Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 246 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Maria Ismiati
"Penelitian dilakukan pada tenaga kerja yang terpajan debu hasil pembakaran sampah di bagian boiler pabrik sepatu olah raga. Pajanan debu dapat menimbulkan gejala pengawasan berupa batuk kronik, dahak kronik, sesak nafas, serta gejala bronkitis kronik yang dapat memberikan gambaran penurunan fungsi paru obstruksi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mencegah terjadinya gangguan fungsi paru pada tenaga kerja di bagian boiler, dengan cara meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku dalam menggunakan alat pelindung diri (APD) saluran nafas.
Disain penelitian menggunakan cara studi operasional yang dilakukan terhadap seluruh populasi tenaga kerja di bagian boiler (12 orang), selama 1 bulan. Cara pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner, pemeriksaan fisik, pemeriksaan fungsi ventilasi paru, serta pemeriksaan foto toraks. Selanjutnya dilakukan intervensi berupa penyuluhan serta monitoring dan pengawasan penggunaan APD saluran nafas.
Hasil dari penelitian ini didapatkan keluhan batuk kronik 25 %, dahak kronik 33,3 %, sesak nafas 16,7 %, bronkitis kronik 25 %, serta gangguan fungsi paru obstruksi 25 %. Secara statistik tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok umur, lama kerja, perilaku merokok dan perilaku menggunakan APD saluran naf as terhadap terjadinya bronkitis kronik maupun obstruksi (p>0,05). Risiko terjadi obstruksi 2,5 kali lebih besar pada tenaga kerja yang telah bekerja lebih dari. 5 tahun (OR=2,5).
Risiko terjadi obstruksi 1,6 kali lebih besar pada tenaga kerja yang tidak menggunakan APD saluran nafas (OR=1,6). Intervensi yang dilakukan menunjukkan keberhasilan yang sangat bermakna yaitu terdapat peningkatan pengetahuan tentang APD saluran nafas sebesar 58,4 % (0,001"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakhrur Razi
"Ruang lingkup dan cara penelitian:
Sejak awal tahun 1800-an mulai diketahui hubungan antara pajanan debu batubara dengan risiko terkena penyakit paru pada pekerja tambang. Penyakit paru yang timbul akibat pajanan debu batubara dalam jangka waktu lama antara lain pneumokoniosis penambang batubara (PPB), bronkitis kronis dan asma kerja. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara gangguan paru dan pajanan debu batubara pada pekerja tambang bagian penggalian Bucket Wheel Escavator (BWE) System di PT "X". Disain penelitian historical cohort digunakan untuk mengetahui insidens pneumokoniosis. Untuk mengetahui hubungan antara faktor-faktor pada pekerja, lingkungan kerja dan debu batubara dengan terjadinya gangguan faal paru digunakan metode cross sectional. Populasi penelitian adalah 170 pekerja di bagian penggalian BWE system. Pengambilan sampel dilakukan secara total population, dan diperoleh jumlah sampei yang memenuhi kriteria inklusi 166 orang.
Hasil dan kesimpulan:
Insidens pneumokoniosis pada pekerja tambang bagian penggalian BWE system di PT "X" sejak tahun 1992 sampai 2002 adalah 6 orang (3,6%) dari 166 pekerja. Prevalensi bronkitis kronik pada tahun 2003 adalah 7,23%, sedangkan prevalensi kelainan faal paru obstruksi dan restriksi adalah C.% dan 7,8%. Karakteristik sosiodemografi pekerja tidak berhubungan dengan terjadinya gangguan kesehatan paru. Insidens pneumokoniosis berhubungan dengan area kerja terbuka/tertutup dan masa kerja. Kebiasaan merokok berlubungan dengan terjadinya batuk kronik dan sesak napas.

Scope and method:
Exposure to coal dust has long been associated with the risk of respiratory/lung diseases. Chronic exposure has been reported to lead to higher incidence/prevalence of pneumoconiosis, chronic bronchitis and asthma. This study was done to investigate the effect or exposure to coal dust on lung of mining workers in BWE system department of PT "X". A historical cohort study was done to get data on incidence of pneumoconiosis. To learn about the association of work environment, coal dust exposure and other factors, a cross sectional design was used. The sample for this study used total population who met the inclusion criteria . A total sample 166 people were studied.
