Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 315 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"The DPD does not have power to pass legislation.It can only introduce or gives advices on a certain range of bills in the DPR. With this limited power,DPD acts only as a sub-ordinate of DPR...."
JUILPEM
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Srianto Dotomuljono
Jakarta: Erlangga , 1985
342.05 SRI k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Herri
"Asumsi yang mendasari penelitian ini adalah penerapan sistem sentralisasi pemerintahan terutama dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah telah mengakibatkan ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat dan tidak berkembangnya kreativitas masyarakat lokal. Sehingga tidak tercapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Kondisi ini diiringi oleh melemahnya kemampuan masyarakat lokal ( baik melalui lembaga perwakilan legislatif daerah ) dalam membuat pilihan - pilihan yang sesuai dengan kondisi dan karakteristik setempat.
Melalui kebijakan desentralisasi dengan lebih memberikan kewenanganan kepada unit pemerintah yang langsung berhadapan dengan masyarakat, yaitu kabupaten dan kota dengan harapan akan mempercepat pelayanan kepada masyarakat. Disamping itu yang paling penting menurut Thomas Jefferson adalah pemerintah lokal akan Iebih responsif kepada kepentingan masyarakat. Pemerintah hendaknya dibentuk sedekat mungkin dengan masyarakat agar masyarakat dapat aktif berpartisipasi didalamnya.
Dalam mengkaji hal tersebut di atas, studi ini difokuskan pada peranan Lembaga Legislatif Daerah ( DPRD ) sebagai unsur pemerintahan di daerah. Dalam pemerintahan modern yang berlandaskan demokrasi maka keberadaan lembaga legislatif termasuk di daerah menjadi mutlak. Dikaitkan dengan kebijakan desentralisasi maka representasi dari DPRD dapat dilihat dari pelaksanaan fungsi-fungsi yang diembannya. Pentingnya peranan DPRD ini disebabkan oleh kedudukan dan fungsinya yang menurut UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memiliki kewenangan, hak dan kewajiban yang cukup luas bila dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan sebelumnya yaitu UU No. 5 Tahun 1974.
Data-data yang berkaitan dengan tujuan penelitian dimaksud didapat melalui metode penelitian Kualitatif. Sumber data, yaitu informan dengan penentuan bertujuan (purposive ). Tentunya didukung dengan dukumen yang sesuai dengan setting dan field penelitian. Instrumen penelitian adalah peneliti sendiri, dengan melalui prosedur pengumpulan data yang meliputi pengamatan, wawancara, dokumentasi dan visual terutama dari media lokal. Dari keseluruhan data yang terkumpul, diuji keabsahannya dengan teknik triangulasi yang selanjutnya diberikan penafsiran.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan tugas dan kewajiban DPRD Kota Pontianak belumlah menunjukkan peranan sesungguhnya yang diharapkan oleh masyarakat. Sehingga sebagaimana maksud dari UU No. 22 Tahun 1999 yang memberikan otonomi daerah dengan prinsip-prinsip demokrasi dan peran serta masyarakat serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah belum menampakkan wajah yang sesungguhnya. Kinerja yang dihasilkan oleh DPRD Kota Pontianak, terutama dalam pelaksanaan fungsi legislasi, dari segi kualitas dan jumlah produk perundangundangan Peraturan Daerah (Perda) masih minim bila dikaitkan dengan besamya kewenangan yang dimiliki ( anggota Dewan belum pernah menggunakan hak inisiatif) ; dan fungsi kontrol, yang walaupun nuansa penguatannya telah nampak perlu untuk diimbangi dengan penguasaan data dan informasi yang cukup. Padahal dalam pelaksanaan tugas dan kewajibannya anggota DPRD didukung oleh fasilitas yang sangat memadai. Belum terwujudnya tujuan dimaksud, dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti : kewenangan yang dimiliki oleh DPRD tidak diimbangi dengan kemampuan para wakil rakyat, serta tidak adanya mekanisme yang jelas pertanggungjawaban (accountability) DPRD.
