Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 31 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Chaerul Achmad
Abstrak :
Latar Belakang. Penyakit arteri perifer terjadi akibat penyempitan pembuluh darah arteri karena proses ateroskierosis. Beberapa studi yang lalu menunjukan bahwa penyakit arteri perifer dihubungkan dengan peningkatan kesakitan dan kematian penyakit kardiovaskular secara signifikan. Deteksi yang mampu menilai darah secara cepat sebelum kejadian nekrosis menunjukan hal yang berharga pada triage pasien dalam menurunkan biaya perawatan. N-terminal albumin yang mengalami kerusakan atau terikat dengan tembaga dinamakan ischemia modified albumin (IMA). Test albumin cobalt binding (ACB) merupakan tes diagnosis kuantitatif yang dapat mendeteksi albumin yang termodifikasi yang terjadi pada saat albumin terekspos jaringan iskernik melalui pengukuran kapasitas ikatan albumin dalam serum atau plasma manusia. Pada studi eksperimental ini, diteliti peningkatan ACB akibat lamanya proses iskernik. Metode. 10 hewan kelinci dengan jenis kelamin jantan dari ras New Zealand White (NZW) usia 5 bulan mengalami perlakuan iskemia total pada tungkai kin. ACB serum darah diukur sebelum dilakukan iskemi tungkai dan ini dilihat sebagai kontrol. Pengukuran dilanjutkan pada menit ke-15 dan menit 150 secara berurutan. Analisis statistik menggunakan program SPSS versi 11,5 dengan menggunakan tes general linear models (GLM) repeated measured. Hasil. Nilai rerata ACB sebelum iskemia adalah 48,30 + 5,95 u/ml dan nilai reratanya meningkat menjadi 103,43 ± 13,67 u/ml pada 15 menit sesudah mengalami iskernia. Terjadi peningkatan delta sebelum iskemia dan 15 menit setelah iskemia sebesar 55,13 u/mL. Terdapat perbedaan yang signifikan kadar ACB pada menit ke-15 setelah iskemia dengan sebelum iskemia. Nilai rerata ACB menit ke-150 setelah iskernia adalah 155,42 ± 22,87 u/ml. Terdapat peningkatan kadar ACB antara sebelum iskemia, 15 menit, dan 150 menit setelah iskemia masing-masing sebesar 51,98 dan 107,12 ulmL. Kesimpulan. Kadar ACB meningkat pada kelinci yang mengalami iskemia tungkai dan peningkatan kadar ACB sesuai dengan lamanya iskemia. Kata kunci: Penyakit arteri perifer, ischemia modified albumin, albumin cobalt binding.
Background. Peripheral arterial diseases (PAD) commonly result from progressive narrowing of arteries due to atherosclerosis. Previous studies have shown that PAD associated with a significantly elevated risk of cardiovascular disease morbidity and mortality. A rapid blood test capable of detecting prior to necrosis would prove invaluable in patient triage and in reducing health care cost. Albumin in which the N-terminus is either damaged or bound to copper is termed ischemia modified albumin (IMA). The albumin cobalt binding (ACB) test is quantitative diagnostic test that detect modification to albumin that occur when albumin is exposed to ischemic tissue by measuring the cobalt binding capacity of albumin in human serum or plasma. In this experimental study, the increase of ACB was observed with induced by duration of ischemia. Methods. Ten male New Zealand White Rabbits aged 5 months experienced total ischemia of the left limb. Blood serum ACB was measured before performing ischemia of the left limb as a control. Fifteen minutes and 150 minutes after ischemia blood serum ACB as secondary and thirdly measurement were measured. Statistical analysis program SPSS version 11.5 by using General linear Model (GLM) repeated measure test. Results. The mean value of ACB before ischemia was 48.30 1 5.95 u/ml and increased mean value of ACB 103.43 13.67 u/ml in 15 minutes after ischemia. There was increasing delta before ischemia and 15 minutes after ischemia was 55.13 u/ml. There were significant differences of ACB level in the 15 minutes after ischemia compared with before ischemia. The mean level of ACB 150 minutes after ischemia was 155.42 ± 22.87 u/ml. There were increasing level ACB before compared to 15 minutes and 150 minutes after ischemia (51.98 and 107.12, respectively). Conclusions. ACB level increased in rabbits with acute limb ischemia, where increasing level ACB parallel with length of occlusion. Key words: Peripheral artery disease, ischemia modified albumin, albumin cobalt binding.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adrian Gunawan
Abstrak :
A number of investigations reported that hyperhomocysteinemia (hHcy) is a risk factor for vascular diseases. Some casecontrol studies find that total homocysteine (tHcy) level is higher among stroke ischemic patients. if hHcy in stroke ischemic patients is due to genetic defect, their children may inherit that. And if the causes are nutritional deficiencies or lifestyle determinants, their children may have that also. So, it may be expected that hHcy is more prevalent among the children of stroke ischemic patients. The role of Hcy in vascular disease has been investigated in many studies. One of vascular phenotypes observed in hHcy is endothelial dysfunction, manifested by decreased bioavailability of endothelium derived nitric oxide (NO). Hypertension, hypercholesterolemia, diabetes mellitus, and smoking can also decrease NO released from endothelial cells. The aim of this study was to find proportion of hHcy, and the pattern of NO level among the children of stroke ischemic patients. In addition, we examined the relationship between plasma tHcy, hypertension, LDL-cholesterol, and HbAlc 'with NO production, by measuring nitrate-nitrite (NOx) level, as its metabolites. This cross sectional study includes 86 childrenof stroke ischemic patients, who fulfilled study criteria. The proportion of hHcy is in the range of 11,6 } 6,9%. The NOx level of 40 subjects which are randomly selected from the 86 subjects, have the median of 80,99 µM (42,9 - 226,8 1.M). There is no significant relationship between plasma tHcy with NOx level (r = 0,220, p = 0,086). There is no significant relationship between systolic, and diastolic blood pressure, LDL-cholesterol, HbAlc, and history of hypertension with plasma NOx level (r = 0.073 ; p = 0.327, r = 0,220, p = 0,086, r = -0,207 ; p = 0,100, r = 0,261 ; p = 0,052 dan r = 0,119, p = 0,233). The NOx level of subjects .with hHcy, history of hypertension, elevated systolic, diastolic blood pressure, and high LDL-cholesterol level tends to be higher than the subjects with Hcy level < 15 µM, Without hypertension history, normotensive, and subjects with normal LDL-cholesterol level.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58484
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nia Yuliatri
Abstrak :
ABSTRAK
Tujuan Tindakan bedah saraf, diduga dapat mengentikan atau memperlambat cedera otak sekunder, yang berhubungan dengan proses neuroinflamasi. Peneliti bertujuan untuk mengetahui peranan neuroinflamasi (Il-6) terhadap prognosis pasien cedera otak dan untuk mengetahui hubungan tindakan operasi dengan kondisi neuroinflamasi.

