Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 32 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Iqbal Amputra
Abstrak :
Badan usaha berbentuk perseroan terbatas ini banyak diminati oleh pengusaha di Indonesia karena mempunyai kemampuan untuk mengembangkan diri, mampu mengadakan kapitalisasi modal dan sebagai wahana yang potensial untuk memperoleh keuntungan baik bagi instansinya sendiri maupun bagi para pendukung (pemegang saham). Tetapi sejak krisis moneter yang terjadi di beberapa negara di Asia dan Indonesia pada pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan dampak terhadap badan usaha yang berbentuk Perseroan Terbatas adalah diakhirinya kelangsungan badan usaha tersebut dengan pembubaran dan dilanjutkan dengan proses likuidasi karena Perseroan Terbatas tidak dapat memberikan keuntungan lagi. PT. CIKARANG JASA ASTON Dalam Likuidasi dibubaran berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) karena tidak dapat menghasilkan keuntungan lagi. Pembubaran perseroan diikuti dengan likuidasi oleh likuidator yang ditunjuk dari Direksi perseroan tersebut yang melakukan tindakan pemberesan kekayaannya dengan memindahkan asetnya berupa tanah kepada pihak ketiga. Penelitian ini adalah penelitian Yuridis Normatif dan data yang digunakan adalah data primer yaitu mewawancarai pihak-pihak terkait dan data sekunder yaitu mempelajari bahan-bahan kepustakaan. Likuidator berwenang mewakili Perseroan Terbatas dalam likuidasi pada waktu pemindahan hak atas tanah aset perseroan tersebut dan akta jual belinya dibuat oleh PPAT lalu didaftarkan pemindahan haknya ke Kantor Badan Pertanahan Nasional.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T16292
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meiyane Halimatussyadiah
Abstrak :
Tidak (dapat dipungkiri bahwa perusahaan merupakan indikator kemajuan perekonomian suatu negara, sehingga diperlukan suatu tatanan hukum yang mengatur perusahaan (hukum perusahaan) termasuk di dalamnya ketentuan mengenai perlindungan hukum terhadap pemegang saham minoritas. Perlindungan hukum terhadap pemegang saham minoritas mutlak diperlukan karena hubungan intern perusahaan yang pada dasarnya adalah hubungan antar organ perusahaan akan mempengaruhi hubungan perusahaan dengan stakeholders lainnya. Adanya kecenderungan pemegang saham mayoritas memanfaatkan kedudukannya secara tidak bertanggung-jawab dapat terjadi melalui mekanisme dalam Rapat Umum Pemegang Saham yaitu dengan memanfaatkan asas one share one vote, misalnya melakukan dominasi melalui Direksi, dimana kebijakan Direksi berpihak kepada pemegang saham mayoritas yang dapat menyebabkan perusahaan hanya sebagai alter ego atau alat untuk kepentingan pemegang saham mayoritas yang tidak beritikad baik. Bentuk dominasi lain misalnya pemegang saham mayoritas adalah juga Direksi atau Komisaris perusahaan yang bilamana tidak dijalankan tanpa moral hazard akan memungkinkan terjadi piercing the corporate veil atau melakukan tindakan ultra vires yang melalui lembaga retifikasi akan disahkan sebagai suatu tindakan perusahaan yang boleh jadi akan merugikan pemegang saham minoritas, stakeholders lainnya atau perusahaan itu sendiri. Kesewenang-wenangan pemegang saham mayoritas dapat pula terjadi dalam likuidasi perusahaan dimana dasar pembubaran atau likuidasi tersebut tidak dilakukan secara transparan. Dalam kaitan ini pemegang saham minoritas perlu memahami kedudukan atau hak-haknya, termasuk penggunaan asas one share one vole yang berkaitan erat dengan asas majority rule sebagai salah satu pilar hukum perusahaan yang jika diberlakukan tanpa perlindungan yang memadai bagi pemegang saham minoritas dapat mengakibatkan kedudukan yang tidak seimbang. Dalam kaitan ini terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh pemegang saham minoritas untuk meneegah terjadinya kesewenang-wenangan oleh pemegang saham mayoritas, misalnya melalui pembuatan perjanjian antar pemegang saham, penerapan hak-hak pemegang saham minoritas, seperti personal right dan derivative right yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas antara lain Pasal 30 ayat 3, Pasal 54 ayat 2, Pasal 55 ayat I, Pasal 85 ayat 3, Pasal 98 ayat 2 dan juga penerapan dan berpedoman pada doktrin-doktrin hukum yang berkaitan dengan hukum perusahaan dan prinsip-prinsip Good Corporate Governance yaitu transparansi, akuntabilitasi, keadilan dan responsibilitas.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
