pasar atau satpol PP (N= 58). Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner (tujuh versi kuesioner), dan bias antar kelompok yang terjadi digali melalui tiga macam cara, yaitu bias persepsi antar kelompok, bias atribusi, dan alokasi sumber daya antar kelompok. Temuan studi menunjukkan adanya kecenderungan bias persepsi yang bervariasi antar kelompok pengguna jalan raya, baik dalam bentuk bias persepsi, bias atribusi maupun alokasi sumber daya. Bias yang sangat kuat untuk atribusi terhadap tingkah laku yang positif terlihat pada pengendara motor, pengendara kendaraan umum, dan pedagang kaki lima. Untuk tingkah laku negatif terdapat biaspada semua kelompok penelitian. Bias persepsi juga terd apat pada semua kelompok penelitian, demikian pula dengan alokasi sumber daya.
Abstract

The goal of this study is to examine intergroup bias among people who use roads in Jakarta. Intergroup bias refers to the tendency to prioritize, treat and perceive in-group members more favorable than out-groups. Three different groups of road users participated in this study: private drivers, motor riders, and public transportation drivers. Intergroup bias is measured as perception bias and attributio n bias. The findings show that both forms of bias occur among the road users. Intergroup attribution bias that is found among the three groups are more in-group than out-group attribution bias. The private car drivers, motor riders, and public transportati on drivers tend to attribute positive behavior of in-group to internal factor and negative behavior of in-group to external factors. Index of effect size in perception bias indicates substantive levels and represents large effect in the population.
[Fakultas Psikologi Universitas Indonesia;Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat UI, Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia], 2011
J-pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Whinda Yustisia
Abstrak :
Past studies indicate that the effect of intergroup contact on outgroup attitude is not isolated to contextual factors. One of the contextual factors that has begun to be studied is group norm. However, group norm in these studies is still merely conceptualized as the perception of how ingroup members evaluate outgroup members. In fact, according to norm focus theory, in a given context, individuals are influenced, at least, by two types of group norms, namely injunctive norms (i.e., what most people morally accept to do) and descriptive norms (i.e., what most people do). To fill the gap, present studies attempt to answer the question of how two types of group norms might have different effects on the relationship of intergroup contact and outgroup attitude. Built on past studies, it was hypothesized that both quality (H1) and quantity (H2) of cross-group friendship would positively affect outgroup attitude. Further, built on the fact that the nature of attitude in present studies is more utilitarian than hedonic, it was predicted that injunctive norms would be more likely to function as moderator in the effect of cross-group friendship on outgroup attitude, either in dimensions of quality (H3) or quantity (H4). 110 Muslim students were recruited as participants and asked to fill in a self-report questionnaire regarding their interactions with Christians. The findings partly support the hypotheses.
Studi terdahulu menunjukkan bahwa efek kontak antarkelompok pada sikap terhadap outgroup tidak terisolasi faktor kontekstual. Salah satu faktor kontesktual yang mendapatkan perhatian cukup luas pada penelitian sebelumnya adalah norma kelompok. Namun, norma kelompok pada penelitian terdahulu masih semata-mata dikonseptualisasikan sebagai persepsi bagaimana anggota ingroup mengevaluasi anggota outgroup. Padahal, menurut teori norm focus, dalam konteks tertentu, individu dipengaruhi setidaknya oleh dua jenis norma kelompok, yaitu norma injunktif (apa yang kebanyakan orang secara moral terima untuk dilakukan) dan norma deskriptif (apa yang kebanyakan orang benar-benar lakukan). Untuk mengisi kesenjangan pemahaman tentang efek dua jenis norma kelompok tersebut dalam hubungan kontak antar kelompok dan sikap pada outgroup, penelitian ini dilakukan. Hipotesis penelitian ini adalah baik kualitas (H1) dan kuantitas (H2) kontak pertemanan antar kelompok akan mempengaruhi sikap outgroup. Lebih jauh, bergerak dari karakteristik sikap dalam penelitian ini lebih bersifat utilitarian daripada hedonis, diprediksi bahwa norma injunktif akan lebih cenderung berfungsi sebagai moderator dalam efek kontak pertemanan antar kelompok terhadap sikap pada outgroup, baik dalam dimensi kualitas (H3) atau kuantitas (H4). Seratus sepuluh mahasiswa Muslim direkrut sebagai peserta dan diminta untuk mengisi kuesioner laporan diri mengenai interaksi mereka dengan orang-orang Kristen. Temuan sebagian mendukung hipotesis.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Angga Yuni Mantara