Result and conclusion:
The incidence rate of pneumoconiosis in this study is 6 workers (3,6%) from 166 workers. The prevalence of chronic bronchitis in 2003 was 7,23%, while the prevalence of respiratory function impairment, obstruction and restriction, was 6,0% and 7,8%. This study indicated that there was no relationship between sociodemographic characteristics and the lung/respiratory diseases. There were significant association of pneumoconiosis with opened/closed area and the period of work. This study also found a relationship between smoking habits and the prevalence of chronic cough and breathlessness.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T13646
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tjahjadi Saputra
"ABSTRAK
Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: Kapasitas vital adalah salah satu indeks fungsi paru dan menggambarkan kesanggupan badan. Pemeriksaannya sering dilakukan pada calon Angkatan Bersenjata, calon atlet dan tenaga kerja. Pengukuran kapasitas vital dengan spirometer terbatas pada kota besar atau pusat pendidikan dokter dan mungkin memerlukan waktu yang cukup lama untuk sampai ke puskesmas terpencil.
Pada pemeriksaan kapasitas vital terjadi pengembangan dada dan menurut kepustakaan terdapat korelasi antara kapasitas vital dengan pengembangan dada. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun suatu rumus perkiraan kapasitas vital berdasarkan pengembangan dada. Pengukuran kapasitas vital, beserta faktor yang mempengaruhinya (umur, tinggi dan berat badan, pengembangan dada), dilakukan pada 397 pria dewasa sehat, berusia 18 - 65 tahun. Korelasi antara kapasitas vital dengan faktor-faktor tersebut ditentukan, dan dibuat persamaan regresinya.
Hasil dan Kesimpulan: Subyek penelitian menunjukkan tinggi badan 150,7 - 190,3 cm; berat badan 40,6 - 90,7 kg, pengembangan dada 3,0 - 10,4 cm (X = 5,97 cm; SD = 1,25 cm) dan kapasitas vital 2,44 - 5,47 L (X = 3,62; SD = 0,56). Koefisien korelasi antara kapasitas vital dan pengembangan dada adalah 0,902 (p <0,001) dan persamaan regresi yang dibentuk adalah KV (L) = 1,131 + 0,392 PD (cm). Kapasitas vital hasil perhitungan rumus tersebut, dibandingkan dengan kapasitas vital basil pengukuran spirometer, menunjukkan selisih sebesar 0,43% (SD = 7,13%; p >0,1).
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kapasitas vital mempunyai korelasi cukup tinggi dengan pengembangan dada, dan kapasitas vital dugaan berdasarkan persamaan regresi tersebut cukup dapat dipercaya.

ABSTRACT
Scope and Method of Study: Vital capacity is one of the pulmonary function indices and one of the criteria of body fitness. Vital capacity of the prospective armies, athletes and workers is often assessed, from whom good results are expected. The Spiro meter needed for its measurement is available only in the big cities and teaching medical centers, and it will probably take a long time for it to be available in isolated public health centers.
The chest expands during the measurement of vital capacity, and according to the literature there is a correlation between vital capacity and the chest expansion. This study was carried out to obtain a regression formula for the prediction of vital capacity based on the chest expansion. Measurement of vital capacity, and the factors that influence it (age, body height and weight, chest expansion) were obtained from 397 healthy adult males, 18 - 65 years of age. The coefficient of correlation between vital capacity and the factors that influence it was calculated, and the regression formulas were formed.
Findings and Conclusions: The subjects have a height of 150.7 - 190.3 cm, weight 40.6 - 90.7 kg, chest expansion 3.0 - 10.4 cm {X = 5.97 cm, SD = 1.25 cm) and vital capacity 2.44 - 5.47 liter (X = 3.62 L, SD = 0.56). The coefficient of correlation between vital capacity and chest expansion is 0.902 (p <0.001), and the regression formula is FVC (L) = 1.131 + 0.392 TE (cm) (FVC = forced vital capacity, TE = thoracic expansion). The predicted vital capacity, compared to that measured with the Spiro meter, showed a difference of 0.43% (SD = 7.13%, p >0.1).
