Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 328 dokumen yang sesuai dengan query
cover
A. Bakir Ihsan
Abstrak :
Tesis ini menelaah tentang hubungan Islam dan militer di Indonesia. Fenomena yang diambil sebagai studi kasus adalah peristiwa yang berlangsung selama masa tahun 1990-1998. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa pada masa tersebut berlangsung perubahan hubungan yang lebih baik di antara keduanya di bandingkan dengan masa sebelumnya. Adanya perubahan tersebut terlihat dari pola interaksi di antara kedunya dan wacana yang berkembang pada masa tersebut. Model analisa yang dipakai dalam penelitian ini adalah bersifat analitis-kritis terhadap berbagai perspektif atau teori tentang hubungan agama (Islam) dengan militer di Indonesia. Data-data yang diperoleh dijelaskan secara dekonstruktif (genetic explanation) dengan berusaha menelusuri latar belakang munculnya suatu gejala. Oleh sebab itu, penjelasan ini menggunakan cara melacak masalah yang sedang diteliti dimulai dari akar sejarahnya, di samping variabel-variabel yang mempengaruhi (independent variable) hubungan di antara keduanya sebagai tolak ukur bagi hubungan tersebut. Dengan cara ini terbangun sebuah analisa yang komprehensif tentang realitas hubungan yang sesungguhnya antara Islam dan militer. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Prosedur penelitian ini menghendaki adanya analisa-analisa terhadap data-data yang terkumpul dari berbagai sumber, baik primer maupun sekunder. Bahan primer meliputi naskah-naskah, baik berupa buku, makalah, maupun karya-karya ilmiah lainnya, serta laporan jurnalistik yang terkait dengan masalah Islam dan militer di Indonesia. Wawancara juga dilakukan untuk menambah eksplorasi dan elaborasi terhadap penelitian ini. Di samping itu, digunakan pula bahan-bahan lain, sebagai bahan sekunder, yang diperoleh melalui data lapangan (field research) dan wawancara (interview) dengan tokoh-tokoh yang dianggap representatif dan berkompeten dengan masalah yang diangkat dalam penelitian ini, baik dari kalangan militer maupun dari kelompok Islam, serta pengamat. Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal tahun 1990-an terjadi perubahan hubungan yang lebih baik antara umat Islam dengan militer. Pada masa itu, hubungan kedua kekuatan (Islam dan militer) tersebut mengalami kelenturan. Ketegangan hubungan yang berlangsung sejak awal tahun 1970-an terlihat mulai mencair. Ada kedekatan-kedekatan hubungan, khususnya antara jajaran elit militer dengan elit umat Islam. Kedekatan tersebut disebabkan oleh banyak faktor. Secara umum factor-faktor tersebut dapat diklasifikasikan dalam dua kategori, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mendorong terjadinya perubahan hubungan antara umat Islam dengan militer adalah adanya transformasi orientasi yang berlangsung baik di dalam kelompok Islam maupun militer. Di kalangan umat Islam berlangsung perubahan orientasi politik dari legalistik-formalistik, yaitu orientasi yang ingin menegakkan Islam secara legal (konstitusional) dan formal (institusional) dalam tatanan kehidupan bernegara yang pluralistik ini, ke orientasi substansialistik, yaitu orientasi yang meletakkan Islam sebagai ajaran universal yang harus disosialisasikan melalui sikap dan perilaku (budaya) seluruh lapisan masyarakat, seperti keadilan, persamaan, dan musyawarah. Perubahan orientasi ini menjadi peretas bagi keinginan sebagian umat Islam untuk menampilkan Islam secara legal-formal yang tidak disukai oleh militer. Mereka yang mempermasalahkan secara terang-terangan terhadap asas tunggal Pancasila mulai berkurang. Lebih dari itu, muncul wacana yang melihat adanya korelasi antara ajaran Islam dengan Pancasila. Oleh sebab itu, munculnya perilaku politik yang lebih substantif itu menjadi perekat relasi militer dengan umat Islam. Begitu juga di kalangan militer muncul perubahan persepsi tentang Islam yang radikal, anti integrasi, dan ancaman bagi stabilitas negara. Hal ini terjadi terutama disebabkan oleh naiknya militer yang memiliki latar belakang pemahaman keislaman yang baik yang kemudian dikenal dengan istilah militer santri. Para militer muslim ini memandang Islam sebagai bagian dari Saptamarga yang harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Sementara yang menjadi faktor eksternal bagi terjadinya perubahan hubungan umat Islam dengan militer adalah adanya kebijakan negara (political will) yang akomodatif baik terhadap umat Islam maupun terhadap militer yang memiliki latar belakang