Metode Penelitian ini bersifat prospektif observasional dengan desain cross sectional. Dari 40 pasien cedera otak yang dilakukan tindakan operasi, dilakukan pemeriksaan kadar Il-6 sebelum operasi dan 1 hari pasca tindakan operasi. GCS dinilai saat di UGD (GCS awal) dan sesudah tindakan operasi (GCS hari ke-7). GOS dinilai setelah bulan ke-1 dan bulan ke-3 pasca trauma. Kadar IL-6 sebelum operasi dan 1 hari pasca tindakan operasi dihubungkan dengan nilai GCS awal, GCS hari ke-7, GOS bulan ke-1 dan GOS bulan ke-3 untuk mengetahui hubungan tindakan operasi dengan proses neuroinflamasi dan nilai prognostiknya terhadap pasien cedera otak.

GCS awal. GCS hari ke-7 dikelompokkan menjadi GCS <=8 dan GCS >8. GOS bulan ke-1 dan bulan ke-3 dikelompokkan menjadi GOS favorable (>3) dan unfavorable <=3.

Hasil Kadar Il-6 awal berhubungan bermakna dengan GCS awal (p: 0.001) dengan OR 11.4 --> pasien dengan kadar Il-6 >100 pg/ml memiliki peluang 11.4 kali mendapatkan nilai GCS <=8. Terdapat perbedaan nilai median kadar Il-6 pasca operasi dibandingkan dengan pre operasi, dengan kecenderungan kadar Il-6 pasca operasi (median=35.55 pg/ml) lebih rendah daripada kadar Il-6 awal (median=76.74 pg/ml)

Kadar Il-6 pasca operasi berhubungan bermakna dengan GCS hari ke-7 (p=0.006), dengan OR 24 --> pasien dengan Il-6 pre op <= 100 pg/ml memiliki peluang 24 kali memperoleh nilai GCS hari ke-7 >8. Kadar Il-6 pasca operasi berhubungan bermakna dengan GOS bulan ke-3 (nilai p= 0.016) dengan OR 11.6 --> pasien dengan kadar Il-6 <=100 pg/ml memiliki peluang sebesar 11.6 kali mencapai GOS bulan ke-3 favorable.

Simpulan Proses neuroinflamasi memiliki nilai prognostik pada pasien cedera otak, di mana maikin tinggi kadar Il-6 serum awal, makin buruk GCS awal pasien.Tindakan bedah saraf dapat menurunkan proses neuroinflamasi dan berhubungan dengan outcome GCS hari ke-7 (status kesadaran) pasca operasi dan GOS bulan ke-3 (kualitas hidup) yang lebih baik.
ABSTRACT
Objectives Neurosurgical procedures are performed to stop or slow down the secondary brain injury. This study is aimed to determine the association of neuroinflammation with the prosnosis of brain injury patients and the association of neurosurgical procedure with the neuroinflammation.

