Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 19 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aos Kuswandi
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai pelaksanaan fungsi legislatif dalam proses perumusan Peraturan Daerah Tentang APBD Tahun 2000 yang dilakukan oleh DPRD Kota Bekasi. Pertanyaan tesis adalah: Bagaimanakah DPRD Kota Bekasi melaksanakan fungsi legislatif dalam perumusan peraturan daerah tentang APBD tahun 2000? Variabel dalam penelitian ini adalah: variabel pengaruh, yaitu: faktor internal DPRD, afiliasi anggota DPRD, pola hubungan anggota DPRD dengan konstituen, dan pola hubungan DPRD dengan eksekutif; sedangkan variabel terpengaruh adalah pelaksanaan fungsi legislatif DPRD Kota Bekasi dalam perumusan peraturan daerah tentang APBD tahun 2000. Teori yang digunakan adalah teori perumusan kebijakan dan perwakilan politik. Sudut pandang studi ini, adalah: perspektif yang melibatkan proses perumusan peraturan daerah tentang APBD sebagai aktivitas politik yang dijelaskan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai rangkaian tahapan yang saling bergantung. Jenis penelitian ini bersifat kualitatif. Data dikumpulkan melalui wawancara dan studi kepustakaan. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi dari anggota DPRD Kota Bekasi, Aparat Pemerintah Kota Bekasi, LSM dan Akademisi di lingkungan Kota Bekasi. Informasi diperoleh dari informan melalui prosedur wawancara tidak berstruktur. Sedangkan studi kepustakaan dari sumber-sumber berupa buku-buku, surat kabar, maupun dokumen-dokumen tertulis lainnya. Kesimpulan yang diperoleh: Perumusan Peraturan Daerah tentang APBD Tahun 2000 di Kota Bekasi sebagai suatu tindakan politik ternyata didalamnya cenderung tidak terjadi proses komunikasi yang optimal antara DPRD, eksekutif dan masyarakat. Keadaan ini memposisikan DPRD sebagai mitra kerja (co-equal partner) eksekutif menjadi lemah. Tidak dimilikinya pengetahuan dan pengalaman yang cukup mengakibatkan terbatasnya kemampuan dan menimbulkan rasa tidak percaya diri anggota DPRD dalam merumuskan kebijakan. Pola hubungan DPRD dengan konstituennya lemah sementara komunikasi dengan eksekutif dilakukan secara formal. Keadaan tersebut mengakibatkan belum terlaksananya fungsi legislatif oleh DPRD Kota Bekasi secara optimal karena APBD yang ditetapkan cenderung lebih berorientasi kepada eksekutif dibandingkan dengan masyarakat.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T3577
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widarsono
Abstrak :
Perubahan UUD 1945 telah memberikan pada DPR kekuasaan legislasi yang lebih tegas dan bukan sekedar hak. Secara kelembagaan kekuasaan legislatif ada pada 2 (dua) lembaga yaitu Presiden dan DPR, sebelum perubahan UUD 1945 dinyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan DPR. Setelah Perubahan UUD 1945 dinyatakan bahwa DPR membentuk Undang-Undang. Selanjutnya ditentukan secara terbalik bahwa Presiden diberikan hak untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada DPR. Dengan demikian pemegang utama (primer) kekuasaan legislatif untuk membentuk undang-undang adalah DPR, sedangkan Presiden hanyalah pemegang kekuasaan sekunder. Disamping itu Pergeseran kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR, berarti telah mengubah dari prinsip pembagian kekuasaan (distribution of powers) kepada prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers) antara lembaga legislatif (DPR) dan eksekutif (Pemerintah). Dengan adanya Perubahan UUD 1945 dibidang legislasi atau pembuatan undang-undang, dari sisi mekanisme (proses) tidak ada perubahan yang berarti hanya dipersingkatnya tahapan pembicaraan dari 4 tahap menjadi 2 tahap. Persoalan yang lebih ditonjolkan adalah penekanan terhadap kekuasaan legislatif DPR sehingga lembaga tersebut dapat bekerja secara optimal, khususnya dalam bidang Usul Inisiatif guna pembentukan Undang-Undang. Dalam rangka mewujudkan optimalisasi kinerja DPR seperti yang diamanatkan konstitusi, kemudian memberdayakan lembaga Badan Legislasi DPR yang merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, disamping itu staf Ahli DPR yang merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, disamping itu staf Ahli DPR juga diperkuat. Persoalan selanjutnya yang dicermati adalah faktor pendukung dan penghambat pergeseran kekuasaan legislatif di DPR, ada beberapa faktor yang sebelumnya merupakan penghambat saat ini menjadi faktor pendukung, yaitu peraturan tata tertib DPR, dengan memberikan kelonggaran jumlah inisiator, jumlah fraksi dari usul inisiatif Rancangan Undang-Undang dan juga dipersingkatnya tahapan pembicaraan (UU No. 03ADPR-R /112001-2002). Hal ini tentu menjadi faktor pendukung, iklim politik juga mendukung untuk mendorong penggunaan usul inisiatif. Persoalan yang masih menjadi penghambat adalah masalah anggaran untuk pembentukan Rancangan Undang-Undang. Hal ini karena minimnya sehingga menghambat ruang gerak dan optimalisasi kinerja DPR dalam bidang legislasi. Idealnya agar kekuasaan legislatif DPR lebih bermakna maka perlu sarana pendukung dan anggaran yang memadai, sehingga DPR dapat melaksanakan semua fungsi yang dimilikinya. Apalagi setelah lembaga perwakilan menganut sistem bikameral (adanya DPR dan DPD) persoalan pembentukan Undang-Undang tentu menjadi lebih rumit.