T18905
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andri Wijaya K.
Abstrak :
Dengan adanya krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997 dimana diawali dengan terpuruknya nilai rupiah terhadap mata uang US Dollar yang cukup parah. Krisis moneter dan terpuruknya nilai rupiah tersebut berdampak langsung pada dunia usaha kita pada umumnya. Dimana para pengusaha kita yang berpredikat sebagai debitur mengalami kesulitan dan bahkan tidak mempunyai kemampuan dalam mengembalikan utang-utangnya, terutama utang-utang yang diperoleh dari kreditur luar negeri dan dalam mata uang US Dollar. Sehingga negara dan dunia usaha kita sangat membutuhkan suatu sistem pembayaran utang yang dikenal dengan proses kepailitan yang memberikan perlindungan dan kepastian hukum. Dengan diundangkannya Undang-Undang tentang Kepailitan No. 4 tahun 1998 (UUK) sepertinya banyak harapan yang diberikan kepada para pemberi pinjaman atau kreditur, akan tetapi ternyata UUK tersebut sangatlah tidak konsisten dan malah merusak sistem hukum jaminan yang telah dibangun sedemikian rupa agar supaya kreditur atau para investor mau memberikan atau menanamkan modalnya kembali. Ketidakkonsisten dan ketidaktaatan asas dari UUK dapat dilihat dari Pasal 56 ayat (1) dan Pasal 56A UUK. Dari pasal-pasal tersebut di atas jelas sekali terlihat bahwa UUK tidak that asas dan sangat meruntuhkan prisip maupun asas hukum jaminan khususnya jaminan kebendaan yang memang bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi kreditur dalam suatu hubungan utang-piutang dengan debiturnya. Perlu ditekankan disini adalah negara kita pada saat ini sangat membutuhkan modal atau akumulasi modal dari para investor atau kreditur, dimana hal irii hanya dapat dicapai dengan adanya suatu sistem hukum yang berwibawa, terintegrasi satu dengan lainnya serta jelas memberi kepastian dan perlindungan hukum yang cukup bagi investor atau kreditur tersebut.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
T18920
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yousfrita
Abstrak :
Pemilihan judul ini untuk memperoleh gambaran dari permasalahan-permasalahan yang mungkin timbul sehubungan dengan pembubaran perseroan dan likuidasi, yang dibatasi yaitu pembubaran perseroan dan likuidasi yang dilakukan atas inisiatif perseroan sendiri. Bahwa pembubaran perseroan dan likuidasi diatur dalam Undang Undang Nomor I tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas. Namun dalam prakteknya pada proses pembubaran perseroan dan likuidasi banyak terdapat permasalahanpermasalahan yang tidak tertampung dalam peraturanperaturan dimaksud di atas. Permasalahan-permasalahan dimaksud antara lain (i) tidak adanya kepastian kapan bubarnya badan perseroan, hal mana penting diatur karena pada kenyataannya masih terjadi tindakan (-tindakan) hokum pada proses pembubaran perseroan dan likuidasi,(ii) masalah likuidator, yaitu siapakah yang dapat menjadi likuidator, apakah perseroan terbatas dapat menjadi likuidator, bagaimana bila likuidator mengundurkan diri, (iii) bagaimana perlindungan hukum terhadap pihak ketiga yang mempunyai tagihan kepada perseroan, dan (iv) masalah pajak dan tagihan pajak. Permasalahan-permasalahan mana merupakan hal yang menarik dibahas dan dicari upaya-upaya penyelesaiannya. Karena dengan melihat apa yang diuraikan di atas, pembubaran perseroan dan likuidasi tidak hanya melibatkan perseroan dimaksud saja akan tetapi kreditur dan atau pihak ketiga amat berkepentingan. Diharapkan dengan penulisan tesis ini permasalahan-permasalahan tersebut dapat dicari upaya-upaya penyelesaiannya
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
T18972
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prihatin
Abstrak :