Method The study design is a prospective observation of 40 brain injuty patients who were operated. Examination were carried out top measured Il-6 serum level of pre and one day post operation on brain injury patients, and to analize therir association with GCS,GOS and neurosurgical procedures.

Results The Il-6 serum level pre surgery was significantly associated with initial GCS (p value=0.001 and OR 11.4). There was significant median difference of Il-6 post surgery compared with pre surgery, with a downward trend of Il-6 post surgery.

The post operative Il-6 level was significantly associated with GCS 7 days post surgery (p=0.006), with OR 24, meaning that patients with post surgery level of Il-6 <= 100 pg/ml had 24 times chance of getting GCS 7 days post trauma >8. The post operative Il-6 serum was significantly associated with GCA 3 months post trauma (p value= 0.016) with OR 11.6, meaning that the patients with post operative Il-6 level <= 100 pg/ml has 11.6 times as much chance of reaching the 3 months post trauma GOS favorable.

Conclusion Neuroinflammation may have prognostic values in brain injured patients. Neurosurgical procedures can decrease the neuroinflammation process and was associated with better conciousness state (GCS) and neurological outcome (GOS).
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nani Utami Dewi
Abstrak :
Latar Belakang: Stroke iskemia merupakan disfungsi neurologik area tertentu atau menyeluruh akibat gangguan aliran darah ke otak yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan. Berbagai faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan dapat dimodifikasi seperti usia, jenis kelamin, riwayat keluarga, hipertensi, diabetes melitus, obesitas berperan menyebabkan pembentukan aterosklerosis, iskemia serebral selanjutnya menyebabkan stroke iskemia. Stroke iskemia dan sejumlah penyulit akan menimbulkan defisit neurologi yang menyebabkan malnutrisi, dehidrasi, keluaran yang buruk dan kualitas hidup menurun. Terapi medik gizi klinis berperan memberi nutrisi optimal, membatasai natrium, mengontrol glukosa darah dan memperhatikan volume cairan yang diberikan sehingga status nutrisi tetap terjaga, memperbaiki keluaran, dan mencegah rekurensi. Metode: Serial kasus ini memaparkan empat kasus stroke iskemia pada pasien perempuan dan laki-laki dengan rentang usia 53 ndash;66 tahun, dengan penyulit seperti disfagia, perdarahan GIT dan pneumonia, disertai komorbiditas yaitu DM tipe 2, hipertensi, dan chronic kidney disease,. Keempat pasien membutuhkan dukungan nutrisi akibat komplikasi stroke iskemia yaitu disfagia dengan risiko terjadinya malnutrisi, dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit. Satu pasien dengan berat badan normal, 1 pasien BB lebih, dan 2 pasien obes I. Masalah nutrisi yang dihadapi keempat pasien ini adalah asupan makro dan mikronutrien yang tidak optimal, jalur pemberian nutrisi, kebutuhan nutrisi yang tidak terpenuhi selama sakit, anemia, hiperglikemia, dislipidemia, gangguan fungsi ginjal dan keseimbangan cairan. Terapi medik gizi klinik diberikan sesuai rekomendasi stroke iskemia dan disesuaikan dengan komorbidnya. Pemantauan pasien meliputi keadaan umum, hemodinamik, analisis dan toleransi asupan, monitoring terhadap kadar glukosa darah, fungsi ginjal, keseimbangan cairan, elektrolit dan kapasitas fungsional. Hasil :Ketiga pasien pada serial kasus menunjukkan perbaikan klinis, berupa tekanan darah terkontrol, kadar glukosa darah terkontrol, dan kapasitas fungsional yang membaik. Satu pasien meninggal pada hari perawatan ke-35 akibat sepsis. Kesimpulan:Terapi medik gizi klinik yang optimal dapat memperbaiki kondisi klinis pada pasien stroke iskemia dengan DM tipe 2 dan penyulitnya. ...... Background: Ischemic stroke is a partial or comprehensive neurological disfunction caused by cerebral blood flow disturbance as basis of tissue damages. A diversity of non modified and modified risk factors such as age, sex, family history, hypertension, diabetes mellitus, and obesity act as underlying causes to atherosclerosis, ischemia cerebral, that lead to ischemic stroke. Ischemic stroke with accompanying comorbidity will inflict neurological deficit causing malnutrition, dehydration, bad outcome and the diminution quality of life. The role of nutritional medical therapy is pivotal for optimal nutritional support, sodium intake restriction, and glycemic control with the goal to maintain nutrition status, improve outcome and prevent recurrence. Methods: The case series describes four ischemic stroke cases with complications such as dysphagia, gastrointestinal bleeding, and pneumonia, and aggravated by DM type II, hypertension, and chronic kidney disease comorbidity, in males and females aged 53 ndash 66 years old. Due to risk of malnutrition, dehydration and electrolyte imbalance caused by dysphagia, nutrition support was required by all patients to treat this ischemic stroke complication. One patient was normoweight, while three other cases included one overweight and two obese I patients. The nutritional problems faced by these four patients laid on the non optimal macro and micro nutrient intake, route of nutrient intake, nutrition composition imbalance during ill period, anaemia, hyperglycaemia, dyslipidemia, decrease of renal function, and fluid imbalance. Nutritional medical therapy was given according to recommendations for ischemic stroke and adjusted with its comorbidity. Patients rsquo monitoring was done including their general condition, hemodynamic, intake analysis and tolerance, monitoring in blood glucose, kidney function, fluid balance, electrolyte and functional capacity. Result: Three patients in the case series showed positive changes in clinical conditions, shown by improvement in blood pressure, blood glucose, and functional capacity. One patient died on the 35th treatment day due of sepsis. Conclusion: Optimal nutritional medical therapy plays important role in improving clinical conditions of ischemic stroke patient with DM type 2 and other complications.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ihza Fachriza
Abstrak :