keislaman yang baik. Kepentingan politik negara (penguasa) terhadap umat Islam dan militer muslim ini telah memungkinkan munculnya titik temu antara umat Islam dengan militer. Di samping itu, tuntutan global yang menghendaki adanya proses demokratisasi dan penghargaan terhadap hak asasi manusia di berbagai negara juga ikut menjadi faktor pendorong bagi perubahan politik yang berlangsung di Indonesia. Berbagai peristiwa pelanggaran hak asasi manusia dan perilaku represif militer yang terjadi di Indonesia menjadi soratan dunia internasional. Tidak jarang berbagai pelanggaran itu mengundang ancaman terhadap kelangsungan kerjasama Indonesia dengan dunia internasional. Kenyataan ini telah memaksa negara untuk memperhatikan dan membiarkan proses demokratisasi itu berjalan di negeri ini. Berbagai faktor itulah yang mempertemukan umat Islam dengan militer, khususnya sejak awal tahun 1990-an. Secara politik, keduanya dipertautkan oleh kepentingan penguasa, sementara secara kultural mereka dipertemukan oleh adanya pemahaman yang sama tentang Islam. Tidak berlebihan apabila seorang Indonesianis, Harold Crouch menggambarkan semarak keagamaan yang muncul di lingkungan militer pada awal tahun 1990-an sebagai fenomena baru yang belum terlihat pada masa sebelumnya.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T3032
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Putri Indriany
Abstrak :
Abdurrahman Wahid adalah figur yang menarik dan pemikirannya tentang hubungan Islam dan negara yang disertai argumen-argumen dan praksis yang sering kontroversial, telah menjadi salah satu arus besar dalam khasanah intelektual dan perpolitikan kontemporer di Indonesia. Dalam hal ini, selain mempunyai implikasi secara normatif-substansial, Abdurrahman Wahid secara empirik-prosedural memainkan peran yang lebih besar dan berimplikasi luas dalam realitas politik. Hal ini dikarenakan Abdurrahman Wahid dalam aktivitasnya lebih kuat warna politiknya daripada warna akademisnya. Hal ini kemudian yang menyulitkannya untuk mewujudkan cita-citanya untuk menjadi seorang guru bangsa, yang dapat berdiri di atas semua golongan dan kelompok kepentingan. Penelitian yang dititikberatkan pada library research ini dimaksudkan untuk memetakan, menggambarkan dan menganalisis penolakan Abdurrahman Wahid terhadap negara Islam di Indonesia. Dari pemetaan ditemukan bahwa penolakan Abdurrahman Wahid tersebut tidak dapat digolongkan ke dalam satu pemahaman, 'secara normatif-substansial atau secara empirik-prosedural; karena pemikiran Abdurrahman Wahid secara normatif dan empirik, ditemukan butir-butir pemikirannya yang berkelindan satu sama lain. Penerimaan Abdurrahman Wahid terhadap Pancasila sebagai ideologi kebangsaan, Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk finalitas negara bangsa di Indonesia, dan masyarakat Indonesia demokratis yang dicita-citakannya; adalah wujud dari penolakannya terhadap gagasan masyarakat atau negara Islam di Indonesia dari kalangan Islam modernis. Walaupun secara umum, praktek politik Abdurrahman Wahid liberal dan sekuler, tetapi gagasannya tentang negara berakar dan dielaborasi dari keyakinan Abdurrahman Wahid terhadap Islam, baik Islam sebagai nilai-nilai ajaran maupun Islam sejarah. Sikap Abdurrahman Wahid yang moderat, inklusif, dan eklektis pada dasarnya adalah pengaruh ke-NU-annya yang sangat diwarnai oleh tradisi Sunni.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T3033
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suhaeni
Abstrak :
Kepemimpinan perempuan merupakan masalah kontroversial di kalangan umat Islam. Sejumlah ulama memandang bahwa agama (Islam) melarang perempuan menjadi pemimpin. Alasannya adalah bahwa teks-teks Al-Qur'an dan Al-Hadits secara eksplisit menyatakan adanya larangan demikian. Namun sebagian ulama berpandangan sebaliknya; bahwa orang perempuan sah untuk menjadi pemimpin. Alasannya teks-teks Al-Qur'an dan Al-Hadits haruslah senantiasa dimaknai (dipahami) secara kontekstual, tidak semata tekstual. Artinya setiap teks harus dipahami berdasarkan konteks sosial politik yang melingkupinya. Konteks sosial politik yang berkembang pada masa turunnya teks-teks tersebut sangatlah berbeda dengan konteks sosial sekarang. Dalam konteks zaman yang sudah modern seperti sekarang ini, tidak ada alasan untuk melarang wanita menjadi pemimpin; sah saja seorang perempuan menjadi pemimpin. Sementara perdebatan pemikiran terus berlanjut, kehidupan masyarakat juga terus berlangsung yang diwarnai dengan munculnya