Pertengahan tahun 1997, di Indonesia terjadi krisis moneter di mana salah satu sektor yang paling parah terkena imbasnya adalah sektor perbankan. Untuk mengatasi krisis tersebut, salah satu kebijakan yang diambil oleh Pemerintah adalah mencabut izin usaha 16 bank swasta, yang selanjutnya disebut dengan Bank Dalam Likuidasi (BDL), kemudian ditindaklanjuti dengan upaya penyaluran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Prosedur yang ditempuh setelah pencabutan izin usaha bank adalah likuidasi bank. Pelaksanaan likuidasi bank dilakukan oleh Tim Likuidasi dengan masa kerja selama 5 tahun dan dapat diperpanjang 180 hari. Dikarenakan berbagai kendala, hingga berakhirnya masa kerja dari Tim Likuidasi, masih terdapat aset BDL yang belum dicairkan dan kewajiban kepada Pemerintah yang belum dilunasi. Dalam rangka meminimalkan kerugian negara, pemerintah dalam kedudukannya sebagai kreditur mayoritas mengambil alternatif penyelesaian likuidasi dengan menerima penyerahan sisa aset BDL dari pihak Tim Likuidasi. Sebagai tindak lanjut dari serah terima sisa aset BDL, mengingat hampir keseluruhan BDL nilai asetnya jauh lebih kecil dibandingkan kewajiban BLBI-nya, Pemerintah seyogyanya menempuh upaya-upaya lain yang efektif dan efisien guna memaksimalkan pengembalian BLBI yang telah dikeluarkan. Salah satu upaya yang bisa ditempuh adalah dengan meminta pertanggungjawaban dari organ BDL, khususnya pemegang saham BDL, yang sesuai doktrin piercing the corporate veil, pemegang saham, direksi dan komisaris dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi (perdata) maupun pidana, dalam hal terbukti turut serta menjadi penyebab kesulitan keuangan yang dihadapi oleh bank atau menjadi penyebab kegagalan bank untuk menjalankan kegiatan usahanya. Dalam hal ini terdapat dua jalur yang bisa ditempuh oleh Pemerintah, yaitu jalur perdata dan pidana. Selain permasalahan tersebut di atas, dalam penulisan tesis ini juga meneliti mengenai apakah dengan telah terbentuknya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), telah menjamin permasalahan yang terjadi pada BDL tidak akan terulang lagi.
In mid 1997 Indonesia was hit by a monetary crisis where one of the sectors worst affected was the banking sector. To overcome this crisis, one of the policies that was done by the government was to revoke the business license of 16 private banks, which is known as Bank Dalam Likuidasi (BDL) or Liquidated Banks, which was followed by the Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) or Liquidity Aim of Bank Indonesia policy. The procedure after revoking the business license is bank liquidation. Bank Liquidation is carried out by Liquidators with a working period of 5 years which can be extended for 180 days. Because of various constraints, hitherto the end of the Liquidators working period, there remains BDL assets that have not been able to be liquidated and liabilities to the government that have not been settled. In order to minimize state losses, the government acting as the major creditor took alternative liquidation settlement by receiving the rest of the remaining BDL assets from the Liquidators. To follow up the transfer of BDL?s remaining assets, considering almost all BDL?s asset value is by far smaller than it?s BLBI liability, the Government should use other efforts that are efficient and effective to obtain maximal returns from BLBI that has been given. One effort that can be undertaken is to ask for the responsibility from BDL organs, especially from owners of BDL, which is in accordance with "piercing the corporate veil" doctrin, owners, directors, and commissioners can be held personally (privately) and publicly responsible, if proven to be personally involved in causing financial difficulty that was faced by their banks or is the culprits of the banks to be default. In this case there are two alternatives that can be taken by the Government, that is privately and publicly. Moreover, this thesis examines whether if through Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) or Indonesia Deposit Insurance Corporation, has been able to guarantee that the problems caused like the BDL case will not occur in the future.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28055
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Susilo Jahja
Abstrak :
ABSTRAK
Pakto 1988 yang dikeluarkan oleh oleh pemerintah antara lain untuk mempermudah market entry telah membawa dampak meningkatnya jumlah bank dan kantor bank sehingga tingkat persaingan antar bank semakin ketat baik dalam menanrik dana dari masyarakat maupun menyalurkannya dalam bentuk kredit.