Hal yang paling mendasar dalam otonomi daerah yang seharusnya menjadi milik masyarakat setempat bukan pada elite lokal ( pemerintah daerah dan DPRD ) belumlah terwujud sehingga peran serta masyarakat belumlah optimal."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T2335
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aos Kuswandi
"Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai pelaksanaan fungsi legislatif dalam proses perumusan Peraturan Daerah Tentang APBD Tahun 2000 yang dilakukan oleh DPRD Kota Bekasi. Pertanyaan tesis adalah: Bagaimanakah DPRD Kota Bekasi melaksanakan fungsi legislatif dalam perumusan peraturan daerah tentang APBD tahun 2000?
Variabel dalam penelitian ini adalah: variabel pengaruh, yaitu: faktor internal DPRD, afiliasi anggota DPRD, pola hubungan anggota DPRD dengan konstituen, dan pola hubungan DPRD dengan eksekutif; sedangkan variabel terpengaruh adalah pelaksanaan fungsi legislatif DPRD Kota Bekasi dalam perumusan peraturan daerah tentang APBD tahun 2000.
Teori yang digunakan adalah teori perumusan kebijakan dan perwakilan politik. Sudut pandang studi ini, adalah: perspektif yang melibatkan proses perumusan peraturan daerah tentang APBD sebagai aktivitas politik yang dijelaskan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai rangkaian tahapan yang saling bergantung. Jenis penelitian ini bersifat kualitatif. Data dikumpulkan melalui wawancara dan studi kepustakaan. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi dari anggota DPRD Kota Bekasi, Aparat Pemerintah Kota Bekasi, LSM dan Akademisi di lingkungan Kota Bekasi. Informasi diperoleh dari informan melalui prosedur wawancara tidak berstruktur. Sedangkan studi kepustakaan dari sumber-sumber berupa buku-buku, surat kabar, maupun dokumen-dokumen tertulis lainnya.
Kesimpulan yang diperoleh: Perumusan Peraturan Daerah tentang APBD Tahun 2000 di Kota Bekasi sebagai suatu tindakan politik ternyata didalamnya cenderung tidak terjadi proses komunikasi yang optimal antara DPRD, eksekutif dan masyarakat. Keadaan ini memposisikan DPRD sebagai mitra kerja (co-equal partner) eksekutif menjadi lemah. Tidak dimilikinya pengetahuan dan pengalaman yang cukup mengakibatkan terbatasnya kemampuan dan menimbulkan rasa tidak percaya diri anggota DPRD dalam merumuskan kebijakan. Pola hubungan DPRD dengan konstituennya lemah sementara komunikasi dengan eksekutif dilakukan secara formal. Keadaan tersebut mengakibatkan belum terlaksananya fungsi legislatif oleh DPRD Kota Bekasi secara optimal karena APBD yang ditetapkan cenderung lebih berorientasi kepada eksekutif dibandingkan dengan masyarakat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T3577
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Musni Umar
"Teknik penelitian yang dilakukan di Kabupaten Kendari mengenai Peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, yang utama adalah menggunakan kualitatif, didukung dengan teknik kuantitatif. Subyek dalam penelitian ini sebanyak 11 informan utama. Cara mendapatkan informasi/data yaitu melalui wawancara mendalam terhadap 11 informan utama, Peraturan Tata Tertib DPRD Kabupaten Kendari, Peraturan Daerah produk DPRD, UU Otonomi Daerah, dan observasi lapangan. Teori yang dipakai ialah pembagian kekuasaan, dan fungsi-fungsi Badan Legislatif, dengan konsep DPRD sebagai penyeimbang eksekutif.
Penelitian ini telah membuat indikator untuk mengukur kinerja DPRD dan menemukan data yang amat penting tentang peran DPRD di era reformasi, di mana institusi itu ternyata tidak efektif, sehingga harapan terwujudnya perimbangan kekuasaan (balance of power) antara legislatif (DPRD) dengan eksekutif (Bupati) masih jauh dari kenyataan. Akibatnya, pelaksanaan otonomi yang dititik-beratkan pada daerah kabupaten dan kota, telah memindahkan sentralisasi kekuasaan ke tangan Bupati, sehingga terjadi monopoli kekuasaan, dan muncul kecenderungan semakin meluas dan bertambah merajalela praktik korupsi, kolusi dan nepotisme di era otonomi daerah.
