Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rini Yolanda
Abstrak :
Latar belakang: Pada iskemia tungkai kritis (ITK) infrapoplitea, tatalaksana utama bertujuan untuk revaskularisasi. Salah satu teknik revaskularisasi ITK infrapoplitea adalah plain old balloon angioplasty. Namun, masih terdapat re-stenosis yang terjadi setelah prosedur tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai luaran prosedur disertai faktor-faktor yang mempengaruhinya. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif, dengan populasi seluruh pasien ITK infrapoplitea yang menjalani tatalaksana revaskularisasi plain old balloon angioplasty di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dari Januari 2013-Mei 2017. Faktor inklusi yaitu subjek dengan PAP Rutherford derajat ≥ 4 dan kontrol minimal 1 kali pasca prosedur. Pengambilan data dilakukan melalui rekam medis dan registrasi pasien divisi bedah vaskular Departemen Ilmu Bedah RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Luaran yang dinilai adalah kejadian re-stenosis, amputasi, dan penyembuhan luka 1 tahun pasca-tindakan. Faktor yang diteliti pada penelitian ini adalah demografi, indeks massa tubuh (IMT),ankle-Brachial Index (ABI) komorbiditas, dan derajat Rutherford. Hasil: Terdapat 28 pasien subjek dalam penelitian ini. Kejadian re-stenosis terjadi pada 53,6% subjek. Kejadian amputasi terjadi pada 50% subjek. Luka semakin memburuk ditemukan pada 46,4% subjek. Terdapat hubungan antara perburukan luka pasca tindakan dengan derajat Rutherford subjek (p = 0,030). Terdapat hubungan antara riwayat penyakit jantung koroner (PJK) dengan perbaikan luka pasca tindakan (p = 0,014). Tidak didapatkan hubungan faktor lain dengan luaran ITK infrapoplitea yang menjalani plain old balloon angioplasty. Kesimpulan: Luaran ITK infrapoplitea yang menjalani plain old balloon angioplasty belum baik dilihat dari tingginya luaran re-stenosis, amputasi, dan penyembuhan luka. Derajat Rutherford sebelum tindakan berhubungan dengan luaran penyembuhan luka pasca tindakan. ......Background: In infrapopliteal critical limb ischemia (CLI), the treatment aimed to re-vascularized the vessel. One of infrapopliteal CLI re-vascularization technique is plain old balloon angioplasty. However, there were re-stenosis reported after that procedure. A study to evaluate the procedure outcome and the factors affecting it. Methods: The design of this study is retrospective cohort, with population include all infrapopliteal CLI patients underwent plain old balloon angioplasty re-vascularization in Cipto Mangunkusumo General Hospital from Janury 2013-May 2017. Subjects with Rutherford category ≥ 4 and return to hospital to control minimal 1 time after procedure. Data acquired through medical record and Vascular Surgery Division registry. Outcome evaluated including re-stenosis, amputation, and wound healing 1-year post-procedure. Factors analysed in this study were demography, body mass index (BMI), ankle-brachial index (ABI), comorbidity, and rutherford category. Results: There were 28 patients acquired in this study. Re-stenosis occurred in 53.6% subjects. Amputation occurred in 50% subjects. Wound worsen in 46.4% subjects. There were association of wound worsening and Rutherford category (p = 0.030). There were association of history of coronary artery disease (CAD) with wound healing post-procedure (p = 0.014). There were no association of other factors with infrapopliteal CLI underwent plain old balloon angioplasty. Discussion: Infrapopliteal CLI outcome underwent plain old balloon angioplasty were not yet favourable from re-stenosis, amputation rate, and wound healing. Rutherford category pre-procedure associated with wound healing after procedure.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eny Nurhayati
