Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
Vicky Caesar Elang Palar
"Salah satu tujuan dari peralihan hak atas tanah yang dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah untuk memberikan perlindungan hukum kepada para pihak yang sepakat. Permasalahan yang kerap terjadi adalah ketika tidak terpenuhinya syarat dari asas terang dan tunai, yaitu jual beli tidak dilakukan di hadapan PPAT. Hal ini seperti yang terjadi dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 464 K/Pdt/2022, yang di mana pihak pembeli tanah yang tidak dapat melakukan proses peralihan hak atas tanah. Pihak Penjual menolak untuk dilakukannya proses peralihan hak atas tanah, padahal Pihak Pembeli sudah membayarkan secara tunai dan sudah dibuatkan kuitansi pembayaran. Pihak Pembeli yang merasa dirugikan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri, dan meminta kepada Majelis Hakim dalam putusannya untuk menetapkan Pihak Pembeli sebagai Pihak pemilik sah dari obyek sengketa tanah. Metode penelitian menggunakan yuridis normatif dan dianalisis dengan menggunakan analisis data kualitatif. Hasil penelitan menunjukan bahwa perbuatan hukum jual beli tersebut dinyatakan sah dikarenakan walaupun jual beli belum dilakukan di hadapan PPAT, statusnya sudah mengikat antara pihak penjual dan pihak pembeli. Hal ini dikarenakan jual beli yang belum dilakukan di hadapan PPAT tersebut sudah memenuhi syarat materiil dari suatu perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Para Pihak mengakui benar adanya bukti kuitansi yang menyatakan pembayaran atas obyek sengketa telah terjadi.
One of the objectives of the transfer of land rights carried out before an authorized official, namely the Land Deed Officials (PPAT) is to provide legal protection to the parties who agree. The problem that often occurs is when the requirements of the clear and cash principle are not fulfilled, namely buying and selling is not carried out before the PPAT. This is similar to what happened in the Supreme Court Decision Number 464 K/Pdt/2022, where the land buyer cannot carry out the process of transferring land rights. The seller refuses to carry out the process of transferring land rights, even though the buyer has paid in cash and a receipt for payment has been made. The Buyer Party who feels aggrieved submits a lawsuit to the District Court, and asks the Panel of Judges in its decision to determine the Buyer Party as the legal owner of the object of the land dispute. The research method used normative juridical and analyzed using qualitative data analysis. The results of the research show that the legal act of buying and selling is declared valid because even though the sale and purchase has not been carried out before the PPAT, its status is binding between the seller and the buyer. This is because the sale and purchase that has not been carried out before the PPAT has fulfilled the material requirements of an agreement contained in Article 1320 of the Civil Code and the Parties acknowledge that there is proof of receipt stating that payment for the object of the dispute has occurred."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Octavia Dewi Indrawati
"Pembelian atas bidang tanah yang sedang dalam proses turun waris kerap tidak sesuai dengan penghitungan ukuran tanah yang telah ditetapkan dalam pembagian waris. Akibatnya, tanah waris yang pada mulanya merupakan satu kesatuan objek yang terikat dalam PPJB mengalami perubahan karena adanya pemecahan sertipikat atas pewarisan. Pembeli tanah yang pada mulanya melakukan jual beli terhadap tanah waris tidak dapat memiliki tanah tersebut karena telah dibagi kepada pewaris lainnya yang berhak. Terjadinya perubahan kepemilikan atas objek perjanjian mengakibatkan objek perjanjian menjadi kabur atau tidak jelas. Padahal, Pasal 1333 KUHPerdata telah mengatur bahwa Objek yang diperjanjikan haruslah jelas atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini yaitu pertama adalah mengenai konsekuensi yuridis atas hilangnya objek dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan kedua adalah implikasi yuridis terhadap pencantuman klausul mengenai pelaksanaan perjanjian yang dapat bergulir kepada ahli waris. Untuk menjawab permasalahan diatas, metode yang digunakan adalah yuridis normatif yang dilakukan dengan meneliti permasalahan melalui studi kepustakaan terhadap asas-asas hukum dan peraturan perundang-undangan serta norma-norma tertulis mengenai hukum perjanjian dan hukum waris. Hasil yang didapat dalam penelitian ini adalah pertama, konsekuensi yuridis atas hilangnya objek dalam perjanjian pengikatan jual beli adalah tidak terpenuhinya syarat sah perjanjian yakni syarat objektif sehingga perjanjian menjadi batal demi hukum. Kedua, implikasi yuridis terhadap pencantuman klausul perjanjian yang dapat bergulir kepada ahli waris merupakan suatu bentuk implementasi dari adanya asas kebebasan berkontrak. Setiap orang yang membuat perjanjian bebas untuk menentukan isi perjanjian selama tidak melanggar undang-undang, kepatutan dan kesusilaan. Adanya klausul ini merupakan bentuk tindakan preventif agar nantinya jika dikemudian hari salah satu pihak meninggal dunia, seluruh hak ataupun kewajiban salah satu pihak yang belum terpenuhi dapat dijalankan oleh ahli warisnya sebagaimana diatur dalam Pasal 833 Kitab Undang- undang Hukum Perdata