The conclusions drawn are that the vital capacity has a high correlation with the chest expansion, and the predicted vital capacity based on the regression formula is quite reliable.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1985
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arierta Pujitresnani
"[ABSTRAK
Rontgen dada atau Chest X-Ray (CXR) merupakan salah satu aplikasi pencitraan medis yang paling sering digunakan dalam pendeteksian kelainan khususnya tumor pada paru – paru. Untuk menentukan diagnosis kelainan tersebut, seorang dokter masih mengandalkan pengamatan visual dalam pembacaan hasil citra CXR sehingga penilaian bersifat subyektif tergantung pada masing – masing dokter. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan perancangan sistem pengolahan citra sebagai alat bantu identifikasi kelainan paru – paru. Kategori citra CXR yang digunakan adalah citra pada keadaan normal, tumor, dan kelainan bukan tumor. Tahapan pengolahan yang dilakukan berupa pre-processing menggunakan median filtering dan ekualisasi histogram serta proses segmentasi menggunakan otsu’s thresholding dan active contour : snake. Uji hasil pengolahan citra dengan hasil diagnosis dokter menggunakan jaringan syaraf tiruan backpropagation menghasilkan akurasi sebesar 92,85 %.

ABSTRACT
Chest X-Ray (CXR) is a medical imaging applications that most commonly used for detects of abnormalities, especially tumors of the lung. To determine the abnormality diagnosis, doctors still rely on visual observations to read a CXR image, so that the assessments are subjective depending on each doctor. This study purposes to design an image processing system as a tool for identification of lung’s abnormalities. It used three classification of CXR image, which are lungs image in normal circumstances, tumors, and abnormalities besides tumor. Stages of image processing are done in the form of pre-processing using a median filtering and histogram equalization and also the process of segmentation using Otsu's thresholding and active contour: snake. Test the image processing results with the results of the doctor's diagnosis using artificial neural network backpropagation produces an accuracy of 92,85 %., Chest X-Ray (CXR) is a medical imaging applications that most commonly used for detects of abnormalities, especially tumors of the lung. To determine the abnormality diagnosis, doctors still rely on visual observations to read a CXR image, so that the assessments are subjective depending on each doctor. This study purposes to design an image processing system as a tool for identification of lung’s abnormalities. It used three classification of CXR image, which are lungs image in normal circumstances, tumors, and abnormalities besides tumor. Stages of image processing are done in the form of pre-processing using a median filtering and histogram equalization and also the process of segmentation using Otsu's thresholding and active contour: snake. Test the image processing results with the results of the doctor's diagnosis using artificial neural network backpropagation produces an accuracy of 92,85 %.]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pricella Maulana
"Ruang Lingkup dan Metodologi: Pajanan debu organik merupakan salah satu faktor risiko yang terdapat pada pabrik pembuatan bumbu mi instant PT X. Dampak yang mungkin ditimbulkan oleh pajanan debu organik adalah terjadinya gangguan kesehatan paru pada pekerjanya.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui apakah debu mempengaruhi terjadinya gangguan kesehatan paru pada pekerja atau hal lainnya baik yang terdapat pada pekerja seperti karakteristik sosiodemografi, status gizi, kebiasaan merokok, penggunaan APD atau faktor lingkungan yaitu area kerja. Penelitian ini dilakukan dengan 2 disain yaitu disain studi kohort dengan 949 responden untuk mengetahui insidens dan mengikuti perjalanan gangguan kesehatan paru pada pekerja dengan menggunakan data hasil pemeriksaan berkala sejak tahun 1995. Dan disain studi krossektional dengan 647 responden untuk mengetahui faktor apa saja yang dapat menimbulkan terjadinya gangguan kesehatan paru pekerja dengan menggunakan data pemeriksaan berkala tahun 2001 dan kuesioner. Disamping itu juga dilakukan pengukuran kadar debu di area kerja yang terpajan dan tidak terpajan.
Hasil dan kesimpulan: Hasil pengolahan data studi kohort retrospektif dengan uji statistik menunjukkan adanya kenaikkan insidens dari 0,33 pada tahun 1999 menjadi 0,54 pada tahun 2001 dan kenaikan relative risk pekerja yang bekerja di area kerja terpajan yang mengalami restriksi dari 1,186 pada tahun 1999 menjadi 1,611 pada tahun 2001. Sedangkan data studi krossektional dengan uji statistik menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara pajanan debu organik dengan terjadinya gangguan kesehatan paru pekerja berupa berdahak kronik OR 1,463 ; p 0,0045 ; CI 95% 1,008 - 2,124 dan batuk kronik OR 1,744 ; p 0,002 ; CI 95% 1,222 - 2,47.

