Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bangun Astarto
"Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan filtrasi glomerulus, sehingga dapat menyebabkan non visualisasi ginjal unilateral atau bilateral pada urografi intra vena.
Pemeriksaan Radioisotop renografi sebagai lanjutan pemeriksaan pada keadaan tersebut ini .dapat menunjukkan gangguan fungsi masing-masing ginjal secara terpisah dan pads fase apa terjadinya gangguan tersebut.
Terdapat 3 fase pada renogram :
1. Fase pengisian atau vaskular menggambarkan ekstensi aliran darah ke ginjal tersebut.
2. Fase pemekatan atau fase sekresi/fase tubular menggambarkan aliran darah arterial, filtrasi glomerulus, sekresi tubular dan transportasi radioaktivitas intra renal ke pelvis dan ekstra renal.
3. Fase eliminasi atau fase ekskresi menggambarkan penurunan radio aktivitas dari seluruh ginjal.
Sedangkan kelainan yang dapat terjadi pada grafik renogram secara garis besar di bagi 3 tipe Obstruktif, Isothenuria dan Nefrektomi.
Karya tulis ini mengamati 21 kasus non visualisasi ginjal unilateral hasil urografi intra vena, yang dilanjutkan dengan pemeriksaan radioisotop renografi, ternyata sebagian besar menunjukkan tipe nefrektomi (85,71%), sedangkan tipe obstrukti 4,76% dan tipe isothenuria 9,53%.
Kombinasi hasil urografi intra vena dan renogram memperjelas gambaran fungsi masing-masing ginjal secara terpisah. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pontoh, Ega Wirayoda
"Latar Belakang: Sindrom koroner akut (SKA) dapat didefinisikan sebagai aliran darah yang tidak cukup ke miokardium dan salah satu penyakit kardiovaskular yang paling umum di Indonesia yang mempengaruhi 143.000 orang. Skor risiko TIMI adalah penilaian stratifikasi risiko yang dapat menentukan prognosis pasien dan memengaruhi opsi terapi. Tes fungsi ginjal dikaitkan dengan keparahan hipoksia dan faktor-faktor lain yang berkontribusi dalam SKA dan tidak termasuk dalam skor risiko TIMI. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara tes fungsi ginjal dan skor risiko TIMI pada pasien SKA. Metode: Penelitian ini menggunakan model analitik cross-sectional menggunakan pengumpulan data rekam medis yang meliputi serum kreatinin, serum ureum, dan skor risiko TIMI yang diperoleh dari Rumah Sakit Nasional Cipto Mangunkusumo. 117 sampel diperoleh yang kemudian dianalisis dengan uji chi-square.
Hasil: Uji fungsi ginjal terbukti secara signifikan terkait dengan Skor Risiko TIMI. Serum kreatinin dikaitkan dengan skor risiko TIMI (p = 0,0407) serta serum ureum juga dikaitkan dengan skor risiko TIMI (p = 0,036).
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara serum kreatinin dan serum ureum yang tinggi dengan tingginya skor risiko TIMI.
......Background: Acute coronary syndrome (ACS) is defined as insufficient blood flow to the myocardium and one of the most common cardiovascular disease in Indonesia affecting 143.000 people. TIMI risk score is risk stratification assessment that can determine the prognosis of the patient and affect therapy options. Renal function test is associated with hypoxia severity and other contributing factors in ACS which is not included in TIMI risk score. This research aims to see the association of renal function test and TIMI risk score in ACS patients.
Method: The research uses analytical cross-sectional model using medical records data collection which encompasses serum creatinine, serum ureum, and TIMI risk score obtained from Cipto Mangunkusumo National Hospital. 117 samples are obtained which is then analysed using chi-square test.
Results: Renal function test proved to be significantly associated with TIMI Risk Score. Serum creatinine is associated with TIMI risk score (p=0,0407) as well as serum ureum is also associated with TIMI risk score (p=0,036).