Purchases of land parcels that are in the process of being inherited are often not in accordance with the calculation of the size of the land that has been determined in the distribution of inheritance. As a result, the inherited land, which was originally a single object bound in the PPJB, underwent a change due to the splitting of the certificate of inheritance. Land buyers who initially buy and sell inherited land cannot own the land because it has been divided among other heirs who are entitled. A change in ownership of the object of the agreement results in the object of the agreement being blurred or unclear. In fact, Article 1333 of the Civil Code has regulated that the object being promised must be clear or at least can be determined. The formulation of the problems raised in this study, namely the first is regarding the juridical consequences of the loss of objects in the Sale and Purchase Agreement and the second is the juridical implications of the inclusion of clauses regarding the implementation of agreements that can be passed on to the heirs. To answer the above problems, the method used is normative juridical which is carried out by examining the problem through literature studies on legal principles and statutory regulations as well as written norms regarding contract law and inheritance law. The results obtained in this study are first, the juridical consequences for the loss of objects in the binding sale and purchase agreement are the non-fulfillment of the legal terms of the agreement, namely the objective conditions so that the agreement becomes null and void. Second, the juridical implications of the inclusion of agreement clauses that can be rolled over to heirs is a form of implementation of the principle of freedom of contract. Everyone who makes an agreement is free to determine the contents of the agreement as long as it does not violate the law, decency and decency. The existence of this clause is a form of preventive action so that in the future if one of the parties dies, all rights or obligations of one of the parties that have not been fulfilled can be carried out by his heirs as stipulated in Article 833 of the Civil Code."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Khansa Muti
"Dalam pembuatan akta jual beli tanah, harus mematuhi ketentuan hukum tanah nasional dan peraturan perundang-undangan yang mengatur seperti syarat dan prosedur pembuatan akta jual beli yang didalamnya harus terdapat objek tanah dengan sebab yang halal guna menghindari adanya unsur melawan hukum. Pemilik tanah tidak memberikan persetujuan dalam pembuatan akta jual beli dan tidak mengetahui bahwa tanahnya telah dialihkan kepada pihak lain. Hal ini terjadi karena adanya dugaan pemalsuan surat kuasa oleh asisten Pejabat Pembuat Akta Tanah, kemudian sertipikat tanah diberikan kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah lain, dan selanjutnya tanah tersebut diagunkan kepada bank, sehingga telah menimbulkan kecacatan hukum dalam aktanya. Permasalahan yang diangkat dalam tesis ini adalah proses pembuatan akta jual beli yang mengandung unsur melawan hukum berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 559 K/PDT/2021 dan akibat hukum terhadap pemberian kredit oleh bank atas dasar akta jual beli yang mengandung unsur melawan hukum. Penelitian ini menggunakan bentuk penelitian yuridis normatif, dengan tipe penelitian eksplanatoris dan menggunakan data sekunder. Hasil analisa tesis ini menunjukkan adanya proses pembuatan akta jual beli oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah yang mengandung unsur melawan hukum dengan tidak adanya kesesuaian dalam proses pembuatan akta jual beli menurut hukum tanah nasional. Akibat hukum dari pemberian kredit oleh bank SCD yang tidak memenuhi syarat objektif sahnya perjanjian dan didasarkan pada akta jual beli yang melawan hukum, mengakibatkan sertipikat tanah dikembalikan pada keadaan semula sehingga hak tanggungan menjadi hapus, dan bank harus meminta kepada debitur untuk melakukan penukaran objek jaminan kredit lainnya.