perkembangan-perkembangan baru. Diantaranya menyentuh mengenai masalah kepemimpinan perempuan. Salah satunya adalah pergulatan hidup yang dialami oleh Ratu Solehah- seorang figur pemimpin perempuan dari Partai Politik Berasaskan Islam (PBI) di Propinsi Banten-dalam menapaki karier politiknya. Secara khusus penelitian ini difokuskan untuk mengungkap pergulatan hidup yang dialami Ratu Solehah tersebut. Alasan utama dilakukannya penelitian ini adalah bahwa, munculnya figur pemimpin perempuan dalam PBI merupakan fenomena sosial yang sangat penting, yang menandai terjadi perubahan tata nilai dalam sebuah masyarakat. Hal ini mengingat bahwa dalam PBI rambu-rambu normatif (agama) sangat dominan dalam menuntukan konstruksi dan paradigma partai. Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis. Pengumpulan data dilakukan dengan tiga metode; studi dokumentasi dan literatur, wawancara mendalam (indepth interview) dan pengamatan (observasi). Penelitian ini menggambarkan betapa Ratu Solehah menghadapi banyak kendala di dalam proses untuk menggapai posisi sebagai pemimpin. Kendala tersebut terutama berupa diskriminasi gender dalam berbagai bentuk. Diskriminasi ia temukan sejak dari lingkungan yang terdekat, keluarga, lalu di sekolah, di organisasi dan juga di lembaga politik. Tetapi Ratu Solehah selalu menunjukkan perlawanan terhadap berbagai bentuk diskriminasi tersebut. Dalam seluruh rangkaian perlawanan tersebut, Ratu Solehah cukup beruntung bahwa ia dilahirkan dari keluarga besar, yakni tokoh besar agama dan politik, dan juga secara kultur ia adalah keturunan Kesultanan Banten yang kesepuluh. Posisi ini sangat membantu Ratu Solehah dalam melakukan mobilitas vertikal, sehingga mampu menerobos penghalang kultur dan sosial yang tak tampak-yang biasa disebut oleh kaum feminis sebagai --langit-langit kaca (glass ceiling). Penelitian ini dengan jelas memperlihatkan bahwa, diskriminasi gender masih secara ketat dipraktekkan di lembaga politik (partai politik) berasaskan Islam, meski hal ini tidak secara ekssplisit, ditulis dalam sebuah konstitusi partai. Tetapi dengan pemahaman normatif tertentu, teks-teks agama sering dijadikan alat untuk melakukan diskriminasi terhadap perempuan, sehingga perempuan tidak bisa muncul sebagai pemimpin di tingkat partai, dan pada ujungnya di tingkat nasional. Karena itu, penelitian ini merekomendasikan satu hal, bahwa; kini diperlukan kebijakan-kebijakan baru di tingkat partai yang lebih memiliki perspektif gender, sehingga memberi ruang yang adil bagi perempuan untuk turut berkiprah di ranah publik. Agenda partai yang lain, disamping harus memberikan pencerahan pemahaman kepada kaum laki-laki tentang pentingnya pemahaman gender, terhadap kalangan kaum perempuan pun harus ada upaya pemberdayaan yang serius. Upaya pemberdayaan dua arah (laki-laki dan perempuan) ini, harus menyentuh minimal tiga lapis struktur; struktur budaya, struktur hukum dan struktur pemahaman keagamaan. Karena di tiga wilayah utama inilah, biasanya, praktik diskriminasi gender dalam kehidupan masyarakat bersemai dengan subur.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T10805
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bakti Andriyono
Abstrak :
Tesis ini tentang Kajian ini mengenai organisasi keagamaan Front Pembela Islam. Perhatian utama tesis ini adalah kegiatan Front Pembela Islam dengan fokus aksi-aksi Front Pembela Islam dengan menggunakan cara-cara radikal sehingga menimbulkan kekerasan kolektif dan konflik. Dalam kajian tesis ini organisasi Front Pembela Islam dilihat dari kegiatan anti maksiat sehingga memperoleh dana (materi) untuk memenuhi kebutuhan individu anggota dan organisasi. Metode penelitian yang digunakan adalah metode etnografi dengan tehnik pengumpulan data secara pengamatan, wawancara dengan pedoman dan pengamatan terlibat untuk eksistensi dan kegiatan Front Pembela Islam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aksi-aksi Front Pembela Islam dengan menggunakan cara-cara radikal sehingga menimbulkan kekerasan kolektif dan konflik. Cara-cara radikal itu terkait dengan eksistensi dan kegiatan organisasi. Eksistensi dan kegiatan organisasi itu adalah: a) anggota FPI sebagian besar adalah golongan masyarakat yang tidak berkecukupan dan kurang terpelajar, b) FPI membentuk Laskar Pembela Islam yang dikerahkan untuk melakukan aksi-aksi radikal, c) Front Pembela Islam tergolong organisasi tradisional dan menggunakan manajemen pesantren. d) Kegiatan Front Pembela Islam dalam bentuk pelayanan