Abstrak :
Latar belakang: Pentoksifilin belum memberikan hasil yang konsisten pada pasien stroke iskemik akut sehingga pada penelitian ini dipakai suatu penanda spesifik untuk melihat efektifitas terapi yaitu adanya hiperviskositas darah. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis acak tersamar tunggal. Pasien stroke iskemik akut onset kurang dari 72 jam yang mengalami hiperviskositas darah diacak menjadi kelompok perlakuan n=22 dan kontrol n=22 . Terapi standar stroke akut diberikan pada semua subyek. Kelompok perlakuan mendapat terapi tambahan berupa pentoksifilin 1.200mg/hari intravena selama lima hari dan dilanjutkan dosis oral 2x400mg per hari selama 23 hari setelahnya. Pemeriksaan viskositas darah dan interleukin-6 dilakukan pada hari pertama dan ketujuh perawatan. Luaran klinis dinilai dengan menggunakan national institute of health stroke scale NIHSS , modified rankin score mRS dan indeks barthel pada hari ketujuh dan juga pada hari ke-30. Hasil: Kadar viskositas darah seluruh subyek mengalami penurunan pada hari ketujuh dan ketiga puluh. Pada kelompok perlakuan, rerata penurunan viskositas darah memiliki perbedaan bermakna pada subyek dengan faktor risiko merokok dan dislipidemia. Tidak didapatkan penurunan kadar interleukin-6 pada kedua kelompok. Kelompok perlakuan memiliki perbaikan defisit neurologis sebesar 32 risiko relatif [RR]1,00; 95 interval kepercayaan [IK] 0,421-3,556; p = 1,00 . Disabilitas dan kemandirian fungsional yang baik didapatkan pada 67 kelompok perlakuan RR 1,026; 95 IK 0,656-1,605; p = 0,9 . Pada kelompok perlakuan, luaran klinis berbeda bermakna pada subyek yang memiliki sakit jantung dan diabetes melitus. Kesimpulan: Setelah pemberian pentoksifilin didapatkan penurunan kadar viskositas dan perbaikan luaran klinis. Studi lanjutan dibutuhkan dengan kriteria yang lebih spesifik dan jumlah sampel yang lebih besar. ...... Background: The role of pentoxifylline in acute ischemic stroke lacks objective markers of its efficacy. Therefore, we used blood viscosity to determine the efficacy of pentoxifylline. Method: This was a randomized single blind, controlled trial. Acute ischemic stroke patients with blood hyperviscosity within 3 day onset were randomly allocated to the study n 22 or control n 22 group. All subjects received a standard treatment for acute ischemic stroke. The study group was administered with intravenous pentoxifylline 1,200 mg day for five consecutive days and continued with oral 800 mg in two divided doses for next twenty three days. Blood viscosity and interleukin 6 IL 6 were evaluated at the first and seventh day. Clinical outcomes were measured using the National Institutes of Health Stroke Scale NIHSS, modified Rankin Scale mRS, and barthel index BI at the seventh and thirtieth day. Result: The level of blood viscosity of all subjects tends to be decreased on the seventh and thirtieth day. In study group, the decrement of blood viscosity was significant for smoking and dyslipidemic subject. There was no decrement of the IL 6 on both group. The improvement of NIHSS in study group was 32 relative risk RR 1,00 95 CI 0,421 3,556 p 1,00 . At 1 month follow up, 67 of study group had a good functional outcome RR 1,026 95 CI 0,656 1,605 p 0,9 and the good functional outcome was statistically significant for diabetes mellitus and heart disease subject. Conclusion The decrement of blood viscosity and the improvement of clinical outcome were seen after pentoxifylline administration.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Simbolon, Jessica Putri Natalia
Abstrak :