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh status keanggotaan kelompok sumber kritik outgroup, ex-outgroup dan durasi tinggal lama, baru terhadap intergroup sensitivity effect ISE . ISE diukur melalui 3 dimensi, yaitu likeability, constructiveness, dan agreeableness. Penelitian ini merupakan sebuah quasi experiment terhadap 185 partisipan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kritik yang disampaikan oleh ex-outgroup dinilai lebih positif dibandingkan dengan kritik yang disampaikan oleh outgroup. Sedangkan durasi tinggal tidak menimbulkan intergroup sensitivity effect dalam ketiga dimensi. Status keanggotaan sumber kritik dan durasi tinggal secara bersama-sama mempengaruhi intergroup sensitivity effect hanya apabila sumber kritik merupakan orang yang baru tinggal bersama ingroup. Lebih lanjut, kritik dari ex-outgroup yang baru tinggal di Indonesia dinilai lebih positif dibandingkan kritik yang disampaikan outgroup. ...... This study aims to determine the effect of the Source of Critics rsquo Group Status outgroup. ex outgroup and the duration of stay old, new of the intergroup sensitivity effect ISE . ISE si measured through three dimension, likeability, constructiveness, and agreeableness. This study is a quasi experiment to 185 participants. The results showed that the criticism delivered by ex outgroup rated more positively than criticism delivered by outgroup. While the duration of the stay does not cause intergroup sensitivity effect in all three dimensions. Membership status critic and duration of stay in Indonesia jointly affect intergroup sensitivity effect only if the source of criticism is the new people living with ingroup. Furthermore, critics of the ex outgroup recently living in Indonesia rated more positively than criticism from outgroup who recently staf with ingroup.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2017
T47694
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joevarian
Abstrak :
ABSTRAK
Kontak antar kelompok telah terbukti mampu mengurangi prasangka. Akan tetapi, seringkali riset-riset yang berkembang fokus pada kondisi obyektif dalam kontak dan mengabaikan faktor individual yang mungkin mempengaruhi interaksi antar kelompok yang terjadi. Studi ini mencoba membuktikan apakah ada efek moderasi nilai-nilai moral yang dipegang individu dalam konteks interaksi antar kelompok. Peneliti berargumen bahwa efek kontak terhadap prasangka terjadi lebih lemah ketika individu dengan nilai-nilai moral inklusif (nilai kasih sayang dan keadilan) melakukan kontak dengan anggota kelompok lain. Sementara yang sebaliknya terjadi ketika individu dengan nilai-nilai moral eksklusif (nilai kesucian, kesetiaan, patuh otoritas) melakukan kontak. Efek kontak terhadap prasangka juga dimediasi oleh empati dan kecemasan. Untuk membuktikan hipotesis-hipotesis ini, peneliti mengumpulkan data survei. Hasil riset menunjukkan bahwa nilai kasih sayang dan patuh otoritas mampu memoderasi efek kontak terhadap prasangka. Diskusi difokuskan pada implikasi teoretis dan konteks interaksi terhadap kelompok Tionghoa Kristen di Indonesia.
ABSTRACT
Contact between groups has been proven to reduce prejudice. However, oftentimes previous studies exert much efforts in focusing on the objective condition which facilitate contact and neglecting individual factors that may shape the interactions between groups. This study attempt to prove whether there is a moderation effect of moral values held within the context of intergroup interactions. We argue that prejudice tends to be lower when individuals with individualizing moral values (caring and fairness) interact with outgroup members while it tends to be stronger when individuals with binding moral values (sanctity, loyalty, authority) interact with outgroup members. Additionally, the contact-prejudice effects are mediated by empathy and anxiety. We attempt to test these hypotheses using series of statistical analyses. We found that caring and authority morality can moderate the contact-prejudice effect. The discussion is focused on the theoretical implication and the implication related to the context of prejudice toward Christian Chinese in Indonesia.