DPRD sebagai simbol demokrasi dan representasi dari rakyat yang berdaulat, tidak berdaya menghadapi Bupati, karena masih tetap dijalankan paradigma lama pemerintahan yaitu Bupati adalah sebagai penguasa tunggal di daerahnya, Penyebab lainnya ialah terbatasnya kualitas anggota DPRD, dominannya kepentingan pribadi anggota Dewan, lemahnya masyarakat madani (civil society) di kabupaten Kendari, masih kuatnya pengaruh feodalisme dan terus dibatasinya kewenangan anggota Dewan untuk menjalankan fungsi dan menggunakan hak Dalam Tata Tertib DPRD Kabupaten Kendari secara jelas dapat ditemukan pasal-pasal yang mempersulit serta menghambat pelaksanaan fungsi dan hak anggota DPRD seperti fungsi pengawasan yang diatur dalam paragraf 4 yaitu hak mengadakan penyelidikan (pasal 14), paragraf 6 hak mengajukan pernyataan-pendapat (pasal 18), dan paragraf 9 hak mengajukan pertanyaan (pasal 22); serta paragraf 7 hak prakarsa untuk mengajukan rancangan peraturan daerah (pasal 19). Pasal-pasal tersebut sebaiknya dalam rangka reformasi dan upaya meningkatkan kinerja DPRD direvisi. Temuan lainya bahwa pelaksanaan peran DPRD dilihat dari jumlah produk peraturan Daerah, ternyata DPRD di masa Orde Baru lebih tinggi produktivitasnya dibanding DPRD di era reformasi. Begitu juga dalam penggunaan hak-hak Dewan, serta pelaksanaan tugas dan wewenang DPRD secara keseluruhan tetap memprihatinkan. Kendati begitu, dari sisi penggunaan hak Dewan terutarna keberanian para anggota mengadakan perubahan terhadap rancangan peraturan daerah, dan pelaksanaan pengawasan langsung terdapat peningkatan yang cukup menggembirakan. Dalam hal pembentukan Peraturan Daerah, tidak ada bedanya DPRD di era Orde Baru dengan DPRD di era reformasi, karena semua rancangan peraturan daerah bersurnber dari inisiatif eksekutif, tidak ada yang dilahirkan dari hasil inisiatif atau prakarsa DPRD. Akibatnya, produk peraturan daerah umumnya kurang bernuansa pemberdayaan masyarakat baik dalam bidang sosial, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Hampir semua produk peraturan daerah, bersifat membebani rakyat, dan untuk kepentingan kekuasaan_ Itulah sebabnya, masyarakat menilai bahwa DPRD belum berperan secara optimal dalam mendorong perbaikan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Mereka lebih sibuk mengurus kepentingan diri sendiri.
Mengenai keterwakilan rakyat di DPRD, sudah mulai ada kemauan politik yang ditunjukkaan dalam proses pencalonan anggota DPRD dengan dipilihnya para calon anggota DPRD dari Kecamatan atau Desa. Hanya proses menuju keterwakilan rakyat terhenti setelah pemilu, tidak berlanjut dan berkesinambungan di DPRD melalui perjuangan untuk memajukan kesejahteraan rakyat yang dicerminkan dalam pembuatan berbagai peraturan daerah, penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah, pengawasan yang efektif, dan penyaluran aspirasi serta kepentingan rakyat. Dalam praktek, kita menyaksikan terjadinya interaksi yang baik antara DPRD dengan eksekutif, tetapi belum menghasilkan manfaat nyata bagi perbaikan nasib rakyat. Demikian juga, interaksi antara DPRD dengan rakyat mulai berjalan dinamis, hanya tingkat ketidakpuasan rakyat terhadap DPRD masih tinggi. Indikatornya dapat ditunjukkan antara lain tetap banyaknya rakyat yang berdemonstrasi di DPRD, walaupun menurut penilaian Pimpinan DPRD dan Ketua-Ketua Fraksi di DPRD bahwa hal tersebut justru merupakan bukti bahwa rakyat percaya kepada DPRD. Kalau tidak percaya, tidak mungkin rakyat datang mengadukan nasibnya ke DPRD. Sedang peran DPRD di masa lalu, mengalami pasang surut karena mengikuti dinamika dan kebijakan politik yang dijalankan ditingkat nasional. Jika pemerintah pusat menjalankan pemerintahan secara demokratis, maka imbasnya merembet ke seluruh daerah dalam wujud desentralisasi dan otonomi luas, sehingga memberi dampak positif kepada rakyat dan DPRD karena dapat berpartisipasi dan berperan aktif menjalankan fungsinya. Demikian pula sebaliknya, jika pemerintah pusat menjalankan kebijakan pemerintahan secara otoriter, maka imbasnya ke berbagai daerah akan termanifestasi dalam wujud sentralisasi dan dekonsentrasi pemerintahan, yang dampaknya negatif bagi rakyat dan DPRD karena demokrasi dipasung. Akan tetapi, pengalaman menunjukkan bahwa politik desentralisasi dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah, tidak selamanya berhasil dimanfaatkan dengan baik oleh elit penguasa dan politik baik eksekutif maupun DPRD untuk membangun masyarakat madani. Disinilah urgensinya membangun kesadaran masyarakat (common consciousness) agar sadar bahwa kedaulatannya yang telah diserahkan kepada wakil mereka di DPRD melalui pemilu, harus selalu dikontrol, supaya mereka menjalankan fungsinya secara optimal dan baik.