In making a land sales and purchase deed, it indeed must comply with the provisions of national land law and legislation that regulate such as the terms and procedures for making a deed of sales and purchase in which there must be a land object with a lawful cause in order to avoid any unlawful elements. The land owner did not approve the making of the deed of sale and purchase and did not aware that the land had been transferred to another party. This happened with an allegation of forgery in power of attorney by the land deed official assistant, then given to other land deed official, also the land is collateralized to the bank, causing legal defects in the deed. The problem of this research is the process of making the deed of sales and purchase which contains unlawful elements based on the decision of the Supreme Court Number 559 K/PDT/2021 and the implementation of credit by the bank on the basis of a deed of sales and purchase which contains unlawful elements. This research uses normative juridical, with explanatory analysis typology and uses secondary data. The analysis result of this thesis showed that there is a process of making the sales and purchase deed by land deed official which contained unlawful elements with no conformity in the process of making the sale and purchase deed according to national land law. The legal effect of the granting of credit by the SCD bank that do not fulfill the objective requirements of the validity of the agreement and based on unlawful deed of sale and purchase, resulting in the land certificate being returned to its original condition so that the right of liability is eliminated, and the bank had to ask the debtor to exchange another credit guarantee object."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Karina Alexandra
"Peralihan hak atas tanah, salah satunya melalui jual beli harus dilakukan sesuai prosedur dan peraturan yang berlaku. Hal ini untuk mencegah terjadinya sengketa kepemilikan tanah dan memberikan kepastian hukum bagi para pihak dalam jual beli. Salah satu syarat formil dalam jual beli adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) harus menerima sertipikat asli dan memeriksa kesesuaian data pada sertipikat tanah dengan data pada Kantor Pertanahan. Salah satu sengketa dalam jual beli tanah terjadi pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 3081 K/Pdt/2021. Penelitian ini menganalisis kedudukan hukum pihak yang menguasai secara fisik hak atas tanah berdasarkan akta jual beli tanpa kepemilikan sertipikat dan tanggung jawab PPAT yang membuat akta jual beli yang bersangkutan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 3081 K/Pdt/2021. Metode penelitian ini adalah yuridis normatif dengan tipologi penelitian eksplanatoris yang menggunakan studi dokumen. Hasil penelitian ini adalah pihak yang menguasai secara fisik hak atas tanah berdasarkan akta jual beli tanpa kepemilikan sertipikat tidak memiliki kedudukan sebagai pihak yang berhak atau pemilik yang sah atas hak atas tanah yang bersangkutan karena jual beli tidak sah sesuai peraturan yang berlaku. PPAT yang membuat akta jual beli tanpa melakukan pengecekan sertipikat dapat dimintakan tanggung jawab secara administratif, perdata, dan pidana. PPAT seharusnya menolak untuk membuat akta jual beli apabila tidak diserahkan sertipikat asli.