keagamaan, pelayanan politik, bisnis organisasi dan aksi-aksi radikal sehingga menimbulkan kekerasan kolektif dan konflik, e) Dukungan dana (materi) dari anggota dan donatur luar kepada organisasi FPI dan dukungan dana (materi) dari donatur luar kepada anggota FPl. Implikasi kajian tesis ini adalah perlunya penguatan Pokes sebagai Kesatuan Operasional Dasar dalam mengantisipasi kegiatan Front Pembela Islam. Penguatan ini dilakukan melalui cara mencukupi peralatan material dan anggaran, menugaskan anggota Intelijen dan Babin kamtibmas Kelurahan untuk menggaiang pimpinan FPI dan mengawasi kegiatan dakwah FPI, melarang aksi lapangan FPI dan memberdayakan satuan kekuatan besar yang merupakan gabungan dari seluruh fungsi untuk yang melakukan upaya melakukan upaya pencegahan aksi lapangan dan penindakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh FPI. Daftar Kepustakaan : 60 buku + 36 dokumen
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11096
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhurorudin
Abstrak :
Sejak berakhirnya rezim Orde Baru (pimpinan Soeharto) spektrum politik Indonesia diwarnai oleh pergulatan elit politik yang terpilah dalam banyak kelompok. Hal ini terutama terefleksi dari bermunculannya puluhan partai politik yang masing-masing terpilah akibat perbedaan visi dan mini atau bahkan spektrum ideologi. Kelompok Islam dan atau yang memakai simbol-simbol Islam merupakan salah satu dari sekian kelompok yang ikut andil dalam "pertarungan" politik tadi. Bahkan, kubu Islam sendiri terfragmentasi pula dalam beberapa kelompok (varian) yang kadangkala bersaing bahkan bertentangan. Munculnya belasan partai Islam adalah bukti konkrit dari fragmentasi kubu Islam tadi. Bahkan, selain partai-partai politik Islam, ternyata masih muncul pula kekuatan-kekuatan politik Islam non-partai seperti terefleksi dari munculnya berbagai milisi (seperti Front Pembela Islam, Front Hizbullah, Laskar Jihad dan lain-lain) yang banyak diantaranya tak punya afiliasi -apalagi koordinasi- dengan partai politik Islam tadi. Yang pasti, setiap varian kekuatan politik Islam tadi ternyata masing-masing mengklaim sebagai representasi dari aspirasi ummat. Masing-masing memakai bermacam simbol dan berbagai idiom Islam guna menarik simpati massa, bahkan cukup sering menggerakkan massa untuk tujuan politik mereka. Sebenarnya, fragmentasi politik Islam di Indonesia bukanlah fenomena baru. Pada Era Orde Lama misalnya, kekuatan politik Islam juga mengalami fragmentasi dalam beberapa partai semisal Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII), dan Persatuan Tarbiah Indonesia (Perti). Era Orde Baru kendati kekuatan politik Islam difusikan dalam satu kekuatan bernama Partai Persatuan Pembangunan, namun fragmentasi antar unsur tetap terjadi, yang bermuara pada peristiwa penggembosan PPP oleh NU tahun 1984. Ketika Orde Baru berakhir, fragmentasi politik Islam kembali terjadi, bahkan dalam wujud yang lebih fulgar, dimana keterbelahan politik Islam mengkristal dalam wujud belasan partai Islam. Jika dicermati, fragmentasi politik kaum santri di Indonesia ini tak terlalu mengherankan mengingat akar-akarnya telah lama tertanam dalam wujud khilafiah-fiqhiah (perbedaan pemahaman nilai), yang pada akhirnya berpengaruh pada interpretasi pemaknaan kebijakan politik. Selain itu adanya kepentingan politik dari setiap kelompok kaum santri juga ikut menjadi benih bagi tumbuhnya fragmentasi. Berbagai perbedaan penyebab fragmentasi politik santri pasca Orde Baru ternyata bertambah variasinnya dibanding era sebelumnya. Memang, antara subkultur modern dan tradisional (yang menjadi trade-mark utama era Orde Lama) sebenarnya telah melakukan dialog panjang dan proses pendekatan, sehingga jurang pembeda antara dua kultur tadi relatif menyempit. Namun, realitas perbedaan antara dua sub kultur terutama dalam konteks akar rumput (grass root) bahkan dalam pola hubungan elit dan basis massa tampaknya masih eksis (ada) dan tak mungkin untuk diabaikan. Fakta inilah yang menyebabkan keterbelahan politik Wasik yang berpijak pada dua sub kultur tadi tetap ada, kendati tak setajam era sebelumnya. Bahkan, pasca Orde Baru berkembang pula fenomena lain dalam politik kaum santri (terutama telah dimulai era Orde Baru) yakni perbedaan antara penganut pemikiran Islam kultural (kaum substansialis) dan Islam politik (kaum formalis). Fenomena baru ini telah pula meramaikan keterbelahan politik di lingkungan santri. Fragmentasi politik Islam dengan segala penyebabnya tadi tentu saja