Latar Belakang: Acute Limb Ischemia (ALI) merupakan kondisi yang mengancam fungsi tungkai hingga keberlangsungan hidup seseorang. Corona Virus Disease of 2019 (COVID-19), telah menjadi pandemi sejak diumumkan oleh World Health Orgazination (WHO) pada Maret 2020, berdampak dalam penundaan diagnosis dan penanganan penyakit termasuk penyakit non COVID-19. Trombosis merupakan salah satu etiologi ALI diketahui meningkat kejadiannya sebagai komplikasi COVID-19. Namun, studi terkait karakteristik pasien ALI terkait pandemi COVID-19 tidak banyak dilakukan, terutama di Indonesia. Metode: Studi kohort retrospektif karakteristik pasien ALI di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada tahun 2018-2022. Seluruh pasien kemudian dibagi menjadi kelompok sebelum pandemi dan selama pandemi dengan batas Maret 2023. Keluaran yang dianalisis adalah keberhasilan revaskularisasi, re-intervensi, dan mortalitas saat perawatan. Analisis data menggunakan SPSS for Mac versi 25 secara bivariat dan multivariat. Hasil: Sebanyak 81 pasien menjadi subjek penelitian terdiri dari 28 (34,6%) pasien pada periode sebelum pandemi dan 53 (65,4%) pasien pada periode selama pandemi COVID-19. Pada periode selama pandemi COVID-19 didapatkan bahwa lebih banyak pasien rujukan (p = 0,001). Terdapat perbedaan bermakna antara kedua periode pandemi terhadap keberhasilan revaskularisasi (p = 0,013) tapi tidak pada keluaran re-intervensi dan mortalitas saat perawatan. Pada periode selama pandemi COVID-19, didapatkan 13 pasien yang memiliki riwayat/terkonfirmasi COVID-19 dengan keluaran yang secara deskriptif sebanding. Pada analisis multivariat, penggunaan fluoroskopi dan trombektomi memengaruhi keluaran keberhasilan revaskularisasi; klasifikasi Rutherford memengaruhi keluaran re-intervensi; dislipidemia, penyakit jantung, dan fluoroskopi memengaruhi keluaran mortalitas saat perawatan. Kesimpulan: Terdapat perbedaan keluaran tatalaksana pasien ALI sebelum dan selama pandemi COVID-19 pada keluaran keberhasilan revaskularisasi. Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi keluaran pasien ALI sebelum dan selama pandemi COVID-19 ......Background: Acute Limb Ischemia (ALI) is a condition that threatens limb function and the survival of a patient. Corona Virus Disease of 2019 (COVID-19), has become a pandemic since it was announced by the World Health Organization (WHO) on March 2020, causing delays in the diagnosis and treatment of diseases including non-COVID-19 diseases. Thrombosis is one of the etiologies of ALI known to increase its incidence as a complication of COVID-19. However, there are not many studies regarding the characteristics of ALI patients related to the COVID-19 pandemic, especially in Indonesia. Methods: A retrospective cohort study of the characteristics of ALI patients at Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta in 2018-2022. All patients were then divided into groups before the pandemic and during the pandemic with a deadline of March 2023. The outcomes analyzed were revascularization success, re-intervention, and mortality during treatment. Data analysis used SPSS for Mac version 25 in bivariate and multivariate ways. Results: A total of 81 patients were the subjects of the study consisting of 28 (34.6%) patients in the pre-pandemic period and 53 (65.4%) patients in the period during the COVID-19 pandemic. During the period during the COVID-19 pandemic, it was found that there were more referral patients (p = 0.001). There was a significant difference between the two pandemic periods on revascularization success (p = 0.013) but not on re-intervention outcomes and on-hospital mortality. During the period during the COVID-19 pandemic, there were 13 patients who had a history/confirmed COVID-19 with outcomes that were descriptively comparable. In multivariate analysis, the use of fluoroscopy and thrombectomy influenced the outcome of successful revascularization; Rutherford's classification influenced re-intervention outcomes; dyslipidemia, heart disease, and fluoroscopy affect the outcome of in-hospital mortality. Conclusion: There are differences in the outcome of the management of ALI patients before and during the COVID-19 pandemic in the outcome of revascularization success. There are several factors that influence patient outcomes for ALI before and during the COVID-19 pandemic.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Yolanda
Abstrak :
Latar belakang: Pada iskemia tungkai kritis (ITK) infrapoplitea, tatalaksana utama bertujuan untuk revaskularisasi. Salah satu teknik revaskularisasi ITK infrapoplitea adalah plain old balloon angioplasty. Namun, masih terdapat re-stenosis yang terjadi setelah prosedur tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai luaran prosedur disertai faktor-faktor yang mempengaruhinya. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif, dengan populasi seluruh pasien ITK infrapoplitea yang menjalani tatalaksana revaskularisasi plain old balloon angioplasty di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dari Januari 2013-Mei 2017. Faktor inklusi yaitu subjek dengan PAP Rutherford derajat ≥ 4 dan kontrol minimal 1 kali pasca prosedur. Pengambilan data dilakukan melalui rekam medis dan registrasi pasien divisi bedah vaskular Departemen Ilmu Bedah RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Luaran yang dinilai adalah kejadian re-stenosis, amputasi, dan penyembuhan luka 1 tahun pasca-tindakan. Faktor yang diteliti pada penelitian ini adalah demografi, indeks massa tubuh (IMT),ankle-Brachial Index (ABI) komorbiditas, dan derajat Rutherford. Hasil: Terdapat 28 pasien subjek dalam penelitian ini. Kejadian re-stenosis terjadi pada 53,6% subjek. Kejadian amputasi terjadi pada 50% subjek. Luka semakin memburuk ditemukan pada 46,4% subjek. Terdapat hubungan antara perburukan luka pasca tindakan dengan derajat Rutherford subjek (p = 0,030). Terdapat hubungan antara riwayat penyakit jantung koroner (PJK) dengan perbaikan luka pasca tindakan (p = 0,014). Tidak didapatkan hubungan faktor lain dengan luaran ITK infrapoplitea yang menjalani plain old balloon angioplasty. Kesimpulan: Luaran ITK infrapoplitea yang menjalani plain old balloon angioplasty belum baik dilihat dari tingginya luaran re-stenosis, amputasi, dan penyembuhan luka. Derajat Rutherford sebelum tindakan berhubungan dengan luaran penyembuhan luka pasca tindakan. ......Background: In infrapopliteal critical limb ischemia (CLI), the treatment aimed to re-vascularized the vessel. One of infrapopliteal CLI re-vascularization technique is plain old balloon angioplasty. However, there were re-stenosis reported after that procedure. A study to evaluate the procedure outcome and the factors affecting it. Methods: The design of this study is retrospective cohort, with population