Namun karena dampak-dampak yang dirasakan negatif, maka pemerintah menindaklanjuti paket deregulasi tersebut dengan kebijakan uang ketat dan regulasi berupa Pakfeb 1991. Hal tersebut berakibat pada berbagai kesulitan yang dialami oleh dunia perbankan di Indonesia.

Menghadapi kondisi-kondisi diatas ternyata bank-bank swasta secara rata-rata lebih unggul dibanding bank pemerintah dalam kemampuan menarik dana ataupun menyalurkannya. Sedangkan dalam kondisi kebijakan uang ketat, kinerja bank-bank swasta secara rata-rata juga lebih baik dibanding bank-bank pemerintah.

Hal tersebut bisa dipahami mengingat bahwa bank pemerintah sebelum berlakunya UU Perbankan tidak bisa berlaku profit orient ed secara mutlak karena merupakan alat ekonomi dan moneter pemer intah, dimana peran dan fungsi mereka telah ditentukan sehingga ruang gerak mereka terbatas dan tidak fleksibel menghadapi peru bahan.

Keluarnya undang-undang Perbankan 1992 mengakibatkan peru bahan bentuk badan hukum bank-bank pemerintah menjadi persero menyebabkan mereka harus bisa beroperasi secara wajar dengan bank swasta lainnya tanpa mendaIpat fasilitas khusus.

Dalam karya akhir ini dikaji mengenai kinerja bank-bank pemerintah dibandingkan dengan bank umum swasta nasional, diukur dengan rasio?rasio likuiditas mapun profitabilitas, untuk menge tahui dimana kelebihan maupun kelemahan bank-bank pemerintah. Pembandingan dilakukan dengan menggunakan uji hipotesis. Kemudian BCG matrix digunakan untuk menganalisis posisi persaingan mas Ing-masing bank pemerintah. Sedangkan untuk menentukan strategi yang akan dipilih digunakan SWOT matrix.

Disimpulkan bahwa dalam persaingan dengan bank umum swasta nasional, posisi persaingan bank pemerintah semakin lemah dan tingkat pertumbuhannyapun lebih lambat. Hal ini merupakan indika si dari kelemahan bank pemerintah dalam menarik dana maupun menyalurkannya dalam bentuk kredit.

Maka perlu ditempuh strategi yang bersifat defensif, dimana bank pemerintah harus lebih memperhatikan tingkat kesehatannya ketimbang ekspansi kredit. Penumbuhan iklim profesionalisme dalam pengelolaan bank pemerintah harus dilakukan agar keputusan-kepu tusan yang diambil senantiasa didasarkan atas pertimbangan yang obyektif dan rasional kemudian disarankan pula perlunya pening katan kualitas sumber daya manusia di bank-bank pemerintah untuk menghadapi iklim persaingan yang makin ketat.
1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oktafian Kuswientoro
Abstrak :
ABSTRAK

Pengelolaan likuiditas bagi perbankan adalah menggambarkan kemampuan suatu bank dalam memenuhi semua kewajiban jangka pendeknya. Seperti telah diketahui dalam sejarah perkembangan perbankan, maka tidak pernah terjadi bank menjadi bangkrut karena masalah rentabilitas atau solvabilitas akan tetapi bank akan bangkrut karena masalah likuiditas. Sudah menjadi ukuran yang disepakati umum bahwa likuiditas sebagai tolak ukur pertama untuk menetapkan suatu kepercayaan kepada bank.

Apabila bank tidak dapat menjamin hal tersebut maka hampir dapat dipastikan bank tersebut akan menghadapi kehancuran.

Masalah yang akan diteliti adalah :

  1. Resiko yang mungkin terjadi terhadap posisi likuiditas.
  2. Jenis metode yang akan dipakai untuk mengukur dan melacak posisi likuiditas.
  3. Pengaruh dan berbagai jenis tindakan / keputusan terhadap posisi likuiditas suatu bank saat sekarang maupun dimasa mendatang.
  4. Teknik dan metode manajemen likuiditas untuk meminimalkan resiko likuiditas.