The transfer of land rights, such as through buying and selling, should be done according to the procedure and prevailing regulations. This must be fulfilled to prevent conflict of land rights ownership and to give legal certainty for the parties. One of the formal requirements in the buying and selling of land rights is The Land Deed Official (PPAT) must receive the authentic land certificate and verify the data in the certificate with the data in the National Land Agency. An example of this issue happens in Supreme Court Decision Number 3081 K/Pdt/2021. This research analyses the legal standing of a party who physically own land right based on sale and purchase deed without owning the certificate and the responsibility of The Land Deed Official who makes the sale and purchase deed in the Supreme Court Decision Number 3081 K/Pdt/2021. This research uses juridical normative method with explanatory typology using document studies. As the result of this research, the party who physically own land right based on sale and purchase deed without owning the certificate does not have the legal standing as the rightful owner of the land right because the sale and purchase deed does not fulfil the formal requirements and regulations. The Land Deed Official who made the sale and purchase agreement without verifying the certificate can be held responsible either administrative, civil, or criminal. The Land Deed Official should refuse to make the sale and purchase deed if there is no authentic certificate provided."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Adara Skyla Sakinah
"Ketentuan perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) seringkali disalahgunakan oleh masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan adanya peristiwa hukum perjanjian utang dengan jaminan hak atas tanah 送ang dikemas dalam bentuk PPJB dengan klausul ƒhak membeli kembali ƒang bertujuan untuk mengalihkan kepemilikan tanah debitur kepada kreditur jika debitur wanprestasi. Adapun, permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah akibat hukum perjanjian utang yang dibuat sebagai perjanjian jual beli hak atas tanah dengan hak membeli kembali, keabsahan Akta Jual Beli (AJB) jika PPJB yang mendasarinya memuat klausul hak membeli kembali, dan peran serta tanggung jawab notaris dan PPAT jika terdapat perbedaan fakta hukum antara PPJB yang ditata dengan AJB berdasarkan kasus pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 407 K/Pdt/2022. Metode penelitian hukum yang digunakan adalah yuridis normatif dengan tipe penelitian eksplanatoris. Hasil analisis menunjukkan bahwa perjanjian hutang yang dikemas sebagai perjanjian jual beli hak atas tanah dengan hak membeli kembali memutuskan bahwa perjanjian menjadi batal demi hukum. Uang yang disebutkan dalam PPJB bukanlah uang pembayaran jual beli, melainkan uang pinjaman, sehingga perbuatan hukum pada AJB dianggap tidak memenuhi unsur tunai dan transaksi jual beli tidak sah. Notaris berperan penting dalam hal transaksi jual beli hak atas tanah, salah satunya adalah pembuatan PPJB. Namun dalam praktiknya pembuatan PPJB tidak selalu dilakukan di hadapan notaris. Hal ini memicu terjadinya permasalahan hukum, seperti pemuatan klausul terlarang dalam PPJB yang bersangkutan. Dengan demikian, jika para pihak hendak membuat suatu AJB, PPAT harus menyelaraskan antara data dan dokumen yang benar serta keselarasannya dengan undang-undang.
The existence of the Conditional of Sales and Purchase Agreement (CSPA) is frequently abused by the public. This is evidenced by the inclusion of a buyback rights clause in the CSPA to envelope a loan arrangement with land rights security with the purpose of transferring land ownership from the debtor to the creditor in the event of default. Issues raised by this study relate to legal ramifications of a debt agreement made as a land sale and purchase agreement with buyback rights, legality of the Deed of Sale and Purchase (DSP) if the underlying contains a buyback rights clause, and roles and responsibilities of a notary and Land Deed Official (LDO) if there are discrepancies of legal facts between the CSPA and DSP based on Supreme Court Decision Number 407 K/Pdt/2022. The method of law research used is normative judicial with explanatory research type. Result of analysis indicate that the debt arrangement, disguised as land sale and purchase agreement with buyback rights, renders the contract null and void. The money stipulated in the CSPA is not the payment for the sale and purchase, rather as a lent money, therefore legal actions on the DSP does not fulfill the cash element and the transaction is illegal. However, in practice the CSPA is not always prepared before the notary. This trigger legal issues, such as the inclusion of illegal clauses in the CSPA. Accordingly, the LDO shall properly take into account the conformity between data and documents as well as the law."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Simanungkalit, Jessica Priscilla
"Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi akibat hukum yang timbul ketika klien menandatangani akta tanah, seperti akta jual beli tanah, dalam bentuk blangko yang kosong. Dengan membaca artikel ini, maka masyarakat Indonesia tidak akan menjadi korban penipuan PPAT dan akan menolak bila ditawari untuk menandatangani akta tanah berupa blangko yang kosong. Penelitian ini juga bertujuan untuk memberikan informasi kepada PPAT mengenai akibat hukum apa yang akan timbul dan apa tanggung jawab mereka apabila PPAT membuat akta tanah yang ditandatangani dalam bentuk blangko kosong. Jika akta tanah yang ditandatangani berupa blangko kosong, berarti PPAT tidak membacanya terlebih dahulu sebelum para pihak menandatangani akta tersebut. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif. Merupakan penelitian yang dilakukan dengan menganalisis dan menelaah norma hukum yang relevan. Hasil penelitian ini adalah bahwa akta tanah berupa blangko yang dibuat oleh PPAT menjadi batal demi hukum, dan PPAT akan diberhentikan dengan tidak hormat dan wajib mengganti kerugian atas perbuatan melawan hukum PPAT.
