Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Harahap, Burhanudin
Abstrak :
ABSTRAK
Allah menciptakan manusia dalam dua Jenis. Pria dan Wanita. Keberadaannya tidak untuk dibandingkan antara yang satu dengan yang lain, tetapi untuk dijadikan pasangan. Pasangan dalam membentuk keluarga untuk melanjutkan keturunan. Oleh karena itu tidak ada pembedaan dalam kedudukannya sebagai makhluk Allah.

Agar kehidupan berpasang-pasangan antara pria dan wanita sebagai suami isteri didalam rumah tangga dapat berjalan dengan baik, maka Islam mengadakan pembagian fungsi. Pria sebagai suami berfungsi memenuhi segala macam kebutuhan ekonomi keluarga. Wanita, sesuai dengan keadaan yang melekat pada dirinya berfungsi untuk mengurus jalannya kehidupan keluarga.

sebagai suatu sistem ajaran, norma pembedaan fungsi primer tersebut memberikan corak ke dalam hukum kewarisan. Oleh karena wanita tidak dibebani kewajiban hukum untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, maka al-Qur'an menentukan bagian warisan wanita setengah dari bagian pria.

Evoluasi manusia dengan budaya yang diciptakannya, mengadakan wanita melakukan fungsi di luar fungsi primernya. Para wanita tidak hanya menjalankan fungsi primernya sebagai ibu rumah tangga tangga untuk mengurus jalannya kehidupan keluarga, tetapi ikut bekerja mencari uang. Bukan untuk kepentingan pribadinya, tetapi untuk membantu suami dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.

Penelitian ini mencoba mengungkap ada atau tidak adanya pengaruh peranan wanita dalam keikutsertaannya memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga terhadap pembagian warisan yang dilakukan oleh masyarakat Muslim di Surakarta.

Hasil penelitian yang telah diuji berdasarkan teori statistik menunujukkan adanya pengaruh yang sangat lemah. Artinya besar kecilnya hara warisan yang diterima wanita tidak banyak dipengaruhi oleh ikut atau tidak ikut sertanya wanita dalam membantu suami untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lain (yang memerlukan penelitian lebih lanjut).
1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hamidah Izzatullaili
Abstrak :
Dewasa ini, banyak jurits Indonesia menegaskan formasi sosial dominan ulama tradisional terhadap kecenderungan afirmatif bahwa beda agama nienjadi salah satu kendala (mani') untuk waris mewarisi tidak lagi relevan dengan kondisi multi kultur dan multi agama masyarakat Indonesia. Sebagai gantinya, mereka menyatakan bahwa disparitas perolehan harta warisan secara kuantitas berdasarkan perbedaan agama (religion disaggregated) secara perlahan akan luntur sesuai dengan tingkat kemajemukan masyarakat Indonesia yang tinggi. Dan seyogyanya beralih, melalui tindakan kebijaksanaan hukum (legal policy) negara Indonesia ke antitesisnya, yaitu beda agama bukan halangan mendapat hak waris secara resiprokal. Terkait dengan itu, politik hukum pentndang-undangan Indonesia di bidang perdata Islam tidak melegalkan waris beda agama. Sebaliknya hukum perdata adat dan Barat yang masih berlaku di Indonesia mengakui praktek pemberian hak waris beda agama. Fenomena pernberlakuan beberapa sistem hukum ini mengurai fakta adanya perbedaan materi hukum perdata secara konseptual dari sudut yuridis normatif. Hai ini pada tahap selanjutnya berpotensi menciptakan kondisi tidak sehat daiam masyarakat dan chaos dalam pelaksanaan hukumnya (law enforcement). Penelitian ini bertujuan untuk untuk menggambarkan secara deskriptif dan melacak faktor-faktor penyebab konflik yang kerap kali terjadi di bidang hukum perdata Indonesia terutama yang terkait dengan hak waris beda agama dan lantas memproyeksikan formasi sosial yang mampu melakukan konstruksi makna (signifrkansi) tentang waris beda agama secara verbal dalam suatu cara yang dapat. diterima oleh masyarakat dan persepsinya terhadap realitas pluralitas dan heterogenitas struktur masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan model pengkajian kualitatif deskriptif dengan pemilihan studi kasus (case study) sebagai strategi penelitian. Adapun pengumpulan data dibatasi pada dari data-data yang terdapat pada Mahkamah Agung yang mengulas secara khusus tentang