Conclusion: There is an association between high serum creatinine and high serum ureum with TIMI risk score in ACS patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aruni Cahya Irfannadhira
"Salah satu faktor yang berperan dalam menentukan tingkat kesehatan seseorang adalah lingkungan fisik. Sungai Citarum yang merupakan bagian dari lingkungan telah ditetapkan sebagai sungai paling tercemar di dunia, namun masih banyak dijadikan sumber air bagi daerah Jawa Barat dan DKI Jakarta. Ginjal adalah organ yang bertanggung jawab untuk mengeleminasi toksin dari tubuh manusia, sehingga salah satu permasalahan kesehatan yang diketahui dapat muncul akibat lingkungan tercemar adalah penurunan fungsi ginjal. Penelitian ini bertujuan untuk melihat proporsi penurunan fungsi ginjal dan meneliti hubungan antara faktor lingkungan tempat tinggal yang mencakup wilayah, lama tinggal, dan radius tempat tinggal sekitar sungai terpolusi terhadap penurunan fungsi ginjal menggunakan desain potong lintang. Data yang dianalisis merupakan data sekunder yang didapatkan dari INDOHUN. Data tersebut berupa hasil pengisian kuesioner dengan metode wawancara terpimpin pada masyarakat usia produktif (usia 15-64 tahun) yang tinggal di DAS Citarum. Seluruh data sekunder diinklusi dalam penelitian ini (n=168) yang kemudian disajikan dalam bentuk kategorik. Data kemudian diolah menggunakan SPSS for mac 20.0 dengan uji chi-squared. Hasil menunjukkan proporsi penurunan fungsi ginjal pada penduduk usia produktif adalah 2,4%. Hasil uji fisher exact Test yang dilakukan karena data tidak memenuhi syarat chisquared menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik antara wilayah tempat tinggal dengan fungsi ginjal (p=1,000), lama tinggal di DAS Citarum sebagai sungai tercemar dengan fungsi ginjal (p=1,000), maupun radius tempat tinggal ke sungai dengan air tercemar dengan fungsi ginjal (p=0,365). Sebagai kesimpulan, belum ditemukan adanya hubungan yang bermakna antara faktor lingkungan tempat tinggal dengan penurunan fungsi ginjal masyarakat usia produktif di DAS Citarum. Penelitian selanjutnya dapat menggunakan jumlah subjek yang lebih besar dengan desain studi berbeda untuk mengetahui hubungan etiologis dari pencemaran air Sungai Citarum terhadap kesehatan masyarakat.
......One of the factors that play a role in determining a person's health level is the physical environment. The Citarum River, which is part of the environment, has been designated as the most polluted river in the world, but is still widely used as a source of water for West Java and DKI Jakarta. Kidneys are organs that are responsible for eliminating toxins from the human body, so one of the health problems that are known to arise due to polluted environments is decreased kidney function. This study aims to see the proportion of decreased kidney function and to examine the relationship between environmental factors of residence including area, length of stay, and the radius of residence around polluted rivers to decreased kidney function using a cross-sectional design. The data analyzed is secondary data obtained from INDOHUN. The data is the result of filling out a questionnaire using the guided interview method for people of productive age (aged 15-64 years) who live in the Citarum watershed. All secondary data were included in this study (n=168) which were then presented in categorical form. The data were then processed using SPSS for mac 20.0 with the chi-squared test. The results showed that the proportion of decreased kidney function in the productive age population was 2.4%. The results of the fisher exact test which was carried out because the data did not meet the chi-squared requirements showed that there was no statistically significant relationship between the area of residence and kidney function (p = 1,000), the length of stay in the Citarum watershed as a polluted river with kidney function (p = 1,000), as well as the radius of residence to the river with polluted water with kidney function (p = 0.365). In conclusion, there has not been found a significant relationship between environmental factors and decreased kidney function of productive age communities in the Citarum watershed. Future studies can use a larger number of subjects with different study designs to determine the etiological relationship of Citarum River water pollution to public health."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faisal Habib
"ABSTRAK
Latar Belakang. Perempuan dengan preeklampsia memiliki resiko tinggi
terhadap penyakit kardiovaskuler 5-15 tahun pasca kehamilan. Disfungsi endotel
diperkirakan menjadi patogenesis manifestasi klinik preeklampsia dan
penghubung antara preeklampsia dan kejadian kardivaskular setelah kehamilan.
Nilai flow mediated vasodilation (FMD) dari arteri brakhialis pada sebagian
subset preeklampsia tetap rendah 3-10 tahun pasca-melahirkan. Proteinuria pada
preeklampsia secara etiologi juga berhubungan dengan disfungsi endotel
glomerulus. Namun, tidak seperti pada populasi hipertensi dan diabetes mellitus,
sampai saat ini belum diketahui bagaimana korelasi antara nilai proteinuria
dengan nilai FMD pada populasi preeklampsia.
Tujuan : Untuk mengetahui hubungan/korelasi antara proteinuria terhadap nilai
FMD pada preeklampsia sebelum dan sesudah melahirkan
Metode. Studi prospektif dilakukan di tiga rumah sakit. Subyek preeklampsia
yang akan diterminasi dan sesuai kriteria inklusi dan eksklusi diperiksa nilai FMD
dan rasio protein-kreatinin urinnya (RPKU) sebelum melahirkan, 48-72 jam
setelah melahirkan dan pasca-nifas. Data kemudian diolah dengan analisis bivariat
dan multivariat untuk mengetahui korelasi antara rasio protein-kreatinin urin
dengan nilai FMD dan perubahannya sebelum dan setelah melahirkan.
