Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Situmeang, Bisuk Martahan M
"

Indonesia-Australia Comprehensive Partnership Agreement (IA-CEPA) akan berkekuatan hukum tetap pada Juli 2020. Seperti perjanjian investasi bilateral pada umunya, perjanjian baru ini menimbulkan banyak pertanyaan mengenai hubungan antara hak-hak investor dan hak regulasi negara. Rumusan-rumusan masalah adalah 1) Bagaimana klausa Fair and Equitable Treatment dalam IA-CEPA mengatur hubungan antara investor dan negara, beserta dengan hak dan kewajiban mereka masing-masing? Dan 2) Mengingat IA-CEPA tidak mengandung klausa explisit mengenai kewajiban investor, apakah ada klausa-klausa lain yang membatasi klaim investor dalam rangka mencapai keseimbangan hak dan kewajiban para pihak secara substantif? Riset dilakukan secara Doctrinal Legal Research dan menggunakan metode-metode komparatif. Kesimpulannya adalah, IA-CEPA tidak memiliki inovasi yang signifikan dalam menyeimbangkan hak dan kewajiban para pihak di dalam perjanjian investasi bilateral. Namun, IA-CEPA telah mengimplementasikan doktrin Clean Hands untuk menghindari klaim investor yang mungkin illegal. Secara keseluruhan, IA-CEPA masih merefleksikan perjanjian investasi bilateral pada umunya dan tidak mengkontribusikan inovasi signifikan.

 


The Comprehensive Partnership Agreement (IA-CEPA) between Indonesia and Australia will enter into force in July 2020. Similar to any newly ratified bilateral investment treaty, it arises questions towards investors rights and the states right to regulate. The research questions are 1) How does the Fair and Equitable Treatment clause in the IA-CEPA strikes the balance between the host states’ obligations towards foreign investors on the one hand and the foreign investors’ expectations with respect to their investment in the host state on the other? And 2) Considering that IA-CEPA does not include any explicit obligations for investors, is substantive balance between investors and States achieved by placing jurisdictional conditions for foreign investor’s protection under IIA, in particular limitations of an access to Investor-State Dispute Settlement for fraudulent and illegal conduct? The form of research is a doctrinal legal research with comparative methods. The conclusions are that the IA-CEPA has not introduced significant innovations to balance the state’s right to regulate with the investors’ private rights under the treaty. However, it should be mentioned that it has managed to codify the lean hands doctrine to the text of the treaty, in order to dismiss claims for investors that may have been illegal in establishing the investment. Overall, it is still merely a reflection of the previous investment treaties and have not contributed to the development of International Investment Treaties.

 

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bianka Renzanova Kusuma
"Bilateral Investment Treaty (“BIT”) Indonesia dan Singapura yang dibentuk pada tahun 2005 diputuskan untuk tidak dilanjutkan oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2016 karena Pemerintah Indonesia memilih untuk menegosiasikan BIT yang baru. Pada tahun 2018, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Singapura telah berhasil membentuk BIT dengan ketentuan yang jauh berbeda dibandingkan dengan BIT terdahulu. Penelitian ini mencoba untuk meneliti perbandingan ketentuan dalam BIT Indonesia dan Singapura tahun 2005 dengan BIT dan Singapura tahun 2018. Selain itu, penelitian ini mencoba untuk mengetahui dampak BIT terhadap penanaman modal asing langsung di Indonesia. Bentuk penelitian ini bersifat yuridis-normatif dengan tipologi deskriptif analitis yang didukung oleh studi bahan pustaka dan wawancara sebagai alat pengumpul data. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa BIT Indonesia dan Singapura tahun 2018 dirumuskan secara lebih terperinci dan jelas dan memasukan banyak safeguard di dalamnya. Selain itu, BIT diketahui tidak memiliki dampak langsung untuk mendorong nilai investasi asing di Indonesia, tetapi kehadiran BIT tetap diperlukan untuk memberikan perlindungan dan meningkatkan kepercayaan investor Singapura, mendorong pembentukan iklim peraturan yang baik, dan pelengkap instrumen hukum perlindungan investasi. Saran yang dapat diberikan adalah Badan Koordinasi Penanaman Modal dalam merumuskan perjanjian investasi internasional kedepannya tetap mempertahankan rumusan perjanjian investasi yang jelas dan rinci demi menghindari penafsiran yang berbeda antara host state dengan penanam modal.