putusan kasus gugatan waris beda agama dari tahun 1990-2000. Sedangkan karakteristik data tersebut berupa data dokumen dan data kasus. Adapun strategi analisis bukti studi kasus dikembangkan dengan mengikuti proposisi teoritis dan mengembangkan deskripsi kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketidaksinkronan elemen-elemen sistem hukum bukan merupakan satu-satunya faktor yang mengakibatkan muncul konflik. Tetapi konflik pada mulanya muncul akibat ketimpangan pemenuhan kebutuhan primordial yang dilakukan dengan mengorbankan pemenuhan hak orang lain, Dengan demikian, konflik dalam sistem hukum dilatarbetakangi oleh konflik lain di luar hukum. Bahwa upaya penyelesaian persoalan di luar jalur hukum, negosiasi misalnya, belum tercapai. Secara khusus, konflik dalam sistem hukum terjadi karena dua hal yang saling berkaitan, pertama, adanya dua sistem hukum atau lebih yang berbeda secara diametral, dan kedua, beberapa sistem hukum tersebut mempunyai kedudukan yang sederajat dan menguasai peristiwa hukum. Adapun konkretasi bentuk-bentuk konflik dapat dideskripsikan dalam tiga pointer, pertama, konflik dalam tingkat struktur hukum (legal structure), kedua, konflik dalam tingkat substansi hukum (legal substance) dan ketiga, konflik dalam tingkat budaya hukum (legal culture). Bertolak dari konsepsi hukum sebagai sistem, konflik secara spesifik diakibatkan oleh (1) masalah interpretasi; (2) masalah yurisdiksi; (3) masalah legitimasi; dan (4) masalah sanksi. Selain itu, konflik juga terjadi akibat pengaruh historis tarik ulur beberapa sistem hukum yang dilakukan oleh penjajah kolonial. Akhirnya, persoalan peinberian hak waris beda agama tidak selalu ditimbulkan oleh degradasi kesadaran terhadap hukum tetapi oleh tuntutan menegakkan keadilan bagi manusia.
Formerly, there are a lot of Indonesian juries which emphasized that dominant social formation of traditional ulama is no longer relevant to assess that diversity on religions affirmatively become an obstacle (mani') in heir system of Indonesian multi culture and religion. Therefore, they stated that their quantity disparity on subject to religion disaggregated is changeable along with higher Indonesian complexity society. In line to that case, Indonesian law policy of Islam civil justice did not legalize heir in religion diversity. On the contrary, western and traditional law still recognized and legalize heir in religion diversity. This phenomenon is potentially creates unhealthy situation on civil society and probably become source of chaotic situation on law enforcement manners. This study tries to describe and tracing conflict causal factors often happened in Indonesian civil justice, specially hooked with heir in religion diversity. These research also projected on how social formation able to signified heir law on Indonesian plurality. Therefore, this study used descriptive qualitative examination model and case study as research strategy. This study use document from High Court specifically reviewed religions diversity hair cases from 1990 to 2000. Research found that failure on synchronization of law system elements was not the only factors to determine conflicts. Conflict arises as consequences of failure to occupy primordially needs by sacrifice other rightful authority. Therefore, conflict in law system surrounded by outer law issues backgrounds. Specifically, conflict in law system occurred as per two bounded causes. First, the existence of two or more law difference systems. Second, these differences law system has equal degree and dominating law affair. Furthermore, conflict shapes could be describes on three points; legal structure, legal substance, and legal culture. Underpinned from law as law concept, conflict also specifically caused by (1) interpretations predicament; (2) justice predicament; (3) legitimate predicament and (4) sanctions predicament. Besides that, conflicts also accomplished as the effect of historical resistance of some different law system by colonizer.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T17953
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manullang, Riama P. E.