potensial menumbuhkan konflik intra ummat, bahkan dapat melebar menjadi konflik antar ummat. Namun, perlu dipaharni bahwa politik dalam perspektif Islam hakekatnya merupakan pentakwilan sosial atas ajaran Islam. Sebagai pentakwilan pluralitas akhirnya merupakan sebuah kewajaran, sebagai sebuah kekayaan pemikiran yang seharusnya berguna untuk mencapai kemajuan. Hal yang justru tak wajar adalah bila fragmentasi disikapi dengan cara ekstrim, anti pluralitas, yakni : pertama, bahwa di tengah perbedaan (pluralitas) seolah tak ada sesuatupun yang dapat menyatukan (menjembatani) untuk mencipta kebersamaan. Pemikiran ini dapat menimbulkan sikap ekstrim bahwa kelompok berbeda mesti diperangi, dinihilkan, dihancurkan, karena pihak pesaing akan mengganggu sebuah kemapanan (status quo). Kedua, bahwa pluralitas dipandang sebagai ancaman bagi keharmonisan dan oleh karena itu secara antusias berusaha menciptakan sebuah uniformity dengan mengabaikan realitas perbedaan. Dua pemikiran dan sikap ekstrim tadi akhirnya akan berpengaruh negatif pada stabilitas, integrasi dan atau ketahanan nasional, karena pola pikir dan sikap seperti itu pada akhirnya dapat menimbulkan perlawanan yang tak kalah ekstrimnya. Terjadi atau tidaknya implikasi negatif dari pluralitas dan atau fragmentasi politik Islam tadi tergantung pada kapabilitas (kemampuan) elit-elit politik Islam dalam menformulasikan managemen konflik antar mereka. Selain itu campur tangan pemerintah dalam tingkat tertentu untuk mengelola konflik agar tak melebar dan tak mengarah pada pembusukan politik juga menjadi penting. Namun efektifitas peran pemerintah untuk mengelola konflik antar elemen politik di masyarakat tentu sangat tergantung pada kredibilitas independensi pemerintah terhadap elemen-elemen politik yang terfragmentasi tadi.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T11658
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nandang Burhanudin
Abstrak :
Tumbangnya orde baru membawa berkah bagi kader-kader dakwah yang dikenal dengan sebutan jamaah Tarbiyah. Berdasarkan hasil musyawarah, sebagian besar sepakat mensosialisasikan program dakwah melalui jalur partai yang kemudian dinamai Partai Keadilan. Mengingat partai sebagai kepanjangan dakwah, maka apa pun aktifitas dan kebijakan partai tak lepas dari dakwah yang merupakan urat nadi kader-kader yang masih relatif muda dan idealis ini. Sehingga program partai pun, benar-benar merupakan penjabaran dari misi visi dakwah yang dikemas dalam format yang lebih membumi dan modern. Membumi karena senantiasa menjauhi target-target politik yang mengawang serta lebih membaca realitas. Modern, sebab kendati yang diperjuangkan adalah Islam dan syariatnya, Partai Keadilan sama sekali tidak mengkultuskan warisan masa lalu sebagai bagian yang harus dihadirkan masa sekarang. Justru yang diperjuangkan Partai Keadilan adalah nilai-nilai universal Islam yang tercermin dalam keadilan, persamaan hak dan kewajiban, supremasi hukum, memerangi kezhaliman atas dalih apa pun dan memberantas kesewenangan yang kuat terhadap yang lemah atau tirani mayoritas kepada minoritas dan sebaliknya. Dalam tataran perjuangan nilai-nilai tersebut, Partai Keadilan pun menempuh segala celah yang bisa dijadikan pintu masuk nilai-nilai Islam, mulai dari pembinaan pribadi, pendidikan, sosial, politik, hingga melalui perjuangan legislasi dan konstituisionalisasi perundang-undangan. Cara yang ditempuh pun menjauhi sikap anarkis, brutal, kekerasan apalagi tindakan teror. Bagi kader-kader PK, tujuan yang baik harus melalui cara dan jalan yang baik pula. Satu cara fundamental yang ditempuh PK dalam penerapan perjuangan syariat Islam adalah, yang pertama dan paling utama menerapkannya dulu dalam individu personal kader Partai Keadilan sebelum menyuarakannya pada orang lain. Oleh karena itu, syariat Islam bukanlah bualan politik. Ia adalah sebuah nilai yang harus diterapkan dalam kehidupan. PK menyadari, jika syariat Islam benar-benar dipahami secara integral dan universal, maka tak kan ada kezhaliman terhadap wanita, non muslim atau praktek-praktek ketidakjujuran dalam segala tatarannya, baik dalam skala interaksi antar personal masyarakat maupun dalam skala negara. Sebaliknya, jika seseorang berbuat zalim apa pun itu, maka sebenarnya orang tersebut tidak sedang menjalankan syariat Islam, walaupun mungkin dalih yang digunakan berasal dari doktrin-doktrin suci agama. Sebuah pemahaman yang sangat diperlukan untuk menjadi solusi di tengah badai krisis moral di Indonesia dewasa.