Organic dust exposure is one of the presented risk factor at PT X's instant noodle ingredient factory. Influence that could be raised by organic dust exposure is disorder of labor'lung.
The research purpose is to recognize whether dust influence the affection of labor' lung disorder or other factors related to the labor himself such as the characteristic of social demography, nutrition condition, smoking habit, usage of safety equipment, or environmental factor at working place. This research is conducted with Cohort Study with 949 samples, design in order to recognize incident and to trace the disorder historical of labor lung by using periodical medical check-up report since 1995. Cross Sectional Study Design with 647 samples is also performed in order to recognize entire factor that could cause disorder of labor lung by using medical check-up report in 2001 as well as questioner. Furthermore, calculation of dust level was performed at exposure working place and non-exposure working place.
Result and Conclusion: Data compilation result of Retrospective Cohort Study, checked by statistics test, shows that there is increasing of incident starting form 0.33 in 1999 to become 0,54 in 2001 and increasing of relative risk toward labor working at exposure working place whose suffer from restriction" starting from 1,186 in 1999 to become 1,611 in 2001. Whereas, Cross-sectional Study data, checked by statistics test, shows that there is a significant relation between organic dust exposure and disorder of labor lung healthiness in form of chronic phlegm OR 1,463 ; p 0,0045 ; CI 95% 1,008 - 2,124 and chronic cough OR 1,744 ; p 0,002 ; CI 95% 1,222 - 2,477.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T10728
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ulinta Bangun
"Salah satu dampak negatif perkembangan pembangunan khususnya industri adalah pencemaran lingkungan kerja. Debu adalah salah satu pajanan akibat proses industrialisasi yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan khususnya paru dan akan dapat mengakibatkan turunnya kualitas dan produktivitas kerja . Perusahaan P.T. A di Bandung Jawa Barat adalah salah satu usaha penambangan batuan untuk konstruksi bangunan yang diketahui mempunyai tingkat pajanan debu yang tinggi dan berpotensi menimbulkan gangguan paru.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi kesehatan paru pekerja perusahaan tersebut dengan menilai gambaran radiologi X ray paru berdasarkan klasifikasi standar internasional ILO.
Penelitian ini bersifat analitik deskriptif dengan pendekatan cross sectional yang dilakukan pada 51 pekerja yang bekerja di dua unit bagian penambangan dan tiga unit bagian penggilingan.
Dari hasil penelitian, diketahui kadar debu lingkungan kerja kerja ke lima unit tersebut berkisar antara 2.09347 mg/m3 - 22.4887 mg/m3. Sedangkan Batas yang ditetapkan adalah 10 mg/m3, Prevalensi rate Pneumokoniosis adalah 9.8 % atau 5 orang dari 51 pekerja. Masa-kerja z 10 tahun berhubungan dengan timbulnya Pneumokoniosis di mana kemungkinannya 12 kali dibandingkan dengan masa kerja < 10 tahun. Demikian juga riwayat pekerjaan, bila pernah bekerja pada usaha sejenis berkemungkinan 22 kali untuk timbulnya Pneumokoniosis dibandingkan dengan riwayat tidak pernah bekerja pada usaha sejenis. Bagian penambangan dan bagian penggilingan mempunyai risiko yang sama untuk timbulnya Pneumokoniosis. Dari 51 pekerja , 95.1 % diketahui memakai APD yang buruk. Tidak didapat hubungan pemakaian APD, jenis kelamin dengan Pneumokoniosis. Usia pekerja, jarak tempat tinggal ke perusahaan juga tidak ada hubungan walaupun dapat dijadikan sebagai kandidat model.
Dapat disimpulkan bahwa masa kerja dan pernah bekerja pada usaha sejenis mempunyai hubungan untuk timbulnya Pneumokoniosis.