Abstrak :
ABSTRAK
Hibah adalah pemberian sebagian atau seluruh dari harta kekayaan seseorang kepada orang lain sewaktu masih hidup dengan cuma-cuma, dimana tidak dapat ditarik kembali. Seorang pemberi hibah/pewaris sebagai individu, mempunyai kebebasan untuk berbuat apa saja atas harta kekayaanya, tetapi pembentuk undang-undang membatasi kebebasan tersebut karena kebebasan tersebut dapat menimbulkan kerugian pada ahli warisnya. Pembatasan tersebut ialah legitieme portie. Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tesis ini adalah bagaimana pelaksanaan hibah yang membebaskan si penerima hibah atas kewajiban inbreng dalam hal melanggar bagian mutlak (legitieme portie) ahli waris legitimaris lainnya berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata?; Apakah pembagian waris dalam putusan Peninjauan Kembali No: 797 PK/Pdt/2001 sudah sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Tindang Hukum Perdata? Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis-normatif dan alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi dokumen. Dalam tesis ini., hibah dilakukan terhadap seluruh harta kekayaan Pewaris dan di dalam akta hibah ditegaskan penerima hibah dibebaskan dari kewajiban inbreng ke dalam harta peninggalan Pewaris. Akta hibah tersebut dibatalkan oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung karena hibah tersebut melanggar legitieme portie ahli waris. Berdasarkan Pasal 1087 KUHPerdata, sekalipun di dalam akta hibah secara tegas menentukan bahwa yang menerima hibah tersebut dibebaskan dari, kewajiban inbreng, tetapi jika sampai legitieme portie terlanggar maka penerima hibah wajib inbreng apa yang pernah dihibahkan kepadanya. Seharusnya hakim dalam memutuskan perkara ini, akta hibah tersebut tidak dibatalkan, melainkan para penggugat hanya berhak menuntut legitieme portie (Pasal 920 KUHPerdata). Dalam hal hibah tersebut melanggar legitieme portie, sebaiknya untuk memenuhi kekurangan tersebut dilakukan pemotongan/inkorting dari hibah semasa hidup pewaris. Hibah terhadap seluruh harta pasti melanggar legitieme portie apalagi hibah seluruh harta tanpa inbreng.
ABSTRAK
A grant is defined as a handing over of someone's part or whole assets to other person when he/she was still alive, which cannot be returned. As an individual, the inheritor has freedom to do whatever he/she pleases with the wealth. However, the lawmaker has made some limitation on the freedom to avoid it brings harm to the heir. This limitation called as legitieme portie. The main problem to be addressed in this thesis is concerning on how the execution of the grant that free the grant receiver from inbreng (defined as the process the return first the amount of assets that was given to the receiver before the inheritor passed away to the total amount of the inherited assets to be then redistributed fairly among all the heirs) obligation, since it violates the legitieme portie of other legitimate heirs, based on the regulation mentioned in the Book of Civil Law. Furthermore, has the mechanism of inheritance as determined on the Decision to Review No. 797 PK/Pdt/2001 been in accordance with the regulation consisted within the BOOk of Civil Law? The method applied in this research is the juridical-normative literature study, while the data collecting method used is document study. In this thesis, a grant was conducted on the whole assets of the inheritor, and within the grand certificate it was assered that the receiver of the grand is freed from any inbreng obligation adressed to the asset. The grant certificate was cancelled by the Supreme Court's Board of Judges since the grant considered as violating the legitieme portie of other heirs. According to the Article 1087 Book of Civil Law, despite the grant certificate has clearly stated that the receiver of the grand is freed from any inbreng obligation, but in case it violates the legitieme portie the receiver however should still pay the inbreng of the amount of assets received. In this case, the judge was supposed not to immediately cancel the certificate, but in stead he supposed to give heirs right to sue for the legitieme portie (Article 920 Book of Civil Law). In case the grant violates the legitieme portie, it is suggested that to fulfill the lack, a cut/inkorting of the grant should be applied, during the life time of the heirs. The grant taking the whole amount of assets is definetely considered as violating the legitieme portie, and it is even further within the situation it doesn't conform to the inbreng obligation on the implementation.