The fail of the New Order Era has brought a blessing unto the cadres of missionary activities as known by the denomination Jamaah Tarbiyah. On the foundation of deliberations, the majority agreed to popularize the program for propagation trough the instrument of the Justice Party. Considering that the party as the extension means for propagation which being the nerve of the cadres who are relatively still youthful and idealistic. So that even the party program really conveys the realization of the missionary vision of propagation contained in a more popular and modem format. Popular since it keeps itself away from political targets floating in the air of uncertainties. Modern since what is being struggled for is Islam and its law. The Justice Party never mad as cult of past heritance as a part of its presence in contemporary affairs. Whereas exactly what is being aimed for bay the Justice Party are the values of the universal Islam which is reflected in justice, equality in rights and obligations, the supremacy of the law, the fight against tyranny on the precepts of whatever case and the combat against despotism wrought by the powerful against the weak or the tyranny of the majority toward the minority and otherwise. Within the concepts of such values the Justice Party even strides all openings which can serve as an avenue for the values of Islam, starting with the self-training, education, social-politic up to the struggle in the legislative ranks for constitutionalization of laws. The method to be adopted even distance anarchy, brutality, violence or even more terror. For the Justice Party cadres the good purposes should also be conducted by decent ways. One fundamental method which should be endeavored by the Justice Party in the struggle for the laws of Islam are, firstly and principally should done primarily among the individual cadres of the Justice Party before propagandizing it toward other people. Therefore, the Islamic Law should not be political big talking. This is one value that must be enacted in everyday life. The Justice Party realizes that, if the Islamic Law is exactly integrally and universally comprehended, there will be no despotism against women, non-Muslims or unfair practices within its ranks. Whether on the level of internal interactions of the communal personality on the level of state affairs. Otherwise, if anyone conducts whatever despotic actions, he in fact does not follow the Islamic Law, event though under the pretences of the holy religious doctrines. A seriously needed understanding for the solution in the midst of the storm of moral crisis in Indonesia nowadays.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11858
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Imdadun Rahmat, 1971-
Abstrak :
Tesis ini membahas tentang proses, mode dan bentuk transmisi gerakan kebangkitan Islam yang berlangsung di Timur Tengah ke Indonesia yang terjadi pada rentang waktu antara tahun 1990 hingga 2002. Kasus yang diambil sebagai objek studi adalah gerakan Tarbiyah yang kemudian berkembang menjadi Partai Keadilan Sejahtera dan gerakan Hizbut Tahrir yang kemudian menjadi Hizbut Tahrir Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, sedangkan data diperoleh melalui kepustakaan dan wawancara mendalam dengan para tokoh yang berperan penting dalam transmisi ini. Tesis ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: Gerakan revivalisme Islam yang bermula dari Timur Tengah telah menyebar hampir ke seluruh dunia Islam termasuk ke Indonesia. Transmisi gerakan ini ke Indonesia terjadi melalui modus dan sarana yang beragam. Ada beberapa modus dan sarana dominan yang memiliki andil signifikan dalam proses transmisi tersebut Pertama, transmisi melalui para alumnus Timur Tengah. Kedua, melalui penyebaran buku-buku dan sarana informasi lainnya. Ketiga, melalui kontak personal dengan para aktifis gerakan revivalisme Islam di Timur Tengah. Transmisi ini melahirkan pengaruh yang cukup signifikan. Tingkat yang paling intensif adalah diadopsinya pemikiran, ideologi dan manhaj gerakan. Hal ini terjadi pada kasus Gerakan Tarbiyah yang mengadopsi pemikiran dan ideologi serta manhaj Ikhwanul Muslimin di Mesir dan Hizbut Tahrir Indonesia yang menjadi bagian dari jaringan Hizbut Tahrir internasional yang berpusat di Yordania. Kelahiran gerakan Tarbiyah sendiri terinspirasi dan terdorong oleh pemikiran Ikhwanul Muslimin. Selanjutnya, Ikhwanul Muslimin memasok gagasan, pemikiran, ideologi, semangat dan-metode gerakan Tarbiyah. Meskipun terdapat berbagai modifikasi dan adaptasi, pemikiran Ikhwanul Muslimin tetap menjadi acuan gerakan ini. Demikian juga dengan Hizbut Tahrir di Indonesia. Kelahiran gerakan ini sendiri dibidani dan dipelopori o1eh beberapa orang anggota dan simpatisan Hizbut Tahrir yang telah bersentuhan langsung dengan gerakan ini di Timur Tengah. Sehingga, nama, bentuk, doktrin, ideologi dan metode gerakannya benar-benar mengikuti Hizbut Tahrir di TimurTengah. Bahkan, Hizbut Tahrir Indonesia merupakan cabang dari jaringan Hizbut Tahrir Internasional dan bertanggungjawab kepada pengurus pusat Hizbut Tahrir di Yordania.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11105
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Said
Abstrak :
Sejarah pergerakan selalu terjadi pada situasi di mana kezhaliman, ketidakadilan dan pelanggaran hak-hak asasi manusia menimpa kehidupan umat manusia. Hak-hak asasi manusia yang memberikan ruang luas untuk "bebas" dan "merdeka" menjadi terhambat karena arogansi kekuasaan dengan kesewenang-wenangan tirani penguasa. Oleh karena itu bila kita berbicara tentang sejarah pergerakan, secara tidak langsung kita akan dihadapkan oleh pembahasan mengenai sejarah hak-hak asasi manusia. Singkatnya bahwa sejarah pergerakan selalu identik dengan sejarah HAM. Imperialisme dan Kolonialisme yang diprakarsai oleh negara-negara Barat, berangkat dari transisi paham spiritualisme kepada paham materialisme. Dunia Barat pada sebelum abad pertengahan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma keagamaan. Suasana religius sedemikian mewarnai kehidupan, baik pada segmen masyarakat maupun pemerintahan. Ketika ilmu pengetahuan dan tekhnologi mulai banyak dikembangkan, maka Barat secara perlahan mulai meninggalkan gereja dan paham spritualismenya. Hanya satu yang mereka yakini, bahwa materi yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan dan tehnologi akan dapat meningkatkan taraf kesejahteran hidup umat manusia. Di bawah dorongan kuat paham materialime inilah dunia barat mulai merambah dunia timur, dengan melakukan petualangan kolonialnya untuk menguras sumber daya alam dan sumber daya manusianya sekaligus. Meskipun Amerika menjadi gerbong terakhir dalam rangkaian panjang kereta kolonial dengan Inggris sebagai lokomotifnya, Amerikapun ikut mencicipi jajahan beberapa wilayah di bagian Timur. Salah satu bentuk penjajahan Amerika yang menguras sumber daya manusia secara besar-besaran adalah pengiriman budak-budak kulit hitam dari Negara-negara di bagian benua Afrika. Ini merupakan penjajahan model baru, sebab tanpa harus bertandang ke negeri jajahan, pemerintah kolonial dapat secara efektif menguras sumber daya manusia untuk mendongkrak angka pertumbuhan kekayaan negerinya.