Dengan melihat hasil penelitian tersebut disarankan, adanya pemeriksaan khusus paru pra kerja dan berkala maupun khusus melalui pemeriksaan X ray paru ataupun Spirometer. Demikian juga pemeriksaan jenis batu/debu untuk mengetahui kadar silika bebas. Sebagai saran tambahan agar dilakukan rotasi pekerja untuk menghindarkan pajanan yang tinggi dan lama.
Daftar bacaan = 40 ( 1979 - 1997)

Epidemiological Analysis of Pneumoconiosis Based on Chest X-Ray Radiograph Standard Classification of International Labour Organization (ILO) Among Workers of Stone Mine in `A' Corporated in Bandung West JavaOne of negative impact of industrial development is pollution in occupational environment. Dust is one of exposures as an industrialization process which can cause health disorder especially lung and also decrease work quality and productivity. "A" Corporated, located in Bandung West Java is one of business in stone mine for building construction known high level of dust exposure and potential to cause lung disorder.
The objective of this research is to find the condition of lung health of company workers by examine radiology description of Chest X ray based on standard ILO classification.
Research methodology is descriptive analytic conducted by cross sectional approach which is carried out among 51 workers in two mining unit in section and three unit mill section.
Result found that, dust concentration in occupational environment in five unit section range between 2.09347 mglm3 - 22.4887 mg/m3. Where as limit value determined is 10 mglm3. Pneumoconiosis prevalency rate is 9.8 % or 5 (five) of 51 workers.The length of work ? 10 years has relationship with Pneumoconiosis where ats possibility is 12 times compared to length of work < 10 years. Also the history of work, if the workers have worked in same business, the possibility to get Pneumoconiosis is 22 times compared to the workers with to history that they never worked in the same business. Both mining and mill unit section have same risk of Pneumoconiosis. Result found that from 51 workers, 95.1 % of them wear poor APD. There is no relationship between APD usage, sex and Pneumoconiosis. And there is no relationship between workers age, distance from residence to the company and Pneumoconiosis , ever though they are possible to be a model candidate.
Resift concluded that the variable of length of work and had worked in the same business have relationship with Pneumoconiosis.
Based on this condition, we may able to suggested company should be lung examine before work and periodically by using X ray or Spirometer. The kind of stone and dust also should be examine to find out the content of free silicate and also rotation of workers should be conducted periodically.
References : 40 (1979 - 1997)
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1998
T 1086
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Santoso
"Industri batik sudah berkembang lama di Indonesia dan merupakan salah satu lapangan kerja bagi sejumlah tenaga kerja di kota maupun di desa. Pada dasarnya perindustrian mengakibatkan dua dampak, yaitu dampak positif yang berupa timbulnya mata pencaharian dan lapangan kerja serta pengembangan wilayah, dampak negatif berupa pencemaran lingkungan kerja yang dapat menimbulkan penyakit akibat kerja.
Industri batik adalah salah satu industri yang sudah berkembang lama di Surakarta dan di Pekalongan bahkan menjadikan Kota Surakarta dan Pekalongan terkenal dengan Kota Batik. Industri ini mempunyai kaitan dengan kebudayaan Jawa. Oleh karena itu keberadaan industri batik harus tetap dilestarikan, bahkan perlu dilakukan upaya peningkatan.
Tenaga kerja di industri batik adalah tenaga kerja khusus, harus mempunyai keterampilan tersendiri. Tidak semua orang mau bekerja sebagai tukang cap di industri batik. Meskipun gaji (upah) yang diterima rendah, pekerja di industri batik tetap menekuni pekerjaannya. Perpindahan pekerjaan (turn work over) di industri batik sangat rendah. Mengingat anqka perpindahan pekerjaan yang rendah, perlu dilakukan upaya peningkatan keterampilan kepada tenaga kerja, disamping upaya perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja.
Industri batik menggunakan beberapa bahan yaitu parafin, gondorukem (colophony, rosin), damar, microwax dan lemak hewan. Bahan-bahan tersebut diproses menjadi satu disebut "malam batik". Untuk membuat motif batik pada kain, malam batik dipanaskan sehingga keluar asap malam batik yang mengandung polutan dan menimbulkan pencemaran lingkungan kerja. Polutan tersebut terdiri dari gas-gas dan partikel. Satu hasil analisa kualitatif menun-jukkan bahwa asap malam batik mengandung NO,, CO, CO,, CH,, C,H,, H,S (Budiono, 1984; Santoso, 1986).