Hasil Penelitian. Sebanyak 30 perempuan preeklampsia diikutsertakan dalam
penelitian ini. Rerata nilai FMD sebelum melahirkan, 48-72 jam pasca-melahirkan
dan follow up pasca-nifas adalah 5.46 ± 0.27 ,, 6.10 ± 0.35 dan 8.14 ± 2.48 ( p
<0.001). Ditemukan 40 % subyek masih dengan FMD < 7 saat pemeriksaan
pasca-nifas (40-60 hari). Uji korelasi bivariat menunjukkan korelasi dengan arah
negatif yang kuat antara proteinuria (RPKU) pasca-nifas dengan nilai FMD pascanifas
(r= -0.73, p <0.001) , dan nilai RPKU sebelum melahirkan berhubungan
dengan rendahnya FMD pasca-nifas dan perubahan (delta) FMD sebelum-sesudah
melahirkan. Tidak diperoleh korelasi bermakna antara proteinuria dan nilai FMD
sebelum melahirkan. Analisis multivariat dengan regresi linier membuktikan
korelasi yang independen antara proteinuria dan nilai FMD pasca-nifas dan delta
FMD.
Kesimpulan. Studi ini menegaskan korelasi yang kuat yang arahnya negatif
antara nilai proteinuria pasca-melahirkan dengan nilai flow mediated dilation
pasca melahirkan pada subyek preeklampsi dan semakin tinggi nilai proteinuria
sebelum melahirkan berhubungan dengan rendahnya perubahan FMD sebelum
dan sesudah melahirkan.

ABSTRACT
Background. Endothelial dysfunction was associated with both of the
predisposition of preeclampsia and the later development of vascular disease.
Flow mediated dilation (FMD) was reduced in preeclamptic women and persist
after delivery in several cases. Proteinuria in preeclampsia was also a
manifestation of endothelial dysfunction in kidney, but there was no data untill
now showing the correlation of FMD and the level of proteinuria in preeclamptic
woman
Objectives. To asses the correlation between urine protein-creatinine ratio and
flow mediated dilation (FMD) before and after delivery in preeclamptic women.
Methods. Women with a diagnosis of preeclampsia and planned for termination
were enrolled for the study. History of hypertension before 20 weeks of gestation,
diabetes mellitus, chronic kidney disease became exclusion criterias. The FMD
was studied through the use of high resolution vascular ultrasound examination of
brachial artery for 3 times; before delivery, 48-72 hours after delivery and 40-60
days after delivery. Urine protein-creatinine ratio (UPCR) was measured twice;
prior to delivery and 40-60 days after delivery. Correlation between them was
then evaluated.
Results. Thirty patients were enrolled in this study. The mean ages was 29.5±6,4
years old. FMD was improved after delivery, 5.46 ± 0.27 % (before delivery) &
8.14 ± 2.48 % ( p <0.001) 40-60 days after delivery. Bivariates analysis showed
that after delivery, there was an inverse correlation between UPCR with FMD (r=0,735
p<
0,0001).
UPCR
prior
to
delivery
also
has
inverse
correlation
with
FMD
after
delivery (r= -0.55.p=0.002) and with the change of FMD before and after
delivery (r= -0.45 with p =0.01). Multivariate analysis showed that correlation
between UPCR after delivery with FMD after delivery was independent.
Conclusion. This study demonstrated there was a moderate-strong correlation
between urinary protein prior and after delivery with flow mediated vasodilatation
of brachial artery after delivery.
;Background. Endothelial dysfunction was associated with both of the
predisposition of preeclampsia and the later development of vascular disease.
Flow mediated dilation (FMD) was reduced in preeclamptic women and persist
after delivery in several cases. Proteinuria in preeclampsia was also a
manifestation of endothelial dysfunction in kidney, but there was no data untill
now showing the correlation of FMD and the level of proteinuria in preeclamptic
woman
Objectives. To asses the correlation between urine protein-creatinine ratio and
flow mediated dilation (FMD) before and after delivery in preeclamptic women.
Methods. Women with a diagnosis of preeclampsia and planned for termination
were enrolled for the study. History of hypertension before 20 weeks of gestation,
diabetes mellitus, chronic kidney disease became exclusion criterias. The FMD
was studied through the use of high resolution vascular ultrasound examination of
brachial artery for 3 times; before delivery, 48-72 hours after delivery and 40-60
days after delivery. Urine protein-creatinine ratio (UPCR) was measured twice;
prior to delivery and 40-60 days after delivery. Correlation between them was
then evaluated.