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T9748
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salman Luthan
Abstrak :
Kebijakan legislatif tentang kriminalisasi dalam peraturan perundang-undangan meliputi tiga unsur, yaitu dasar pembenaran kriminalisasi, kepentingan hukum yang dilindungi dalam kriminalisasi, dan gradasi keseriusan tindak pidana. Untuk mengetahui fenomena ketiga unsur kriminalisasi tersebut diteliti 17 macam undang-undang, khususnya aspek tindak pidananya. Kepentingan hukum yang dilindungi dalam kriminalisasi adalah kepentingan pembangunan yang terdiri dari kepentingan pembangunan politik, ekonomi, kesejahteraan sosial dan SDM, lingkungan hidup, dan kepentingan pembangunan tata nilai sosial. Kepentingan hukum yang dilindungi tersebut lebih mencerminkan perlindungan kepentingan pemerintah daripada kepentingan masyarakat. Dasar pembenaran kriminalisasi memiliki lima pola dasar pembenaran, yaitu peranan dan arti penting suatu hal bagi kehidupan manusia dan penyalahgunaan hal itu dapat mendatangkan kerugian kepada masyarakat, bangsa dan negara, merugikan kepentingan masyarakat dan/atau negara, bertentangan dengan norma agama, moral atau kesusilaan, kepatutan dan budaya bangsa, bertentangan dengan ideologi negara Pancasila dan UUD 1945, dan bertentangan dengan kebijakan pemerintah dalam bidang ekonomi, politik, keamanan, dan sosial budaya. Dasar pembenaran kriminalisasi tersebut mencermin tiga pendekatan, yaitu pendekatan kebijakan, pendekatan nilai, dan pendekatan ilmu pengetahuan. Kebijakan legislatif menetapkan dua kriteria umum dan tujuh kriteria khusus gradasi keseriusan tindak pidana. Kedua kriteria umum tersebut adalah pembedaan tindak pidana dalam kejahatan dan pelanggaran dan perbedaan substantif perbuatan, sedangkan ketujuh kriteria khusus itu adalah pembedaan tindak pidana dalam kesengajaan dan kealpaan, perbedaan kualitas karya cipta, perbedaan kualitas zat bahan terlarang, perbedaan modus operandi pelaksanaan tindak pidana, perbedaan akibat hukum, perbedaan subjek hukum tindak pidana, dan perbedaan status kelembagaan. Kebijakan legislatif tentang kriminalisasi menunjukkan adanya tiga kelemahan, yaitu perbedaan gradasi keseriusan tindak pidana yang cukup tajam dalam satu rumpun delik, perumusan perbuatan yang berbeda kualitasnya dalam satu delik, dan perlindungan hukum yang berlebihan terhadap aparatur pemerintah.