Polutan yang terdapat di lingkungan kerja jika dihirup tenaga kerja diduga dapat menimbulkan gangguan faal paru dan jika proses ini berjalan lama mungkin menimbulkan penyakit akibat kerja (Morgan & Seaton, 1975; Lams, Chan-Yeung 1987). Polutan ini diperkirakan menimbulkan kerusakan akut atau kronis pada saluran pernapasan dan jaringan paru, kerusakan ini tergantung pada konsentrasi polutan, lama terpapar dan kerentanan tubuh (Purdom, 1980; Smith, 1988).
Pemeriksaan lingkungan kerja dan kesehatan tenaga kerja merupakan upaya penting dalam menciptakan lingkungan kerja yang aman dan sehat serta peningkatan derajat kesehatan tenaga kerja. "
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1993
D297
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Gusti Ngurah Widyawati
"Telah dilakukan penelitian peran n-acetlylcsteine (NAC) dosis tinggi jangka pendek pada perubahan klinis dan kadar protein C-reaktif (CRP) penderita penyakit paru obstruksi kronik eksaserbasi akut di RSUD Dr.Moewardi Surakarta. Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan desain completely randomized experiment. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran n-acetylcysteine dosis tinggi jangka pendek terhadap perubahan kiinis dan nilai CRP penderita PPOK eksaserbasi akut.
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah semua penderita PPOK eksaserbasi akut tanpa disertai gagal jantung, penyakit hepar, batu ginjal dan gagal ginjal, kanker paru, infeksi di Iuar saluran pernapasan, diabetes melitus dan pemakai kortikosteroid oral. Semua penderita dinilai skala klinis dan CRP sebelum dan 5 hari setelah periakuan. Penilaian skala klinis berupa kesulitan mengeluarkan dahak dan auskultasi paw. Pemeriksaan nilai CRP menggunakan metode kuantitatif high sensity CRP.
Subyek penelitian berjumlah 42 orang, secara random dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok kontrol, NAG 600 mg dan NAC 1200 mg, masing-masing kelompok terdiri dari 14 orang. Semua subyek penelitian mendapatkan terapi standar berupa aminofilin drip, cefotaxim 1 gram 1 12 jam IV, metilprednisoion 62,5 mg 1 8 jam IV, nebulizer ipratropium bromida 4x20 µg/hari dan fenoterol 4x200 µg/hari. Penelitian diikuti selama 5 hari dan tiap hari dinilai skala klinis. Data yang diperoleh dianalisis uji beda dengan ANOVA dan uji korelasi dengan uji pearson, dikatakan bermakna bila p < 0,05.
Hasil penelitian didapatkan perbedaan penurunan skala klinis antara kelompok kontrol dengan NAC 600 mg 1,21 (p=0,001), kelompok kontrol dengan NAC 1200 mg 3,71 (p=0,000), dan kelompok NAC 600 mg dengan NAC 1200 mg 2,50 (p=000). Perbedaan penurunan rata-rata kadar CRP antara kelompok kontrol dengan NAC 600 mg 16,93 (p=0,266), kelompok kontrol dengan NAC 1200 mg -14,97 (p=0,39). Lama perawatan di rumah sakit kelompok kontrol adalah 6-14 hari, rata-rata 7 hari (SD 2,287), kelompok NAC 600 6-12 hari, rata-rata 6,71 hari (SD 1,637) dan kelompok NAC 1200 6-10 hari, rata-rata 6,50 hari (SD 1,160). Uji korelasi antara kadar CRP dengan hitung leukosit didapatkan korelasi sedang dan bermakna. (r=0,402; p=0,08), dan korelasi antara kadar CRP dan hitung jenis neutrofil adalah korelasi sedang dan bermakna. (r-0,423; p=0,05). Hasil penelitian di atas menunjukkan perbedaan skala klinis lebih besar pada penderita PPOK eksaserbasi akut dengan pemberian NAC dosis tinggi jangka pendek dibandingan tanpa pemberian NAC. Perbedaan nilai CRP tidak lebih besar pada penderita PPOK eksaserbasi akut dengan pemberian NAC dosis tinggi jangka pendek dibanding tanpa pemberian NAC. Perbedaan skala klinis lebih besar pada penderita PPOK eksaserbasi akut dengan pemberian NAC dosis tinggi jangka pendek dibanding dengan pemberian NAC dosis lazim. Perbedaan nilai CRP tidak lebih besar pada penderita PPOK eksaserbasi akut dengan pemberian NAC dosis tinggi jangka pendek dibanding dengan pemberian NAC dosis lazim.