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T10948
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra Kurniawan
Abstrak :
Tema pemikiran Islam sebagai ideologi politik, dalam konteks wilayah dan kurun waktu yang tak terbatas, merupakan bagian dari pergulatan wacana gerakan kebangkitan Islam. Ketika gerakan Islam itu sendiri telah berwujud kedalam sebuah kekuatan praksis politik, maka nilai-nilai politis dalam dimensi keagamaan dengan sendirinya pula menjadi bagian yang tak terpisahkan. Secara sederhana, pergulatan "wacana hegemonik" dan "nilai-nilai fundamental" dalam faham keislaman terus beradu dalam praksis gerakan Islam di dua wilayah: "Negara" dan "Agama" Di satu sisi, negara seringkali memperkuat struktur yang deskriminatif dan melegitimasi ketidakadilan terhadap realitas pergerakan. Di sisi lain, interpretasi dan pemahaman terhadap teks-teks normatif keagamaan menjadi sebuah keharusan untuk diterjemahkan dalam tataran praksis aplikatif. Penelitian ini berbentuk studi fenomenologis yang bersifat kualitatif dengan tipe penelitian "deskriptif-analitik". Dalam perspektif historis, peneliti mencoba untuk memahami secara komprehensif mengenai fundamentalisme Islam yang dipahami sebagai ideologi politik dalam realitasnya. Penelitian ini berawal dari fenomena merebaknya aksi Hizbut Tahrir sebagai gerakan kontra-hegemoni dan kontrabudaya dalam upaya untuk menterjemahkan konsep Islam secara aplikatif di Indonesia. Peneliti berusaha mereduksi realitas ideologi dan tradisi Islam pada praksis gerakan Hizbut Tahrir, yang menampilkan corak dinamikanya tersendiri. Untuk itu, praksis gerakan Islam-politik Hizbut Tahir merupakan realitas gerakan yang menjadi objek penelitian di sini. Pemaknaan negatif masyarakat luas, serta dominasi yang berwujud intervensi negara terhadap praksis gerakan Islam-politik, merupakan faktor penghambat yang turut diteliti dalam aktualisasi gerakan Islam Hizbut Tahrir semenjak kelahirannya di Timur Tengah. Jika dicermati lebih mendalam, tampaknya pola eksperimentasi pergerakan Hizbut Tahrir Indonesia dalam konteks politik di Tanah Air, menyisakan persoalan bagi konsep "Negara Kebangsaan" dalam bingkai "Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)". Pergulatan hegemoni tidak dapat dihindari ketika dalam pandangan politik Hizbut Tahrir terdapat upaya untuk mengganti sistem yang sedang berlaku tersebut. Pola pergerakan Islam-politik ini pada gilirannya memunculkan respon tersendiri bagi kalangan aktifis pergerakan di Indonesia, dalam menyikapi pergeseran wacana Islamisme dari teologis-religius menuju praksis ideologis-politis. Pergulatan pemikiran dalam penelitian ini merangsang interpretasi lebih jauh terhadap perjuangan penerapan syariat Islam di Indonesia, yang bagi Hizbut Tahrir harus dimulai dari penegakan kembali sistem khilafat Islam, sebagai sebuah doktrin perjuangan yang telah mereka gariskan.