include all infrapopliteal CLI patients underwent plain old balloon angioplasty re-vascularization in Cipto Mangunkusumo General Hospital from Janury 2013-May 2017. Subjects with Rutherford category ≥ 4 and return to hospital to control minimal 1 time after procedure. Data acquired through medical record and Vascular Surgery Division registry. Outcome evaluated including re-stenosis, amputation, and wound healing 1-year post-procedure. Factors analysed in this study were demography, body mass index (BMI), ankle-brachial index (ABI), comorbidity, and rutherford category. Results: There were 28 patients acquired in this study. Re-stenosis occurred in 53.6% subjects. Amputation occurred in 50% subjects. Wound worsen in 46.4% subjects. There were association of wound worsening and Rutherford category (p = 0.030). There were association of history of coronary artery disease (CAD) with wound healing post-procedure (p = 0.014). There were no association of other factors with infrapopliteal CLI underwent plain old balloon angioplasty. Discussion: Infrapopliteal CLI outcome underwent plain old balloon angioplasty were not yet favourable from re-stenosis, amputation rate, and wound healing. Rutherford category pre-procedure associated with wound healing after procedure.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Benjamin Ngatio
Abstrak :
Pendahuluan: Revaskularisasi segera jaringan yang telah iskemia, tidak selalu membuahkan hasil yang diharapkan. Berbagai reaksi yang timbul dari pembentukan reactive oxygen species dan aktivasi sistem komplemen menyebabkan cedera iskemia reperfusi. Ischemia preconditioning PRC dan hipotermia diduga dapat mengurangi efek dari cedera iskemia reperfusi. Metode: Penelitian eksperimental ini adalah lanjutan dari penelitian sebelumnya, di mana dilakukan uji statistika terhadap kelompok kontrol dan tiga kelompok perlakuan, yaitu cedera reperfusi IRI, ischemia preconditioning PRC, dan hipotermia. Data kelompok kontrol dan IRI diambil dari penelitian sebelumnya. Kelompok PRC dan hipotermia masing-masing menggunakan enam hewan coba Oryctolagus cuniculus. Pada kelompok PRC dilakukan ligasi arteri femoralis komunis kanan selama dua menit, dilepaskan tiga menit sebanyak dua siklus. Pada kelompok hipotermia dilakukan pembungkusan ekstremitas bawah kanan dengan es. Kemudian kedua kelompok dilanjutkan dengan dilakukan pengikatan arteri femoralis komunis kanan selama empat jam, dan kemudian ikatan dilepaskan selama delapan jam. Kemudian dilakukan laparotomi, dan diambil organ gaster. Bagian antrum diambil untuk pemeriksaan histopatologi dan biokimia. Pemeriksaan biokimia dilakukan menggunakan malondialdehid MDA. Hasil: Uji hipotesis dari perbedaan histopatologi dan biokimia secara keseluruhan bermakna secara statistik. Derajat kerusakan secara histopatologi pada kelompok ischemia preconditioning lebih rendah dengan signifikan dibandingkan kelompok IRI; namun secara biokimiawi, lebih tinggi namun tidak signifikan. Derajat kerusakan secara histopatologi pada kelompok hipotermia lebih rendah namun tidak signifikan dibandingkan dengan kelompok IRI; namun secara biokimiawi, lebih tinggi dengan signifikan dibandingkan dengan kelompok IRI. Bila membandingkan PRC dan hipotermia, secara histopatologi, PRC lebih rendah dengan signifikan. Secara biokimia, rerata PRC lebih rendah namun tidak signifikan. Kesimpulan: Ischemia preconditioning memiliki efek protektif terhadap dampak destruktif yang yang dihasilkan oleh ischemia reperfusion injury terhadap organ jauh. terhadap organ jauh. Hipotermi juga memiliki efek protektif, namun tidak sebaik ischemia preconditioning. ...... Background: Immediate revascularization of ischemic tissue, does not always produce the expected results. Various reactions that arise from the formation of reactive oxygen species and the activation of the complement system cause ischemia reperfusion injury. Ischemia preconditioning PRC and hypothermia are thought to reduce the effects of ischemic reperfusion injury. Methods: This experimental study was performed on the control group and three treatment groups, namely reperfusion injury IRI, ischemia preconditioning PRC, and hypothermia. Two experimental animals were used in control group and six experimental animals were used in IRI, PRC and hypothermia groups. In IRI group, right common femoral artery was ligated for four hours, and released for eight hours. In the PRC group, ligation of right common femoral artery was performed for two minutes and released for three minutes in two cycles. In the hypothermia group, right lower extremity was wrapped with ice. Subsequently, in the two groups, the right common femoral artery was ligated and released like IRI group. Then, laparotomy was performed and the stomach was taken. The antrum part is acquired for histopathology and biochemistry assay. Biochemical examination was performed using malondialdehyde MDA. Results: The hypothesis test of histopathologic and biochemical differences in general was statistically significant. The degree of histopathological damage and MDA in IRI group was significantly higher than control group. The degree of histopathological damage in the PRC group was significantly lower than in the IRI group but biochemically, higher but not significant. The degree of histopathologic damage in the hypothermia group was lower, but not significant, compared to the IRI group but biochemically, significantly higher than the IRI group. When comparing PRC and hypothermia, histopathologically, PRC is significantly lower. Biochemically, the mean PRC is lower but not significant. Conclusion: Ischemia preconditioning has a protective effect on the destructive impact of ischemia reperfusion injury in distant organs. Hypothermia also has a protective effect, but is not as good as ischemia preconditioning.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mursid Fadli
Abstrak :
ABSTRAK
Pendahuluan Acute limb ischemia (ALI) adalah kondisi serius yang ditandai dengan penurunan yang cepat dan mendadak dari perfusi tungkai. 1 Di Amerika Serikat insiden Acute leg ischemia diperkirakan terjadi 14 per 100.000 penduduk per tahun, sedangkan Acute arm ischemia seperlimanya. Penyebab utama dari Acute limb ischemia ini lebih dari 90 % adalah thromboemboli. 2 Acute limb ischemia merupakan salah satu tantangan terberat, penilaian awal dan assestment penting, karena kesalahan diagnosis dapat mengakibatkan amputasi pada pasien atau bahkan kematian.