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T3931
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marshall, Geoffrey
London: Oxford University Press, 1957
328.3 MAR p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sydney: Hale & Iremonger in association with the Australian Institute of Public Administration, 1982
328.94 PAR
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Rachmanda Primayuda
Abstrak :
ABSTRAK
DPR RI sebagai kekuasaan legislatif mengemban fungsi untuk menjamin kesejahteraan rakyat. Kondisi ini disusun dengan sistematis oleh anggaran yang memadai dan organ yang mendukungnya. Badan Urusan Rumah Tangga merupakan alat kelengkapan dewan yang bertanggung jawab menjamin fungsifungsi dewan tersebut berjalan dengan merencanakan dan mengontrol anggaran yang ditetapkan. Keduanya, diatur dalam arah kebijakan umum pengelolaan anggaran (AKUPA). BURT mengatur tentang pembentukan keputusan arah kebijakan umum pengelolaan anggaran dan memastikan pelaksanaannya berjalan sesuai dengan keputusan tersebut, sehingga apabila terjadi ketidaksesuaian perencanaan dan pelaksanaan perlu adanya instrumen yang menyelesaikan perbedaan tersebut guna tercapainya kemanfaatan dan kesejahteraan rakyat. Dengan perbedaan perencanaan dan implementasi tersebut, timbul permasalahan, 1. Bagaimanakah kedudukan dan fungsi Badan Urusan Rumah Tangga Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia di Indonesia, 2. Bagainakah implementasi pelaksanaan fungsi Badan Urusan Rumah Tangga Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Penulis dalam melakukan penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, yaitu dengan mengidentifikasi beberapa teori yakni teori organ dan fungsi, teori dikotomi, green light theory dan teori kemanfaatan hukum. BURT sebagai organ penting untuk melancarkan dan mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi dewan melalui keputusan AKUPA untuk diimplementasikan oleh alat kelengkapan dewan, koordinasi diantara alat kelengkapan dewan menjadi tolak ukur untuk mewujudkan fungsi DPR RI. Adanya inkonsistensi pelaksanaan tugas dan fungsi BURT menyebabkan tidak tercapainya tujuan utama DPR RI untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, penyimpangan terhadap implementasi arah kebijakan umum pengelolaan anggaran menjadi masalah karena fungsi DPR RI tidak berjalan maksimal, sehingga BURT perlu membuat pengaturan yang baku terhadap pembentukan arah kebijakan umum pengelolaan anggaran yang pada hakikatnya dibutuhkan oleh dewan dalam menjalankan fungsi-fungsinya tersebut. Dengan demikian, tidak terjadi inkonsistensi antara perencanaan dan implementasi AKUPA.
ABSTRACT
The Indonesian House of Representatives (DPR RI) as legislative power has a function to guarantee the welfare of the people. This condition is systematically arranged by adequate budget and the organ that supports it. The Household Affairs Council is a board tool that is responsible for ensuring that the council functions are running by planning and controlling the established budget. Both are regulated in the general budget management policy direction (AKUPA). BURT regulates the formation of decisions on the general policy direction financial arragement and ensures that its implementation proceeds accordingly, so that if there is a mismatch in planning and implementation there is a need for instruments to resolve the differences in order to achieve the benefits and welfare of the people. With the difference of planning and implementation, problems arise, 1. What is the position and function of the Committe for Internal Affairs of the Indonesia House of Representatives in Indonesia, 2. What is the implementation of the function of the Committe for Internal Affairs of the Indonesia House of Representatives. The author in conducting this research using normative juridical research methods, namely by identifying several theories namely organ theory and function, dichotomy theory, green light theory and theory of legal benefit. BURT as an important organ to smooth and support the implementation of the duties and functions of the council through the decision of AKUPA to be implemented by the board's equipments, the coordination between the board's fittings becomes the benchmark to realize the function of DPR RI. The existence of inconsistencies in the execution of duties and functions of BURT caused the absence of the main objectives of the House of Representatives to realize the welfare of the people, the deviation from the implementation of the general policy direction of budget management becomes a problem because the function of DPR RI is not running maximally, therefore BURT needs to make standard arrangements towards the establishment of general management policy a budget that is essentially required by the board in carrying out its functions. Thus, there is no inconsistency between the planning and implementation of AKUPA.
2017
T49030
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wynes, W. Anstey
Sidney: Law Book Company, 1970
342.94 WYN l
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Moscow: Progress Publishers, 1977
340.094 7 LEG
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Wynes, W. Anstey
Sydney: The Law Book Company Limited, 1976
342.94 WYN l
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Zurn, Christopher F.
Abstrak :
shows why a normative theory of the legitimacy of constutional review. he further argues that this function should be institutionalized in a complex, multilocation structure including not only independent contutional courts , but also legislative and executive self - review that will be enable interbranch consitutional dialogue and constitutional forums.
Cambrigde : Cambrigde University Press , 2009
347.73 ZUR d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>