Latar Belakang : Fibrilasi atrium merupakan aritmia yang paling sering ditemui pada populasi dewasa di seluruh dunia. Penyakit jantung katup, terlepas dari kelainan irama yang menyertai, meningkatkan risiko tromboemboli, dan risiko ini meningkat signifikan dengan adanya fibrilasi atrium. Skor CHA2DS2-VASc sudah divalidasi dan sering dipakai secara umum pada FA tanpa penyakit jantung katup untuk menilai stratifikasi resiko strok, namun kemampuan skor ini kurang baik pada populasi FA dengan penyakit jantung katup. Sampai saat ini, belum terdapat skor untuk memprediksi kejadian strok iskemik pada kelompok baik FA valvular EHRA tipe 1 maupun EHRA tipe 2. Tujuan : Menilai prediktor klinis dan ekokardiografis yang dapat memprediksi kejadian strok iskemik dan merangkumnya menjadi sistem skor yang dapat digunakan sebagai prediktor kejadian strok iskemik pada pasien FA Valvular EHRA tipe 2. Metode : Studi ini dilakukan secara kohort retrospektif pada 695 pasien fibrilasi atrium valvular EHRA tipe 2. Data diambil dari data rekam medis yang memenuhi kriteria inklusi. Luaran klinis yang dinilai adalah kejadian strok iskemik setelah terdiagnosis selama periode Januari 2015 – Juli 2021. Hasil : Strok iskemik terjadi pada 67 (9,6%) pasien dari total 695 pasien fibrilasi atrium valvular EHRA tipe 2. Analisis regresi logistik multivariat menunjukkan bahwa tidak terdapat faktor risiko yang dapat menjadi prediktor kejadian strok iskemik; hipertensi (OR 1,526; 95% IK 0,876 – 2,659, p = 0,136), FEVKi <30% (OR 1,463; 95% IK 0,804 – 2,663, p = 0,213), dan LFG <15 mL/menit/1,73 m2 (OR 3,584; 95% IK 0,672 – 19,105, p = 0,123). Kesimpulan : Dari berbagai variabel (klinis, ekokardiografis, dan laboratoris) yang dinilai, tidak ditemukan variabel yang secara independen dapat menjadi prediktor strok iskemik iskemik pada FA valvular EHRA tipe 2. ......Background : Atrial fibrillation (AF) is the most common cardiac arrhythmia in adults. Valvular heart diseases, despite the arrhythmic problems, increase the risk of thromboembolism, and this risk is even higher in those with associated atrial fibrillation. CHA2DS2-VASc has been validated and widely used to guide anticoagulation in non-valvular AF to reduce ischemic stroke risk, however CHA2DS2-VASc is modestly predictive for ischemic stroke in valvular AF. To date, there has been no validated score for stroke prediction in valvular AF, either EHRA type 1 or EHRA type 2. Objective : To derive clinical and echocardiographic risk factors for ischemic stroke prediction and to formulate scoring system for AF with EHRA type 2 valvular heart disease(VHD). Methods : This retrospective study enrolled 695 AF patients with EHRA type 2 VHD. The data were collected from medical record which include patients who met the inclusion criteria throughout January 2015 – July 2020. The primary outcome was ischemic stroke throughout observation period between January 2015 – July 2021. Results : There were 67 ischemic stroke events (9,6%) out of 695 EHRA type 2 VHD AF patients. Logistic regression analysis demonstrated there was no significant risk factor to predict ischemic stroke; hypertension (OR 1,526; 95% IK 0,876 – 2,659, p = 0,136), left ventricular ejection fraction (LVEF) <30% (OR 1,463; 95% IK 0,804 – 2,663, p = 0,213), and Glomerular Filtration Rate (GFR) <15 mL/min/1,73 m2 (OR 3,584; 95% IK 0,672 – 19,105, p = 0,123). Conclusion : From all risk factors (clinical, echocardiographic, laboratory), there is no significant risk factor that is well-predictive for ischemic stroke incidence in EHRA type 2 VHD AF.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jefferson
Abstrak :