Results. Thirty patients were enrolled in this study. The mean ages was 29.5±6,4
years old. FMD was improved after delivery, 5.46 ± 0.27 % (before delivery) &
8.14 ± 2.48 % ( p <0.001) 40-60 days after delivery. Bivariates analysis showed
that after delivery, there was an inverse correlation between UPCR with FMD (r=0,735
p<
0,0001).
UPCR
prior
to
delivery
also
has
inverse
correlation
with
FMD
after
delivery (r= -0.55.p=0.002) and with the change of FMD before and after
delivery (r= -0.45 with p =0.01). Multivariate analysis showed that correlation
between UPCR after delivery with FMD after delivery was independent.
Conclusion. This study demonstrated there was a moderate-strong correlation
between urinary protein prior and after delivery with flow mediated vasodilatation
of brachial artery after delivery.
"
2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Intan Fitriana
"Latar belakang: Prevalens late steroid resistance (LSR) makin meningkat pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik (SNI). Fungsi ginjal yang menurun dapat memperburuk prognosis LSR. Penelitian terkait mengenai faktor risiko LSR pada anak (SNI) masih terbatas, padahal pengenalan terhadap faktor risiko ini diperlukan untuk deteksi dini dan mengotimalkan terapi.
Tujuan: Mengidentifikasi karakteristik anak yang didiagnosis SNI awitan inisial seperti jenis kelamin, usia awitan SNI, hipertensi, kadar hemoglobin, albumin, ureum, laju filtrasi glomerulus, hematuria mikroskopik dan jangka waktu sejak dinyatakan remisi dan telah menyelesaikan pengobatan inisial terhadap terjadi relaps pertama kali dapat menjadi faktor risiko LSR pada anak dengan SNI.
Metode penelitian: Penelitian kasus-kontrol dengan penelusuran retrospektif yang dilakukan di Departemen Ilmu Kesehatan Anak di FKUI-RSCM, RSUP. Fatmawati dan RSUP. Dr. Mohammad Hoesin periode Maret-Mei 2018 yang terbagi menjadi kelompok LSR dan SNSS. Pengambilan rekam medis anak dengan diagnosis SNI yang melakukan kunjungan pengobatan di poli nefrologi dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Faktor risiko dianalisis secara bivariat dan multivariat.
Hasil penelitian: Dilakukan analisis pada 100 anak dengan LSR dan 100 anak dengan SNSS. Anak laki-laki didapatkan lebih banyak daripada anak perempuan pada dua kelompok dengan median usia 4,12 (1,0-17,40) tahun. Faktor yang secara bermakna berpengaruh terhadap kejadian LSR pada anak dengan SNI pada analisis bivariat adalah: kadar ureum ≥ 40mg/dL (OR 1,68; IK 95% 1,45-4,53) dan adanya hematuria mikroskopik (OR 2,45; IK 95% 1,35-4,47).
Simpulan: Faktor risiko yang berperan terhadap kejadian LSR pada anak dengan SNI adalah kadar ureum ≥ 40 mg/dL dan terdapat hematuria mikroskopik.

Background: Prevalence of late steroid resistance (LSR) tends to be increased in children with idiopathic nephrotic syndrome (INS). Renal function deterioration may worsen the prognosis. Previous studies about the risk factors for LSR in children with INS were still limited, while early detection is the most important thing to do proper treatment.
Objectives: to determine whether age of onset, sex, hypertension, hemoglobin level, albumin, ureum, filtration glomerular rate, microscopic hematuria, and first relaps may influence the occurrence of LSR in children with INS. Methods. Case control study with restrospective medical record investigation was performed in INS children who visited to dr. Cipto Mangunkusumo, dr. Fatmawati and dr. Mohammad Hoesin General Hospital, during March-May 2018. Case and control group was children with LSR and sensitive steroid. Bivariate and multivariate analysis to identify significant risk factors.
Results: There were each 100 children with LSR and steroid sensitive. No different of sex ratio in each group with median of age 4,12 (1,0-17,40) years old. Factors which associated significantly with LSR on bivariate analysis were ureum level ≥ 40mg/dL (OR 1,68; IK 95% 1,45-4,53), microscopic hematuria (OR 2,45; IK 95% 1,35-4,47), and glomerular filtration rate (OR 1,43 IK 95% 0,79-2,57). Factors which associated significantly with LSR on multivariate analysis include ureum level ≥ 40mg/dL (OR 2,199; IK 95% 1,19-4,04), microscopic hematuria (OR 2,05; IK 95% 1,08-3,88).