Berkaitan dengan upaya memperkuat peran masyarakat di DPRD, maka dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, semakin dirasakan pentingnya membangun kekuatan masyarakat madani yang terdidik, dan demokratis. Untuk itu, nilai-nilai budaya lokal yang mengandung unsur-unsur demokrasi yang berakar kuat di masyarakat sudah saatnya dikembangkan dan dibudayakan."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T9526
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widarsono
"Perubahan UUD 1945 telah memberikan pada DPR kekuasaan legislasi yang lebih tegas dan bukan sekedar hak. Secara kelembagaan kekuasaan legislatif ada pada 2 (dua) lembaga yaitu Presiden dan DPR, sebelum perubahan UUD 1945 dinyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan DPR. Setelah Perubahan UUD 1945 dinyatakan bahwa DPR membentuk Undang-Undang. Selanjutnya ditentukan secara terbalik bahwa Presiden diberikan hak untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada DPR. Dengan demikian pemegang utama (primer) kekuasaan legislatif untuk membentuk undang-undang adalah DPR, sedangkan Presiden hanyalah pemegang kekuasaan sekunder. Disamping itu Pergeseran kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR, berarti telah mengubah dari prinsip pembagian kekuasaan (distribution of powers) kepada prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers) antara lembaga legislatif (DPR) dan eksekutif (Pemerintah).
Dengan adanya Perubahan UUD 1945 dibidang legislasi atau pembuatan undang-undang, dari sisi mekanisme (proses) tidak ada perubahan yang berarti hanya dipersingkatnya tahapan pembicaraan dari 4 tahap menjadi 2 tahap. Persoalan yang lebih ditonjolkan adalah penekanan terhadap kekuasaan legislatif DPR sehingga lembaga tersebut dapat bekerja secara optimal, khususnya dalam bidang Usul Inisiatif guna pembentukan Undang-Undang.
Dalam rangka mewujudkan optimalisasi kinerja DPR seperti yang diamanatkan konstitusi, kemudian memberdayakan lembaga Badan Legislasi DPR yang merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, disamping itu staf Ahli DPR yang merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, disamping itu staf Ahli DPR juga diperkuat. Persoalan selanjutnya yang dicermati adalah faktor pendukung dan penghambat pergeseran kekuasaan legislatif di DPR, ada beberapa faktor yang sebelumnya merupakan penghambat saat ini menjadi faktor pendukung, yaitu peraturan tata tertib DPR, dengan memberikan kelonggaran jumlah inisiator, jumlah fraksi dari usul inisiatif Rancangan Undang-Undang dan juga dipersingkatnya tahapan pembicaraan (UU No. 03ADPR-R /112001-2002). Hal ini tentu menjadi faktor pendukung, iklim politik juga mendukung untuk mendorong penggunaan usul inisiatif.