The Reality of Hizbut Tahrir Movement in Indonesia: Hegemonic Discourse and Ideological Praxis (A Study of Middle Eastern Islamic Thinking within the Political Islamic Fundamentalist Movement in Indonesia) The theme of Islamic thinking as political ideology, in an unlimited territorial context and period of time, represent a part of the discourse of the Islamic Revivalism Movement. When the Islamic Movement became a political force, political and religious values became inseparable. In other words, the "hegemonic discourse" and "fundamental values" of Islam, continue to crop up in the Islamic movement in two areas: "State" and "Religion". On one hand, the state strengthens a discriminative structure and legitimizes injustice against the movement. On the other hand, understanding of an interpretation of normative texts has become a necessity to be translated into applicative practical level. This research is a qualitative phenomenological study, using the descriptive-analytical technique of the political Islam ideology of the Hizbut Tahrir Islamic movement. In a historical perspective, the researcher will try to comprehend Islamic fundamentalism as a political ideology with the existence of the Hizbut Tahrir movement as a part of its political-ideological reality. This Research begins with the phenomenon of spread of the Hizbut Tahrir movement actions as a "counter-hegemony" and "counter-culture" movement, which trying to apply its concept of Islam to Indonesia. The researcher will attempt to detail the ideological reality and Islamic traditions in the Hizbut Tahrir movement, which has shown itself, to be unique within their dynamics pattern. So, the Hizbut Tahrir political Islam movement is a reality, which is the subject of the research. Widely held negative views from the community as well as state intervention towards the political Islam movement as obstacles will to the actualization of the Hizbut Tahrir Islamic movement since its birth in the Middle East, will be researched. If further examined, it seems that the experimental model of the Indonesian Hizbut Tahrir movement raises questions about the concept of "the Nation State" and "the Unitary State of the Republic of Indonesia (NKRI)". However, hegemonic struggle can not be avoided because Hizbut Tahrir's political view includes an attempt to alter the current system. In turn, the model of the political Islam movement has drawn a response from the movement's activist in Indonesia, regarding the shift of Islamic discourse from religious-theological issues to political-ideological ones. The ideological polemic in the research has stimulated various interpretations of the struggle for the implementation of Sharia Law in Indonesia, which for Hizbut Tahrir, must begin with the reestablishment of an Islamic Caliphate systems, as the basic doctrine of their struggle.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11034
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tuti Alawiyah Surandi
Abstrak :
Penelitian ini bermaksud mengkaji terakomodir tidaknya hak-hak perempuan dalam politik identitas berbasis Islam. Salah satu wujud politik identitas Islam tersebut adalah proses penerapan Syariat Islam seperti terjadi di Serang Banten. Kerangka pemikiran yang melandasi penelitian ini adalah bahwa dalam politik identitas, baik yang berbasis pada agama, ras, etnis, bangsa dan sebagainya, perempuan seringkali dijadikan simbol untuk menandai identitas tersebut. Apakah dalam politik identitas Islam seperti dalam kasus proses penerapan Syariat Islam perempuan juga dijadikan simbol dan penanda identitas sehingga hak-haknya seperti hak sipil dan politik terabaikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan dalam proses penerapan Syariat Islam di Serang Banten dijadikan simbol dan instrumen terciptanya masyarakat Islami. Hai ini dilandai dengan himbauan pemakaian jilbab bagi perempuan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Pemda dan seluruh dinas Kabupaten Serang dan para siswi SD sampai SLTA Negeri se-Kabupaten Serang. Dengan adanya himbauan berjilbab menunjukkan bahwa perempuan lebih digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan gerakan penegakan Syariat Islam. Perempuan menjadi terabaikan hak-haknya karena mereka tidak dilibatkan secara aktif dalam pengambilan kebijakan seperti dalam himbauan jilbab tersebut, dan dalam berbagai proses politik yang terjadi di Serang. Dalam Panitia Penerapan Syariat Islam Banten, misalnya, tidak ada satu pun perempuan yang masuk dalam susunan kepanitiaan tersebut sementara penerapan Syariat Islam sendiri realitasnya banyak yang ditujukan untuk perempuan. Untuk mewujudkan masyarakat Islam seperti yang diperjuangkan para penegak Syariat Islam, jilbab merupakan tahap awal karena akan banyak hukum-hukum Islam yang tidak berpihak pada perempuan sehingga hak-hak perempuan sebagai manusia terabaikan. Karena itu, penelitian ini berupaya menggambarkan kondisi perempuan ketika Islam dijadikan satu-satunya identitas yang diperjuangkan untuk menjadi sumber nilai bagi tatanan kehidupan masyarakat dan pemerintahan.
This study intends to observe whether or not women's rights are accommodated by the politics of identity of Islam. The process of the implementation of the Islamic sharia in Serang Banten is one of the answers or that question. Women are often used as an important symbolic instrument for making a certain political identity. This "universal custom" is practiced by religions, races, ethnics, and so forth. One of the results of this practice is the abandonment of women's rights, such as civil right and political right. This study intends to know whether or not women are used as a symbolic identity in the process of the implementation of the Islamic Sharia in Serang Banten. This is the framework of this study. Based on a field research, this study want to show that the mentioned "universal custom" is not absent in the process of the implementation of the Islamic Shari'a in Serang Banten. Women are regarded as an important symbol of the emergence of the Islamic society. To achieve an Islamic society, for example, the District Government (Periieriniah Daerah, abbr. Pemda) encourages the female government employee (Pegawai Negeri Sipil) to wear jilbab (veil) in the office of Pemda and other government offices in Serang. This rule is also encouraged to the female students of the state schools (sekolah negeri) from elementary until senior high school in Serang. This phenomenon is an evidence of the assumption that women are merely used as an instrument of the implementation of Islamic shari'a in Serang. The fact that women are not invited to participate actively in this project is another evidence of the abandonment of women's rights. The Committee of the implementation of Islamic shari'a in Banten, for instance, does not involve women, even one person, in the list. This phenomenon is clearly in contrast to the fact that women are the most important target of the project. Jilbab is the first obvious example of the result of the process of the implementation of Islamic shari'a in Serang. After jilbab, the sequence policies of the implementation of Islamic shari'a such as Islamic law will be implemented. The Islamic laws which prevail in Indonesian community now were often regarded in the opposite side with women. Hence, the implementation of Islamic laws is feared to threaten women's rights. This thesis intends to portray women's fate in a society where Islam is considered as the only identity and value source for the social order of society and government.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11895
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>