2007
T19235
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulistyowati Irianto
Abstrak :
Secara garis besar penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan strategi yang ditempuh perempuan Batak Toba, yang menurut hukum adatnya tidak ditempatkan sebagai ahli waris, dalam rangka upayanya untuk memperoleh bagian dari harta ayah atau suaminya. Dalam hal ini akan dikaji, bagaimanakah perempuan Batak Toba menggunakan atau tidak menggunakan sistem hukum nasional, sistem hukum adat, atau kebiasaan-kebiasaan dan konvensi-konvensi sosial yang lain, dalam melegitimasi kepentingannya untuk mendapatkan akses kepada harta waris. Kemudian, perubahan perubahan apa raja dari segi-segi tertentu dalam kebudayaan Batak Toba yang berdampak terhadap akses perempuan migran di kota kepada harta waris. Dalam hal mengungkapkan perubahan, akan diungkapkan bagaimanakah keterlibatan para warga masyarakat Batak Toba dalam peristiwa-peristiwa sosial, politik dan hukum pada tingkat makro memberi dampak terhadap terjadinya perubahan kebudayaan Batak Toba, yang akhirnya berdampak terhadap akses perempuan kepada harta waris. Akhirnya akan dilihat bagaimanakah resistensi terhadap patriarki dapat ditunjukkan melalui berkembanganya masalah pewarisan perempuan di tengah berlangsungnya perubahan segi-segi tertentu dalam kebudayaan Batak Toba tersebut.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2000
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
SPA Ichatiyatun
Abstrak :
Tulisan dengan judul " Kajian Wasiat Wajibah Islam Sistem Tata Hukum Kewarisan Islam " ini membahas masalah wasiat wajibah untuk anak angkat atau orang tua angkat sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, dan juga hak waris bagi pewaris nom muslim, sebagai suatu pembaharuan hukum Islam (fikih) secara mendasar dan substansial. Rumusan mengenai masalah wasiat wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam tersebut tidak terlepas dari pengaruh hukum adat, sebagai suatu realitas social yang nyata-nyata ada dan hidup di tengah masyarakat Indonesia. Pada dasarnya wasiat itu merupakan tindakan hukum yang bersifat sukarela, yang didasarkan atas kehendak bebas dari pemberi wasiat selaku pemilik harta. Namun demkian, berpangkal pada firman Allah surat al-Baqarah (2) ayat 180, para ulama berselisih pendapat mengenai hukum wasiat tersebut. Jumhur ulama berpendapat bahwa pada dasarnya hukum wasiat itu wajib, yaitu untuk memberi bagian kepada orang tua atau kerabat yang tidak menerima bagian warisan karena terhijab (mahjub), atau tidak dapat menjadi ahli waris karena terhalang (mamnu'). Berdasarkan pendapat kedua tersebut, beberapa Negara Islam telah memberlakukan wasiat wajibah untuk memberi bagian kepada cucu yang orang tuanya meninggal sebelum atau bersama-sama dengan kakek atau neneknya. Sementara itu, dalam Kompilasi Hukum Islam wasiat wajibah tersebut dipergunakan untuk memberi bagian kepada anak angkat atau orang tua angkat, lain dari pada itu, dengan mempertimbangkan keadaan masyarakat Indonesia yang majemuk baik ditinjau dari agama, ras, suku dan bahasa, maka wasiat wajibah ini -pun dapat diperuntukan bagi pewasiat non muslim dengan pertimbangan rasa keadilan dan kemanusiaan. Kedua hal ini merupakan suatu terobosan yang inovatif dan cerdas dalam menciptakan harmoni antara hukum Islam dengan hukum adat di Indonesia juga sebagai petunjuk ajaran Islam yang bernuansa rahmatan lil 'alamin sehingga dapat memotivisir kerukunan umat beragama. Oleh karena itu, masalah wasiat wajibah menjadi objek yang menarik untuk dikaji. Ada dua permasalahan dalam kajian ini. Pertama, bagamaina kedudukan wasiat wajibah dalam sistem tata hukum kewarisan Islam di Indonesia, dan kedua, bagaimana konsekuensi yuridis ketentuan wasiat wajibah baik yang diatur maupun yang tidak diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, baik terhadap bagian anak angkat atau orang tua angkat dan ahli waris non muslim, bagian warisan para ahli waris, maupun bagian penerima wasiat yang lain.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T18886
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hazirudin
Abstrak :