Metode Jenis penelitian ini adalah deskriptif retrospektif. Dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), dengan mengumpulkan data rekam medis pada pasienpasien dengan ALI di divisi Vaskuler dan Endovaskuler periode 1 Januari 2009 – 31 Desember 2011. Kriteria inklusi meliputi semua pasien ALI yang sudah didiagnosis secara pasti dan dilakukan tindakan operasi. Kriteria eksklusi meliputi pasien ALI yang tidak memiliki data rekam medis lengkap.

Hasil Dari 32 kasus ALI yang dirawat di Divisi Vaskuler dan Endovaskuler, didapatkan 22 kasus (69 %) laki-laki dan 10 kasus (31 %) perempuan. Usia terbanyak pada kelompok umur 40 – 60 tahun sebanyak 17 kasus (53 %). Untuk penyebab ALI yang paling sering yaitu thrombus sebanyak 19 pasien (59 %). Faktor resiko yang paling sering adalah pasien dengan atherosklerosis sebanyak 18 pasien. Sebanyak 16 pasien (50 %) datang ke RS sudah masuk dalam klasifikasi III ALI. Sebanyak 26 pasien (81 %) terkena pada ekstremitas bawah dan sebanyak 6 pasien (19 %) terkena pada ekstremitas atas. Dari data didapatkan 3 pasien yang meninggal.