Bilateral Investment Treaty (“BIT”) between Indonesia and Singapore that was signed in 2005 was discontinued by the Government of Indonesia in 2016 because the Government of Indonesia elected to renegotiate a new BIT. In 2018, the Government of Indonesia and the Government of Singapore successfully agreed on a new BIT with new and different provisions. This research tries to do a comparative analysis on the BIT Indonesia and Singapore 2005 and BIT Indonesia and Singapore 2018. This research also looks to determine the impact of BIT on foreign direct investment. The research method of this thesis is juridical-normative with a descriptive research approach through literature review and desk study, and key informant interviews as a tool for collecting data. This research concludes that BIT Indonesia and Singapore 2018 was formulated with more details, containing explicit clauses and safeguards. This thesis also argues that BIT does not have any direct impact on increasing foreign direct investment in Indonesia. Nevertheless, the presence of BIT is still necessary and effective to provide protection of investment and increase investor confidence, encourage the creation of favourable regulatory climate, and complement other legal instruments for investment protection. In the future, the Indonesian Investment Coordinating Board (BKPM) should seek to establish international investment agreements that maintain a clear and detailed clause of investment agreements in order to avoid different interpretations between the host state and investors."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Ramadinan Saptara
"

Pasal 25(4) Konvensi ICSID memperbolehkan suatu negara untuk melakukan pemberitahuan mengenai golongan sengketa penanaman modal yang dikecualikan dari yurisdiksi ICSID. Berdasarkan ketentuan ini, pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 31 Tahun 2012 (“Keputusan Presiden 31/2012”) telah melakukan pemberitahuan untuk  mengecualikan sengketa penanaman modal yang timbul dari keputusan tata usaha negara yang diterbitkan oleh pemerintah kabupaten. Namun, pemberitahuan mengenai pengecualian sengketa dianggap tidak dapat diberlakukan kecuali dimasukkan kedalam pasal dalam perjanjian investasi yang mengandung persetujuan negara terkait terhadap yurisdiksi ICSID. Selanjutnya, ketentuan dalam pemberitahuan pengecualian Indonesia belum dimasukkan dalam seluruh perjanjian investasi yang mengikat Indonesia. Penelitian ini membahas, pertama, dampak hukum dari Keputusan Presiden 31/2012 terhadap pembatasan yurisdiksi ICSID. Selanjutnya, penelitian ini membahas metode untuk menginkorporasi ketentuan dalam Keputusan Presiden 31/2012 dan pemberitahuan pengecualian Indonesia ke dalam klausul persetujuan terbatas dalam suatu perjanjian investasi. Penelitian ini juga membahas sejauh mana klausul persetujuan terbatas tersebut dapat digunakan untuk menolak yurisdiksi ICSID.  Dengan melakukan penelitian yuridis-normatif, dapat disimpulkan bahwa keberlakuan Keputusan Presiden 31/2012 akan membuat penyelesaian sengketa yang dikecualikan terbatas pada penyelesaian melalui Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia. Ketentuan dalam Keputusan Presiden 31/2012 harus dimasukkan dalam perjanjian investasi melalui cara reproduksi atau perubahan klausul persetujuan terbatas yang mengandung pengecualian dalam Keputusan Presiden 31/2012 juga tidak akan memiliki dampak terhadap penolakan yurisdiksi ICSID.

 


Article 25(4) of the ICSID Convention allows a state to notify the exclusion of certain classes of investment disputes from ICSID jurisdiction. Pursuant to this provision, the Indonesian government through Presidential Decree No. 31 of 2012 (“Presidential Decree 31/2012”) made a notification to exclude investment disputes arising from administrative decisions issued by the regency governments. Notifications of exclusion, however, are considered inoperable unless incorporated into the investment treaty provision expressing the notifying state’s consent to ICSID jurisdiction. Moreover, the terms of Indonesia’s notification of exclusion have not been included in any investment treaty that Indonesia is a party to. This research discusses, firstly, the legal consequence of Presidential Decree 31/2012 with regards to limiting ICSID jurisdiction. Secondly, this research discusses the methods through which the terms of Presidential Decree 31/2012 and Indonesia’s notification of exclusion may be incorporated into a limited consent clause of an investment treaty. Thirdly, this research also discusses the extent to which such a limited consent clause may be invoked to deny ICSID jurisdiction. By conducting a juridical normative legal research, it can be concluded that the operation of Presidential Decree 31/2012 would limit the forum for the settlement of the excluded disputes to the Indonesian Administrative Judiciary. Moreover, the terms of Presidential Decree 31/2012 would have to be incorporated into an investment treaty by way of reproduction or amendment. Further, a consent clause that expresses the exclusion made in Presidential Decree 31/2012 would be inconsequential in denying ICSID jurisdiction.

 

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library