2017
T48144
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Risna Febriani
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh keanggotaan kelompok dan konten kritik terhadap intergroup sensitivity effect (ISE) yang dimoderatori oleh status sosial sumber kritik. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan desain faktorial 2 (keanggotaan kelompok: ingroup vs outgroup) × 2 (konten kritik: fakta vs opini) × 2 (status sosial: status sosial tinggi vs status sosial rendah) dengan between subjects design. Target kritik adalah mahasiswa Universitas Indonesia. Isi kritik berkaitan dengan kurangnya fasilitas yang terdapat di Universitas Indonesia. Sumber kritik ingroup adalah pimpinan eksekutif dan staf Universitas Indonesia, sementara sumber kritik outgroup adalah pimpinan eksekutif dan staf Universitas Gadjah Mada. Status sosial sebagai moderator divariasi berdasarkan jabatan di universitas. ISE diukur melalui evaluasi kritik dan persepsi ancaman. Alat ukur yang digunakan untuk evaluasi terhadap kritik adalah adaptasi kuesioner dari Hornsey, Oppes, dan Imani (2002) dengan Khoo dan See (2014) (a = 0,917), sementara alat ukur untuk persepsi ancaman diadaptasi dari Khoo dan See (2014) (a = 0,776). Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 400 orang. Analisis data yang digunakan adalah Multivariate Analysis of Variance (MANOVA) karena penelitian ini memiliki dua variabel dependen. Berdasarkan hasil perhitungan MANOVA, hanya keanggotaan kelompok yang terkonfirmasi menjadi prediktor dalam menimbulkan perbedaan respons pada ISE, baik evaluasi terhadap kritik maupun persepsi ancaman; sementara konten kritik dan status sosial serta interaksi ketiganya tidak menimbulkan perbedaan pada evaluasi terhadap kritik maupun persepsi ancaman pada masing-masing kelompok penelitian.
This study aims to determine the effect of group membership and critical content on the intergroup sensitivity effect (ISE) which is moderated by the social status of the source of criticism. This research is an experimental research with factorial design 2 (group membership: ingroup vs. outgroup) × 2 (critical content: fact vs. opinion) × 2 (social status: high social status vs. low social status) with between subjects design. The target of criticism was students at the University of Indonesia. The contents of the criticism about the lack of facilities at the University of Indonesia. The source of ingroup criticism was the chief executive and staff of the University of Indonesia, while the source of outgroup criticism was the chief executive and staff of Gadjah Mada University. Social status as a moderator is varied based on position at the university. ISE is measured with critic evaluation and perceived threat. The measuring instrument used for critic evaluation was an adaptation of a questionnaire from Hornsey, Oppes, and Imani (2002) and Khoo and See (2014) (a = 0.917), while a measure for perceived threat was adapted from Khoo and See (2014) (a = 0.776). The participants in this study is 400 people. The data analysis used is Multivariate Analysis of Variance (MANOVA) because this study has two dependent variables. Based on the results of the MANOVA calculation, only group membership confirmed to be a predictor in causing differences in response to the ISE, both critic evaluation and perceived threat; while the critical content and social status and interaction of the three variable did not cause a difference in the critic evluation and perceived threat in each research group.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
T53407
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
ABSTRAK
Studi untuk mempelajari hubungan antara orang Kristen dan Islam di Indonesia penting sekali dilakukan karena di Indonesia akhir-akhir ini banyak terjadi konflik yang melibatkan kedua agama. Penelitian ini dimaksudkan untuk: (1) mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi hubungan antara orang Kristen dan orang Islam, (2) memberikan sumbangan terhadap teori tentang hubungan antar kelompok dalam masyarakat sipil, (3) memberikan rekomendasi kepada pemerintah, pemimpin agama dan umat beragama agar memiliki hubungan yang semakin membaik, dan (4) memberikan rekomendasi bagi penguatan masyarakat sipil. Lokasi penelitian yang dipilih yaitu Kota Bandung dan Kota Sukabumi karena kedua kota ini relatif kurang mengalami konflik agama, kota Bandung mewakili kota yang besar sedangkan Sukabumi mewakili kota kecil (desa).