Latar Belakang: Low cardiac output syndrome (LCOS) pada operasi koreksi Tetralogy Fallot (TF) adalah komplikasi yang dapat meningkatkan angka kematian akibat cedera iskemia reperfusi. Terapi definitif cedera iskemia reperfusi belum ditemukan karena masalah translasi dari penelitian pada sel dan hewan coba ke penelitian pada manusia. Hatter Cardiovascular Institute merekomendasikan multitargeted therapy yang mengatasi obstruksi pembuluh darah (OPM), proteksi kardiomiosit, dan antiinflamasi. Penelitian ini menggunakan kombinasi siklosporin dan remote ischemic preconditioning (RIPC) untuk mencapai tujuan tersebut. Telah dilakukan pemeriksaan MDA dan edema mitokondria untuk membuktikan manfaat dari kombinasi siklosporin dan RIPC. Metodologi: Penelitian ini adalah uji acak tersamar ganda label terbuka yang dilakukan di RSCM dan JHC antara 2021 hingga 2022. Pasien TF usia 1-6 tahun diacak ke dalam kelompok kontrol yang mendapat terapi standar dan perlakuan yang mendapat siklosporin oral 3-5 mg/kgBB 2 jam sebelum operasi, dan RIPC sesaat setelah induksi. Limbah jaringan otot infundibulum dan sampel darah diambil di 3 fase: praiskemia, iskemia dan pascareperfusi. Ketiga jaringan yang diperoleh dilakukan isolasi mitokondria. Pemeriksaan JC-1 dan succinate dehydrogenase (SDH) dilakukan untuk mengukur kualitas isolat mitokondria. Pemeriksaan spektrofotometri terhadap isolat mitokondria dilakukan untuk mengukur edema mitokondria. Pemeriksaan MDA dilakukan untuk menilai stres oksidatif. Hasil: Terdapat 42 subyek yang mengikuti penelitian. Walaupun secara statistik tidak ada perbedaan bermakna kadar MDA, uji membran potensial, uji aktivitas enzim spesifik dan derajat edema mitokondria pada kelompok perlakuan dibandingkan kontrol namun terdapat kecenderungan penurunan MDA dan penurunan derajat edema mitokondria. Simpulan: Kombinasi siklosporin dan RIPC tidak bermakna secara statistik menurunkan kadar MDA dan derajat edema mitokondria pada pasien TF yang menjalani operasi koreksi. Terdapat kecenderungan penurunan MDA dan derajat edema mitokondria pada pasien TF yang mendapatkan siklosporin dan RIPC. ......Background: Low cardiac output syndrome on Tetrallogy Fallot correction surgery is a complication caused by ischemic reperfusion Injury (IRI), which increases mortality rate. Definitive treatment of IRI has not been found until now. A multitargeted treatment that attenuates microvascular obstruction, cardiomyocyte protection, and antiinflammation in human is proposed by Hatter Cardiovascular Institute. Based on this recommendation, this study used combination of cyclosporine as an antiinflammation and treatment for microvascular obstruction and remote ischemic preconditioning (RIPC) as a cardiomyocyte protection measure. Outcome of this treatment will be analyzed mostly by evaluation of mitochondrial edema. Methods: This is an open label randomized controlled trial on patients with Tetralogy of Fallot (TF) underwent surgery in RSCM and JHC on 2021 until 2022. We recruited 1-6 year-old TF patient planned for surgical correction. Cyclosporine and RIPC were given as treatment. Chopped infundibular muscle prior to aortic cross clamping defined as preischemic sample, after aortic cross clamping defined as postischemic sample, and after aortic cross clamping off defined as postreperfusion sample. We performed isolation of mitochondria of each sample. JC-1 and succinate dehydrogenase (SDH) assays were performed to measure quality of mitochondrial isolation. Results: Forty two subjects were recruited in this research. Although there was no significant difference in MDA level and the severity of mitochondrial edema between control and treatment group, we found lower MDA post- reperfusion and lower trend of mitochondrial edema in treatment group. Conclusion: Treatment of TF patient with Cyclosporine-RIPC combination therapy tends to reduce MDA level and mitochondrial edema significantly.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library