Hibah adalah pemberian yang dilakukan oleh seseorang kepada pihak lain yang dilakukan ketika masih hidup dan pelaksanaan pemberian hibah biasanya dilakukan pada waktu penghibah masih hidup. Dalam penulisan tesis ini akan dibahas kasus hibah sebagian besar harta yang telah dilakukan oleh orang tua angkat kepada anak-anak angkatnya. Kasus ini menarik perhatian penulis untuk diteliti karena berdasarkan Kompilasi Hukum Islam Pasal 210 ayat (1) penghibahan dibatasi sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) dari harta benda yang dimilikinya, kemudian timbullah sengketa antara anak angkat penerima hibah dengan ahli waris yang sah setelah penghibah telah tiada, dan para ahli waris yang sah, menuntut haknya dengan mengajukan gugatan di Pengadilan Agama Cimahi, Bandung, Hakim memutuskan mengabulkan permohonan penggugat. Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tesis ini : 1) Bagaimana hukum Islam mengatur hibah atas sebagian besar harta dari orang tua kepada anak angkatnya ? 2) Apakah sudah sesuai dengan hukum Islam putusan yang diambil Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 30 Januari 2001 Nomor : 342 K/AG/2000 ?. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian bersifat yuridis normatif yang menitikberatkan pada penelitian kepustakaan, khususnya bahan hukum primer yaitu putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 342 K/AG/2000, tanggal 30 Januari 2000. Hukum Islam mengatur tentang Hibah, yaitu penghibah adalah orang yang telah berumur 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan, dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) harta bendanya kepada prang lain atau lembaga dihadapan 2 (dua) orang saksi, sedangkan penerima hibah harus ada pada saat hibah dilangsungkan, obyek hibahnya harus punya pemberi hibah, sesuatu yang kepemilikannya dihalalkan dalam agama dan disertai ijab dan kabul untuk syarat sahnya hibah. Bahwa Mahkamah Agung Republik Indonesia memutuskan hibah yang telah dilakukan dalam kasus di atas tetap sah untuk 1/3 (sepertiga) bagian dan 213 (duapertiga) batal demi hukum, sehingga konsekuensi yuridisnya penerima hibah harus mengembalikan 2/3 (duapertiga) bagian untuk dibagikan kepada para ahli waris yang sah sesuai dengan ketentuan dalam hukum Islam.
Hibah (bequest) is gift bestowed by a person to another party, carried out when the person is still living, and the implementation of hibah is usually done during the time the person making the bequest is still alive. In writing this thesis a bequest case will be investigated of the greater part of property by an adopting parent to his adopted children. This case has drawn the attention of the writer for study, because based on the Compilation of Islamic Law Article 210 paragraph (1), a bequest is limited to at the most 1/3 (one third) of the property owned. Afterwards a dispute arose between the adopted children, receivers of the bequest and the legal heirs after the person who had made the bequest had passed away, and the legal heirs claimed their rights by submitting a suit to the Religious Court of Cimahi, Bandung. The judge decided to grant the plaintiffs' request. The main problems to be discussed in this thesis are: 1) How does Islamic law regulates hibah of the greatest part of the property of a parent to his I her adopted child? 2) Is the decision taken by the Supreme Court of the Republic of Indonesia of January 30, 2001, Number 342 K/AG/2000 in accord with Islamic law? The research method applied is the juridical normative research method, focusing on literature research, in particular primary legal material, namely the decision of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 342 /K/AG/2000, dated January 30, 2001. Islamic Law regulates on Hibah, that the person making the bequest should have reached the age of 21 years, has a sound mind, and without any pressure is allowed to bequest at the most 1/3 (one third) of his / her property to another person or institute in front of 2 (two) witnesses, while the bequest receiver should be present during the bequest; the object of bequest should have a person making the bequest, something which ownership is authorized by religion and the bequest should be accompanied by ijab kabul (consent) as a legal prerequisite of the bequest. That the Supreme Court of the Republic of Indonesia has decided that the bequest carried out in this case remains legal for 1/3 (one third) part, while 2/3 (two third) part is void according to law, so that as a juridical consequence the bequest receivers have to return 2/3 (two third) part for division to the legal heirs, is conform the stipulations of Islamic law.
2007
T19510
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kluyskens, Albert
Abstrak :
Dit boek bevat een uitleg van het burgerlijk recht.
Antwerpen: Standaard-Boekhandel, 1955
K 343.053 5 KLU b III
Buku Klasik  Universitas Indonesia Library
cover
Lane, Alfred H.
London: Aldwych Press, 1980
R 025.26 LAN g
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library