1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chairinaya Nizliandry
Abstrak :
Pembubaran badan usaha berbentuk Perseroan Terbatas (PT) diatur dalam Bab X Undang-Undang Perseroan Terbatas. Pembubaran PT wajib diikuti dengan proses likuidasi oleh Likuidator. Likuidator secara umum memiliki tugas untuk melakukan pemberesan harta kekayaan PT, namun di dalam undang-undang tidak diatur secara rinci mengenai batasan wewenang Likuidator terkait hal tersebut. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para krediturnya seperti yang terjadi pada pembubaran PT A, dimana di dalam proses likuidasinya kreditur diberikan opsi novasi piutangnya kepada perusahaan induk PT A yang juga merupakan debitur PT A. Penelitian ini akan menganalisis mengenai wewenang, kewajiban, dan tanggung jawab Likuidator yang berasal dari luar PT serta implikasi dari penandatanganan perjanjian novasi oleh Likuidator bagi krediturnya. Untuk menjawab permasalahan pada penelitian ini digunakan metode yuridis normatif yang dilengkapi dengan wawancara dengan narasumber terkait. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa perbuatan pemberesan dalam proses likuidasi haruslah dipandang secara luas meliputi penyelesaian utang piutang. Oleh karena itu, wewenang dan kewajiban Likuidator menjadi lebih luas dari yang diberikan oleh undang-undang, termasuk di dalamnya wewenang untuk menandatangani perjanjian novasi dengan kreditur dan debiturnya. Adapun saran yang diberikan dari penelitian ini yaitu membuat pengaturan secara rinci dan terang mengenai batasan tugas dan wewenang Likuidator dalam undang-undang serta pentingnya peran aktif RUPS dalam mengatur mengenai batasan tersebut. ......Dissolution of a business entity in the form of a Limited Liability Company (LLC) is regulated in Chapter X of the Company Law. The dissolution of the LLC must be followed by a liquidation process by the Liquidator. Liquidator generally has the duty to settle the assets of a LLC, but the law does not regulate in detail the limits of the Liquidator's authority in this regard. This situation can cause legal uncertainty for its creditors as happened at PT A’s dissolution, in which at their liquidation process the creditors are given the option of novation of their receivables to PT A’s parent company which is also the debtor of PT A. This study will analyze the authorities, obligations, and responsibilities of Liquidators from outside the LLC and the implications of the signing of novation agreement by the Liquidator for creditors. To answer the problems in this study, normative legal research was used and complemented by interviews with relevant informants. The results of this study indicate the settlement in the liquidation process must be viewed comprehensively, including the settlement of accounts payable. Therefore, the authorities and obligations of the Liquidator are broader than those provided by law, including the authority to sign novation agreements with their creditors and debtors. Suggestions given from this study are to make detailed and clear arrangements regarding the limits of the Liquidator's duties and authorities in the law and the importance of the active role of the GMS in regulating these limits.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Adelya Serawai
Abstrak :
Kemajuan teknologi tidak dapat dipungkiri sangat pesat dalam kehidupan manusia saat ini semenjak kehadiran internet dalam telepon genggam turut menghadirkan berbagi fitur baru salah satunya aplikasi-aplikasi finansial seperti Bank Digital. Banyak Bank Digital memberikan bunga deposito hingga 10% yang dimana besaran bunga tersebut lebih tinggi dari tingkat bunga penjaminan (TBP) yang dijamin Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), yakni 4,25%. Hal tersebut akan menjadi masalah apabila terjadi likuidasi pada bank-bank digital tersebut karena dana nasabah yang akan diganti harus termasuk dalam syarat 3T yang salah satunya bunga deposito tidak lebih tinggi dari tingkat bunga penjaminan oleh LPS. penelitian ini dilakukan berdasarkan 2 (dua) rumusan masalah antara lain Regulasi Likuidasi Bank Umum di Indonesia dan Pelindungan Nasabah Bank Digital Dalam Hal Terjadi Likuidasi. Penelitian ini berbentuk normatif dengan menggunakan tipologi deskriptif analitis Proses likuidasi bank umum di Indonesia telah melewati banyak perubahan dan penyesuaian sejak era BPPN hingga era LPS. Pada tahun 2023 terdapat perubahan urutan hirarki pembayaran kewajiban terhadap kreditur yang ada pada UUP2SK urutan daripada pembayaran kreditur tersebut berdampak pada pembayaran simpanan dari nasabah penyimpan yang tidak dibayarkan penjaminannya dan simpanan dari nasabah penyimpan yang tidak dijamin sedangkan untuk melakukan klaim terhadap dana nasabah bank apabila terjadi likuidasi, nasabah tersebut harus termasuk pada kriteria 3T yang salah satunya adalah tingkat bunga yang diterima nasabah tidak lebih dari tingkat bunga yang dijamin pada LPS. Sehingga dana nasabah bank digital merupakan dana yang tidak dijamin oleh LPS, maka penggantian daripada dana tersebut termasuk pada Pasal 7 ayat 35 UUP2SK urutan ketujuh dan sangat berpotensi untuk tidak mendapatkan penggantian apabila terjadi likuidasi. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan regulasi yang ada terkait pelindungan nasabah bank digital tidak mencerminkan kepastian hukum, memberikan pelindungan hukum sehingga tidak adanya tanggung jawab hukum terhadap nasabah bank digital. ......The advancement of technology is undeniably very rapid in human life today since the presence of the internet on mobile phones also presents various new features, one of which is financial applications such as Digital Banks. Many Digital Banks provide deposit interest rates of up to 10%, which is higher than the guaranteed interest rate (TBP) guaranteed by the Deposit Insurance Corporation (LPS), which is 4.25%. This will be a problem in the event of liquidation of these digital banks because customer funds to be replaced must be included in the 3T conditions, one of which is deposit interest not higher than the guaranteed interest rate by LPS. This research is conducted based on 2 (two) problem formulations, including Regulation of Commercial Bank Liquidation in Indonesia and Protection of Digital Bank Customers in the Event of Liquidation. This research is normative in form using descriptive analytical typology The process of liquidation of commercial banks in Indonesia has gone through many changes and adjustments since the BPPN era to the LPS era. In 2023 there is a change in the hierarchical order of payment of obligations to creditors in the UUP2SK the order of payment of creditors has an impact on the payment of deposits from depositors whose guarantees are not paid and deposits from depositors who are not guaranteed while to make claims against bank customer funds in the event of liquidation, the customer must be included in the 3T criteria, one of which is the interest rate received by the customer is not more than the guaranteed interest rate at LPS. So that digital bank customer funds are funds that are not guaranteed by LPS, then the replacement of these funds is included in Article 7 paragraph 35 of the seventh order UUP2SK and has the potential not to be reimbursed in the event of liquidation. Based on this, it can be concluded that the existing regulations related to the protection of digital bank customers do not reflect legal certainty, provide legal protection so that there is no legal responsibility for digital bank customers.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anita Patresya
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai tinjauan yuridis perubahan bentuk Badan Usaha Milik Negara Persero yaitu PT Asuransi Kesehatan menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan tanpa dilakukannya proses likuidasi. Diawali dengan pembahasan proses pembubaran Badan Usaha Milik Negara Persero yang tunduk pada ketentuan dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yaitu diwajibkan adanya likuidasi kemudian dibahas mengenai proses pembubaran PT Askes (Persero) yang merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara Persero yang dilaksanakan tanpa adanya proses likuidasi. Pada skripsi ini menitikberatkan pada perlindungan bagi kreditur PT Asuransi Kesehatan apabila dibubarkan tanpa likuidasi dan bertransformasi menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan. Hasil penelitian ini menyarankan untuk memberikan mekanisme yang jelas mengenai perlindungan bagi kreditur PT Asuransi Kesehatan yang dibubarkan tanpa proses likuidasi dan berubah bentuk menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan
ABSTRACT
This mini thesis discusses regarding juridical review on the alteration of PT Asuransi Kesehatan to Health Social Warranty Convener Body without the liquidation process. The discussion starts from the dissolution process of Company State Owned Entity which shall be comply with the provision on Law No.40 year 2007 on Limited Liability Company, which regulates the liquidation process and continues with the dissolution process of PT Asuransi Kesehatan which is one of Company State Owned Entity that conducted without liquidation process. This mini thesis focuses on the protection to the creditor of PT Asuransi Kesehatan if the company will be dissolute without the liquidation process and transformed to Health Social Warranty Convener Body. The results suggests that the clear mechanism regarding the protection to the creditor of PT Asuransi Kesehatan which dissolute without the liquidation process and transformed to Health Social Warranty Convener Body.
2013
S47193
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>