Kesimpulan Manajemen terhadap ALI tetap menjadi tantangan, karena melibatkan salah satu jalur keputusan yang paling kompleks dalam operasi vaskuler. Pasien dengan kondisi Acute limb ischemia, sebaiknya dirujuk ke pusat vaskular tanpa di tunda-tunda.
ABSTRACT
Background Acute limb ischemia (ALI) is a serious condition characterized by rapid and sudden limb perfusion. In the United States the incidence of acute leg ischemia is thought to be 14 per 100,000 population per year, while one-fifth of acute arm ischemia. The main cause of acute limb ischemia is more than 90% are thromboemboli. Acute limb ischemia is one of the toughest challenges, initial assessment important, because misdiagnosis can lead to amputation or even death in patients.

Method The study was a retrospective descriptive. The study was conducted in Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM), by collecting data from medical records of patients with ALI in Vascular and Endovascular Surgery division from 1st January 2009 through 31st December 2011. Inclusion criteria include all ALI patients already diagnosed with certainty and performed surgery. Exclusion criteria include patients with ALI who did not have complete medical records.

Result Of the 32 cases of ALI, 22 cases were found in men and 10 cases were found in women. Age of majority in the age group 40-60 years 17 cases. For the most frequent cause of ALI is thrombus were 19 patients. The most frequent risk factors were as many as 18 patients with atherosclerotic patients. A total of 16 patients came to the hospital already in the classification III of ALI. A total of 26 patients affected the lower extremities and 6 patients affected the upper extremities. Three patients died.