Persoalan yang masih menjadi penghambat adalah masalah anggaran untuk pembentukan Rancangan Undang-Undang. Hal ini karena minimnya sehingga menghambat ruang gerak dan optimalisasi kinerja DPR dalam bidang legislasi. Idealnya agar kekuasaan legislatif DPR lebih bermakna maka perlu sarana pendukung dan anggaran yang memadai, sehingga DPR dapat melaksanakan semua fungsi yang dimilikinya. Apalagi setelah lembaga perwakilan menganut sistem bikameral (adanya DPR dan DPD) persoalan pembentukan Undang-Undang tentu menjadi lebih rumit."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T9748
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salman Luthan
"Kebijakan legislatif tentang kriminalisasi dalam peraturan perundang-undangan meliputi tiga unsur, yaitu dasar pembenaran kriminalisasi, kepentingan hukum yang dilindungi dalam kriminalisasi, dan gradasi keseriusan tindak pidana. Untuk mengetahui fenomena ketiga unsur kriminalisasi tersebut diteliti 17 macam undang-undang, khususnya aspek tindak pidananya. Kepentingan hukum yang dilindungi dalam kriminalisasi adalah kepentingan pembangunan yang terdiri dari kepentingan pembangunan politik, ekonomi, kesejahteraan sosial dan SDM, lingkungan hidup, dan kepentingan pembangunan tata nilai sosial. Kepentingan hukum yang dilindungi tersebut lebih mencerminkan perlindungan kepentingan pemerintah daripada kepentingan masyarakat.
Dasar pembenaran kriminalisasi memiliki lima pola dasar pembenaran, yaitu peranan dan arti penting suatu hal bagi kehidupan manusia dan penyalahgunaan hal itu dapat mendatangkan kerugian kepada masyarakat, bangsa dan negara, merugikan kepentingan masyarakat dan/atau negara, bertentangan dengan norma agama, moral atau kesusilaan, kepatutan dan budaya bangsa, bertentangan dengan ideologi negara Pancasila dan UUD 1945, dan bertentangan dengan kebijakan pemerintah dalam bidang ekonomi, politik, keamanan, dan sosial budaya. Dasar pembenaran kriminalisasi tersebut mencermin tiga pendekatan, yaitu pendekatan kebijakan, pendekatan nilai, dan pendekatan ilmu pengetahuan.
Kebijakan legislatif menetapkan dua kriteria umum dan tujuh kriteria khusus gradasi keseriusan tindak pidana. Kedua kriteria umum tersebut adalah pembedaan tindak pidana dalam kejahatan dan pelanggaran dan perbedaan substantif perbuatan, sedangkan ketujuh kriteria khusus itu adalah pembedaan tindak pidana dalam kesengajaan dan kealpaan, perbedaan kualitas karya cipta, perbedaan kualitas zat bahan terlarang, perbedaan modus operandi pelaksanaan tindak pidana, perbedaan akibat hukum, perbedaan subjek hukum tindak pidana, dan perbedaan status kelembagaan. Kebijakan legislatif tentang kriminalisasi menunjukkan adanya tiga kelemahan, yaitu perbedaan gradasi keseriusan tindak pidana yang cukup tajam dalam satu rumpun delik, perumusan perbuatan yang berbeda kualitasnya dalam satu delik, dan perlindungan hukum yang berlebihan terhadap aparatur pemerintah."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T3931
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muslim Mufti
"Studi tentang lembaga perwakilan baik lembaga perwakilan nasional atau Dewan Perwakilan Rakyat maupun lembaga perwakilan daerah atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sudah banyak dilakukan, dengan tema dan judul yang beragam. Studi atau penelitian ini juga mengambil tema tentang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di Era Otonomi Daerah yang banyak memberikan berbagai kewenangan dan kekuasaan kepada daerah. Implikasi dari adanya UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah salah satunya adalah bahwa DPRD menjadi sebuah lembaga yang punya kekuasaan yang cukup besar di daerah, sehingga seringkali dengan kekuasaannya DPRD dapat menjatuhkan seorang Bupati/Walikota bahkan Gubemur. Kekuasaan DPRD yang besar itu juga yang seringkali dipergunakan oleh DPRD untuk menekan eksekutif daerah dalam laporan pertanggungjawabannya, sehingga seringkali terjadi money politics, konflik-konflik antara eksekutif dan legislatif di daerah, bahkan kerapkali legislatif itu sendiri yang melakukan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Studi ini bermula dari keinginan peneliti untuk mengkaji tentang perilaku atau dinamika politik yang terjadi di DPRD Jawa Barat, yang berbentuk konflik dan konsensus, balk konflik dan konsensus antar anggota DPRD, intra fraksi maupun antar fraksi dalam rangka penyelesaian dana kaveling. Tujuan Penelitian adalah untuk mengkaji proses atau dinamika politik yang terjadi di DPRD Jawa Barat, dan menganalisa konflik-konflik dan konsensus politik yang terjadi serta kepentingankepentingan yang dipunyal oleh partai politik dan anggota DPRD Jawa Barat dalam konflik-konflik dan konsensus politik yang terjadi di DPRD Jawa barat tentang penyelesaian kasus "dana kaveling"
Untuk menjelaskan konflik dan konsensus politik tentang penyelesaian dana kaveling, maka peneliti menggunakan kerangka teori tentang Konflik Politik dan Konsensus Politik. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah Pendekatan Kualitatif. Tipe penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah tipe penelitian deskriptif-analitis, dengan teknik pengumpulan data yaitu dengan menggunakan studi kepustakaan, wawancara mendalam (depth interview).