Simpulan: Risk factors associated with LSR in INS are ureum level ≥ 40 mg/dL and microscopic hematuria."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Alfian
"Latar Belakang: Sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, sebagian besar masyarakat Indonesia termasuk lansia menjalani puasa pada bulan Ramadhan. Dalam mengevaluasi keamanan berpuasa Ramadhan pada populasi lansia, dilakukan berbagai penilaian, salah satunya adalah profil fungsi ginjal. Profil fungsi ginjal, dinilai dari laju filtrasi glomerulus (LFG), merupakan salah satu parameter penting dalam menentukan kesehatan lansia. Namun, belum terdapat penelitian mengenai profil fungsi ginjal dan faktor-faktor yang memengaruhi pada lansia berpuasa.
Tujuan: Mengetahui profil dan faktor risiko perubahan fungsi ginjal pada usia lanjut yang berpuasa Ramadhan.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan menggunakan data primer pada subyek usia > 60 tahun yang menjalani puasa Ramadhan di kelurahan Jatinegara sejak April 2019 hingga Juli 2019. Profil fungsi ginjal dihitung menggunakan pemeriksaan (LFG) pada 1 minggu sebelum berpuasa, 3 minggu berpuasa, dan 2 minggu pasca berpuasa. Faktor risiko yang dinilai adalah usia, indeks massa tubuh, diabetes melitus, hipertensi, kebiasaan merokok, konsumsi protein, dan konsumsi cairan. Analisa bivariat dilakukan menggunakan uji chi-square atau Fisher. Analisis multivariat dilakukan menggunakan regresi logistik.
Hasil: Pada penelitian ini, tidak ditemukan adanya faktor risiko yang secara signifikan berpengaruh terhadap perubahan fungsi ginjal selama puasa bulan Ramadhan pada lanjut usia. Beberapa farktor dapat mempengaruhi fungsi ginjal pada usia lanjut yang berpuasa Ramadhan, salah satunya adalah usia. Mayoritas lanjut usia yang mengalami penurunan GFR selama bulan Ramadhan berusia 60-70 tahun berjumlah 89 orang atau 68,5%. Sisanya berjumlah 10 orang atau 58,8% berusia >70 tahun. Namun, setelah dilakukan analisis, hubungan antara usia dengan penurunan GFR selama puasa Ramadhan tidak bermakna (p=0,426).
Kesimpulan: Tidak ditemukan adanya perubahan signifikan pada fungsi ginjal dengan usia lanjut yang menjalankan puasa dibulan Ramadhan.
......Background. As a country with a majority Muslim population, most Indonesians, including the elderly, fast during the month of Ramadan. To evaluate the safety of fasting during Ramadan in the elderly population, various assessments were carried out, one of which is kidney function profile. Kidney function profile, assessed using glomerular filtration rate (GFR), is one of the important parameters in determining the health of the elderly. However, there has been no research on kidney function profile and its affecting factors on fasting elderly in Indonesia.
Aim:. To determine the profile and risk factors for changes in kidney function in elderly who fast during Ramadan.
Methods. This study used prospective cohort design using primary data on subjects aged > 60 years who were undergoing Ramadan fasting in Jatinegara village from April 2019 to July 2019. The kidney function profile was calculated using glomerular filtration rate (GFR) examination on 1 week before fasting, 3 weeks fasting, and 2 weeks post fasting. The risk factors assessed were age, body mass index, diabetes mellitus, hypertension, smoking habits, protein consumption, and fluid consumption. Bivariate analysis was performed using the chi-square or Fisher test. Multivariate analysis was performed using logistic regression.
Result. In this study, no risk factors were found significantly influencing changes in kidney function during the Ramadan fasting in the elderly. Some factors can affect kidney function in elderly who fasted in Ramadan, one of which is age. The majority of elderly who experienced a decrease in GFR during the month of Ramadan aged 60-70 years amounted to 89 people or 68.5%. The rest amounted to 10 people or 58.8% aged> 70 years. However, after analysis, the relationship between age and decreased GFR during Ramadan fasting was not significant (p = 0.426).
Conclusion. There was no significant changes in kidney function on fasting elderly during Ramadan."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nila Akbariyyah
"Latar belakang: Sindrom nefrotik merupakan manifestasi glomerulopati yang tersering ditemukan pada anak. SNRS sering mengalami penurunan fungsi ginjal dan dalam perjalanan penyakitnya dapat mengalami gagal ginjal tahap terminal. Data mengenai kesintasan dan faktor-faktor yang memengaruhi penurunan fungsi ginjal pada SNRS anak di Indonesia masih terbatas.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesintasan fungsi ginjal dalam lima tahun pertama pengobatan serta faktor-faktor yang memengaruhi
Metode: Penelitian ini merupakan studi prognostik dengan rancangan penelitian kohort retrospektif di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo menggunakan data rekam medis pasien yang terdiagnosis dengan SNRS pada bulan Januari 2012 hingga Desember 2022. Subjek yang diteliti adalah anak berusia 1 - 18 tahun saat terdiagnosis dengan SNRS. Faktor yang diteliti untuk kesintasan dan faktor penurunan fungsi ginjal adalah usia awitan, hematuria saat awitan, hipertensi saat awitan, respon terhadap terapi imunosupresi, jenis histopatologi, dan fungsi ginjal saat awitan.