Kesimpulan penelitian adalah pemberian NAC dosis tinggi jangka pendek dapat memberikan perbaikan klinis pada penderita PPOK eksaserbasi akut, tetapi tidak terdapat perubahan nilai CRP yang bermakna.

Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) is an obstructive airway disorder characterized by slowly progressive and irreversible or only partially reversible. Oxidative stress is increased in patients with COPD, particularly during exacerbations and reactive oxygen species contribute to its path physiology. These suggest that antioxidants may be use in the treatment of COPD. Other studies have shown that nacetylcysteine (NAC) has antioxidant and antiinflamatory properties. In vitro, NAC inhibit neutrophil chemotaxis, interleukin (1L)-8 secretion and other pro-inflammatory mediators such as the transcription nuclear factor (NF)-izB, which is directly correlated with the production of the systemic inflammatory marker C-reactive protein (CRP).
The aim of this study was to evaluate the role of high dose-short course n-acetylcysteine in clinical improvement and C - reactive protein's patients with exacerbations of chronic obstructive pulmonary disease. Forty two patients exacerbations of COPD participated in this study. The subjects were randomly assigned, divided by three treatment groups: placebo (n=14), NAC 600 mg/day (n=14) and NAC 1200 mg/day (n=14). Concomintant use of inhaled B2-agonist and anticholinergics, aminophylline drip, cefotaxim 1g/12h, methylprednisolon 62,5mg/8h were permitted during the study, while the use of antitussive and mucolitic were prohibited. Clinical symptoms were scored on 2-point scales, difficulty of expectoration and auscultation breath sound. CRP level are determined by high sensitivity C-reactive protein (HS-CRP). All measurements would be taken in baseline and were repeated after 5 days.
The results of this study showed that clinical outcomes were improved significantly in patients treated with NAC compared to placebo and clinical outcome of patients treated with NAC 1200 mg/day were more frequently significant than treated with NAC 600 mg/day. There was no significantly reduction in CRP level.
The conclusion was treatment with high dose short course NAC improving clinical outcomes in patients exacerbations of COPD.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18029
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmadi Iwan Guntoro
"Pembedahan di daerah toraks dan abdomen sering menimbulkan komplikasi pascabedah terutama mempengaruhi sistem pernapasan yang mempunyai risiko besar terjadi penyulit pascabedah. Kemajuan teknologi dalam bidang kedokteran yang meliputi kemajuan teknik pembedahan, obat-obatan dan cara anestesi memungkinkan untuk melakukan tindakan bedah pada kasus-kasus dengan kelainan kardiopulmoner yang sebelumnya tidak dapat dioperasi sehingga konsekuensinya angka morbiditi dan mortaliti pascabedah dapat meningkat.
Untuk mengurangi kekerapan komplikasi pare pascabedah dan menurunkan morbiditi dan morta.liti serta masa penyembuhan yang lebih cepat maka diperlukan persiapan prabedah yang baik. Persiapan prabedah ini diperlukan untuk dapat :
1. Mengidentif kasi faktor risiko yang berhubungan dengan penderita dan operasinya.
2. Memisahkan penderita termasuk dalam kelompok risiko rendah atau tinggi.
Pilihan jenis pembedahan misalnya segmentektomi, lobektomi, pneumonektomi dan lain-lain didasarkan pada ukuran lesi, letak lesi, faal pant dan penyakit yang mendasari tetapi penentuan terakhir dilakukan pada saat pembedahan.
Pemeriksaan faal paru selain berguna untuk pemeriksaan penunjang diagnostik penyakit part juga untuk menilai perkembangan perjalanan penyakit paru tertentu, efek pemberian pengobatan, deteksi dini penyakit paru tertentu, menilai prognosis penyakit dan mengetahui toleransi operasi. Pemeriksaan ini dapat memperoleh prediksi faal pant penderita pascabedah paru serta risiko selama dan sesudah pembedahan sehingga dapat diambil tindakan penanggulangan menjelang pembedahan. Salah sate cara untuk mengetahui faal part adalah pemeriksaan dengan menggunakan spirometri. Pemeriksaan spirometri merupakan pemeriksaan faal paru sederhana yang paling sering dilakukan karena murah, praktis dan mudah digunakan tetapi cukup memberi informasi yang diperlukan.