Hasil penelitian yang dilakukan melalui studi pustaka dan wawancara mendalam memperlihatkan bahwa konflik yang terjadi adalah antara anggota dan fraksi yang bersedia mengembalikan dana kaveling dengan anggota dari fraksi yang tidak bersedia mengembalikan dana. Sumber Konflik Politik yang terjadi di DPRD Jawa Barat dalam penyelesaian dana kaveling adalah karena adanya perbedaan nilai-nilai moralitas antar anggota DPRD, adanya kepentingan-kepentingan yang dipunyai oleh masing-masing anggota dan fraksi-fraksi di DPRD Jawa Barat terutama kepentingan politik dalam rangka menghadapi pemilihan umum 2004 serta juga karena kepentingan ekonomi untuk mendapatkan dana/uang untuk kepentingan kesejahteraan anggota DPRD Jawa Barat.
Konflik politik tersebut memang tidak menjadi berlarut-larut dan dapat diselesaikan melalui kompromi diantara fihak-fihak yang terlibat dalam konflik sehingga melahirkan konsensus di antara mereka untuk tidak mengembalikan dana kaveling kepada pemerintah propinsi Jawa Barat, dan mereka lebih memilih penyelesaian kasus ini melalui mekanisme hukum bukan mekanisme politik. Mereka atau anggota dan fraksi yang menolak untuk mengembalikan dana kaveling beralasan bahwa proses pemberian dana kaveling sudah sesuai dengan prosedur dan tata tertib DPRD, serta sudah merupakan kesepakatan antara eksekutif (Gubernur Jawa Barat R. Nuriana) dengan legislatif (yang diwakili oleh Pimpinan DPRD dan para Ketua Fraksi), yang kemudian dianggarkan dalam APBD Jawa Barat tahun 2000, 2001 dan 2002.
Model konsensus yang dilakukan adalah model dimana ada kesepakatan pendapat antara berbagai fihak yang terlibat konflik, serta model dimana ada kesepakatan diantara mereka tetapi dengan model adanya dominasi pendapat dan keputusan yang dilakukan oleh fraksi-fraksi dengan jumlah anggota yang lebih banyak seperti FPDIP, FPartai Golkar serta FPPP. Dominasi pendapat dan keputusan yang melandasi konsensus itu adalah bahwa ada kesamaan kepentingan diantara mereka yaitu kepentingan ekonomi (dana tersebut diperuntukan bagi kesejahteraan anggota DPRD), kepentingan politik untuk menghindari citra buruk anggota DPRD (menghindari sebutan "politisi busuk" dari masyarakat), serta dalam kerangka lebih luas adalah untuk kepentingan politik dalam menghadapi pemilu 2004.

Conflict And Consensus In Region Legislative Institution Study Of Conclusion Case "Dana Kaveling" In DPRD West Java ProvinceStudy about representative institution in nationally or regionally have many already done, with variety of theme and title. This study or research also takes the theme about region of house of representative (DPRD) in region autonomy era which gives many authorities in each region. Implication from constitution No. 2211999 about region government that one include about region of house of representative (DPRD) becomes an institution that have big authority in it's region. Being that oftenly governor or major can be fell by DPRD. The big authority of DPRD. oftenly used for pressing region executive in responsible report, then money politics it could be happened. Unfortunately legislative itself which makes corruption or abuse of power?
This study began from researcher intend to be studying about conflicts and consensus of politics behavior that happened in West-Java DPRD. Conflicts and consensus which researched in this study focused in West-Java DPRD. It takes a place between individual (member of DPRD), infra fraksi, inter fraksi to find conclusion about "Kaveling Fund". The aim of research to know about conflict and consensus that happens in West-Java DPRD, and analyzing about interest of political party which settled in DPRD about conclusion of "Kaveling Fund" case.