Hasil: Sebanyak 212 anak terdiagnosis sindrom nefrotik resisten steroid dengan median usia 7 tahun (IQR 3-12 tahun), dan 65,1% berjenis kelamin laki-laki. Jenis histopatologi yang ditemukan terbanyak yaitu GSFS sebesar 57%. Sebanyak 51,9% mengalami hipertensi saat awitan nefrotik, dan pada 32,7% pasien ditemukan hematuria saat awitan nefrotik. Proporsi fungsi ginjal saat awitan yaitu masing-masing 68.9%, 12.7%, 5.7%, 4.7%, 4.2%, dan 3.8% pada kategori fungsi ginjal G1, G2, G3a, G3b, G4, dan G5. Secara umum pasien mengalami tren penurunan fungsi ginjal selama periode pemantauan, dengan kesintasan ginjal sebanyak 53,3% pada tahun pertama pemantauan, 47,2% di tahun kedua, 43,9% di tahun ketiga, 41,5% di tahun keempat, dan 40,6% di tahun kelima. Uji regresi Cox menemukan bahwa usia awitan di atas 6 tahun (HR 1,638; IK95% 1,132 – 2,370; p=0,009), hematuria saat awitan (HR 1,650; IK95% 1,135 – 2,400; p<0,009), dan respon buruk terhadap terapi imunosupresi (HR 1,463; IK95% 1,009 – 2,120; p=0,045) merupakan prediktor penurunan fungsi ginjal.
Kesimpulan: Usia awitan di atas 6 tahun, hematuria awitan, dan respon buruk terhadap terapi imunosupresi merupakan prediktor penurunan fungsi ginjal pada anak dengan SNRS.
......Background: Nephrotic syndrome is the most common manifestation of glomerulopathy in children. SNRS often has decreased kidney function and during the course of the disease may develop end stage renal disease. However, data on survival kidney function and prognostic factors are still lacking.
Objective: This study aimed to evaluate the first five year survival rate and prognostic factors of outcome.
Method: We conducted a retrospective cohort study in Cipto Mangunkusumo Hospital which included patients aged 1 to 18 years at diagnosis from Januari 2012 to December 2022. Subjects were followed for 1 to 5 years up to December 2023. Factors analyzed for renal function decline were age at onset, hematuria and hypertension at onset, response to immunosuppression therapy, type of histopathology and renal function at onset. Results: A total of 212 patients with SNRS were included with median age of 7 (IQR 3- 12 years) and 65.1% were male patients. The majority of histopathology type was GSFS (57%). 51,9% had hypertension at SNRS onset, and 32,7% hematuria was found at the onset of SNRS. The proportion of kidney function at onset was 68.9%, 12.7%, 5.7%, 4.7%, 4.2%, and 3.8% in the G1, G2, G3a, G3b, G4, and G5 kidney function categories, respectively. In general, patients experienced a trend of decreasing kidney function during the monitoring period, with renal survival 53,3% in the first year monitoring, 47,2% in the second year, 43,9% in the third year, 41,5% in the fourth year, and 40,6% in the fifth year. Cox regression analysis found that age of onset over 6 years (HR 1.638; 95%CI 1.132 – 2.370; p=0.009), hematuria at onset (HR 1,650; IK95% 1,135 – 2,400; p<0,009), and bad response to immunosuppressive therapy (HR 1,463; IK95% 1,009 – 2,120; p=0,045) were predictors of decreased kidney function.
Conclusion: Age of 6 years or older at onset, onset hematuria, and bad response to immunosuppressive therapy were independent predictors of worsening kidney function in children with SRNS."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aji Prabowo
"Latar Belakang. Prevalensi penyakit ginjal kronik di Indonesia termasuk 60 besar negara dengan prevalensi penyakit ginjal kronik stadium akhir tertinggi dan menimbulkan biaya kesehatan nomor dua terbesar. Prevalensi tersebut lebih tinggi pada pekerjaan agrikultural, salah satunya adalah petani. Petani merupakan pekerjaan berisiko tinggi dengan pajanan pestisida, panas, logam berat dan zat lainnya sehingga dapat menimbulkan gangguan fungsi ginjal. Penelitian bertujuan mengetahui prevalensi gangguan fungsi ginjal serta faktor risiko yang berhubungan pada petani padi di Jawa Barat, Indonesia.
