"Adanya kesepakatan Paris 2015 mengenai emisi gas rumah kaca membuat gas bumi mulai banyak dipilih sebagai bahan baku untuk pembangkit listrik. Distribusi gas bumi sebagai sumber bahan bakar alternatif mengharuskan dalam bentuk cair (Liquefied Natural Gas) apabila jarak yang ditempuh cukup jauh. Selain itu, apabila LNG akan digunakan sebagai sumber bahan bakar pembangkit listrik, dibutuhkan proses regasifikasi terlebih dahulu Oleh karena itu value chain dari rantai pasok LNG menjadi yang terpanjang dibanding bahan bakar lain. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan skema distribusi LNG yang optimal dengan melakukan optimisasi meminimalkan biaya distribusi dan biaya regasifikasi. Optimisasi dilakukan dengan cara mencari data investasi dan spesifikasi dari kapal LNG dan terminal regasifikasi, beserta permintaan LNG di lokasi pemenuhan rantai pasok. Optimisasi dilakukan dengan metode MILP menggunakan perangkat lunak GAMS dengan solver CPLEX. Hasil optimisasi memperlihatkan bahwa klaster Bangka-Belitung-Pontianak menggunakan jaringan distribusi hub-spoke dengan kapal LNG berukuran 1.500 m3 sebanyak satu buah, 2.500 m3 sebanyak satu buah, 10.000 m3 sebanyak empat buah, dan 12.000 m3 sebanyak dua buah serta kapasitas penyimpanan berukuran 2.000 m3, 3.000 m3, 3.500 m3, 15.000 m3 dan 17.000 m3. Biaya pengapalan pada klaster Bangka-Belitung-Pontianak berada pada rentang $1,06 - $3,23 per MMBtu dan biaya regasifikasi pada rentang $0,58 - $0,87 per MMBtu. Sedangkan untuk klaster Sulawesi menggunakan jaringan distribusi milk-run dengan ukuran kapal LNG 20.000 m3 sebanyak dua buah dan 23.000 m3 sebanyak dua buah serta kapasitas penyimpanan berukuran 1.000 m3, 2.000 m3, 3.000 m3, 4.500 m3, 8.500 m3, dan 10.000 m3. Biaya pengapalan pada klaster Sulawesi berada pada rentang $1,55 - $1,71 per MMBtu dan biaya regasifikasi pada rentang $1,18 - $1,66 per MMBtu. Perubahan sumber LNG pada masing-masing klaster tidak mengubah jaringan distribusi terpilih, namun tetap mengubah rute dan infrastruktur logistik sehingga mengubah pula biaya pengapalan dan biaya regasifikasi.
Paris agreement on greenhouse gas emissions has made natural gas chosen as a raw material for electricity generation. Natural gas distribution as an alternative fuel source requires in the form of liquid (Liquefied Natural Gas) if the distance traveled is far enough. Also, if LNG is to be used as a fuel source for power plants, a regasification process is needed. Therefore, the value chain of the LNG supply chain is the longest compared to other fuels. This study aims to obtain an optimal LNG distribution scheme by optimizing distribution costs and regasification costs. The optimization is carried out by finding investment data and specifications from the LNG ship and regasification terminal, along with LNG demand at the supply chain fulfillment location. Optimization using MILP method with GAMS software with the CPLEX solver. Optimization results show that Bangka-Belitung-Pontianak cluster uses hub-spoke distribution network with one 1,500 m3 LNG vessel, one 2,500 m3, four 10,000 m3, and two 12,000 m3 also storage capacity is 2,000 m3, 3,000 m3, 3,500 m3, 15,000 m3 and 17,000 m3. Shipping costs in Bangka-Belitung-Pontianak cluster are in the range of $1.06 - $3.23 per MMBtu and regasification costs in the range of $0.58 - $0.87 per MMBtu. As for the Sulawesi cluster, it uses milk-run distribution network with two 20,000 m3 LNG vessels and two 23,000 m3 LNG vessels also storage capacity is 1,000 m3, 2,000 m3, 3,000 m3, 4,500 m3, 8,500 m3, and 10,000 m3. Shipping costs in the Sulawesi cluster are in the range of $1.55 - $1.71 per MMBtu and regasification costs in the range of $1.18 - $1.66 per MMBtu. Changes in LNG sources in each cluster do not change the distribution network, but still change the route and logistics infrastructure so that it also changes shipping costs and regasification costs."