Explaining conflict and consensus politic about conclusion of "Kaveling Fund", researcher using basic theory of political conflict and political consensus approaching that used in this research is qualitative. Type of research that used is "descriptive-anilities". with data technique by bibliography, also using depth interview.
Result from the research shows that conflict that happen is between individuals in DPRD who wants to get back Kaveling Fund and some of them who don't want to give back the find. The source of conflict caused there are many factors gradually the different of moral from the individuals besides there are interest of political intend from each person in fraksi. Mainly to face the national election 2004, and economy factors to individual prosperity in DPRD.
The political conflict can be "finished" by compromise between the individuals who involved until take the consensus to "keep" the Kaveling Fund. They prefer to choose the solve of case through the law mechanism not political mechanism. The people in DPRD who refuse to give back the fund had a reason that Kaveling Fund had been following the procedure of DPRD and following the agreement between the executive and legislative, later it's estimated budget in West Java APBD on 200, 2001, 2002.
Type of consensus is agreement between each side who is involved in conflict, or agreement that comes from the majority argument which usually come from big fraksi like FPDIP, FPartai Golkar and FPPP. Base the agreement caused there are same interested among them economically (prosperity fund for each member), to avoid bad image from each member of DPRD. (Avoid "Politisi Busuk" from society). More widely the consensus is taken to get the interest of political to face national election 2004.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14352
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Djazuli
"Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah satu lembaga negara yang anggotanya merupakan wakil rakyat yang telah bersumpah atau berjanji dan dalam melaksanakan tugasnya sungguh-sungguh memperhatikan kepentingan rakyat. Oleh karena itulah DPR sebagai sebuah institusi berusaha meyakinkan masyarakat bahwa DPR telah melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam mewakili rakyat serta meyakinkan bahwa DPR merupakan salah satu tempat untuk menyampaikan aspirasi masyarakat.
Untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya, DPR mempunyai Sekretariat Jenderal yang bertugas memberian bentuan teknis, administrasi dan keahlian kepada DPR. Hubungan Masyarakat DPR merupakan salah satu unit dari organisasi Sekretariat Jenderal DPR yang bertugas memberikan penerangan kepada masyarakat tentang mekanisme kerja DPR dan kegiatan DPR serta bertugas menerima dan mengatur penerimaan delegasi masyarakat.
DPR dalam melaksanakan tugas dan fungsinya tidak cukup hanya dengan legalitas yuridis formal tetapi membutuhkan dukungan masyarakat yang tercermin dalam penilaian masyarakat yang datang ke Gedung DPR terhadap citra DPR baik sebagai lembaga maupun orang per orang sebagai Anggota DPR. Oleh karena itulah diperlukan penelitian yang dapat menjawab faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi citra DPR di kalangan masyarakat yang datang ke DPR. Tujuan penelitian yang dilakukan adalah berusaha menjelaskan Hubungan dan pengaruh masing-masing faktor terhadap citra DPR.
Dasar dalam penelitian adalah teori yang yang mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi citra suatu company/organisasi antara lain Product, Communication, Service dan Support. Produk yang dihasilkan Dewan Perwakilan Rakyat pada dasarnya adalah pelaksanaan tugas DPR yang berupa : Undang Undang, APBN, hasil pengawasan dan sebagai tempat / wahana untuk menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat. Proses komunikasi yang dilakukan DPR mencakup kegiatan menginformasikan, menyebarluaskan dan mensosialisasikan kepada masyarakat. Pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Sekretariat Jenderal DPR, sedangkan Support menggambarkan dukungan masyarakat terhadap para wakilnya yang duduk di DPR.
Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa Citra DPR tidak dapat dikatakan baik karena aspek kogtitif yang diukur dengan pengetahuan masyarakat datang ke Gedung DPR tentang DPR masih sangat kurang dengan nilai rata-rata 3,3 untuk skala pengukuran 1 sampai dengan 7. Aspek. afektif yang diukur dengan tingkat kesukaan masyarakat terhadap DPR mempunyai nilai 4,3 sedangkan aspek behavior yang diukur dengan penerimaan masyarakat terhadap DPR mempunyai nilai 4,1.