Conclusion Management of the ALI remains a challenge, as it involves one of the most complex decisions pathways in vascular surgery. Patients with acute limb ischemia conditions, should be referred to a vascular center without delay delay.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T32125
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Stroke atau cerebrovascular accident(CVA) merupakan penyebab kematian nomor tiga di Amerika Serikat dan salah satu penyebab kematian dan kecaoatan neurologis yang utama di Indonesia. Stroke merupakan penyakit kronis yang bersifat menetap dan tidak dapat pulih secara total yang disebabkan oleh adanya gangguan peredaran darah otak (GPDO) (Mansjoer et al, 2000; Taylor, 1999). Efek yang ditimbulkan dari CVA beragarn, tergantung pada daerah otak yang terganggu. Selain kelumpuhan, kesulitan berbicara, dan memori yang terganggu, gangguan yang sering rnuncul adalah afasia yaitu gangguan pada kemampuan menggunakan kata-kata (Davison & Neale, 1996). Gangguan bahasa (Afasia) merupakan salah satu akibat dari kerusakan hemisfer kiri pada pasien stroke yang kinan. Salah satu alat diagnostik untuk melakukan pengukuran dalam bidang neuropsikologi yaitu TADIR (Tes afasia, diagnosa, inforrnasi, dan rehabilitasi). Melalui TADIR dapat dilihat sindrom afasia yang diderita oleh pasien_ Pembagian sindrom-sindrom afasia dalam TADIR menggunakan klasiiikasi Boston yang dibuat oleh Goodglass dan Kaplan. Atas dasar aspek-aspek penamaan, kelancaran, peniruan dan pernahaman auditif, maka Goodglass 3: Kaplan (dalam Dharmaperwira-Prins, 2002) menyusun klasifikasi sindrom-sindrom afasia. Setiap sindrom afasia dihubungkan dengan suatu tempat kerusakan tertentu di otak. Salah satu tujuan pemeriksaan ialah menenlukan letak kerusakan. Penelitian yang dilakukan oleh Kertesz (dalam Dharmaperwira-Prius, 2002) dengan menggunakan CT-scan, secara garis besar membenarkan lokalisasi sindrom afasia klasifikasi Boston (Dharmaperwira-Pnns, 2002). Sementara itu dibidang kedokteran, khusuanya secara neurologis, untuk diagnostik lebih lanjut yang menunjukkan tempat kerusakan di otal-c dapat dimanfaatkan teknologi tertentu seperti penggunaan CT-scan dan MRI. Hasil penelitian yang telah dilakukan di luar negeri dengan menggunakan CT-scan, secara garis besar telah membenarkan lokalisasi sindrom afasia yang klasifikasi Boston. Sedangkan pembagian sindrom-sindrom afasia dalam TADIR menggunakan klasifikasi Boston yang dibuat oleh Goodglass dan Kaplan. Hal ini yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti kembali hasil penelitian itu, terutarna di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara hasil CT-scan/MRI tentang lokasi kerusakan di otak dengan sindrom afasia yang diderita pasien berdasarkan hasil tes TADIR. Di dalam penelitian ini digunakan data selrunder dari bagian Fungsi Luhur, Neurologi RSCM selama tahun 2003. Untuk menghitung korelasi antara hasil CT-scan/MRI tentang lokasi kerusakan di otak dengan sindrom afasia yang diderita pasien berdasarkan hasil tes TADIR, digunakan teknik Cramer Coejicient C dan diolah dengan menggunakan program SPSS 10.0 for Windows. I-Iasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara hasil CT-scan/MRI tentang lokasi kerusakan di otalc dengan sindrom afasia yang diderita pasien berdasarlcan hasil tes TADIR_ Dengan dernil-:ian hasil penelitian ini akan memperkuat teori klasifikasi Boston yang dibuat oleh Goodglass & Kaplan (dalam Dharmapenvira-Prius, 2002) yang menyusun klasitikasi sindrom-sindrom afasia dimana tiap sindrom afasia dihubungkan dengan suatu tempat kerusakan tertentu di otak. Selain itu hasil penelitian ini juga mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan Kertesz (dalam Dharmaperwira-Prins, 2002) dengan menggunakan CT-scan yang secara garis besar membenarkan lokalisasi sindrorn afasia berdasarkan kiasitikasi Boston. Sebagai penutup, diberikan saran-saran untuk penelitian selanjutnya. Untuk penelitian lanjutan dapat memperbanyak sampel, hal ini terkait dengan generalisaai hasil pada populasi. Selain itu secara statistik, dengan sampel besar diharapkan agar semua kategori dalam perhitungan dapat diolah dan tidak ada lcategori yang hilang. Perlunya penelitian lanjutan akan afasia terkait dengan aspek psikososial yang ditimbulkannya, dimana seseorang yang terlrena afasia akan mempunyai kesulitan besar atau kecil dalam penggunaan bahasanya. Dampak dari perubahan itu tidak hanya dirasakan oleh pasien tetapi juga keluarga dan lingkungan selcitamya. Perlunya kerjasama lebih lanjut antara bidang neurologi, psikologi, logopedi dan Iinguistik dalam menangani gangguan bahasa atau afasia. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan informasi bagi para dokter, perawat, psikolog, terapis wicara, dan pihak lain yang terkait bahwa selain CT-scan dan MRI, tes TADIR dapat digunakan untuk mendeteksi lokasi kerusakan di otak, serta merupakan salah satu pilihan dari alat diagnostik ganggun bahasa (Afasia) dengan biaya yang relatif tenjangkau dan pelaksanaannya tidak memakan banyak waktu.
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38382
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Renny Wulan Apriliyasari
Abstrak :
ABSTRAK
Stroke merupakan cedera otak yang disebabkan adanya obstruksi dengan gejala Stroke Iskemik merupakan cedera otak yang disebabkan adanya obstruksi dengan gejala awal gangguan memori jangka pendek. Stimulasi auditori diberikan melalui pendekatan budaya dengan instrumen gamelan. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pemberian terapi musik gamelan terhadap memori jangka pendek pada pasien stroke iskemik. Penelitian ini menggunakan desain RCT dengan rancangan pretest-posttest with control group. Sampel yang digunakan sebanyak 19 responden kelompok intervensi dan 15 responden kelompok kontrol yang dibagi dengan cara randomisasi blok. Hasil penelitian ini dinyatakan bahwa ada perbedaan yang signifikan memori jangka pendek sebelum dan sesudah diberikan terapi musik gamelan, dengan p value 0,000 (α =0,05). Akan tetapi pada uji beda dua kelompok didapatkan hasil tidak terdapat perbedaan bermakna pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Pada penelitian ini direkomendasikan bahwa penerapan terapi musik efektif digunakan sebagai stimulasi auditori pada pasien stroke iskemik.
ABSTRACT
Stroke is a brain injury caused by obstruction, one of the symptoms is short-term memory impairment. Auditory stimulation is given through a cultural approach with gamelan instruments. The purpose of the research was to know the effect of Gamelan music therapy to short-term memory in Ischemic stroke patients. RCT with using pretest-posttest with control groups design was used in this study. The number of respondents that used in the research was 19 respondents as intervention groups and 15 respondents as control group that used blok randomised. The result of the study show that there was significantly differences short-term memory between before and after Gamelan music therapy with a p-value .000 (α=.005). However, on two different test groups showed no significant difference in the intervention group and the control group. This study is recommended that the application of music therapy is effective as auditory stimulation in patients with ischemic stroke.
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
T35435
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>