This study aims to identify the legal consequences that arise when a client signs a land deed, such as a sale and purchase land deed, in the form of an empty blank. By reading this article, the Indonesian people will not become victims of any fraud of PPAT and will refuse when being offered to sign a land deed in the form of an empty blank. This study also aims to provide information to PPAT regarding what legal consequences will arise and what their responsibilities will be when a PPAT produces a signed land deed in the form of an empty blank. If a signed land deed is in the form of an empty blank, it means that PPAT does not read it first before the parties sign the deed. The research method used in this research is a normative juridical method. It is research conducted by analyzing and examining relevant legal norms. The results of this study are that the land deed in the form of an empty blank made by PPAT will be null and void, and PPAT will be dishonorably dismissed and obliged to compensate for PPAT's illegal actions."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Audry Zefanya
"Pada praktiknya, peralihan hak atas tanah tersebut mengalami konvergensi antara keberlakuan hukum agraria nasional dalam Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) serta peraturan-peraturan pelaksananya. Salah satu problem yang muncul ialah berkaitan dengan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah yang didapatkan melalui proses hibah yang dilakukan tanpa akta pejabat pembuat akta tanah (PPAT) dan terjadi pada kurun waktu sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP Pendaftaran Tanah”). Dengan demikian, tesis ini hendak meneliti berkaitan dengan: (a) bagaimana hukum agraria Indonesia mengatur mengenai peralihan hak atas tanah melalui proses hibah yang dilakukan tanpa akta PPAT dan (b) bagaimana perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah yang didapatkan melalui proses hibah yang dilakukan tanpa akta PPAT dan terjadi pada kurun waktu sebelum berlakunya PP Pendaftaran Tanah. Adapun terhadap penelitian yang ada berikut menggunakan pendekatan studi kasus terhadap Putusan Pengadilan Negeri Limboto Nomor 2/Pdt.G/2021/PN.Lbo. Dari penelitian ini, ditemukan bahwa UUPA memuat hibah atau penghibahan sebagai salah satu perbuatan yang ditempuh untuk memindahkan hak milik. Kebiasaan ini dikristalisasi sebagai hukum yang hidup dan, melalui sinkretisme hukum, dipadukan oleh hakim kepada konteks UUPA mengenai hibah (yang seharusnya harus dengan akta PPAT, tetapi menjadi tidak perlu dalam konteks sengketa Putusan Pengadilan Negeri (PN) Limboto No. 2/2021). Berlandaskan hal ini, surat penyerahan hibah tanpa akta PPAT pun dianggap oleh hakim sebagai persetujuan yang kemudian mengikat bagi pihak yang membuatnya dan sah di mata hukum.