Metode. Penelitian dengan desain potong lintang dilakukan pada Oktober 2017-Januari 2018 dengan pengambilan sampel menggunakan random cluster sampling. Penelitian dilakukan dengan wawancara, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan darah Cystatin C dan Asetilkolinesterase AChE Eritrosit, urin rutin dan urin kadmium. Analisis data dilakukan dengan program SPSS Statistics 20.0.
Hasil. Sebanyak 100 subjek, petani padi, dianalisis untuk mendapatkan prevalensi gangguan fungsi ginjal dan faktor risiko yang berhubungan. Sebanyak 55 subjek 55 mengalami gangguan fungsi ginjal. AChE eritrosit dan kadmium urin tidak berhubungan dengan gangguan fungsi ginjal. Faktor risiko individu yang berhubungan dengan gangguan fungsi ginjal yaitu indeks massa tubuh abnormal dengan OR sebesar 2,51 95 CI 1,04-6,09 dan proteinuria p= 0,031 . Faktor risiko dominan gangguan fungsi ginjal pada petani padi adalah masa kerja lebih dari 10 tahun dengan OR sebesar 4,292 95 CI 1,014-18,170.
Simpulan. Prevalensi gangguan fungsi ginjal pada petani padi sebesar 55 . Faktor risiko dominan gangguan fungsi ginjal pada petani padi adalah masa kerja di atas 10 tahun. Perlu dilakukan tindakan preventif dan promotif segera untuk mencegah perburukan fungsi ginjal pada petani padi.

Background. Indonesia is the top 60 countries with a high prevalence of end stage chronic kidney disease and it accounts for the second highest national health cost. The prevalence is higher in the agricultural work population. Farmers are occupations at risk of exposure to pesticides, heat, heavy metals and other substances that can cause impaired renal function. The goal is to know the prevalence of renal function disorder and related risk factors among rice farmers in West Java.
Methods. A cross sectional study was conducted on October 2017 January 2018 using random cluster sampling method. All subject underwent interviews using questionnaires, physical examination, Erythrocyte Acetylcholinesterase AChE , urine routine and urine cadmium tests. Data analysis was performed by SPSS Statistics 20.0 for univariate, bivariate and multivariate.
Result. 100 subjects included were analyzed. Fifty five subjects 55 had kidney function disorder. The AChE and cadmium urine were not associated with kidney function disorder. Risk factors associated with kidney function disorder were abnormal body mass index with OR of 2, 51 95 CI 1.04 6.09, p 0,038 and proteinuria p 0.031 . The dominant risk factor for kidney function disorder in rice farmers was more than 10 years of working with OR of 4,292 95 CI 1.014 18,170, p 0,048.
Conclusion. The prevalence of kidney function disorder in rice farmers was 55 . The dominant risk factor for kidney function disorder among rice farmers was more than 10 years of working. The promotive and preventive action should be done immediately to prevent kidney function worsen."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58965
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Andre Lazuardi
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan fungsi ginjal setelah pengalihan hidronefrosis akibat kanker serviks. Dari 40 pasien, mayoritas subjek berusia 49 tahun, dengan 7 pasien mengalamihidronefrosis unilateral, 22 pasien hidronofrosis bilateral ringan dan 11 pasien dengan hidtonfrosis bilateral berat. Tiga puluh dua pasien menjalani nefrostomi dan sisanya menjalani pemasanganDJ stent. Studi ini menyimpulkan bahwa usia dan derajat hidronefrosis adalah faktor yang paling berpengaruh dalam peningkatan fungsi ginjal setelah pengalihan urin pada pasien dengan hidronefrosis akibat kanker serviks.

ABSTRACT
Abstract This is a descriptive analytic study to determine the factors that influence changes in kidney function after diversion of hydronephrosis due to cervical cancer. From 40 patients, majority of subjects was 49 years old, with 7 patients associated with unilateral hydronephrosis, 22 patients mild bilateral hydronephrosis and 11 patients with severed bilateral hydronephrosis. Thirty two patients underwent nephrostomy and the rest underwent DJ stent insertion. This study conclude that age and degree of hydronephrosis are the most influential factor in the improvement of renal function after urinary diversion in patients with hydronephrosis due to cervical cancer."
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhiya Surya Tarina
"Introduction: Dyslipidemia is condition where there is an imbalance of lipid levels in the body. This may result in increased levels of serum Total Cholesterol and Total Triglycerides, which may increase risks of metabolic diseases. Hibiscus sabdariffa Linn. is a plant known to comprise of several therapeutic properties. These properties include antihyperlipidemic, antioxidant, antihypertensive, etc. For years, this plant has been utilized as alternative treatment for several metabolic diseases, such as Obesity. Studies show how administration of this extract could decrease serum LDL and Triglyceride while increasing HDL, although the mechanisms are still unknown. This study aims to examine whether extracts of Hibiscus sabdariffa Linn. may decrease levels of serum Total cholesterol and Total Triglycerides in Male Sprague Dawley Rodents.