Sampai saat ini belum ditemukan penelitian untuk mendeteksi pengaruh berbagai faktor risiko yang hares diperhatikan sebelum dilakukan bedah toraks terhadap faal paru penderita setelah pelaksanaan bedah toraks. Peneliti ingin melihat apakah faktor-faktor risiko tersebut mempengaruhi faal paru penderita pascabedah toraks. Penelitian serupa belum pernah dilaksanakan."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ibnu Fahrudin
"Latar belakang: PT X adalah produsen tepung gandum, dimana dalam proses produksinya dihasilkan debu tepung yang mencemari lingkungan kerja. Debu tepung gandum yang masuk ke saluran nafas pekerja dapat menyebabkan penyakit pada saluran nafas yaitu Rinitis Akibat Kerja.
Metode: Tujuan dari penelitian ini yaitu diketahuinya faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan Rinitis Akibat Ketja. Penelitian ini dilakukan dengan desain studi kasus kontrol untuk mengetahui hubungan antara faktor-faktor risiko pada pekerja dan terjadinya Rinitis Akibat Kerja. Responden adalah pekerja yang bekerja di bagian Pengepakan yang memenuhi syarat inkiusi, berjumlah 215 responden. Data yang dikumpulkan yaitu variabei babas (umur, masa kerja, pakai APD, riwayat atopi dan kebiasaan merokok) dan variabel iergantungnya Rinitis Akibat Kerja.
Hasil: Hasil pengukuran kadar debit personal melebihi NAB (4 mg/m3) yaitu di proses pengepakan sebesar 5.66 mglm3 dan proses pengayakan sebesar 15.12 mg/rn3. Dari 215 responder didapatkan 82 responden (38.1%) yang menderita Rinitis Akibat Kerja atau kasus dan 133 responden (61.9%) yang tidal( menderita Rinitis Akibat Kerja sebagai kontrol. Riwayat atopi dan Pemakaian Mat Pelindung Diri yang kurang baik, berhubungan dengan terjadinya Rinitis Akibat Kerja yaitu masing-masing dengan OR--4.24; p 0.00; 95% CI 2.35-7.66 dan OR 2.06; p 0.014; 95%CI 1.16-3.65.
Kesimpulan: Pajanan debu tepung di udara bagian Pengepakan melebihi Nilai Ambang Batas. Faktor yang berhubungan dengan Rinitis Akibat Kerja pada pekerja bagian Pengepakan adalah adanya riwayat atopi dan pemakaian Alat Peiindung Diri (masker) yang kurang baik.

Background: PT X is a factory produces whole-wheat flour which its process generates flour dust that contamined working environment especialy at packaging area Inhaled flour dust may affect to workers'respiratory tract, then included Occupational Rhinitis.
Method: This study was conducted by using ease control design to look at the relation between worker characteristics, length of service, atopic history, personal protection equipment use and smoking habit. 215 study subjects who work for Packaging Department and fulfilled inclution criteria were involved in this study. Collected data were consisted of Occupational Rhinitis as dependent variable and its risk factors as independent variables.
Result: The level of personal dust exposure were 5.66 mg/m3 at packaging area and 15.12 mg/m' at the filtering process which exceeded Treshold Limit Value of 4 mglm3. 82 subjects (38.1%) of 215 total respondent were diagnosed Occupational Rhinitis. In contrast 133 subjects (61.9%) were not Occupational Rhinitis as a control group. Statistical analysis shows that unappropriate use of personal protection equipment and atopic history have significant association with the risk of Occupational Rhinitis (OR 2.06; 95%Cl; 1.16-3.65 and OR 4.24; 95%Cl; 2.35-7.66).
Conclusion: The exposure levels of the flour dust in the air of Packaging Department were above Treshold Limit Value. Factors assosiated with the Occupational Rhinitis at the workers of the Department of Packaging are atopic history, and unappropriate use of personal protection equipment (masker).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21133
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>