In practice, the transfer of land rights experienced a convergence between the application of national agrarian law in Law (UU) Number 5 of 1960 concerning Basic Agrarian Regulations (“UUPA”) and its implementing regulations. One of the problems that arise is related to legal protection for holders of land rights obtained through a grant process which is carried out without a certificate of land certificate maker (Land Deed Official or Pejabat Pembuat Akta Tanah-“PPAT”) and occurred in the period before the enactment of Government Regulation Number 24 of 1997 concerning Land Registration (“Government Regulation on Registration land"). Thus, this thesis aims to examine: (a) how Indonesian agrarian law regulates the transfer of land rights through a grant process carried out without a PPAT deed and (b) how legal protection for land rights holders is obtained through a grant process carried out without PPAT deed and occurred in the period before the enactment of the PP on Land Registration. As for the existing research, the following will use a case study approach to the Limboto District Court Decision Number 2/Pdt.G/2021/PN.Lbo. From this research, it was found that UUPA contains grants or grants as one of the actions taken to transfer property rights. This custom was crystallized as a living law and, through legal syncretism, was integrated by judges into the context of UUPA regarding grants (which should have been with the PPAT deed, but became unnecessary in the context of the disputed Limboto District Court Decision No. 2/2021). Based on this, the grant submission letter without the PPAT deed is also considered by the judge as an agreement which is then binding on the party who made it and is legal in the eyes of the law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Handayani Dyah Puspitasari
"Penelitian ini membahas mengenai peralihan hak atas tanah yang dilakukan oleh/di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) baik melalui hibah maupun yang lainnya harus dilakukan secara jelas. Perbuatan hukum yang melibatkan kepemilikan hak atas tanah harus dilakukan dengan akta PPAT. Dalam pembuatan akta, para pihak harus secara aktif menyatakan secara jelas hal-hal yang menjadi kesepakatan dua belah pihak yang mendasari dilakukannya kesepakatan tersebut. Hal ini guna memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan kepada kedua belah pihak yang bersepakat. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini mengenai 1) Kekuatan hukum Akta Hibah Nomor : 23/V/KOB/2005 yang akan ditarik kembali oleh pemberi hibah; 2) Peran dan tanggungjawab PPAT terhadap akta hibah yang dikeluarkannya; 3) Upaya penerima hibah untuk mempertahankan kepemilikan hak atas tanahnya. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian hukum normatif sehingga dalam penelitian ini digunakan logika yuridis. Adapun Analisa data yang dilakukan secara perspektif. Hasil analisis yang diperoleh menyatakan bahwa; 1) Akta Hibah Nomor : 23/V/KOB/2005 yang dikeluarkan oleh PPAT SJM termasuk kedalam akta autentik, yang mana akta tersebut dapat menjadi bukti yang kuat atas kepemilikan hak atas tanah dan menjadi dasar kuat atas perubahan terhadap kepemilikan hak atas tanah. 2) SJM sebagai PPAT yang membuat akta hibah, atas permintaan kedua belah pihak bertindak sesuai dengan peran dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya dalam pembuatan Akta Hibah Nomor: 23/ V/KOB/2005. 3) Akta Hibah tersebut menjadi alat bukti yang kuat bagi penerima hibah untuk mempertahankan hak atas tanah yang telah diterimanya berdasarkan perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemberi hibah dan penerima hibah terhadap Tanah Hak Milik tersebut. Penandatanganan oleh para penghadap di hadapan Pejabat berwenang dalam pembuatan akta hibah tersebut adalah mutlak dan memberikan kekuatan pembuktian yang kuat, dalam hal ini PPAT SJM.
This study discusses abaut the transition of land rights undertaken by/in front of PPAT both through grants and others must be done clearly and clearly. Legal action involving ownership of land rights must be done with a PPAT deed. In making the deed, the parties must actively state clearly the matters that are the two parties' agreement underlying the agreement. This is to provide legal certainty and protection to both parties. As for the problems raised in this study regarding 1) The legal power of the Grant Act Number: 23/V/KOB/2005 which will be withdrawn by the grantor; 2) The role and responsibility of the PPAT for the grant certificate issued; 3) The efforts of the grantee to maintain ownership of his land rights. To answer these problems, a method of normative legal research is used so that in this study juridical logic is used. The data analysis is done in perspective. The results of the analysis stated; 1) That the Grant Act Number: 23/V/KOB/2005 issued by PPAT SJM was included in the authentic deed, which can be solid evidence of ownership of land and is a strong basis for changes to the ownership of land. 2) SJM as the PPAT who created the grant certificate, at the request of both parties acted according to the role and responsibility are given to him in the creation of the Grant Certificate Number: 23/V/KOB/2005. 3) The Grant Certificate is a powerful tool of evidence for the grantee to defend the rights to the land he has received based on legal actions undertaken by the grantee and the grantee against the Land of Property. Signing by the respondents before the authorities in the form of the grant certificate is absolute and provides strong proof of power, in this case, PPAT SJM."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library