Method: This study is a secondary data research that is based on data collected in an experimental research using rodents as subjects. The rodents are 6-10 weeks of age and are then separated into groups of 6. The groups are Control, Obese, HSE200, and HSE400. The independent variable was the dosage of the extract administered of Hibiscus Sabdariffa (HSE) which are 200mg/kgBW/day and 400 mg/KgBW/day. The dependent variable was the concentration of Total Triglyceride and Total Cholesterol post HSE administration of the rats. Blood samples will be taken before and after administration of the extract, which will then be processed through a reagent sampling using CHOD-PAP for Cholesterol and GPO-PAP for Triglyceride. The concentration will then be calculated, and the results is statistically analyzed using SPSS20 software. The results of each group of pre-post HSE administration for both Total Cholesterol and Total Triglyceride will be tested using ttest, while the results of post HSE administration will be tested using One-Way Anova.
Results: There is no significant difference in Total Cholesterol pre and post HSE administration using t-test or One Way Anova (P=0.892). There is a significant difference in the t-test results of Obese group (P=0.040) and HSE200 groups (P=0.010) of Total Triglyceride, but there was no significant difference in the One-Way Anova analysis of post HSE administration (P=0.159).
Conclusion: The HSE potentially lowers serum LDL-c while at the same time increasing serum HDL-c. Meanwhile, HSE promotes beta oxidation and inhibit lipogenesis, thus the Total Triglyceride levels In the serum will decrease.
......Latar Belakang: Dislipidemia adalah kondisi di mana ada ketidakseimbangan kadar lipid dalam tubuh. Hal ini dapat mengakibatkan peningkatan kadar Kolesterol Total dan Trigliserida Total serum, yang dapat meningkatkan risiko penyakit metabolik. Hibiscus sabdariffa Linn. adalah tanaman yang diketahui terdiri dari beberapa sifat terapeutik. Sifat-sifat ini termasuk antihyperlipidemic, antioksidan, antihipertensi, dll. Selama bertahun-tahun, tanaman ini telah digunakan sebagai pengobatan alternatif untuk beberapa penyakit metabolisme, seperti Obesitas. Studi menunjukkan bagaimana pemberian ekstrak ini dapat menurunkan LDL dan serum trigliserida sambil meningkatkan HDL, meskipun mekanismenya masih belum diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ekstrak Hibiscus sabdariffa Linn. dapat menurunkan kadar serum Total kolesterol dan Total trigliserida pada Tikus Pria Sprague Dawley.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian data sekunder yang didasarkan pada data yang dikumpulkan dalam penelitian eksperimental menggunakan tikus sebagai subyek. Hewan pengerat berusia 6-10 minggu dan kemudian dipisahkan menjadi kelompok 6. Kelompok tersebut adalah Kontrol, Obes, HSE200, dan HSE400. Variabel independen adalah dosis ekstrak yang diberikan Hibiscus Sabdariffa (HSE) yaitu 200mg/kgBB/hari dan 400mg/KgBW/hari. Variabel dependen adalah konsentrasi Total Trigliserida dan Kolesterol Total setelah pemberian HSE pada tikus. Sampel darah akan diambil sebelum dan setelah pemberian ekstrak, yang kemudian akan diproses melalui reagen sampling menggunakan CHOD-PAP untuk Kolesterol dan GPO-PAP untuk Trigliserida. Konsentrasi kemudian akan dihitung, dan hasilnya dianalisis secara statistik menggunakan perangkat lunak SPSS20. Hasil dari masing-masing kelompok pemberian HSE pra-post untuk Kolesterol Total dan Total Trigliserida akan diuji menggunakan ujit, sedangkan hasil administrasi post HSE akan diuji menggunakan One-Way Anova.
Hasil: Tidak ada perbedaan signifikan dalam Total Kolesterol sebelum dan sesudah pemberian HSE menggunakan uji-t atau One Way Anova (P = 0,892). Ada perbedaan yang signifikan dalam hasil uji-t dari kelompok Obesitas (P = 0,040) dan kelompok HSE200 (P = 0,010) dari Total Trigliserida, tetapi tidak ada perbedaan yang signifikan dalam analisis One-Way Anova dari administrasi pasca HSE (P = 0,159).
Kesimpulan: HSE berpotensi menurunkan serum LDL-c sementara pada saat yang sama meningkatkan serum HDL-c. Sementara itu, HSE mempromosikan oksidasi beta dan menghambat lipogenesis, sehingga kadar Trigliserida Total dalam serum akan menurun."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>