Variabel dependen dari penelitian ini yaitu: Perilaku Inklusif, Sikap Inklusif dan trust terhadap orang dari agama lain. Sedangkan variabel independen dikelompokkan ke dalam tiga tingkat yaitu: (1) identitas dan interaksi sehari-hari yang termasuk dalam tingkat mikro, (2) interaksi asosiasional yang mewakili tingkat meso, dan (3) pengaruh negara (state) yang merupakan tingkat makro. Untuk mengukur variabel perlu dibuat alat ukur berupaya kuesioner. Survei pendahuluan dilakukan di Kota Bogor terhadap 31 orang responden untuk melakukan uji reliabilitas dari alat ukur yang akan digunakan. Selain itu juga dilakukan juga uji validitas terhadap instrumen yang akan digunakan. Instrumen yang telah diuji validitas maupun reliabilitas dipakai untuk melakukan wawancara terhadap 149 orang di Sukabumi dan 147 orang di Bandung. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara multi stage sampling. Data dianalisis dengan menggunakan path analysis, Mann Whitney dan korelasi Pearson.

Dari hasil pengolahan data, didapatkan beberapa temuan sebagai berikut: (1) Orang Kristen sebagai kelompok minoritas di kedua kota yang diteliti, lebih berperilaku inldusif dibandingkan dengan orang Islam. Hal ini seturut dengan teori Blau yang mengatakan bahwa semakin besar ukuran suatu kelompok maka semakin keeil kemungkinan anggota kelompok tersebut berhubungan dengan kelompok lain. (2) Di kota kecil (Sukabumi), semakin tinggi perilaku inldusif seseorang maka semakin tinggi sikap inklusif maupun tingkat trust-terhadap-agama-lain; namun demikian hal ini tidak berlaku di kota besar seperti Bandung. Hal ini sejalan dengan teori Varshney yang menyatakan bahwa di desa (atau kota kecil) cara yang efektif untuk meningkatkan hubungan yaitu melalui interaksi sehari-hari. (3) Di Kota besar, seorang yang aktif di organisasi non-agama akan mempunyai trust-terhadap-agama-lain yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak. Hal ini pun sesuai dengan teori Varshney yang mengatakan bahwa di kota besar interaksi sehari-hari tidaklah efektif untuk meningkatkan hubungan, dan cara yang efektif yaitu interaksi asosiasional. (4) Di kota besar (seperti Bandung) anggota dari kelompok minoritas (seperti Kristen) akan kurang menonjolkan identitas kekristenannya dan lebih menonjolkan identitas yang lain. Kenyataan di Bandung ini sesuai dengan pendapat Stryker yang mengatakan bahwa individu akan cenderung untuk lebih menonjolkan identitas snsial yang sama dengan yang dimiliki oleh mayolitas orang dalam masyarakat tersebut. (5) Di Kota besa: (seperti Bandung) seorang yang memiliki identitas yang kuat akan lebih inklusif dibandingkan dengan yang lain. Namun hal ini tidak berlaku di kota kecil seperti Sukabumi. (6) Untuk orang Islam, semakin tinggi mobilitas seseorang rnaka sernakin tinggi juga perilaku maupun sikap inklusifnya, namun hal ini tidaklah berlaku untuk orang Kristen. Kenyataan ini sesuai dengan teori Blau yang rnengatakan bahwa bahwa mobilitas meningkatkan kemungkinan untuk terjadinya kontak antar kelompok, sebab orang-orang yang punya mobilitas tinggi akan cenderung untuk membawa kenalan lama dan kenalan baru bersama-sama. (7) Berlawanan dengan pendapat orang pada umumnya, ternyata orang-orang Muhammaddiah di Kota Sukabumi dan Bandung lebih memiliki trust- terhadap-agama-lain dibandingkan dengan orang Islam lainnya termasuk NU. Selanjutnya didapati bahwa dalam hal keagamaan, kiai dan ustad adalah agen- sosialisasi yang dominan bagi orang-orang NU; sedangkan untuk orang Muhammadiah yaitu orang tua dan guru sekolah.

Untuk peranan negara didapatkan bahwa masyarakat merasa sudah cukup rnendapat perlindungan pernerintah dalam hubungan antar agama, namun pemerintah dinilai kurang memfasilitasi hubungan antar agama dan dianggap tidak adil terhadap kelompok minoritas.