Faktor pelaksanaan tugas-tugas DPR yang mempunyai hubungan kuat secara langsung dan signifikan terhadap citra DPR di kalangan masyarakat yang datang ke DPR RI. Pengaruh pelaksanaan tugas-tugas DPR terhadap citra DPR RI adalah sebesar 49,8 %. Faktor penyebarluasan atau sosialisasi DPR RI kepada masyarakat mempunyai hubungan cukup kuat secara langsung dan signifikan terhadap citra DPR. Pengaruh Sosialisasi DPR terhadap Citra DPR adalah sebesar 46,4 %. Faktor dukungan masyarakat kepada DPR mempunyai hubungan cukup kuat secara langsung dan signifikan terhadap citra DPR. Pengaruh Dukungan Masyarakat terhadap citra DPR adalah sebesar 30,9 %. Faktor pelayanan setjen DPR tidak mempunyai hubungan langsung yang signifikan terhadap citra DPR. Akan tetapi apabila pelayanan Setjen DPR dikorelasikan dengan dukungan yang diberikan masyarakat kepada DPR, maka korelasi menjadi signifikan. Sehingga pelayanan Setjen mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap citra DPR RI sebesar 7,2 %.
Secara keseluruhan pengaruh semua faktor Pelaksanaan Tugas DPR, Sosialisasi DPR, Pelayanan Setjen DPR dan Dukungan Masyarakat secara bersama-sama terhadap Citra DPR adalah sebesar 63,5 %. Dengan Dengan demikian, selain faktor Pelaksanaan Tugas, Sosialisasi, Pelayanan dan Dukungan masyarakat masih banyak faktor-faktor lain yang mempunyai pengaruh sebesar 36,5 % terhadap citra DPR di kalangan masyarakat yang datang ke DPR RI.
Penelitian ini memberikan bukti bahwa dalam menggunakan dasar suatu teori yang digunakan belum tentu semua faktor akan cocok di lapangan. Bukan berarti landasan teori yang digunakan tidak tepat, tetapi yang diperlukan adalah penggunaan berbagai macam analisa secara detail, sehingga diperoleh masukan baru yang akan memperkaya teori.
Berdasarkan hasil penelitian, Humas Setjen DPR diharapan dapat meningkatkan perannya dalam mensosialisasikan hasil-hasil dan kinerja DPR, sehingga pengetahuan masyarakat tentang DPR dapat meningkat dan akhirnya akan meningkatkan citra DPR di kalangan masyarakat yang datang ke DPR."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14295
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Catherine Natalia
"Pembicaraan mengenai keterwakilan perempuan kembali mengemuka menjelang Pemilu 2004, ketika Pasal 65 L]ndang-Undang Namor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mencantumkan ketentuan tentang keterwakilan perempuan untuk dicalonkan di lembaga legislatif sebagai berikut:
Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan, dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang kurangnya 30%.
Wacana ini menjadi berkembang mengingat posisi perempuan Indonesia dalam sektor politik dapat dikatakan masih marjinal. Salah satu indikator nyata dari masih terpinggirkannya hak-hak politik perempuan adalah rendahnya persentase perempuan yang menduduki kursi di lembaga perwakilan atau parlemen.
Sesuai dengan pengertian parlemen yang berarti suatu lembaga publik yang terdiri dari angota-anggota yang dipilih atau diangkat untuk mewakili kepentingan-kepentingan rakyat dari suatu negara, maka keterwakilan perempuan di parlemen, berarti adanya perempuan di lembaga perwakilan itu untuk mewakili kepentingan-kepentingan perempuan sebagai bagian dari rakyat suatu negara. Lembaga perwakilan yang akan dibahas dalam tesis ini dibatasi pada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), khususnya masa bakti 2004-2009 yang terpilih dari hasil Pemilihan Umum tahun 2004.
Dengan adanya ketentuan pembenian kuota 30% bagi capon anggota legislatif berdasarkan Pasal 65 ayat (1) tersebut, tercapai jumlah calon legislatif perempuan untuk DPR RI sebanyak 2.507 atau sekitar 32,2% dari total 7.756 calon legislatif, meskipun tidak semua partai politik dapat memenuhi jumlah calon legislatif perempuan sebanyak 30%. Akan tetapi, dari hasil Pemilihan Umum 5 April."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T14517
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>