Dari hasil penelitian ini, ada beberapa saran dan rekomendasi yang disampaikan, antara lain: (1) Di kota besar, setiap umat beragama dianjurkan meningkatkan kegiatan asosiasional dengan bergabung dengan organisasi-organisasi non agama baik yang formal maupun yang informal. Hal ini akan bisa meningkatkan hubungan antar kelompok beragama dan penguatan masyarakat sipil. (2) Untuk menjaga supaya masyarakat sipil tetap bebas dari negara, maka tokoh-tokoh ormas (termasuk partai) yang sudah menjabat di pemerintahan harus berhenti dari jabatannya di ormas dan bukan hanya sekedar non-aktif. (3) Pemerintah perlu melakukan affirmative action secara vertikal dengan menolong yang miskin atau pun yang lemah. Jangan affirmative action dilakukan secara horisontal. Ini berarti pemerintah harus menolong yang perlu ditolong tanpa melihat apa agama atau pun sukunya. (4) KTP (Kartu Tanda Penduduk) leblh baik tidak mencantumkan idenlitas seseorang, terutama identitas agamanya karena kelnmpok minoritas umumnya tidak merasa aman jika identitas minoritasnya diketahui. Lagi pula informasi ini bisa disalah-gunakan untuk melakukan tindakan yang diskriminatif.
2006
D803
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Brewer, Marilynn B., 1942-
Buckingham: Open University Press, 2003
302.3 BRE i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Fatah Hassan
Abstrak :
Salah satu masalah ingrasi nasional adalah menyatukan seluruh warga negara Indoriesia yang serdiri dari berbagai agama, ras, golongan d an sukubangsa. Komunikasi antar sukubangsa Indonesia masih diwarnai adanya ketegangan. kecurigaan ri dan stereotip negatip. Berdasarkan permasalahan ini, skripsi ini berusaha menggambarkan stereotip dan periaapat tingkata komunikasi pada mahasiswa. Hahasiswa yang d' itel iti dalam skrip~i ini adalah mahasi~wa sukubari~sa Jawa dan Batak di FISIP-UI, gun~ mengetahui . bagaimana mahasiswa Jawa memandang sukubangsanya sendiri dan sukubangsa Batak dan sebaliknya; bagaimana tingkatan komunikasi di antara mereka; dan faktor apa saja yang mempengaruhi stereotip dan pendapat tingkatan komunikasi. Untuk mengukur stereotip .digunakan skala semantik defferensial, sedangkan untuk mengukur tingkatan komunikasi digunakan skala Bogardus. D~lam penelitian ini juga digunakan variabel kontrol seperti agama, j en is kelamin, status sosial ekonomi, sifat .(tingkahlaku) pribadi . . individu, penampilan fisik, pengalaman pribadi, cerita orang lain dan media massa. Hasil pen~litian ini memperl ihatkan bahwa stereotip tidak dipengaru hi oleh a g ama, jenis kel amin, I pengalaman pribadi yang menyen angkan, media ~assa , dan status s osial. ekon omi. Ster eotip dipepgaruhi oleh pe ngal~ma n p ibadi yang tidak menyenangkan dan cerita oraang l ain. Sedangkan untuk tingka an kom~nikasi dip engaruhi oleh agama, jenis ke l~min dan pengalaman pr~badi ya g menyenangkan. Has il penelitia stereotip men unj ukkan adanya seteieotip yang saling b eD lawanan antara suk~b angsa Jawa dan Batak. Stete oti~ yang berlawanan ini didasari oleh nilai budaya sukubangsa Jawa berten tangan. Hasil pene litian ini juga menunj ukkan tidak te~dapat ketegangan dan kecurigaan ·komunikasi an tar mahasisw Jawa. dan Batak Hal ini dis~ba bka n 1 p ~ tamai responden dalam membentuk tingkatan. komunikasi sukubangsa:. t etapi lebih memperhatikan "sifat (tingkahlaku) pribadi individu", yang kedua, lingkungan kampus Universitas Indonesia memungkinkan mahasiswa yang berlainan sukubangsa dapat berinteraksi secara intensif, yang· ketiga, pengaruh lingkungan kota metropolitan (Jakarta) dim~na individu semakin renggang ikatannya dengan sukubangsa.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1991
S4023
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>